Artikel ini ditulis oleh A. E. Croockewit.Terbit pertamakali pada 1866 dalam De Gids (Amsterdam)/1866/ III halaman 278-331 dengan judul asli Twee Maanden in de Padangsche Boven en Benedenlanden. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
***
II. Fort de Kock-Kota Gedang-Manindjoe-Tikoe-Loeboebassong.
Jalan menuju Fort de Kock melalui kawasan yang sangat indah dan terolah dengan baik, tapi bagi yang telah melihat yang lebih dari Hindia tak terlalu luar biasa. Titik tercantik dari jalan ini adalah sekitar 3 pal dari Padang Panjang; dari sana orang dapat melihat pemandangan luar biasa atas lanskap yang pelan-pelan menurun hingga danau di Simawang atau Singkarak yang berketinggian 1000 kaki lebih rendah, dan pemandangan danau besar itu sendiri. Jalan itu dibangun dengan baik, tapi butuh banyak kerja untuk menjaganya dalam kondisi tetap bagus karena lalu lintas kendaraan yang sibuk dan struktur tanah [di sana]. Jarak antara Padang Panjang dan Fort de Kock hanya 12 pal, tetapi jika orang berkendara memakai roda dibutuhkan tiga span [tim] kuda. Terutama di pertengahan pertama dari trayek itu orang harus terus mendaki, untuk kemudian di sepanjang lereng yang nyaris mendatar terus menurun hingga ke Fort de Kock, yang letaknya 700 kaki lebih tinggi dari Padang Panjang.
Fort de Kock, yang bagi orang-orang Melayu hanya dikenal dengan nama pribumi Boekit tinggi [Bukittinggi], ibukota Residentie Padangsche Bovenlanden [Keresidenan Padang Darat], letaknya lebih kurang 2900 kaki di atas permukaan laut. Mereka yang telah cukup lama berada di Hindia memandang iklim di tempat ini sangat menyenangkan; [tapi] bagi saya tak begitu enak, barangkali disebabkan oleh keadaan cuaca saat itu. Saat saya berada di sana hujan seringkali turun dan di malam serta pagi-pagi angin gunung yang buruk bertiup kencang, sementara di siang hari panas terasa menyiksa saya seperti di daerah yang lebih rendah.
Personil Eropa sangat banyak di sini, tapi– jika orang mengecualikan beberapa personil militer bayaran rendahan– hanya terdiri dari para ambtenaar serta garnisun yang dikomandani oleh seorang mayor. Personil ambtenaar terdiri dari residen, sekretaris dan ambtenaar-ambtenaar lain di kantor residentie, lalu controleur dan opziener jalan serta agrikultur. Fort de Kock merupakan tempat kedudukan seorang predikant [pastor/pendeta]; di sana juga ada sebuah sekolah rendah pemerintah untuk anak-anak bangsa Eropa, sebuah normalschool untuk para guru pribumi serta sebuah societeit.
Sumatra adalah suatu wilayah yang kaya akan keindahan alam. Tak hanya tanam-tanaman yang di sini tumbuh dengan hiasannya yang paling kaya; juga bentuk bukit-bukit serta lembah-lembah akan membuat kagum para peneliti alam. Sering, tapi terutama ketika memandang apa yang disebut Karbouwengat [Jurang Kerbau],[1] tak jauh dari Fort de Kock, saya merasa menyesal hanya sebagai seorang awam dalam studi sejarah alam. Karbouwengat adalah sebuah lembah yang panjangnya satu jam perjalanan, pada beberapa titik lebarnya mencapai seperempat jam berjalan, di semua sisinya dilingkungi oleh batu-batu karang berpasir[2] tegak lurus yang berketinggian lebih kurang 600 kaki dan dibelah oleh sebuah sungai kecil. Di tengah lembah ini terdapat dua puncak berformasi sama dan nyaris tegak lurus. Salah satu puncak ini di antara orang-orang Eropa dikenal dengan nama Michielspiek [puncak Michiel]; kedua-duanya jelas sekali berkurang ukuran dan ketinggiannya karena longsor, ya bahkan ada yang berkata bahwa ketinggian yang sekarang tak lebih dari setengah ketinggiannya pada dua puluh tahun yang lalu. Dinding-dinding Karbouwengat juga selalu longsor dan menurut sebagian orang bukan mustahil dalam lima puluh tahun yang akan datang keberadaan jurang luar biasa ini hanya tinggal kenangan. Makin jauh orang berjalan makin menyempit jurang itu hingga setelah melalui sebuah ngarai sempit serta sejumlah lereng bukit orang sampai ke jurang Pantar yang amat terkenal sejak masa Perang Paderi.
Dekat dari Fort de Kock terdapat Kota Gedang [Koto Gadang] yang kaya, di mana rumah-rumah dibangun dengan bentuk-bentuk yang paling aneh (grillige), eksteriornya sepenuhnya dihiasi dengan ukiran dan lukisan-lukisan merah dan hitam. Sebagai penghormatan terhadap Gubernur dan Komisaris pemerintah untuk reformasi sistem hukum, jaksa[3] atau sekretaris pribumi dari Residen Padang Darat mengadakan sebuah pesta di Koto Gadang di mana saya mendapat kehormatan untuk turut hadir di sana.
Di hari pesta tersebut berkibarlah di mana-mana di Koto Gadang bendera-bendera Belanda; kebanyakan rumah dihiasi dengan karangan bunga, semua penduduk mengenakan pakaian mereka yang paling mahal. Terus menerus tembakan-tembakan senapan diletuskan untuk menghormati para tamu agung; prosesi penantian penghormatan, prosesi penyambutan penghormatan di pintu gerbang, semua ini tak ketinggalan: dalam semua segi pesta itu begitu megah.
Setelah pertama-tama disegarkan dengan sherry [minuman anggur manis], anggur port, kopi dan bouillon [air daging], dengan khidmat kami pun melihat-lihat Koto Gadang dan mengunjungi salah seorang yang paling kaya di sana, yang anak perempuannya pada waktu itu sedang melakukan pernikahan, dengan ditemani pasangannya tampil dalam pakaian pengantin. Pengantin perempuan menunjukkan suatu nilai yang luar biasa dengan gelang-gelang emas, kain-kain sutra bersulam benang emas, sunting emas, dan sebagainya.
Pada pukul dua mulailah acara makan-makan yang dihadiri oleh semua otoritas sipil dan militer di Fort de Kock serta sejumlah ambtenaar dari tempat-tempat sekitar, serta juga sejumlah kepala pribumi dalam pakaian kebesaran mereka. Champagne dan Bourgogne dituangkan dalam jumlah melimpah-limpah. Hidangan terdiri dari nasi, bermacam masakan ikan, unggas, kue-kue, buah dan sebagainya. Saya dipersilahkan duduk di antara dua kepala pribumi dan karena saya sedikit sekali memahami bahasa Melayu untuk bisa menyambung percakapan dengan mereka, saya memiliki kesempatan untuk memperhatikan bagaimana kebanyakan kepala pribumi bersikap terlalu baik terhadap semua dengan tak bicara sepatah kata pun. Tampaknya mereka memahami [kata] undangan itu terlalu harfiah.
Di tengah acara makan-makan pencuci mulut diadakan sejumlah acara toast [kata sambutan], tapi dalam bahasa Melayu sehingga saya sedikit saja paham. Menarik perhatian saya betapa tenangnya sang tuan rumah (jaksa tadi) memberikan kata sambutan terhadap Raja dan Gubernur, lalu disahut beramai-ramai. Kata sambutan kedua dialamatkan kepada Komisaris pemerintah; kedua sambutan ini, tak perlu saya katakan lagi, dijawab oleh pegawai-pegawai tinggi tersebut.
Pada pukul empat pesta pun selesai dan kami kembali ke Fort de Kock di tengah hujan deras. Jalan yang kami tempuh begitu becek sehingga kuda-kuda seringkali terpuruk hingga lutut ke dalam lumpur dan kereta-kereta tak jarang harus didorong dengan bantuan para pribumi.
Di Sumatera Koto Gadang termasyhur karena industri penduduknya. Di sana terdapat banyak pengrajin emas dan perak yang terutama menunjukkan kemahiran dalam bidang fil de grain/cantillewerk [keahlian merangkai butiran/benang emas atau perak], yang makin menakjubkan kami dengan sederhananya peralatan-peralatan yang digunakan. Saya lihat di sana mesjid-mesjid, rumah-rumah, kandang-kandang kuda dibuat miniatur hingga sedetail-detailnya. Di Koto Gadang orang juga menenun kain sutra, selendang, tutup kepala, dan mengolah atau menghiasinya dengan benang emas atau perak, di mana terkadang kemewahan berlebihan dipertunjukkan; saya melihat sebuah selendang, tak lebih dari dua kaki lebarnya, yang bernilai 300 gulden. Seterusnya di sini orang juga membuat ukiran kayu dan bambu, tapi seperti terlihat juga dalam cantillewerk mereka, para seniman Koto Gadang terlalu jauh dalam meniru alam atau suatu model tertentu, mereka memiliki sedikit kreativitas. Dari seratus tempat sigaret yang saya perhatikan, model ukirannya persis sama.
Salah satu perjalanan terindah dan paling menyenangkan yang saya lakukan di Sumatera adalah pada tanggal 21 Maret dan beberapa hari berikutnya. Pagi sekali kami meninggalkan Fort de Kock (ambtenaar-ambtenaar tinggi ditemani dengan berkuda oleh pengiring biasa dari kalangan kepala pribumi), untuk melewati jurang-jurang yang tadi telah kita sebut (Karbouwengat dan jurang Pantar) menuju Matoea [Matua/Matur] dan Manindjoe [Maninjau]. Juga kali ini rakyat datang dari mana-mana dan berbaris sepanjang jalan untuk menyapa Gubernur dan Komisaris pemerintah, baik dengan bendera warna warni mereka yang membuat takut kuda-kuda, maupun dengan musik monoton yang secara harfiah dimainkan tanpa jeda sedikit pun.
Di Karbouwengat orang dapat melihat sawah-sawah yang indah, lalu lebih jauh pohon-pohon pisang liar, tapi di jurang Pantar yang dapat dilihat hanyalah karang-karang pasir yang gersang yang kakinya disirami, ya dirusak oleh percikan-percikan aliran air. Meskipun dari pandangan pertama aliran air kecil itu tampak tak begitu berarti, tapi sebenarnya itulah yang menjadi penyebab dari terseretnya sejumlah jembatan beberapa hari yang lalu.[4] Longsornya karang-karang pasir tak jarang membuat jalan tak dapat dilewati sehingga menyebabkan banyak masalah dan kerja dalam merawatnya.
Kuda saya tidak termasuk yang terkuat dan tak mungkin mengikuti rombongan yang lain; dus, saya ketinggalan dan tak lama kemudian tinggal sendirian. Tak ada tanam-tanaman yang dapat dilihat. Sejauh mata memandang saya hanya menyaksikan karang-karang pasir gundul, yang karena disinari oleh cahaya mentari yang garang warnanya menjadi oranye memucat dan kelihatannya memancarkan kemilau yang panas. Sebuah jurang sempit, yang terlihat di depan, tampaknya adalah satu-satunya jalan di mana saya dapat keluar dari alam yang tandus, gersang dan mati yang menekan saya seperti sebuah tangan baja. Manusia berdasar sifatnya adalah makhluk sosial; dia butuh melihat kehidupan di sekitarnya, dan tak pernah saya merasa begitu senang ketika di sini [tiba-tiba melihat] seekor ayam beserta enam ekor anak ayam berkeliaran.
Setelah mendaki sebuah bukit yang sangat curam, akhirnya saya sampai di plateau [dataran tinggi] Matua dan dekat kampung yang namanya sama, satu dari titik tertinggi di Sumatera yang didiami oleh orang-orang Eropa, terletak lebih dari 3300 kaki di atas permukaan laut. Matua merupakan sebuah tempat yang cantik dan bersih, pos dari seorang opziener agrikultur—ketika itu dijabat oleh Tuan Colani—yang di rumahnya saya mendapati rombongan yang lain dan di mana buah stroberi, yang hanya tumbuh subur di sini dan di Fort de Kock, kami rasakan benar-benar lezat. Di sini juga terdapat lapangan untuk kediaman opziener, gudang-gudang kopi dan sebagainya yang dihiasi dengan bendera-bendera untuk menghormati kedatangan tamu-tamu yang terkemuka.
Setelah beberapa jam istirahat, kami meneruskan perjalanan kami menuju Maninjau di sepanjang jalan utama, lebih kurang 4 jam perjalanan dari Matua. Rombongan ini bertambah besar dengan sertanya beberapa kepala pribumi Matua. Kawasan yang sekarang kami tempuh lebih ramai dan diolah lebih baik lagi; sejumlah masjid dan kampung tampak ramah di tengah sawah-sawah luas yang dibatasi oleh perbukitan yang tinggi. Di hari itu langit sangat cerah sehingga kami dapat menyaksikan gunung Ophir (oleh pribumi disebut Gunung Pasaman), gunung tertinggi di bagian Sumatera ini, yang kira-kira 25 jam perjalanan jaraknya dari kami. Beberapa pal dari Matua kami melewati sebuah lembah kecil, lalu tiba-tiba danau Maninjau, suatu permukaan air yang kelilingnya lebih kurang 9 jam perjalanan, dilingkungi oleh dinding-dinding perbukitan yang hampir tegak lurus, terletak 1500 kaki di bawah kami, memperlihatkan dirinya pada mata kami yang terpesona.
Dari tempat di mana kami dapat menikmati pemandangan menakjubkan itu mulai lah suatu jalan yang indah dan terawat baik lebih kurang enam pal panjangnya dan zig zag sampai ke bawah, hampir selalu melewati hutan dan sawah-sawah, lalu bagian terakhirnya melewati kebun kopi yang luas, yang terletak persis dekat kediaman controleur di Maninjau.
Controleur itu, Tuan S., menerima rombongan seramah mungkin. Letak rumahnya sangat ideal dekat danau, yang dapat dilihat melalui sebuah jalan kecil pohon-pohon damar dan batang-batang mawar. Di pinggiran danau dibangun sebuah perancah tempat duduk, dan di sanalah kami melewatkan malam yang indah. Permukaan air yang tenang diterangi mula-mula oleh bintang-bintang di langit, kemudian oleh sinar rembulan yang cantik, kontras dengan bukit-bukit yang lebih menggelap menghadap langit; angin sejuk yang menyenangkan menyapa kami dan keheningan yang syahdu di sekitar kami hanya disela oleh gemersik dedaunan pohon kelapa.
Di sini saya mendapat informasi bahwa Loeboebassong [Lubuk Basung], pos dari teman saya yang terhormat controleur K, hanya berjarak enam jam perjalanan dari Maninjau, karenanya saya memutuskan untuk membuat kejutan untuknya dengan kunjungan yang tak disangka-sangka. Dengan mengendarai gladakker [kuda beban/Hollandnya knol] sejati, pada pukul tujuh pagi saya meninggalkan Maninjau dan berkendara sepanjang pinggir danau hingga Moko-Moko [Muko-Muko], di mana saya berharap dapat memperoleh kuda lain untuk melanjutkan perjalanan sampai Lubuk Basung, yang masih tiga jam lagi jauhnya. Harapan saya ternyata tak kesampaian. Karena kedatangan Gubernur, yang di hari itu sibuk meninjau kebun-kebun kopi (Maninjau merupakan suatu distrik kopi yang penting), semua kuda di Muko-Muko digunakan. Kuda beban saya tak cukup kuat untuk membawa saya lebih jauh; saya terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati jalan yang sepi ini. Sungguh mengherankan saya, para pembawa dari beberapa pedati/kereta (vrachtkarren) yang berpapasan dengan saya di jalan ini dengan ketakutan melompat dari kendaraan mereka lalu berjalan di sampingnya, begitu mereka melihat saya. Hal ini taklah dapat dialamatkan kepada kesopanan membudak (slaafsche beleefdheid) sebagaimana yang orang amati di Jawa, saya yakin ini, sebab hal tersebut—barangkali bagusnya—sama sekali tak dikenal di Sumatra’s Westkust. Baru kemudian teka-teki ini terjawab; berdasarkan sebuah peraturan polisi adalah terlarang bagi pembawa-pembawa pedati atau kereta untuk duduk atau berbaring di atas kendaraan mereka; para pembawa yang saya temui tadi telah melanggar larangan ini dan menganggap saya ini seorang ambtenaar yang memiliki wewenang untuk menghukum mereka atas pelanggaran tersebut.
Sekitar jam dua siang saya pun sampai di Lubuk Basung.” Tak pernah terbayangkan oleh saya,” kata teman saya K,” bahwa seorang Eropa, sendirian, berjalan kaki dan juga ketika panas sedang terik-teriknya, datang mengunjungi saya di tempat yang terasing ini.”
Di sore besok harinya saya kembali ke Maninjau. Kali ini penghulu Muko-Muko hadir di tempatnya; kepala itu menjamu saya dengan teh dan kue pribumi serta menyediakan seekor kuda tunggangan yang sangat baik untuk meneruskan perjalanan berikutnya. Jalan di sepanjang pinggiran danau lagi-lagi mengesankan saya. Mentari terbenam cerah di sebelah Barat, sementara langit belahan Timur ditutupi awan-awan gelap; separo danau berwarna merah menyala karena pancaran sinar surya yang tenggelam, sementara di sisi lainnya awan-awan gelap menurunkan hujan lebat, dan puncak-puncak bukit yang tinggi tampak dirangkum selimut tebal.
Setelah semalam lagi bermalam di Maninjau, saya kembali ke Fort de Kock; tapi saya telah berniat, sebelum nanti meninggalkan Sumatera, saya akan mengunjungi Maninjau yang mempesona sekali lagi, dan untungnya tak lama sesudah itu datanglah kesempatan untuk mewujudkannya.
Saya telah melewatkan beberapa hari di Fort de Kock dan daerah-daerah sekitarnya juga telah agak familiar bagi saya ketika saya dengar, bahwa pameran pertanian dan kerajinan serta pertemuan umum di mana reformasi sistem hukum akan dibicarakan akan dimulai masih seminggu lagi. Waktu terlalu singkat untuk melakukan perjalanan mengunjungi sebagian daerah di pedalaman; karena itulah saya memutuskan menuju Pariaman melalui jalan yang biasa, tinggal beberapa hari di sana, lalu terus ke Tikoe [Tiku], Lubuk Basung, Maninjau, kemudian kembali ke Fort de Kock. Tentang perjalanan ke Pariaman dan selama saya di sana tidak akan saya lukiskan supaya tidak mengulang-ulang cerita.
Jalan dari Pariaman ke Tiku adalah jalan rumput yang datar mirip dengan jalan dari Pariaman ke Batang Anai, tapi satu-satunya perbedaan adalah pada jalan yang pertama orang menemui jauh lebih banyak jembatan dibanding pada jalan kedua, seperti pernah disinggung sebelumnya. Soengei Lima [Sungai Limau] merupakan kampung terpenting yang orang lalui; pasar di sana sangat ramai dikunjungi.
Tiku merupakan sebuah kampung luas yang barangkali paling bersih di seluruh Sumatera, sebab penduduk di sana semenjak bertahun-tahun lalu rutin membersihkan halaman mereka pada suatu waktu tertentu di pagi hari, seakan akibat dari suatu peraturan polisi yang ternyata tidak ada. Tempat ini juga jadi pos dari seorang opziener budidaya tanaman yang kediamannya terletak dekat pelabuhan, yang seperti labuhan di Pariaman, terlindung oleh tiga buah pulau kecil dan rendah serta rumpun-rumpun pohon kelapa. Dari Tiku kopi pemerintah dari distrik-distrik [dalam residensi] Padang Darat/Bovenlanden Danau, Matua, Selapan Kota dan Toedjoh Loerah, juga dari distrik Lubuk Basung dalam wilayah [afdeeling] Pariaman diangkut dengan kapal ke Padang. Dari Tiku ke Lubuk Basung melalui jalan kerikil yang baik, terkadang membelah sawah-sawah, lalu punggung-punggung bukit, tapi kebanyakan melewati daerah rimbo.[5] Pada umumnya kawasan dari Tiku menuju perbatasan Padang Darat berpenduduk sedikit, dan tidak jarang orang berpapasan dengan segerombolan gajah di jalan, tapi saya tak mengalaminya saat itu. Dan demikianlah saya sampai untuk kedua kalinya di kediaman ramah dari sang controleur di Lubuk Basung dengan niat melewatkan beberapa hari di tempat yang lengang ini.
Seorang controleur pada binnenlandsch bestuur [pemerintahan dalam negeri] di Sumatera punya wilayah kerja yang sangat luas, yang dalam segala aspek jauh berbeda dengan kerja kolega-koleganya di entri-entri dan kultur-kultur lokal di Jawa. Dia merepresentasikan pemerintah Eropa di distriknya; memberi perintah-perintah pada kepala-kepala pribumi; ketua rapat peradilan (rechtbank) dari para kepala itu, yang vonis-vonisnya dia yang tetapkan; dibebani tugas kepolisian yang dalam tingkat tertentu bahkan memiliki kekuasaan hukum dalam hal itu; bertanggung jawab merawat jembatan-jembatan dan jalan-jalan, suatu hal besar, bahkan sangat besar pada beberapa distrik; bertugas melaksanakan pembangunan di daerah; harus mengawasi budidaya tanaman kopi; musti memperhatikan agar pengolahan dan penanaman sawah-sawah dilakukan secara teratur dan tepat waktu; dan punya banyak aktivitas lain, yang deskripsi lengkapnya hanya mungkin diberikan oleh seorang yang pernah menduduki jabatan itu sendiri.
Betapa bagusnya pengaruh pemerintahan Eropa atas penduduk pribumi saya saksikan langsung di sini. Pada Jumat pagi saya melihat sejumlah besar wanita pribumi membawa anak-anak kecil dan balita mereka ke kediaman controleur untuk divaksinasi oleh vaksinator [manteri pencacar] pribumi! Tentu suatu tindakan yang terpuji bila pemerintah memberikan kesempatan kepada para pribumi untuk sedikit banyak membebaskan diri dari suatu penyakit menakutkan, yang terutama di wilayah tropis bersifat ganas dan yang pada masa lalu dapat menghilangkan nyawa seluruh anggota keluarga. Mungkin saja pada awalnya dilakukan semacam tindakan paksaan untuk memberi jalan bagi tindakan yang baik ini; tapi paksaan seperti itu patutnya dipuji, bukan dicela; dan sekarang paksaan itu tak perlu lagi; setiap wanita pribumi menyerahkan anaknya untuk divaksinasi tanpa perlu adanya tekanan. Para pencacar pribumi, sebagaimana saya dengar, umumnya sangat cakap; biasanya mereka memperoleh didikan dari tenaga-tenaga medis bangsa Eropa, yang ditugasi dengan pengawasan dalam hal ini, dan mereka (sejak 1857) digaji dengan uang kas daerah.
Saya tinggal dua hari di rumah teman saya K., yang setelah itu dengan bendi Amerika-nya membawa saya ke Maninjau, di mana saya kembali menerima pelayanan yang ramah dari controleur di sana, Tuan S. Jalan dari Lubuk Basung ke Maninjau saya lalui untuk ketiga kalinya; tapi kesan yang saya dapatkan dari keindahan alamnya tak kurang mempesona dibanding pada perjalanan pertama. Bagian pertama, dari Lubuk Basung ke Muko-Muko, memiliki beberapa kemiripan dengan de kloof yang terkenal. Jalan itu mengikuti sebuah sungai kecil berarus deras dan di kedua sisinya dapat ditemui bukit-bukit tinggi yang berhutan lebat sampai ke puncaknya. Jika transportasi kayu lebih efisien, hutan ini akan memberi hasil yang bernilai luar biasa; di sini bagaimanapun saya lihat batang-batang dari kayu besi (ijzerhout) yang masyhur berapatan dalam jumlah ratusan, yang beberapa tingginya lebih dari 100 kaki, dengan diameter 3 hingga 4 kaki. Banyak pohon, baik karena usia tua, badai, atau erosi tercabut dari akarnya dan terkapar membusuk di lereng bukit. Di bagian jalan ini, 9 pal panjangnya, tak satu pun tempat tinggal manusia terlihat; mata hanya dapat melihat sungai, bukit-bukit dan hutan-hutan; yang didengar telinga hanyalah gemercik air sungai, pekikan siamang, dan –tapi jarang—bunyi cuitan dari roda-roda pedati. Satu lagi catatan tentang danau Maninjau. Permukaan air danau ini terletak lebih kurang 1400 kaki di atas permukaan laut, dan dinding-dinding perbukitan tegak lurus yang melingkunginya menimbulkan asumsi bahwa danau itu merupakan kawah yang tak aktif lagi; tak satu pun sungai penting yang mengisinya, tapi di sini dapat ditemui buaya rakus, yang di tempat lain biasanya ada di hilir sungai, baik tinggal di muara maupun menjelangnya, dan juga, di antara tempat-tempat lainnya, tidak terdapat di danau Singkarak yang lebih besar, yang dalam banyak segi berbeda dengan danau Maninjau.
Untuk kali terakhir saya mengunjungi Maninjau yang indah; saya harus berpisah dengan teman saya K, dengan Tuan S yang ramah, dengan amat kecil kemungkinan akan melihat mereka kembali, kecuali dengan cara kebetulan. Memang sedih sekali rasanya, tapi itulah yang khas di Hindia, orang berkenalan, menghormati dan menyayangi orang-orang di sana, atau dalam satu kata, bersimpati dengan mereka; tapi saat perpisahan pun tiba, dan orang meninggalkan mereka tanpa harapan akan berjumpa lagi.
(Bersambung ke Bagian II)
Ilustrasi Amalia Putri
Catatan Kaki:
[1] [Catatan penerjemah: penulis artikel ini merujuk ke apa yang sekarang lebih dikenal dengan Ngarai Sianok].
[2]Menurut sebagian orang, karang ini sepenuhnya terdiri dari abu vulkanik; sejauh mana kebenaran hal ini saya tak bisa memastikan, meskipun peristiwa longsor dan ambruk yang terus menerus memberi suatu dasar atas teori ini.
[3]Jaksa sebenarnya adalah titel dari opsir-opsir bangsa pribumi di Pengadilan (Justitie) yang bagaimanapun masih belum dikenal di Padang Darat. Pejabat pribumi yang dimaksud di sini menyandang titel itu sebagai penghormatan saja.
[4] [Catatan penerjemah: mungkin maksudnya aliran air yang kecil itu bisa jadi besar dan amat deras setelah hujan lebat dan semacamnya sehingga bisa merusak jembatan yang dilaluinya].
[5] [Minangkabau: rimba].