Artikel Terjemahan

Dua Bulan di Padang Darat dan Padang Pesisir (Bagian III)

Artikel ini ditulis oleh A. E. Croockewit.Terbit pertamakali pada 1866 dalam De Gids (Amsterdam)/1866/ III halaman 278-331 dengan judul asli Twee Maanden in de Padangsche Boven en BenedenlandenDiterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.

Sambungan dari bagian II

***

III. Pameran – Pertemuan Akbar – Sistem Hukum – Kehidupan Keluarga dan Hukum Waris

Sendirian saja saya berangkat dari Maninjau lewat Matua menuju Fort de Kock, di mana Tuan B menerima saya sama ramahnya dengan sebelumnya dan saya menghabiskan beberapa hari menyenangkan dalam lingkungan keluarganya yang ceria. Di sini semuanya sedang sibuk. Dua hari lagi akan diadakan pameran pertanian, ternak dan kerajinan; ruang rapat yang luas tapi kurang cantik di atas lokal sekolah dipersiapkan untuk acara itu dan dihiasi dengan bendera-bendera serta karangan-karangan bunga, di antara mana diletakkan potret dari tiga tokoh yang memiliki peran sangat aktif dalam membangun dan memperkuat otoritas Belanda di Sumatra’s Westkust; mereka adalah Jendral Michiels, Kolonel van der Hart dan Residen Steinmetz. Di depan gedung pameran didirikanlah tropi yang indah yang terdiri dari semua buah-buahan yang terkenal. Pameran ternak akan dilangsungkan di manège [sekolah mengendarai kuda].

Pembukaan pameran itu dan pelaksanaan pertemuan umum yang sudah saya sebut sebelumnya akan berlangsung pada hari yang sama; pertama saya akan bicara tentang pameran tersebut dan baru kemudian dengan lebih detail membahas pertemuan itu serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

Pameran itu lebih menarik dalam hal manfaat dan keragaman objek-objek yang ditampilkan daripada dalam keindahan objek-objek itu atau pengaturan yang bercita-rasa. Memang hal itu wajar jika orang memperhatikan keterbatasan sarana-sarana yang dimiliki oleh panitia acara. Pada beberapa meja besar ditampilkanlah hasil-hasil pertanian serta kerajinan Padang Darat yang beraneka ragam; di sini dapat dilihat semua jenis padi—beberapa model dua puluh lima tahun umurnya—karet, damar, kopi, gambir, kulit manis, rempah-rempah, buah-buahan dari tanaman rendah dan pohon-pohon, jenis-jenis kayu dan banyak hal lain yang mempersaksikan kekayaan dunia tanam-tanaman di Sumatera.

Lebih kaya dari yang saya sangka adalah keragaman hasil kerajinan; orang dapat temui tak hanya kerajinan emas dan perak yang terkenal, benda-benda yang diolah dengan benang emas, kotak-kotak sigaret serta sarang-sarang keris yang diberi ukiran, tapi juga artikel-artikel dari tembaga dan besi yang sepenuhnya dibuat oleh pengrajin-pengrajin Melayu. Di antara yang disebut terakhir ini saya melihat, bukan tanpa rasa heran, selain perkakas-perkakas pertanian serta rumah tangga, senjata-senjata dan semacamnya tapi juga berbagai kunci dan anak kunci. Memang, hasil-hasil industri tembaga dan besi tersebut, dalam hal keindahan bentuk dan kerapian, tak dapat dibandingkan dengan produk-produk dari pabrik-pabrik Inggris dan Belanda; tapi jika kita lihat sederhananya peralatan-peralatan yang digunakan oleh pengrajin Melayu, sungguh mencengangkan kita bahwa mereka mampu juga membuat benda-benda semacam itu dan langsung saja timbul pikiran, bahwa orang-orang Melayu juga peka terhadap kemajuan, sehingga mereka hanya perlu mendapat bimbingan yang sesuai.

Tak semenarik itu saya amati pameran ternak. Ada beberapa kuda yang bagus, yang unggul dalam hal manfaat daripada keindahan mereka, sejumlah kerbau yang kekar serta sapi-sapi yang baik bentuknya. Alasan mengapa pameran ternak ini tampak kurang bagus, pikir saya, mustilah dicari dalam keengganan yang dapat dimaklumi dari para peternak untuk mengirim kerbau, sapi atau kuda mereka menuju suatu tempat yang jauh tanpa kepastian hal itu akan menguntungkan, tapi akan sangat mungkin malah mendatangkan kehilangan atau kerugian bagi mereka. Orang jangan lupa bahwa jarak antar tempat di Sumatra cukup jauh dan semua transportasi di pedalaman musti melalui jalan-jalan perbukitan yang walaupun baik tapi terkadang sulit ditempuh, tanpa adanya satu pun perusahaan ekspedisi. Menimbang hal ini dapat dipahami, jika seekor banteng atau kerbau, yang harus menempuh sepuluh, dua puluh atau lebih jam perjalanan, tidak akan dalam kondisi prima sampai di tempat pameran, dan karenanya kecil kemungkinan akan mendapat untung dalam mengirimnya dengan diterimanya bonus yang tak begitu tinggi, belum lagi dengan kerugian yang pengirim ternak alami karena dia tak dapat memanfaatkan ternaknya tersebut selama hari-hari ketidak-hadirannya. Beberapa pengirim ternak tampaknya berpendapat bahwa pameran itu ditujukan lebih untuk objek-objek yang unik daripada yang berkualitas bagus; di antara hal-hal unik, saya lihat ada seekor kuda yang tanduknya seperti tanduk kerbau.

Selama pameran berlangsung, Fort de Kock pesta meriah. Berhimpunlah ke sana orang-orang asing, orang-orang Eropa maupun kaum pribumi, yang terakhir ini memakai beragam pakaian yang paling kaya dan penuh warna yang belum pernah saya lihat. Sejumlah tokoh terpandang pribumi mengenakan laras-laras berlak rapi; pantalon ketat dipernis biru atau hitam dengan renda emas yang lebar; di pinggang terpasang kain sutra megah bersulam emas, di mana diletakkan sebuah keris berukir indah dengan sarung emas; kemeja putih cantik berkancing emas; piqué putih atau ikan pinggang sutra bermotif bunga dengan kenop-kenop emas; jaket panjang ber-lak hitam, dari depan terbuka dan di pinggirnya berendakan emas murni melebar; dan tak ketinggalan tutup kepala kebangsaan dari sutra disulam benang emas dan seringkali dihiasi dengan kelip-kelip emas. Pembesar-pembesar lain berpakaian tak kurang megahnya, tapi lebih mempertahankan kostum kebangsaan (misalnya mereka tak memakai laras); sementara yang lain-lainnya tampil dengan pakaian yang sangat sederhana, walau masih kelihatan bagus. Hari-hari dilewatkan dengan menyaksikan objek-objek yang dipamerkan, aneka permainan rakyat, musik militer, melepas dan menerima kunjungan, dan di malam hari orang mengadakan resepsi, bals [?], dan kembang api. Perayaan itu diakhiri dengan pembagian hadiah-hadiah dalam bentuk sejumlah uang bernilai kecil dan pengundian penjualan sejumlah objek terbaik, yang memang dibeli untuk tujuan tersebut.

Sekarang saya akan beralih pada deskripsi dari pertemuan umum yang sudah disebut beberapa kali.

Pada lapangan pasar yang luas di Fort de Kock didirikanlah semacam tenda—yang ketiga sisinya terbuka—ke mana Gubernur, Komisaris Pemerintah, Residen Padang Darat, empat Asisten-Residen Padang Darat, berbagai ambtenaar lebih rendah lainnya dan kurang lebih 90 kepala laras menuju ke sana untuk mengambil tempat duduk yang telah disediakan untuk mereka. Gubernur duduk di tengah, Komisaris di kanannya dan Residen di kirinya, di belakang mereka terdapat sebuah meja beralas hijau, di sampingnya duduklah seorang ambtenaar yang akan menjadi notulen pertemuan tersebut. Ambtenaar-ambtenaar lainnya duduk di samping kiri dan kanan mereka. Pada sebuah meja yang lebih kecil duduklah jaksa atau sekretaris pribumi dari Residen, yang tugasnya—jika perlu—memperjelas apa yang akan disampaikan oleh Gubernur kepada kepala-kepala yang hadir, dan sebaliknya. Kepala-kepala laras duduk dalam barisan-barisan yang sedemikian rupa sehingga bagian depan dari tenda jadi terbuka. Di belakang mereka duduk atau berdirilah kepala-kepala yang lebih rendah, para penghulu kepala dan penghulu suku, yang jumlahnya mencapai beberapa ratus. Gubernur membuka pertemuan dengan sebuah pidato di mana dia memaparkan tujuan dari pertemuan tersebut, yakni untuk me-musyawarahkan suatu rancangan reformasi sistem hukum; dia menunjukkan betapa pentingnya suatu sistem hukum yang baik dan sesuai untuk kesejahteraan dan keamanan masyarakat; dia menerangkan bahwa dengan rancangan reformasi tersebut Pemerintah hanya bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat, tapi tidak ingin memaksakan apa pun pada mereka; Gubernur meminta kepada kepala-kepala yang hadir untuk dengan terus terang dan terbuka memaparkan pertimbangan-pertimbangan yang mungkin mereka miliki terhadap rancangan tersebut, dan juga perubahan-perubahan yang mereka anggap patut. Setelah itu sang Gubernur memberitahukan garis-garis besar dari rancangan reformasi tersebut, yang juga ingin saya sampaikan di sini, tapi akan saya dahului dengan memberikan sketsa singkat tentang situasi terkini dari sistem hukum di Sumatra’s Westkust, sebab mereka yang kenal sedikit atau tidak sama sekali tentang hal demikian akan mengalami kesulitan dalam mengikuti sejauh mana sistem hukum yang sekarang akan diubah dengan diterapkannya rancangan baru termaksud.

Pada tahun 1833 Komisaris Jendral van den Bosch menetapkan bahwa rakyat pribumi Sumatra’s Westkust akan dibiarkan menjalankan hukum-hukum keluarga dan politik mereka; bahkan Pemerintah tidak akan mencampuri sistem hukum di sana: hanya orang-orang yang bersalah melakukan tindakan-tindakan kejahatan terhadap Pemerintah, terhadap pegawai-pegawainya, atau terhadap orang-orang asing, sebagaimana juga mereka yang turut terlibat membantu tindakan kejahatan terhadap orang-orang asing tersebut, akan berdiri di hadapan Raad van Justitie [Dewan Peradilan] yang ada di Padang.

Pendirian raad ini dilakukan pada tahun 1837, saat mana juga landraad-landraad [pengadilan-pengadilan daerah] di Padang dan Pariaman diorganisasikan dan instruksi-instruksi untuk ketiga mahkamah ini dikukuhkan. Baik organisasi Raad van Justitie di Padang serta juga landraad yang ada di sana dan di Pariaman, begitu juga instruksi-instruksi yang ditetapkan untuk ketiganya tidak diterbitkan dalam Staatsblaad van Nederlandsch Indië, sehingga timbul pertanyaan:” apakah vonis-vonis dari ketiga lembaga tersebut sah secara hukum dan bersifat mengikat bagi mereka yang terkena?”. Saya tidak akan berdalam-dalam menjawab pertanyaan ini, sebab di sini bukan tempatnya, tapi akan meneruskan deskripsi saya tanpa analisis-analisis lebih lanjut.

Raad van Justitie di Padang terdiri dari seorang presiden (pakar/sarjana hukum), empat anggota (diambil dari penduduk Padang), satu officier, satu substituutofficier (sejak 1864) dan seorang griffier [perekam kasus] (tiga yang terakhir dari ahli hukum). Susunan ini menyebabkan presiden, sebagai satu-satunya pakar yang duduk di Raad, dan yang satu-satunya jabatan hukum tersebut bukan kerja sampingan, dibebani dengan banyak tugas, yang pada sebuah mahkamah peradilan yang terorganisasi dengan baik akan dilimpahkan kepada para anggota. Dia merupakan komisaris hakim untuk peran yang kecil tersebut, untuk instruksi kasus-kasus kriminal, registrasi dan transkrispi (in- en overschrijving) kepemilikan benda-benda tetap dan schepen [?], registrasi hipotek-hipotek, hadir pada pemeriksaan saksi, untuk pengambilan sumpah, dan sebagainya, semua pekerjaan yang akan menghabiskan banyak waktunya, yang dapat digunakannya untuk hal-hal yang jauh lebih berguna.

Karena kekuasaan dan kompetensi hukum dari Raad terbatas sifatnya, tugas-tugas tersebut mendatangkan banyak kerja bagi Raad dan sangat banyak kesusahan serta ketidaknyamanan bagi mereka yang mengikuti proses hukum, terutama bagi mereka yang jauh jaraknya dari tempat Raad itu berada. Terkecuali para penduduk pribumi—bahkan dalam perkara-perkara yang disebut tadi—kekuasaan hukum dari Raad menjangkau seluruh penduduk dari Sumatra’s Westkust, jadi juga terhadap mereka yang berdiam di sana atau tinggal sementara dari kalangan orang-orang Jawa dan suku-suku lainnya di kepulauan Hindia, orang-orang Cina, Arab, Keling dan sebagainya, tak hanya dalam perkara-perkara pidana dan pelanggaran-pelanggaran yang bukan pelanggaran polisi biasa, tapi juga dalam klaim-klaim perdata [burgerlijke/sipil] yang nilainya lebih dari 25 gulden. Susah dibayangkan betapa banyaknya perkara-perkara remeh yang ditangani oleh Raad, terlebih lagi orang-orang Keling—penduduk asli pantai Koromandel, yang barangkali bangsa yang paling suka berperkara-hukum (procesziekste) di dunia, sangat banyak jumlahnya di Sumatra’s Westkust. Dan mengenai kesulitan serta ketidaknyamanan yang hal ini timbulkan bagi mereka yang mengikuti proses hukum, saya akan coba memperjelasnya dengan sebuah contoh. Coba Anda bayangkan, seorang Cina atau Keling yang tinggal di Penjaboengan (Mandheling) [Penyabungan Mandahiling] dipanggil menghadap Presiden dari Raad van Justitie karena tuntutan hutang yang kecil senilai 30 gulden. Untuk pergi ke Padang in persoon [secara pribadi], dia musti menempuh 70 jam perjalanan. Pikirkanlah besar biaya yang harus dikeluarkannya untuk perjalanan tersebut dan juga selama tinggal di Padang, di luar bahaya, terbuangnya waktu, rintangan di perjalanan dan sebagainya. Memang, dia dapat menunjuk seorang deputi; tapi, sebab dia bukan orang Eropa, akte dari notaris yang sah (volmagt notariëel) harus dibuat dengan biaya 9 sampai 12 gulden atau lebih, belum lagi upah yang akan diberikannya untuk deputi tersebut, untuk mana dia akan memilih seorang zaakwaarnemer [solicitor] bangsa Eropa—di Padang tidak ada advocaten atau procureurs [pengacara]. Namun, notaris Asisten-Residen tidak ada di Penyabungan; dalam kasus sedemikian, si terpanggil musti pergi ke Sibogha [Sibolga] (35 jam perjalanan) atau ke Ajerbangies [Airbangis] (45 jam perjalanan) untuk membuat akte dari notaris yang sah. Barangkali masih akan paling untung baginya jika membayar saja utangnya atau dihukum saja karena dianggap lalai (bij verstek veroordeeld), bahkan meskipun dia tak berhutang sama sekali.

Di ibukota Padang dan di regentschap [regency/kotamadya] Pariaman, seperti tadi telah disinggung, terdapat landraad. Tentang wilayah hukum dan tentang instruksi-instruksi yang harus diikutinya, para pakar tak kunjung sependapat. Gubernur militer sebelumnya, mendiang Jendral Meis, sehubungan hal pertama telah menetapkan, bahwa wilayah hukum lembaga itu hanya terbatas pada ibukota Padang dan regentschap Pariaman saja, sementara para pendahulunya berpendapat lain. Susunan pengadilan tersebut: di Padang terdiri dari Toewankoe Panglima, Toewanku Bandhara, dan tujuh penghulu sebagai para anggota, dibantu oleh seorang ulama/agamawan (priester) dan seorang jaksa (officier van justitie); di Pariaman terdiri dari regen dan para penghulu sebagai anggota, ditambah seorang ulama dan jaksa sebagaimana di Padang. Dalam kasus-kasus perdata (di atas 100 gulden) dari orang-orang Melayu biasa atau dalam administer hukum kasus-kasus pidana koreksionil, lembaga tersebut merupakan landraad umum (gewone landraden), diketuai oleh Asisten-Residen sendiri. Jika berkaitan dengan kasus-kasus pidana atau klaim-klaim perdata terhadap kepala-kepala pribumi, lembaga tersebut bernama landraad besar (groote landraad), dan yang menduduki jabatan ketuanya adalah presiden dari Raad van Justitie di Padang. Menarik untuk diperhatikan, vonis-vonis sipil dari lembaga pengadilan ini tak dapat di-appeal dalam kasus apa pun; Gubernur memberikan fiat executio atau menangguhkan vonis, tanpa adanya perubahan terhadap vonis itu sendiri. Tapi yang jauh lebih menarik adalah, bahwa sepenuhnya tergantung pada opini pribadi sang Gubernur sendiri apakah vonis-vonis kriminal segera dilakukan, daripada diserahkan pada revisi dari Pengadilan Tinggi (Hoog Geregtshof), yang bertugas mengawasi sistem hukum di seluruh Hindia Belanda. Revisi itu hanya wajib (mengapa-nya tak seorang pun dapat mengatakannya pada saya) dalam dua kasus, yakni dalam hal penyalahgunaan wewenang oleh ambtenaar-ambtenaar Melayu dalam menjalankan tugas mereka, atau presumsi/pemalsuan wewenang oleh orang-orang yang bukan ambtenaar.

Raad van Justitie di Padang dan kedua landraad di sana dan Pariaman menghukum atas nama Raja dan takkan memperhatikan hukum-hukum serta adat kaum pribumi jika hukum dan adat tersebut—seperti seringnya terjadi—bertentangan dengan prinsip-prinsip billijkheid [fairness] dan regtvaardigheid [righteousness/keadilan] yang diakui. Hal ini jauh berbeda dengan pengadilan-pengadilan pribumi yang asli (rapat).

Sebelum pendudukan kita di daerah-daerah yang sekarang membentuk residentie Padang Darat, sebagai kepala dari kerajaan Minangkabau adalah seorang raja, bergelar Yang Dipertuan, meskipun dalam realitas tiap daerah terpisah bersifat merdeka dan membentuk suatu republik yang berdiri sendiri. Dalam republik-republik ini tiap suku memiliki penghulu-penghulunya sendiri, satu di antara mereka merupakan yang paling terkemuka. Penghulu-penghulu paling terkemuka dari seluruh suku bersama-sama membentuk rapat penghulu, yang musti diakui dan berhak memutuskan dalam semua perkara yang berkaitan dengan kepentingan umum, sementara perkara-perkara yang mengenai suatu suku tertentu sedapat mungkin diselesaikan oleh penghulu-penghulu suku tersebut. Jika suatu perkara tak dapat diselesaikan dengan damai atau jika salah satu pihak tak puas dengan ketetapan penghulu [suku], maka persoalan keputusan perkara tersebut diserahkan ke rapat penghulu. Kasus-kasus pidana biasanya ditangani oleh rapat penghulu, tapi berdasarkan prinsip-prinsip yang amat berlawanan dengan konsep-konsep Barat tentang hukum dan keadilan. Pertama, semua kejahatan/pelanggaran tanpa kecuali dapat didenda dengan sejumlah uang; kedua, keluarga, yakni bagian dari suku dan suku dari si pelanggar serta daerah di mana pelanggaran itu terjadi semuanya bertanggung jawab. Pembunuhan didenda 100-800 gulden, menurut status, kesanggupan dan situasi-kondisi. Si pembunuh dan keluarganya musti membayar denda tersebut. Jika tak mampu membayar, mereka bisa dijadikan budak. Hanya dalam kejadian-kejadian yang sangat khusus—misalnya keluarga dari yang terbunuh tak mau mengambil diat (bloedprijs) itu—maka diterapkanlah hukuman mati.

Dalam sistem sedemikian sangat mungkin seorang pribadi menyebabkan seluruh keluarganya mengalami kemelaratan atau perbudakan, maka ada suatu cara untuk mengantisipasinya: keluarga atau suku punya hak untuk mengusir si pelaku kejahatan jika mereka ingin dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya; jika si terusir kembali melakukan kejahatan, dia dapat dibunuh; dia seolah bebas tanpa ikatan (vogelvrij).

Para penghulu kebanyakan sangat peka terhadap pemberian hadiah-hadiah; akibat-akibat baik dari tindakan pembelaan ini karenanya jarang tak terlihat.

Alat-alat bukti terdiri dari: saksi-saksi, pengakuan, petunjuk-petunjuk, dugaan dan sumpah, baik dalam kasus perdata maupun pidana.

Berdasarkan keputusan Komisaris Jendral van den Bosch, tanggal 11 Oktober 1833 nomor 310,[1] Pemerintah tidak akan mencampuri administrasi hukum; tapi perkembangan alami dari keadaan-keadaan, keinginan penduduk sendiri, menjadi sebab janji tersebut segera hanya tinggal huruf mati belaka. Tak lama muncullah jenis baru dari rapat, yakni rapat distrik, di mana kepala-kepala laras yang ditunjuk dan digaji oleh Pemerintah berperan sebagai anggota, sementara Asisten-Residen atau controleur tampil sebagai ketuanya. Hal baru ini mengakibatkan rapat-rapat asli segera tinggal namanya saja, setidaknya hanya mengurus perkara-perkara yang sedikit dan remeh—khususnya perdata, sebab semua perselisihan dan tindak pidana yang penting, seakan disetujui secara diam-diam, dibawa ke hadapan lembaga-lembaga pengadilan yang baru. Bagaimanapun tak butuh waktu lama untuk membawanya lebih jauh; vonis-vonis pidana dari rapat-rapat yang diketuai ambtenaar-ambtenaar Eropa  tak dapat dilaksanakan tanpa terlebih dulu disahkan oleh Gubernur; dan ketika keputusan Pemerintah menetapkan bahwa pengesahan bisa diberikan, maka oleh sebagian pihak hal itu dapat ditafsirkan bahwa dalam kewenangan untuk mengesahkan juga terdapat kompetensi untuk revisi dan mitigasi.[2]Dan itu masih belum cukup; tahun 1855 ditetapkan oleh Gubernur saat itu dalam rapat-rapat tersebut sedapat mungkin memperhatikan bentuk-bentuk yang biasa diterapkan pada peraturan-peraturan administrasi hukum dsb sebagaimana ditemui di tengah para pribumi di Jawa dan Madura.

Memang tak dapat disangkal hal-hal baru ini berguna, baik, bahkan kebanyakan niscaya; tapi semuanya punya satu keburukan yang sama: penerapannya tidak lah dalam bentuk yang legal, yang mengikat semua, sehingga sepenuhnya tergantung pada opini dari tiap Gubernur yang sedang berkuasa untuk mengubah, memperluas atau juga membatalkannya. Pun ketetapan Pemerintah, yang memberikan pengesahan Gubernur terhadap vonis-vonis pidana, taklah membuat pengesahan itu bersifat wajib.

Mengenai administrasi hukum perdata pada rapat-rapat itu khususnya harus saya sampaikan di sini, bahwa terutama di Padang Darat, keputusan-keputusan pada rapat-rapat distrik seringkali dibanding oleh pihak yang kalah kepada Residen, yang biasanya memanggil beberapa anggota dari rapat tersebut dan mengadakan pertemuan terbatas dengan mereka untuk menyelidiki dan menyelesaikan kasus itu sekali lagi, tidak jarang dengan suatu cara yang amat berbeda dengan keputusan pertama. Fakta bahwa orang Melayu mencari perlindungan dan hukum kepada ambtenaarEropa tentu suatu fenomena yang menggembirakan; tapi amat disayangkan urusan yang lebih tinggi seperti ini tidaklah diatur secara legal dan cara penanganannya seringkali tak berfungsi mempertinggi penghormatan terhadap sistem hukum pribumi.

Meskipun diketuai oleh ambtenaar-ambtenaar Eropa dan keputusan-keputusannya dalam kasus-kasus pidana tunduk pada pengesahan dari Gubernur, rapat-rapat tersebut setidaknya secara administrasi hukum sesuai dengan adat Melayu lama, yang seperti saya sudah sebut tadi seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip billijkheid [fairness] dan regtvaardigheid [righteousness/keadilan] yang umum diakui. Beberapa contoh dari vonis-vonis unik yang dibuat dalam rapat tersebut dan telah disahkan oleh Gubernur saat itu akan saya sampaikan juga di sini. Dalam suatu rapat seperti itu seorang yang telah membunuh seorang ibu-ibu, sehubungan dengan tindak kejahatan yang dilakukannya, dihukum membayar bangon [bangun/diat] (uang darah), yang dalam kasus ini dikurangi jadi setengah dan keputusan ini sepenuhnya bersesuaian dengan adat, dengan alasan yang terbunuh adalah seorang perempuan!!! Rapat yang sama juga menghukum tiga orang pesakitan yang telah membunuh seorang gadis muda di suatu tempat terpencil, setelah sebelumnya memperlakukannya dengan sangat buruk, untuk bersama-sama membayar (jadi masing-masing membayar sepertiga) uang darah, tidak lebih.[3]

Setelah sketsa singkat mengenai sistem hukum di Sumatera’s Westkust, di mana saya bertumpu pada informasi-informasi yang diperoleh secara lokal, percakapan dengan para pakar serta esai mendetail dalam Sumatra-Courant (September 1862-Januari 1863), marilah kita kembali ke pertemuan umum di Fort de Kock.

Rancangan reformasi sistem hukum tersebut, sebagaimana Gubernur sampaikan kepada kepala-kepala yang berkumpul, secara garis besar memuat poin-poin berikut:

  1. Pengaturan legal susunan rapat-rapat distrik, dengan ambtenaar-ambtenaar Eropa sebagai ketua, fiskal-fiskal pribumi, griffier-griffier [perekam kasus] Eropa dan agamawan-agamawan penasehat.
  2. Wilayah kerja dari fiskal-fiskal, griffier-griffier, serta kaum agamawan tersebut.
  3. Prinsip-prinsip baru hukum pidana: penghapusan sistem solidaritas, bahwa [keluarga] yang tak bersalah juga membayar denda demi yang bersalah. Kejahatan-kejahatan tidak lagi didenda dengan membayar sejumlah uang, tapi dengan hukuman penjara, kerja paksa, dan sebagainya. Namun begitu, pihak yang diserang atau yang dirugikan berkuasa menuntut ganti kerugian (schadevergoeding).
  4. Kekuasan hukum (regtsmagt) dari rapat-rapat distrik dalam perkara-perkara perdata. Dalam jurisdiksi tertinggi rapat distrik menilai kasus-kasus yang ditangani pada rapat kampung atau rapat kecil (secara langsung), tapi dapat dibawa ke lembaga yang lebih tinggi. Kasus-kasus yang diproses oleh rapat distrik pada contoh pertama, jika yang diperkarakan nilainya lebih dari 500 gulden, dapat dibanding ke Raad van Justitie di Padang, yang seutuhnya akan terdiri dari pakar-pakar hukum, dan dalam kasus-kasus tersebut akan mem-vonis menurut hukum serta kebiasaan Melayu.
  5. Revisi vonis-vonis rapat-rapat distrik dalam kasus-kasus pidana pada Raad van Justitie di Padang.
  6. Susunan dan kekuasaan hukum dari rapat-rapat kecil di kelarasan. Di sana akan duduk kepala laras di samping penghulu-penghulu kepala dan penghulu-penghulu suku dari pihak-pihak yang terlibat. Mereka musti mengetahui: (a) klaim-klaim senilai 50 gulden atau kurang, dengan appeal pada rapat distrik jika nilainya lebih dari 20 gulden; (b) pelanggaran-pelanggaran kecil yang diancam hukuman 1-6 hari atau denda kurang dari 10 gulden; appeal pada rapat distrik jika ancamannya hukuman penjara atau denda di atas 3 gulden.
  7. Kekuasaan hukum khusus tak dimiliki oleh kepala-kepala suku. Tapi mereka bebas memberi keputusan dengan fungsi sebagai perantara (arbiters) dalam perkara-perkara perdata jika pihak-pihak yang bertikai menyerahkan keputusan ke tangan mereka.
  8. Ketentuan bahwa semua orang asing, selain orang-orang Eropa atau yang disamakan status dengan mereka, dalam kasus-kasus pidana akan berdiri di hadapan lembaga-lembaga peradilan pribumi.
  9. Penyelesaian kasus-kasus polisi (politiezaken) oleh ambtenaar-ambtenaar Eropa.
  10. Jurisdiksi lembaga-lembaga peradilan pribumi “in naam des Konings” [atas nama Raja Belanda]
  11. Publikasi dalam bentuk resmi mengenai ketentuan-ketentuan mendasar tentang administrasi hukum (regtspleging) dan sebagainya.

Setelah Gubernur mengakhiri pidatonya, dia bertanya kepada para kepala apakah mereka telah memahami sepenuhnya apa-apa yang disampaikannya, sementara juga mengundang berkali-kali agar mereka terus terang menyampaikan pertimbangan-pertimbangan serta keberatan-keberatan mereka dan bebas meminta penjelasan-penjelasan yang dianggap perlu. Pertanyaan dan undangan tersebut diulangi lagi oleh Residen Padang Darat dan jaksa, atas perintah Residen. Semua menjawab bahwa mereka telah mengerti sepenuhnya pidato dari Gubernur. Penjelasan hanya diminta dalam beberapa poin yang tak terlalu penting. Salah satu kepala laras yang tertua, seorang Melayu cap lama, menyampaikannya dengan cara Melayu sejati, yakni dengan berpetatah-petitih sehingga membuat tertawa banyak kepala yang berkumpul, tapi juga mendapat dukungan dari rekan-rekannya yang sepaham. Rancangan reformasi sistem hukum tersebut pada umumnya disetujui; tentang satu poin, bagaimanapun, terjadilah tukar pikiran yang sengit antara Gubernur dan jaksa, sebagai juru bicara dari para kepala.

Para kepala bertanya, apakah bangun—uang darah yang harus dibayar karena pembunuhan– takkan berlaku lagi jika sistem hukum yang baru diterapkan? Pertanyaan ini tentu saja dijawab ya, tapi dengan catatan, para pewaris dari yang terbunuh memiliki kuasa untuk meminta kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terbunuhnya anggota keluarga mereka. Dengan penjelasan ini, bagaimanapun, para kepala tak merasa puas. Menurut mereka, banguntak bisa disamakan dengan ganti kerugian. Bangun harus selalu dibayarkan bahkan meskipun tak ada kerugian materil yang ditimbulkan. Dengan membayar bangun si pembunuh seakan membeli kembali nyawanya sendiri yang hilang karena kematian orang lainnya. Dalam sudut pandang ini, bangun tidak hanya merupakan adat Melayu yang asli, tapi juga termasuk salah satu institusi religius mereka. Gubernur menjawab bahwa penghapusan sistem menebus tindakan-tindakan kejahatan dengan membayar sejumlah uang adalah salah satu poin paling esensial dalam rancangan reformasi tersebut sehingga tidak dapat dipisahkan begitu saja; tapi setelah konsultasi dengan Komisaris Pemerintah Gubernur menambahkan, bahwa tak ada keberatan jika peradilan-peradilan pribumi memakai nama bangun untuk ganti kerugian yang timbul karena kasus pembunuhan atau pembantaian, asalkan hal itu terpisah dari hukuman yang musti dijatuhkan karena kejahatan yang diperbuat tersebut. Dengan penjelasan ini para kepala pun puas; karena tidak ada pertimbangan lainnya atau permintaan penjelasan, maka Gubernur menutup pertemuan tersebut dengan sebuah pidato singkat.

Saya sangat senang mengenang hari tersebut, di mana saya melihat representasi dari Pemerintah Belanda dan representasi dari 600 ribu orang Melayu berkumpul bersama-sama demi membahas cara terbaik bagaimana sebaiknya sistem hukum yang ada akan direformasi. Di hari itu saya belajar bagaimana kita bisa dan musti memerintah penduduk pribumi yang takluk pada kita jika kita ingin menjadi pemakmur mereka.[4] Saya tahu bahwa tidak di semua tempat diterapkan sistem pemerintahan yang di Sumatra’s Westkust membawa hasil-hasil yang begitu baik itu, dan yang keberhasilannya sebagian besar dapat dialamatkan kepada struktur-struktur khas pada daerah tersebut. Tapi saya juga percaya bahwa reformasi-reformasi dalam pengertian liberal akan sama baiknya diterapkan di tempat-tempat lain seperti di Sumatra’s Westkust, dan hal tersebut bisa terjadi jika kita melihat orang-orang yang benar-benar berprinsip liberal ditempatkan sebagai kepala pada Departement van Koloniën serta pada Pemerintahan Hindia Belanda. Barangkali ada mereka yang menyatakan—mungkin terlebih di antara ambtenaar-ambtenaar tua yang tidak menyukai tiap-tiap hal yang baru—bahwa pertemuan yang ada di Fort de Kock tersebut hanyalah suatu demonstrasi hampa, bahwa baik penduduk maupun para kepala tak lah sepuas seperti yang terlihat dari persetujuan yang mereka berikan pada rancangan reformasi tersebut. Namun, pernyataan ini bertentangan dengan keterus-terangan (vrijmoedigheid) orang-orang Melayu Sumatera[5] dan terbantahkan oleh hal-hal khusus, seperti insiden yang disinggung dalam esai ini mengenai penghapusan bangun. Saya sendiri berpendapat bahwa penerapan suatu hukum pidana, yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip yang umum diakui fair dan adil, takkan menemui keberatan yang serius; tentang ini banyak juga orang-orang yang kenal baik dengan Sumatra’s Westkust sepaham dengan saya. Namun, saya tidak sependapat—seperti juga orang-orang yang saya maksudkan tadi—jika Pemerintah Hindia Belanda memiliki niat untuk mengubah hukum waris Melayu dan melalui mana seakan menjungkir-balikkan seluruh sistem kekeluargaan mereka.

Saya rasa tak berlebihan jika saya nyatakan di sini bahwa sedikit saja orang yang kenal dengan sifat hukum waris orang-orang Melayu di Sumatra’s Westkust, yang sangat berbeda dengan hukum waris dari hampir seluruh bangsa yang dikenal. Sedikit telaah mengenai itu barangkali penting juga.

Bagi orang-orang Melayu di Sumatra’s Westkust anak-anak tidaklah menjadi waris dari ayah, tapi dari paman (saudara ibu) dan dari ibu mereka. Warisan dari seorang laki-laki karenanya jatuh ke tangan saudari-saudarinya serta anak-anak mereka. Hukum waris seperti ini, yang bertentangan dengan konsep-konsep Eropa serta panduan dalam Alquran, dan bagi orang-orang Eropa sungguh tidak wajar jika dilihat secara superfisial, begitu kuat berakar pada orang-orang Melayu sehingga bahkan kaum Paderi, kaum pembaharu yang fanatik dan keras, yang bersedia menggunakan api dan pedang agar orang-orang sebangsa mengikuti secara murni hukum Muhammad, tak sanggup menggoncangnya, apalagi mencabutnya. Hukum waris itu bertalian erat dengan kehidupan keluarga orang Melayu, atau tepatnya, yang satu merupakan akibat niscaya dari yang lainnya. Bagi kita, keluarga dalam pengertian yang lebih sempit terdiri dari orang tua dan anak-anak, dari keluarga inti/rumah tangga (huisgezin). Saudara-saudara laki-laki dan perempuan dari orang tua, para kemenakan dan sepupu, memang keluarga juga, tapi membentuk keluarga inti mereka masing-masing. Taklah sedemikian pada orang-orang Melayu; bagi mereka keluarga yang sesungguhnya adalah seluruh saudara laki-laki dan perempuan, asalkan dari ibu yang sama, dan juga dari anak-anak saudara-saudara perempuan. Semuanya hanya punya satu rumah yang takkan pernah ditinggalkan oleh kaum perempuan (tentu hal ini jangan ditafsirkan terlalu harfiah). Ayah, suami-suami dari saudari-saudari perempuan memang kerabat juga, tapi tidak dipandang sebagai bagian dari keluarga. Laki-laki datang ke rumah istrinya hanya sebagai tamu, dan setelah berkunjung lalu kembali ke rumah saudari perempuannya, sebagai domisili-nya yang sebenarnya. Harta keluarga tidak dimiliki secara individual, tapi secara bersama-sama, dan tak boleh di-alienasikan[6] atau jika digadaikan musti dengan persetujuan seluruh anggota keluarga; jika hutang-hutang juga tanpa persetujuan, asalkan keluarga mengetahui perjanjian hutang itu dan menyatakan ikut bertanggung jawab terhadapnya. Kepemilikian komunal hanyalah mengenai harta-harta warisan. Mengenai harta yang diperoleh karena usaha sendiri, dia bebas memanfaatkannya; dan dengan cara ini seorang ayah juga bisa bekerja demi anak-anaknya, dan bahkan dengan keinginan yang sungguh-sungguh dapat mewariskan hasil usahanya kepada mereka. Jika tidak, warisannya yang khusus ini akan jatuh ke tangan keluarganya sendiri, yakni saudara-saudara lelaki dan perempuannya serta kemenakan-kemenakannya.

Jika orang mengamati sistem ini lebih dekat dan dengan pikiran terbuka serta tanpa bias, maka dengan segera orang akan melihat bahwa sistem ini sangat cocok untuk penduduk-penduduk yang menganut Islam (mohammedaansche volken) umumnya dan orang-orang Melayu Sumatera khususnya. Terpisah dari kenyataan bahwa hukum waris ini pada satu sisi mencegah penumpukan kekayaan serta pada sisi lainnya mengantisipasi kemelaratan total suatu keluarga, patut diperhatikan juga bahwa barangkali lebih dari bangsa-bangsa Timur lainnya poligami sangat populer di tengah orang-orang Melayu Sumatera. Pernikahan bagi mereka sangat mudah diikat, dan lebih mudah lagi dilepaskan. Hal ini, dilihat secara moral, memang suatu fakta yang menyedihkan; tapi penghapusan hukum waris Melayu atas dasar instruksi dari atas[7] tidak akan melenyapkan keadaan ini, dan selama keadaan tersebut tetap terjadi, hukum waris itulah persisnya sebagai suatu palliatief [peringan tapi tak menyembuhkan] atas salah satu akibat terburuk dari poligami. Betapa keadaan ini takkan membuat kekacauan serta disintegrasi kepemilikan jika warisan dari seorang laki-laki musti dibagi kepada seluruh anak-anaknya yang lahir dari empat orang istri atau lebih! Mempertahankan hukum waris Melayu barangkali sangat bermanfaat juga dari segi-segi politis. Sebab hukum ini sangat bertentangan dengan aturan-aturan di dalam Alquran, maka hal tersebut akan senantiasa jadi duri di mata kaum agama yang fanatik, yang pengaruhnya dibredel dan dilumpuhkan oleh hukum tersebut.[8] Terakhir patut dicatat juga, bahwa perempuan Melayu dalam sistem ini menduduki tempat yang jauh lebih tinggi dibanding rekan-rekannya pada bangsa-bangsa Timur lainnya. Perempuan Melayu mengerjakan banyak hal, bahkan kerja yang berat, memang ini tak dapat dibantah, tapi dia melakukannya dengan kehendak bebas, bukan sebagai budak dari suaminya.

Oleh sebagian orang dilihat sebagai akibat dari sistem hukum waris sedemikian bahwa aborsi sering terjadi pada perempuan-perempuan Melayu. Tapi meski saya sendiri tak dapat membantah fakta tersebut—tak juga menguatkannya—saya taklah setuju jika hukum waris itu merupakan satu-satunya atau sebab paling utama terjadinya hal demikian, walau saya akui bahwa anak-anak, dalam sistem tersebut, hampir sepenuhnya jadi tanggungan pihak wanita. Saya lebih setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa keburukan itu, jika memang terjadi, disebabkan oleh ambisi perempuan-perempuan Melayu untuk tetap tampil muda dan cantik, daripada pada usia yang masih sangat belia—mereka seringkali telah menjadi ibu pada usia sangat muda—telah memiliki banyak keturunan

IV. Pajakombo-Tandjong Alam-Fort van der Capellen-Sistem Budidaya Kopi-Perjalanan Kembali

Sekarang waktunya bagi saya untuk melanjutkan perjalanan. Bagian yang tak sedikit dari Padang Darat telah saya lihat; tapi pilihan terakhir, Pajakombo [Payakumbuh], het Sorrento van Sumatra, masih saya simpan. Banyak saya dengar tentang Payakumbuh; berkali-kali orang berkata pada saya bahwa siapa yang belum melihat Payakumbuh dan melakukan tour keliling gunung api (Vuurberg) sesungguhnya belum melihat apa pun dari Padang Darat. Dan harus saya akui mereka tak berlebihan; meski harapan-harapan saya besar, ternyata nanti dalam kenyataan melebihi pengharapan saya itu.

Pada tanggal 6 April 1865, ditemani Tuan W (rekan satu kota berusia tua yang telah ramah menawarkan tempat di bendinya untuk saya) saya meninggalkan Fort de Kock, yang saya kunjungi untuk kali ketiga dan terakhir. Jalan ke Payakumbuh merupakan jalan kerikil yang bagus, memberikan banyak pemandangan yang indah, sehingga kecapekan berkendara saja di sana sudah dibayar dengan kaya. Merapi dengan hutannya yang lebat, sawah-sawah yang membentang dan kebun-kebun kopi ada di sisi sebelah kanan kami hingga ke pos yang kedua; begitu juga nanti dengan gunung yang jauh lebih rendah tapi sama besarnya, Sagoe [Sago]. Apa yang dinamakan Steenenveld [padang berbatu]—kira-kira 9 pal dari Fort de  Kock—dengan bungkahan-bungkahan batu raksasa menunjukkan peringatan abadi atas letusan-letusan vulkanis yang terjadi di masa lampau; dan sungai-sungai kecil yang kami lewati, kebanyakan dilintangi jembatan-jembatan batu yang bagus, dengan suara yang menderu mengingatkan kami bahwa kami sedang berada di pegunungan dan di dekat puncak-puncak tinggi. Dekat Titih, kami takjub dengan bentuk jalan yang indah, yang dibuat dengan memotong dinding bukit berbatu karang dalam jarak yang cukup panjang. Semua ini, bagaimanapun, dikalahkan oleh panorama menakjubkan yang dapat dilihat ketika kami mendekati Payakumbuh dalam jarak beberapa pal.

Payakumbuh adalah ibukota afdeeling Limapoeloh, kedudukan dari seorang Asisten-Residen dan sejumlah ambtenaar berjabatan lebih rendah serta punya redoute [asrama/markas militer] kecil dengan kekuatan 50 personil serta sebuah lembaga kesehatan militer, ke mana banyak orang sakit dari garnisun-garnisun lain dievakuasi, sebab tempat ini memiliki reputasi sebagai tempat paling sehat di seluruh Sumatra’s Westkust. Iklim di sana memang benar-benar menyenangkan. Terletak pada ketinggian sekitar 1500 kaki di atas permukaan laut, temperaturnya jarang melebihi hari-hari Juli musim panas di Belanda; malamnya dingin, tapi cuacanya tidak buruk seperti di Fort de Kock dan Padang Panjang; malam-malam di sana paling indah, terutama bila kilat memurnikan udara yang bermuatan listrik.

Dilihat dari jarak tertentu, Payakumbuh terlihat sebagai suatu rerumpunan lebat pohon-pohon kelapa. Melalui rerumpunan itu terdapat jalan besar selebar kira-kira 60 kaki dan sejumlah persimpangan, di mana rumah-rumah yang dilingkungi pohon-pohon kelapa dipisahkan dengan pagar-pagar hidup. Bentuk-bentuk rumah itu seperti rumah Melayu biasa, kebanyakan dihiasi dengan ukiran, dilukis merah dan hitam, dan banyak yang panjangnya luar biasa, suatu akibat dari kehidupan keluarga Melayu yang saya sudah coba lukiskan. Jika rumah dari keluarga yang makin lama makin besar dirasa sudah kecil, orang akan memanjangkannya dengan cara menambahkan satu bagian lagi di sampingnya. Banyak rumah ini dihuni oleh 50 orang atau lebih yang bersama-sama membentuk sebuah keluarga.

Di Payakumbuh terdapat perdagangan yang sangat hidup, juga dengan kawasan-kawasan Timur yang masih merdeka; orang ingin di sini dibangun pasar terbesar di seluruh Sumatra’s Westkust. Pada lapangan pasar yang luas ada enam belas los (loodsen) beratap, bertujuan melindungi para pedagang serta barang-barang dagangan mereka dari panas dan hujan; tapi pastinya sebagian besar pedagang tak dapat tempat di sana, saking ramainya orang berdesakan. Seperti di bursa Amsterdam orang dapat menemui sudut effecten [efek/saham], sudut gula, di pasar di Payakumbuh orang juga jumpai sudut tembakau, sudut kain linen, ayam, itik dan merpati: di tempat-tempat lebih terpisah untuk jual beli kuda, sapi, kerbau, dan sebagainya. Bahwa perdagangan di sini lebih hidup dibanding tempat-tempat pedalaman lainnya ditunjukkan oleh fakta terdapatnya onder-agentschap [sub-agen] dari stasiun dagang Nederlandsche Handelmaatschappij, barangkali satu-satunya yang ada di daerah pedalaman koloni-koloni Hindia-Timur kita.

Rumah Asisten-Residen Limapuluh merupakan sebuah bangunan yang indah, yang tiang-tiangnya memberi suatu efek yang bagus. Bagaimanapun, yang lebih bagus dari tata bangunannya adalah letak dari rumah ini; dari sana orang dapat menyaksikan pemandangan sangat cantik dari jalan besar menuju Halaban dan Boea [Bua/Buo] serta Gunung Sago yang tenang yang hingga puncak berhutan lebat, ke arah mana jalan tadi tampak melurus. Tak jauh dari Payakumbuh lewat jalan ini orang akan mendapati Batang Agam melalui sebuah jembatan bata, suatu sungai yang sumbernya dari Agam, tapi melewati Payakumbuh bernama Batang Sinaman [Sinamar] dan yang setelah aliran panjang serta berbelok-belok bersatu dengan sungai Kuantan atau Indragiri yang mengarah ke pantai Timur. Jembatan ini patut disinggung secara khusus, tak hanya karena keindahan dan panjangnya—jembatan ini punya tiga lengkung, masing-masing terpisah kira-kira 20 kaki—tapi sebab merupakan karya bangunan tertua dengan tipe tersebut yang ada di Padang Darat—kecuali jika orang turut memperhitungkan jembatan-jembatan kecil yang lebih patut dinamai duiker [urung-urung], dan juga karena menjadi bukti tetap dari manfaat besar yang dapat dibangun oleh ambtenaar-ambtenaar Eropa di wilayah ini, meskipun dengan peralatan-peralatan terbatas. Jembatan ini dibangun oleh Tuan van Hengst, yang dari tahun 1842 hingga 1848 menjadi Asisten-Residen Limapuluh. Ambtenaar ini mungkin tak pernah menerima pendidikan yang sesuai  di bidang pemanggangan batu bata, pembakaran kapur/adukan semen, juga bidang arsitektur perairan; dia juga tak menemukan keahlian khusus yang dibutuhkan pada para pekerja yang harus dikerahkannya, tapi walau begitu dia dapat mengerjakannya dengan memberikan hasil yang terbaik;[9] dan jembatannya ini, yang telah 20 tahun usianya, dalam hal kekuatan dan bentuknya, tidaklah kalah dengan bangunan-bangunan semacam yang dibangun oleh para pakar arsitektur. Hanya sekali jembatan ini terancam ambruk. Jembatan ini telah menahan banyak banjir deras ketika pada tahun 1851 diketahui, bahwa air sungai dengan perlahan tapi pasti telah merusak bangunan bata tersebut. Untungnya, penemuan ini memberi waktu yang cukup untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat guna mempertahankan karya yang indah dan terutama berguna ini.

Jembatan di Batang Agam bukanlah satu-satunya hal menarik yang sekitar Payakumbuh tawarkan. Grot [Gua] dan kloof van Aroe [Lembah Harau] juga patut dikunjungi. Yang pertama letaknya tak jauh dari Payakumbuh, pada jalan menuju Fort de Kock. Keunikan Gua ini adalah jika cahaya mentari masuk ke bagian terdalam dari gua melalui celah-celah pada lengkungnya, cahaya ini menghasilkan efek khusus pada dinding-dinding batu berwarna hijau, coklat dan hitam. Lembah Harau letaknya agak jauh dengan arah jalan yang berlawanan. Lembah ini lebih patut disebut lembah (kloof) daripada yang ada pada jalan dari Kayutanam ke Padangpanjang, yang dinamai kloof  karena keunggulannya. Antara Lembah Harau dan Exersteine di Meinberg terdapat banyak kesamaan. Dinding-dinding batu keduanya sama tebal dan pucat, tapi mungkin [yang pertama] lebih tinggi dan warnanya kurang lebih kecoklatan.

Dataran di mana Payakumbuh terletak dan dilingkungi oleh bukit-bukit berhutan lebat, disela oleh tebing-tebing batu terjal yang tandus, memperlihatkan amat banyak pohon kelapa yang, meskipun jumlahnya banyak serta mirip satu sama lain, masih dapat dibedakan batang per batang jika orang mengamatinya dari suatu ketinggian.

Bila afdeeling Limapoeloh alamnya merupakan salah satu yang terindah di Padang Darat, penduduknya juga menyumbang untuk membuat namanya terhormat dalam aspek-aspek lainnya. Tak hanya kampung-kampung di sini kebanyakan lebih besar dan ditata lebih baik serta rumah-rumahnya lebih indah dibanding tempat-tempat lainnya, penduduknya juga keluar dengan memakai pakaian yang lebih bagus. Berlainan dengan warna pakaian donker biru yang mati dan monoton yang lazim di bagian-bagian lain Padang Darat, orang dapat amati di sini beragam warna hidup yang membuat efek amat indah, yang mana warna merah terutama memainkan peranan utama. Wanita-wanitanya, termasyhur tercantik di Padang Darat, memakai semacam kerudung (sluijer) katun yang dengan anggun dikenakan di kepala.

Setelah tinggal empat hari bersama tuan rumah saya yang ramah, Tuan B, agen dari stasiun dagang NHM, saya memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Fort van der Capellen, sepanjang jalan yang lebih singkat tapi jarang dikunjungi via Tandjong Alam [Tanjung Alam], daripada via Buo yang sepi tapi menawan, karena orang berkata pada saya bahwa controleur yang waktu itu sedang bertugas di sana tidak suka menerima orang-orang asing. Sekarang saya baru rasakan betapa sulitnya melakukan perjalanan di Padang Darat bagi seorang yang tidak ditempatkan dinas di sana. Orang Melayu Sumatra tidaklah penolong, patuh dan tunduk seperti orang Jawa dan Sunda. Dia angkuh dan tak acuh dan bila dia merasa butuh, dia memiliki sedikit hasrat untuk kerja-kerja yang tak biasa dilakukannya. Dalam hal melayani dia tak suka. Kuli-kuli dan orang-orang yang mencari nafkah dengan menyewakan kuda-kuda tunggangan beserta bendi di daerah pedalaman hanya dapat dijumpai di Padang Panjang dan Fort de Kock, dan nyaris tidak ada di tempat-tempat lainnya. Dan sebab kuli-kuli lainnya, yang terpaksa, yakni yang dalam kerja rodi, hanya diperuntukkan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan dinas, pejalan yang bukan ambtenaar harus mengurus dirinya sendiri. Dengan banyak kesusahan serta bayaran yang sangat tinggi saya akhirnya berhasil menemukan seorang kuli untuk membawa barang bawaan saya. Tuan W membawa saya dengan bendinya hingga jarak pal kelima pada jalan menuju Fort de Kock, di [simpang] mana dimulai jalan perbukitan ke arah Tanjung Alam, dan di mana kami mengucapkan perpisahan satu sama lain, juga dengan kemungkinan takkan pernah berjumpa kembali.

Di awal-awal pagi cuaca terlihat bagus, saya merasa gembira dengan hal itu, baik karena jauhnya jarak yang nanti akan saya tempuh maupun karena pemandangan indah yang menanti saya, khususnya dari ketinggian di Tanjung Alam yang oleh orang-orang dikatakan sangat mempesona. Namun, tak sampai sejam saya di jalan langit pun mendung; mentari bersembunyi di balik awan dan hujan deras turun nyaris tanpa henti hingga saya mencapai Fort van der Capellen.

Bagian pertama dari jalan ini tak dapat dilewati oleh kereta, terutama karena bergelombangnya wilayah itu serta runtuhnya tanah dekat sebuah sungai kecil, membuat saya kesusahan mencapai seberang. Mulanya jalan tersebut melalui sawah-sawah, lalu bukit-bukit rendah: pada beberapa tempat ada penghuninya tapi pada tempat-tempat lainnya sangat sepi dan tak terolah. Pas setelah kampung Tanjung Alam mulailah jalan bukit sebenarnya, sepanjang mana orang akan sampai ke puncak bukit, yang orang-orang Eropa namakan Tanjung Alam, tapi jika saya tidak salah oleh para pribumi dikenal dengan nama Bukit Tandi. Bukit itu tersusun dari pasir dan tanah liat. Tanah liat ini, saat hujan turun, membuat jalan curam yang senantiasa mengikuti dinding bukit dan karenanya menghadap ke jurang dalam pada sisi lainnya, menjadi licin dan basah sehingga saya tidak bisa lagi tetap naik kuda. Bahkan mendaki dengan jalan kaki juga susah. Di sinilah saya sungguh alami untuk pertama kalinya les désagrémens du voyage[10]: tak ada gubuk kecil atau tempat berteduh di mana saya dapat berlindung sementara untuk menunggu cuaca yang lebih baik; tak ada makhluk hidup saya jumpai; kabut-kabut tebal menyembunyikan pemandangan indah dari mata saya, dan ketika saya sangka telah sampai di ujung pendakian melelahkan, nyatalah bahwa saya telah keliru karena jalan curam yang sama licin dan sama susahnya untuk didaki ada lagi di hadapan saya. Setelah melakukan pendakian dalam waktu yang lama, dalam keadaan sangat lelah dan basah kuyup akhirnya saya sampai juga di puncak bukit. Tak ada pemandangan indah yang dapat disaksikan; tapi keyakinan telah selesainya pendakian dan mulainya penurunan memberi saya semangat baru untuk meneruskan perjalanan. Dari sini sampai ke Fort van der Capellen, jalan itu senantiasa menurun. Jalan tersebut melewati kampung-kampung dan pasar-pasar besar, dan sebagian melalui kebun-kebun kopi luas yang tampaknya menjanjikan banyak buah.

Di Rao-Rao, salah satu kampung yang dilewati lewat jalan ini, terdapat sebuah gudang pembelian kopi. Majikan gudang pribumi mengundang saya untuk sejenak beristirahat di tempatnya, yang saya terima dengan senang hati, dan segelas kecil Boonekamp, yang majikan gudang ini miliki meski bertentangan dengan aturan-aturan dalam Alquran, memberikan kesegaran berarti. Dari Rao-Rao saya mengikuti jalan kerikil yang sangat bagus dan ramai dilewati, dan setelah satu setengah jam berkendara saya pun melihat rumah blok (blokhuis) warna putih pada redoute di Fort van der Capellen.

Saya tiba di tempat ini pada waktu yang sangat tidak tepat, sebab seluruh personil Eropa tidak ada di tempat, kecuali seorang opziener, yang karena keadaan-keadaan tertentu tak bisa menampung saya. Bagaimanapun, dengan bantuannya saya diberikan sebuah matras di sebuah rumah kecil yang sudah berbulan-bulan tak ditempati, suatu tempat perlindungan bagi banyak binatang kecil yang mengganggu dan tak menyenangkan. Fort van der Capellen bagi Tanah Datar adalah seperti Payakumbuh bagi Limapuluh. Asisten-Residen, yang mengepalai afdeeling ini, berkedudukan di sini beserta sejumlah ambtenaar lebih rendah yang membantunya. Beberapa tahun sebelumnya Fort van der Capellen nyaris dilalap kebakaran hebat, yang bekas-bekasnya masih dapat dilihat sekarang, meskipun sejak itu sudah banyak yang dibangun lagi dengan teratur. Sejumlah kecil orang Eropa yang tinggal di sini memiliki rumah-rumah di sekeliling sebuah lapangan rumput, di sepanjang mana terletak juga gudang-gudang kopi, biro Asisten-Residen dan sebagainya, dan di ujungnya pada sedikit ketinggian terdapat redoute Fort van der Capellen, yang menjadi nama resmi dari seluruh tempat tersebut, meskipun orang-orang Melayu selalu tetap menggunakan nama pribumi Batoe Sangkar [Batusangkar]. Dari ketinggian itu orang dapat saksikan pemandangan luas kawasan di sekitarnya, rangkaian perbukitan yang membelah Sumatera dari satu ujung ke ujung lainnya, dan sejumlah kampung, di antaranya Pagar-Roejong [Pagaruyung], dulunya istana kerajaan Minangkabau, tapi sekarang tak memiliki hal-hal berarti selain sejumlah batu bertulis.

Redoute di Fort van der Capellen merupakan salah satu benteng tertua yang selama Perang Paderi dibangun oleh pasukan kita (tahun 1822). Pada 1841, ketika pecahnya pemberontakan Batipuh, benteng ini ditinggalkan oleh pasukannya—menurut pendapat umum– tanpa adanya keadaan darurat.[11] Sekarang benteng ini berkekuatan 1 opsir dan 50 pasukan.

Juga di sini pasarnya sangat luas dan hari pasarnya sangat ramai dikunjungi. Orang-orang Timur asing—orang-orang Cina, Keling, dan sebagainya—ada juga di sini, seperti di tempat-tempat lain di mana ada kedudukan pemerintahan.

Hampir tiap tempat di Sumatera punya keunikan tersendiri; di sini misalnya, nuansa kemewahan (de luxe) oleh para pribumi ditaruh di jenjang-jenjang rumah yang saya temui. Dengan beberapa pengecualian, tiap rumah memiliki jenjang batu yang dihiasi dengan ukiran dan pahatan—kepala harimau dan sebagainya—dan panjangnya hampir sama dengan rumah itu sendiri. Beberapa jenjang ini tinggi sandarannya sedikit lebih rendah dibanding tinggi rumah.

Tak ada afdeeling lain di Padang Darat yang menghasilkan begitu banyak kopi seperti afdeeling Tanah Datar, khususnya hoofd-district dari afdeeling ini yang juga bernama sama. Karenanya sekarang merupakan kesempatan yang tepat untuk membicarakan koffijstelsel [sistem budidaya kopi] di Sumatra’s Westkust, yang berkaitan erat dengan rumah-tangga finansial dari wilayah ini.

Sejak 1819 Sumatra’s Westkust merupakan lastpost [wilayah beban], artinya wilayah tersebut mendatangkan lebih banyak kerugian dibanding keuntungan. Bahkan ketika perang telah usai dan karenanya pengeluaran jauh lebih kecil, tampaknya masih tak mungkin mencapai keseimbangan yang sesuai antara laba dan rugi. Pajak langsung amat dibenci oleh penduduk, sehingga penerapannya tidak lah dianjurkan jika orang tak ingin menimbulkan keributan-keributan baru. Jadi suatu cara yang lain musti diambil. Jendral Michiels, yang dari 1837 sampai 1849 menjadi gubernur Sumatra’s Westkust, menempuh jalan itu: atas tanggung jawab sendiri dia (pada 1847) memperkenalkan suatu sistem, yang pokok-pokoknya sekarang masih berjalan, dan yang baik bagi kas Negara maupun bagi kesejahteraan Sumatra’s Westkust telah membawa hasil-hasil terbaik.  Poin-poin terpenting dari sistem ini adalah sebagai berikut:

-bahwa tiap lelaki yang sanggup bekerja (standar resmi) musti memelihara 500 batang kopi yang akan berbuah.

-bahwa semua kopi musti diserahkan ke Pemerintah menurut harga yang ditetapkan.

-bahwa di tiap distrik, atas biaya penduduk sendiri, akan didirikan gudang-gudang, kemana kopi akan dibawa dengan dibayar kontan berapa pun kuantitasnya, bahkan satu kati (kira-kira 0,62 pon Belanda)

-bahwa transportasi dari pedalaman ke Padang akan jadi tanggungan Pemerintah

-bahwa kopi di Padang akan dijual dalam lelang umum (publieke veiling)

-bahwa kepala-kepala pribumi, guna mengikat kepentingan mereka terhadap sistem itu, akan menerima bonus setengah gulden untuk tiap pikul kopi yang diserahkan.

Untuk sementara ditetapkan harga 7 gulden untuk kopi tipe pertama, 6 gulden untuk kedua dan 5 gulden untuk tipe ketiga, per tiap pikul yang terdiri dari 100 kati (62 ons Belanda). Pada awal November sistem yang baru itu mulai efektif, dan tiba-tiba terjadilah di seluruh residensi Padang Darat kesibukan yang belum pernah dikenal sebelumnya. Seakan kena magic, muncullah di mana-mana gudang-gudang, dan usaha keras pun dilakukan untuk perbaikan jalan-jalan guna membuatnya layak ditempuh oleh kereta-kereta. Lebih dari mungkin bahwa jalan-jalan bagus yang boleh dengan bangga dimiliki oleh Sumatra’s Westkust kemunculan, atau setidaknya perbaikannya, dikarenakan adanya sistem budidaya kopi ini dan bahwa tanpa sistem itu keadaan 20 tahun lalu akan tetap berlangsung di saat mana kereta-kereta tak pernah lebih jauh dari Kayutanam[12]—dan bahkan sampai ke sana juga jarang, sementara sekarang Padang Darat dari hampir segala arah dapat dilewati oleh kereta, dan bahkan jalan melalui de kloof [Lembah Anai] tiap hari dilalui oleh banyak kereta.

Sistem tersebut berpengaruh bagus terhadap budidaya tanaman kopi yang, meski sejak lama diperkenalkan di Sumatra serta telah tersebar luas, dulu sangat diabaikan dan mundur, seperti dapat dilihat dari berkurangnya ekspor serta amat rendahnya harga. Pada mulanya di bawah sistem tersebut harga kopi juga masih rendah dan produksinya masih tak berarti sehingga keuntungan yang diperoleh dari sana amat kecil; bagaimanapun, tak lama kemudian harga terus bertambah baik dan produksi kian meningkat sehingga keuntungan-keuntungan yang diperoleh cukup besar untuk menolong pemasukan-pemasukan lain yang masih kurang dalam mengimbangi pengeluaran dan bahkan membuat saldo pada sisi keuntungan.

Para penanam juga menikmati sistem ini. Setelah tahun 1853 harga pembelian kopi secara bertahap meningkat, sehingga pada 1865 kopi berkualitas bagus dihargai 12 gulden per pikul, dan untuk yang jelek—hanya ada dua sortiran saat ini—6 gulden. Tanam paksa (gedwongen kultuur), yang mulanya berkaitan erat dengan sistem ini, dan kebun-kebun komunal yang tak dapat dipisahkan dengan itu sekarang hampir secara umum memberi tempat bagi tanam bebas (vrije kultuur) dengan dorongan untuk perluasan serta pengawasan dalam hal pemetikan dan penyiapan. Dan pada distrik-distrik kopi yang terpenting jumlah gudang diperbanyak untuk kepentingan para penanam, sedangkan bangunannya sejak beberapa tahun belakangan tidak lagi dibangun dan dirawat dengan menggunakan biaya penduduk.

Sistem budidaya kopi seperti yang kini diterapkan di Sumatra’s Westkust tidaklah memberatkan bagi penduduk. Sebagai alternatif penghapusan pajak hal tersebut memang bertentangan dengan ilmu ketata-negara-an kita, tapi jika cara itu lebih bagus kontribusinya dibanding pajak langsung, maka tidakkah benar-benar illiberal [tak liberal] jika orang memaksakan pajak seperti itu berlawanan dengan kehendak mereka, hanya karena sistem penjualan paksa kopi menurut harga yang ditetapkan tidak disukai oleh ilmu tata-negara tersebut?

Di Fort van der Capellen saya hanya tinggal satu hari. Pagi hari berikutnya saya sudah ada lagi di jalan menuju Padang Panjang dengan mana saya akan menyempurnakan tur keliling gunung api. Hingga ke perbatasan Tanah Datar jalan itu sangat bagus dan melewati kawasan yang indah, ter-olah baik dan banyak penduduk. Anak jalan kecil  menuju danau Singkarah [Singkarak] yang besar, yang tiga kali lebih besar tapi tak seindah danau  Maninjau, membawa saya persis pada titik terindah, yakni di mana sungai kecil Ombilin mengalir dari danau yang letaknya lebih tinggi, di mana– seperti dikatakan pada saya—aliran sungai itu berasal. Kemudian orang akan ada kembali di antara bukit-bukit dan jurang-jurang hingga mencapai Koeboer-Krambiel [Kubu Kerambil] dekat Batipuh. Di sini jalannya kurang bagus yang sebagian sebabnya musti dialamatkan pada struktur tanah yang bergelombang dan komposisi tanah itu sendiri; tapi juga menurut saya hal tersebut sebagian disebabkan oleh kondisi jalan tersebut yang dilewati oleh segala macam kereta dan binatang pengangkut beban. Sudah banyak dibicarakan tentang ketidak-adilan dan sebagainya jika dibuat dua macam jalan yang berdekatan, yang pertama jalan kerikil, di mana orang Eropa dalam kereta yang nyaman dapat meluncur kencang, dan lainnya jalan-pedati yang berlumpur, di mana orang pribumi, yang musti merawat kedua-duanya, dengan kereta dan kerbaunya yang gemuk bergerak tertahan-tahan. Namun, saya percaya ada gunanya dibuat dua jalan seperti itu. Menurut saya, perawatan kedua jalan itu akan memakan kerja lebih sedikit—asalkan jalan kerikil tertutup bagi kereta-kereta yang ditarik kerbau—dibanding perawatan sebuah jalan saja yang dilewati oleh segala macam kereta dan binatang beban. Juga bagi kepentingan pemilik kerbau dan bagi kerbau itu sendiri saya pandang pembuatan dua jalan itu suatu hal yang terbaik. Kerbau tidak hanya merusak jalan kerikil, tapi kuku-kukunya yang sangat peka juga menderita melewatinya, sehingga tak sanggup melakukan kerja lebih lanjut dan terkadang mendatangkan kerugian total bagi tuannya.

Tak di satu perjalanan pun di Sumatra saya berpapasan dengan begitu banyak orang sebangsa dibanding pada perjalanan saya dari Fort van der Capellen ke Padang Panjang. Saya bertemu dengan tiga orang Eropa pada jarak tujuh jam perjalanan!!!

Di Padang Panjang saya diterima lagi oleh teman saya Dr. J. dengan tangan terbuka, dan saya merasa seperti di rumah. Lewat Pariaman saya kembali ke Padang, dan dengan itu berakhirlah perjalanan serta kisah perjalanan saya ini, walaupun dangkal, saya harap akan dibaca dengan minat oleh mereka yang mendapati tema ini masih memiliki le charme de la nouveaute.[13] Terakhir, saya tidak akan lupa menyampaikan ucapan terima kasih pada semua orang yang kepada saya dengan tanpa pamrih serta kebaikan hati memberikan bantuan-bantuan yang sangat dibutuhkan oleh orang yang melakukan perjalanan melalui wilayah yang relatif sedikit dikunjungi ini. (*)

Mr. A. E. Croockewit

[Tamat]

Ilustrasi oleh Amalia Putri

Catatan Kaki:

[1]Besluit ini dan publikasi yang bersesuaian dengan itu dari komisaris Riesz dan van Sevenhoven, sekarang ini menjadi landasan dari sistem pemerintahan di Sumatra’s Westkust; dan di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Duymaer van Twist dijelaskan oleh Pemerintah bahwa besluit termaksud diterapkan di seluruh distrik tanpa kecuali, juga pada distrik-distrik yang nanti akan takluk pada otoritas Belanda.

[2]Gubernur Sumatra’s Westkust yang sekarang telah memancing dan memperoleh ketetapan dalam persoalan ini pada Pemerintah. Dia tak boleh mengubah vonis apa pun; jika dia berpendapat untuk menolak memberikan pengesahan, dia dapat mengirim kembali vonis tersebut ke rapat bersangkutan, dan menyarankan rapat ini untuk meninjaunya kembali, setelah memberitahukan pertimbangan-pertimbangannya. Apabila rapat bersikukuh dengan pendiriannya, maka dapat diminta pada Gubernur Jendral untuk menggunakan hak grasi (gratie).

[3] Di bagian Utara Sumatra’s Westkust rapat-rapat pribumi tampil lebih kriminil lagi. Di sana pada 1859 seorang gila diberi putusan hukuman mati, tanpa ketuanya dapat meyakinkan anggota-anggotanya dengan berbagai argumentasi dan keluhan bahwa kejahatan yang diperbuat oleh si malang itu tak dapat diminta pertanggung jawabannya dari dia. Gubernur menghalangi eksekusi dari pembunuhan oleh peradilan itu dengan mengubah vonis otoritasnya sendiri.

[4]Selama saya tinggal di Pajakombo [Payakumbuh], di mana hadir juga Gubernur Sumatra’s Westkust, saya menyaksikan utusan dari sejumlah kepala dari distrik-distrik yang masih merdeka, datang atas nama rakyat dst, meminta agar ditempatkan di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda.

[5]Orang-orang Melayu dari Sumatera, sebagaimana disampaikan kepada saya, juga seperti bangsa-bangsa Timur lainnya memahami seni menebak pikiran dari mereka yang menanyai mereka dan tahu bagaimana harus menjawabnya. Bahwa mereka lebih angkuh daripada membudak, lebih bangga daripada penurut, hal ini sudah terkenal dan akan dialami oleh tiap orang yang pernah mengunjungi Sumatra’s Westkust.

[6] [Catatan penerjemah: vervreemd/di-asingkan/berpindah kepemilikan].

[7] [Catatan penerjemah: maksudnya oleh pemerintah Hindia Belanda].

[8]Pertemuan-pertemuan seperti yang di Fort de Kock tadi saya ikuti juga di tempat-tempat lainnya, di antaranya di Airbangis dan Natal. Di Airbangis salah seorang kepala dari Rao bertanya kepada Gubernur, apakah Pemerintah juga berniat mengubah adat pusaka (hukum waris tersebut). Pertanyaan ini diajukan dengan suatu nada yang menyiratkan bahwa jawaban afirmatif takkan disenangi oleh si penanya. Di Natal, sebaliknya, salah seorang kepala—seorang agamawan terkemuka dan jika saya tak salah juga seorang haji—meminta intervensi Pemerintah untuk mengubah hukum waris Melayu, karena hal itu sepenuhnya bertentangan dengan aturan-aturan yang ada dalam Alquran.

[9]Sayang sekali, keberhasilan dari karya sedemikian telah menjadi motif ditirunya hal itu oleh orang-orang yang dalam segi apa pun tak dapat dipandang cakap mengerjakannya. Tak jarang—saya bicara tentang masa lalu—terjadi penyalah-gunaan besar-besaran terhadap tenaga dan material-material penduduk. Seorang yang dapat dipercaya mengatakan pada saya bahwa dia kenal seorang controleur yang berencana membangun sebuah jembatan batu besar berlengkung dua dan untuk itu dia telah memerintahkan memanggang batu, membakar kapur, dan sebagainya tapi sama sekali tidak tahu bahwa dia tak dapat membuat lengkungan dengan bata bakar, kecuali dengan menggunakan cara-cara tertentu. Begitu juga usaha coba-coba yang berhasil dengan apa yang dinamakan jembatan ala Amerika di Tanah Datar telah menjadi motif ditirunya jembatan tersebut di tempat-tempat lainnya, tapi bagaimanapun tak semuanya berhasil. Ambtenaar tertentu membangun jembatan semacam itu di atas sungai yang 240 kaki lebarnya. Dia tidak paham bahwa pada jembatan semacam itu proporsi tertentu dari panjang dan tinggi musti diperhatikan, dan ketika telah selesai dibuat dengan kesulitan tak terlukiskan, ternyata jembatan tersebut tak dapat digunakan! Nilai dari kayu yang mahal dan tenaga penduduk—keduanya diperoleh gratis—yang digunakan dalam usaha tersebut begitu besar.

[10] [Perancis: penderitaan-penderitaan dalam perjalanan].

[11]“Celakalah para pengecut dari Fort van der Capellen,” tulis Jendral Michiels pada Residen Steinmetz.

[12][Catatan penerjemah: mungkin maksudnya kereta-kereta dari arah Padang atau Pariaman].

[13][Perancis: pesona hal yang baru].

About author

Penerjemah bernama lengkap Novelia Musda, SS, MA. Lahir di Rengat, Riau, tanggal 8 November 1982. Kampung Ibu di Sumanik, Tanah Datar, dan bersuku Koto Piliang, dan bako di nagari Kolok, Kota Sawahlunto. Pendidikan S1 dilakukan di IAIN Imam Bonjol Padang 2000-2005, masuk dua tahun pertama sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan Agama, Fak. Ushuluddin dan keluar sebagai alumni jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab. Untuk S2 dijalani 2008-2010 di jurusan Islamic Studies, Universiteit Leiden. Sejak 2011 bekerja sebagai PNS yang baik di Kementerian Agama, sekarang di Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Sumbar. Minat akademis dulunya waktu kuliah filsafat eksistensialisme khususnya Nietzsche. Tapi sekarang sudah tak punya banyak waktu lagi untuk pusing memikirkan apa yang ada di antara ada dan tiada, dan lebih banyak membaca hal-hal praktis seperti sejarah serta mistisisme Islam dan Hindu serta belajar menerjemah khususnya dari karangan-karangan penulis Belanda tentang Minangkabau abad lampau dan tetap terus belajar bahasa asing sebagai cara efektif untuk menghibur sekaligus menyusahkan diri sendiri.
Related posts
Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1926 (Bagian II)

Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1927 (Bagian I)

Artikel Terjemahan

Menimbang Pemberontakan PRRI Sebagai Gerakan Kaum Tani Sumatera Barat

Artikel Terjemahan

Satu Abad Paulo Freire

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *