Artikel

Tentang Film Bioskop yang Dimasukkan ke Kamarmu

Suatu sore di 1986

Seorang bapak memakai Astrea 800 masuk ke halaman rumah. Di lekukan motor ada tas besar. Hati saya bersorak. Si bapak adalah penyewa kaset video.

Belum lama, ayah membelikan pemutar kaset bermerk Beta. Dari tetangga yang sudah punya barang yang sama, Ama memesan agar penyewa video disuruh ke rumah… Ini dia!

Dalam tas besar itu ada puluhan kaset dengan berbagai genre dan negara. Drama, aksi atau Indonesia, Barat dan India.

Masa itu, harga sewa hanya Rp. 500. Sewa empat gratis satu. Karena Beta milik keluarga, maka filmnya pun harus keluarga. Film saya hanya ada apabila sewa kaset mencapai empat. Saya bagian gratisnya.

Keluarga saya lebih sering menyewa horor Indonesia atau India. Entah kenapa. Pernah sekali, saking mencekamnya, Ama mematikan video. Tapi film sejenis tetap disewa.

Kalau tak ada uang untuk nonton keluar, terpaksa saya menyaksikan Mithun Chakraborty menyanyi. Anehnya, ada juga yang nyangkut. Coolie. Dibintangi Amitha Bachan.

Yang terus teringat adalah adegan demo para kuli stasiun kereta api di rel. Amitha di barisan depan. Film yang dirilis 1983 itu kabarnya laris manis. Beberapa tahun lalu, saya membaca sebuah demo mirip adegan itu. Saya bersorak dalam hati, coolie!

Penyewaan itu berlangsung sampai kelas 1 SMA. Sampai Beta sudah berganti dua kali. Sampai kasetnya lebih besar. Sampai head pemutar kaset terakhir rusak, dan sudah diganti sekali.

Zaman cakram digital masuk. Pemutarnya lebih murah. Harga film di dalam rumah lebih meriah. Kami akhirnya punya. Itu pun pemberian kakak.

Penyewaan CD/DVD berbentuk toko. Menyebar di seantero Padang. Jadi bisnis yang menjanjikan. Saya punya beberapa kartu penyewaan. Terutama kalau rental berada di Lubuk Begalung atau Lubuk Kilangan.

Seorang senior di FIB Unand, juga akan membukanya. Waktu itu saya serta beberapa senior dan dosen menyewa sebuah rumah di Jalan Khatib Sulaiman. Milik orang tua senior saya yang akan membuka rental. Waktu itu komputer PC dengan pemutar CD juga sudah beredar.

Meski kami sering nonton gratis, usahanya berkembang. Ia buka cabang di Padangpanjang. Dekat bioskop Karia. Saya dan seorang senior lain sering mengikuti meninjau kedai. Bukan untuk belajar bagaimana cara berbisnis tapi agar bisa nonton sepuasnya.

Tokonya lantai dua. Di lantai atas ada komputer. Sampai pagi kami menonton. Bolak-balik lantai satu untuk mencari film. Film jenis apa saja. Warna apa saja, merah atau biru, sikat.

Film biru memang jadi pemanis dagangan. Sebagian besar rental memang menyediakan.  Perputaran uang sebagian besar menang didapat dari situ, aku senior saya itu.

Memasuki alaf baru, senior saya gulung tikar. Walau segala usaha sudah dilakukan. Termasuk door-to-door. Tak jua membawa hasil.

Akan tetapi, rental CD makin menggeliat. Apalagi dengan adanya laptop. Apalagi sejak kakak saya menghibahkan laptopnya, saya makin keranjingan nonton.

Sejak memiliki kesempatan bolak-balik Jakarta, saya juga memiliki koleksi pribadi. Beli di Glodok. Paling sedikit saya menghabiskan uang Rp. 400 ribu untuk membeli DVD bajakan. Film seri yang saya koleksi banyak, seperti CSI Vegas dan Miami, Friends, dll. Sampai sekarang masih saya simpan. Hanya tiga tahun belakangan, kalau ke Jakarta, saya tak lagi beli DVD.

Di penyewaan, saya punya dua tempat favorit, Warner dan Zoom. Warner milik teman saya, Tomi, sedangkan Zoom milik junior saya. Keduanya memiliki cabang di seantero Padang. Tomi bersumpah di hadapan saya, ia tak menyewakan film biru. “Saya memang lahir di Gaung, Bang On. Tapi kalau yang itu (penyewaan film biru), tidak,” katanya.

Judul yang saya sewa hanya kalau tak ada dalam koleksi. Lalu, saya simpan di laptop dan ‘dibakar’ ke cakram yang lain.

Sekarang, rental CD menghilang. Sapuan gelombang teknologi bernama internet membuatnya rata dengan bumi.

Tomi pernah mengajak saya berbisnis. Dirikan satu kedai kopi, pasang wi-fi agar penikmat kopi bisa mengunduh film sebanyak-banyaknya. Yang saya bayangkan hanya minum kopi sambil menyedot film-film terbaru di tempat yang akan dibukanya.

Alasan saya menolak bukan hanya karena bioskop mulai menggeliat lagi.  Dunia sedang berputar lagi. Beta, laptop dan internet, TV Kabel secara perlahan membawa tontonan ke ruang lebih sempit. Lebih pribadi. Agar bisa bebas melakukan apa saja.

Akan tetapi, di sisi lain, rasa sosial juga mulai menyeruak. Sayangnya, ruang publik juga mulai menyempit. Maka hiburan makin perlu dirasakan lebih komunal. Terasa lebih mewah memang dengan bioskop yang lebih modern.

Saya yakin, apabila modal sosial lebih kuat maka rental akan muncul lagi. Dengan wajah baru. Yang lebih segar. Lebih bersih, tentunya. (*)

 

 

About author

Budayawan dan sutradara
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *