Musik

Lagu-lagu yang Mampu Membenamkanmu ke Dasar Bumi

Seorang pertapa cinta dari Bukit Karamuntiang yang konon sangat disegani anjing liar Universitas Andalas dan monyet Sitinjau Lauik pernah menasehati saya di suatu Senin yang terik. Matahari selurus tegak tali ketika ia mulai berkata, “Jika kau ingin menjadi penyair yang mematikan, maka cintailah seorang perempuan dengan kesungguhan seorang penyair Arab. Ketika cinta itu telah mendidih, matikan segera api asmaramu! Bunuh kembang laknat yang tumbuh di jantung hatimu itu. Niscaya rasa sakit yang tak tertahankan di dadamu akan menjelma baris-baris sajak yang lembut bagai lautan dan tajam bagai ekor matahari.”

Cahaya matahari dan aroma bangkai cicak dari mulut si pertapa membuat saya resah. Sebenarnya ada kalimat lanjutan yang ia sampaikan, tetapi silau matahari membuat death instinct Freudian saya jadi membesar. Jangankan untuk mendengarkan seseorang, mendengarkan diri sendiri saja sungguhlah berat, ingin mati saya rasanya. Di situasi itulah saya kemudian mengerti mengapa Mersault menembak orang Arab di The Stranger. Soalnya jujur saja, pada waktu itu ada juga terbersit suatu keinginan untuk menembak mati si pertapa cinta itu.

Untunglah moral mahasiswa baru di diri saya membuat keinginan itu surut. Dengan anggukan “awak junior mengikut senior saja” saya meminta izin untuk pamit dengan alasan ada jadwal kelas kuliah. Semenjak itu saya tidak melihat lagi si pertapa cinta. Dari seorang kawan saya mendapat kabar kalau dia sedang bertapa di Gua Lauk Kantaw, yang konon letaknya tidak terbaca di peta, dan mungkin ia tidak akan kembali ke kampus dalam waktu yang tidak ditentukan.

Nah. Lalu apa hubungannya cerita di atas dengan rekomendasi lagu-lagu yang akan saya sajikan ke hadirin pembaca sekalian? 

Jadi begini. Pada sebuah malam, tujuh tahun setelah kejadian itu, saya tiba-tiba teringat nasehat si pertapa cinta. Benar juga, pikir saya. Meski kalimatnya itu panjang dan boros, saya bisa menarik suatu makna, bahwa rasa sakit karena cinta mestilah dirasakan dan dirayakan. Kita manusia ini senang galau. Lebih jatuh ke dasar lebih bagus. Kenikmatan hidup di zaman ini ialah bahwa kegalauan mudah kita dapati di mana-mana. Dari pekerjaan yang tidak jelas, janji pemerintah yang busuk, bekerja bagai kuda pelajang bukit, uang di saku tinggal seribu rupiah, BBM naik, A.C.A.B, mencintai orang yang tidak bisa kita miliki, token listrik meraung di tengah malam, atau diputuskan kekasih tercinta.

Rezim hari ini memaksa kita menggunakan waktu 24 jam untuk bekerja karena bahan pokok naik terus. Tapi nasib tetap 24 jam tidak menentu, tulis penyair Esha Tegar Putra dalam renungannya pada suatu masa di Jakarta. Sampai orang berpikir 24 jam tidak cukup dalam sehari. Ironisnya, bumi berputar semakin cepat karena kerusakan iklim. Hal itu menyebabkan waktu jadi berkurang. Bisa jadi setahun atau dua tahun lagi waktu dalam sehari hanya 23 jam.

Di antara waktu-waktu yang semakin menipis itulah kita mesti mencoba menjadi ‘penyair yang mematikan’. Manusia harus galau karena kegalauan adalah kenikmatan dan hak setiap manusia di atas bumi. Jika hubungan berpasangan kalian baik-baik saja, buatlah tidak baik-baik saja supaya bisa merasakan kegalauan yang hakiki. Jangan sampai karena sibuk menjadi budak perusahaan kita lupa galau, terutama galau karena cinta. Jangan sampai galau karena cinta dianggap sesuatu yang tabu di masa depan, sesuatu yang aneh dan receh. Sejarah telah membuktikan bahwa kegalauan karena cinta adalah sumber kekuatan paling murni dan besar. Perang dunia dimulai dari kegalauan, begitu juga tesis para filsuf patah hati. Sebenarnya, kalau bisa sumber tenaga listrik di negara ini tidak perlu pakai batu bara lagi, tapi dengan tenaga kegalauan saja karena kegalauan rakyat Indonesia atas pemerintahnya sudah melimpah ruah sampai ke planet Venus.

Baiklah, banyak mukadimah bisa membuat seorang penceramah dilempar sendal jepit. Langsung saja saya sajikan rekomendasi lagu yang bisa membuatmu ingin membenamkan diri ke bumi karena saking galaunya. Jika lagu-lagu di bawah ini tidak bisa melakukan apa-apa kepada sidang pembaca, mohon maklum, saya juga masih berusaha menjadi pertapa cinta yang profesional.

That Glow – St. Paul & The Broken Bones

Pertama kali saya mendengar lagu ini sebagai soundtrack di film berjudul The Gambler (2014). Bercerita tentang seorang dosen Sastra Inggris bernama Jim Bennett (Mark Wahlberg) yang kurang tidur, malas makan, dan kecanduan judi. Setiap lagu ini saya putar, saya selalu membayangkan si Jim, dengan gesturnya yang lemas dan hasratnya yang siap mati kapan saja.

I lose my senses for that child that went away.

Dari awal lagu, Anda akan dihantarkannya langsung memasuki gerbang dunia bawah. Suara vokal Paul Janeway yang tajam segera menyayat pergelangan kaki Anda. Sehingga tubuh Anda senantiasa runtuh-jatuh ke dasar lubang hitam-sempit.

Ketika berada di situasi itu, kenanglah segala cinta yang gugur-lebur luluh-leleh di sepanjang karir percintaan Anda. Tangisilah ia, meski cinta itu hanya cinta yang semenjana.

Lord, set me free!

Love Is Blindness – U2/Jack White

Oh, ayolah, Kawan! Mana ada cinta yang sederhana. Cinta itu membutakan sekaligus menerangkan pandangan, menyakitkan sekaligus menyenangkan, menguras energi sekaligus sumber tenaga, membuatmu putus asa sekaligus berharap jauh ke depan, menyayat jantung hati, tali jantung dibuatnya putus berkali-kali!

Why don’t you just take the night, and wrap it all around me!

Sebab itu pula personil U2 merancang lagu ini dengan semangat yang menyakitkan. Menumpahkan segala rasa dan cerita lalu bereksperimen terhadapnya. Seperti alat suntik, lagu ini dengan cepat menghisap sari pati kehidupan di tubuhmu, mencampurnya dengan cairan kepahitan di dunia, lalu dengan lekas menyuntikkannya lagi ke nadimu. Zat yang bernama “kegetiran” itu perlahan akan mengalir di aliran darahmu.

Maka berdiamlah kau di nadiku, mengalirlah di garis-garis biru telapak tanganku, tulismu kemudian di aplikasi note hape. Kau berpikir itu adalah baris paling tajam, paling mengena. Tak apa, biarkan saja pikiran itu hadir di kepalamu. Nikmati saja. Biarkan matamu menangkap getir di sana sini. Pintu itu, jendela itu, potret di dinding itu, atap itu, kaos kaki itu, oh! Betapa ruangan ini bukan lagi bagian dari dunia. Di manakah aku? Tentu saja kau sedang berada di dasar bumi, Kawan.

Ada dua versi dari lagu ini yang sering saya dengar, versi asli dari U2 dan versi cover dari Jack White. Jika kau tipe yang suka kesurupan dalam tenang, dengarkan versi aslinya, dari U2. Tapi kalau kau tipe rusuh dan suka berguling-guling ketika galau, dengarkan versi Jack White. Jangan sampai tertukar.

Why Try to Change Me Now – Frank Sinatra/Fiona Apple

I’m sentimental, so I walk in the rain.

Ia menuntut kau mesti begini mesti begitu, menjelma dinding tebal di hadapanmu. Tidak bisakah ia melihat betapa kau telah mengusahakan segalanya untuk menjadi yang terbaik? Mengapa? Terlalu banyak keinginan, terlalu banyak harapan, terlalu banyak paksaan. Padahal pundakmu telah dipenuhi berkarung-karung krisis eksistensi, pertarungan ideologi, masalah rumah, dan bisik tetangga. Mengapa?

Bukankah kau telah membantu ia tersenyum di pagi, siang, dan malam hari? Kau telah merelakan dirimu begitu saja menjadi manusia penghibur, semacam badut taman? Sosok yang membuat tawa kekanakannya kembali hadir—hal yang selalu ia rindukan. Jadi… Why try to change me now?

Ya, begitulah cinta, Kawan-kawan. Untuk lagu ini, saya juga sering mendengar dua versi. Dari Frank Sinatra dan Fiona Apple. Ramai sekali seniman musik ternama yang sudah mengcover lagu ini, dan semuanya, mulai dari versi awal sampai sekarang, tidak pernah mengecewakan di telinga. Tapi jika boleh jujur, saya lebih senang mendengarkan versi Fiona Apple. Permainan piano dan temponya yang lambat tidak hanya mampu membenamkan tubuh jiwamu ke dasar bumi, tapi juga tubuh materilmu. Tentu, hanya ketenangan tanah lah yang mampu mewadahi puncak kegalauan batin manusia.

Still Got The Blues – Gary Moore

Tidak ada manusia di atas bumi ini yang selamat setelah mendengarkan blues. Kita hanya akan menjadi binatang jalang di hadapan blues yang agung. Saya pernah membayangkan, di Hari Pembalasan nanti, telinga kita akan diperdengarkan musik blues, sebab hanya dengan itulah kita kemudian bisa mengingat dan mengakui segala laku laknat bedebah yang pernah kita kerjakan di atas dunia. Lemparkan saja kami ke nerakamu, Tuhan!

Siapa yang tidak tahu Still Got The Blues? Tidak ada. Meski ini adalah lagu sejuta umat dan sering diperdengarkan berulang-ulang, kekuatan mistiknya tidak pernah pudar, bahkan setitik. Hidupmu yang kau anggap baik-baik saja akan menjadi tidak baik-baik saja setelah mendengarkan lagu ini. Raungan kegetiran dari gitar Gary Moore dan suara vokalnya yang membahana dengan lesat akan menembus jantungmu. Seketika kau mati. Mati total. Tamat.

Ah….

Pedih. Begitu perih. Sudahlah… saya tidak sanggup lagi. Kata-kata hilang makna. Dengarkan saja lah. Saya tutup sampai di sini. Mohon dimaafkan jika saya ada salah selama ini. Terima kasih, sidang pembaca. Selamat tinggal…. (*)

 

 

 

About author

Alumnus Sastra Indonesia FIB Unand. Peneliti di RelAir. Warga Lab. Pauh 9.
Related posts
Musik

Sewindu Merindu, Banda Neira Tumbuh dan Menjadi

MusikReportase

Satu + Tiga Hari Patara Fest

MusikReportase

Meladju Kencang, Payakumbuh

Musik

Membincang Rimpang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *