Hujan riuh akhir Desember adalah pertanda, bahwa tidak lama lagi tahun akan berujung dan mantera-mantera politik baru akan dibuat. Petrikor dan cerah bunga tidak meneduhkan. Angin sepoi dan tampias hujan tidak lagi menyejukkan. Siluet senja dan lagu cinta pop niaga terasa memuakkan. Dampak buruk dimensi psikologis di atas disebabkan oleh semakin absolutnya skema produksi kapitalisme dan negara yang mengancuk serta memporak-porandakan tatanan bahagia kehidupan manusia. Kegembiraan bersuka-ria merayakan liburan, Natal, dan kebebasan akhir tahun diganggu oleh pelbagai penderitaan kewargaan yang berdampak pada ketidakadilan struktural; korban represifitas negara di Wadas, kasus mutilasi warga di Papua, Tragedi Kanjuruhan, Irjen yang ternyata bandar sabu, hingga ditutup oleh UU KUHP baru yang problematik. Daftar ini bisa diperpanjang lagi.
Negara dan realita, memang pada akhirnya banyak melahirkan kekecewaan, ini soal impian semula yang tak terpenuhi. Bahkan sejarah telah membuktikan; perjuangan—yang katanya revolusioner dikhianati oleh para pendukungnya sendiri. Jadi, tak mengherankan bila Hindia turut berduka atas wafatnya Ratu Inggris, dan Marjinal bakal tampil di malam puncak perayaan sayap partai penguasa. Punkostrad, seloroh netizen, lantaran grup yang mempopulerkan lagu “Buruh Tani”, pun mengaku terinspirasi dari Sex Pistols dan Bob Marley ini, jadi penampil utama di acara ulang tahun DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Kalimantan Barat. Repdem sendiri adalah organisasi sayap dari PDI-P, ga beres.
Fenomena Marjinal menuai respon dari netizen. Mendadak, para netizen yang beringas menemukan sosok untuk ditertawakan. Setelah sekitar lebih dari 240 komentar menyesaki akun Instagram Marjinal, ada yang berseloroh kecewa: “Meme akhir tahun. Sorry Marjinal, kali ini aku disrespect. Kecewa.” Menutup tahun dengan kecewa adalah lazim. Lebih wajar dibandingkan menyusun bucket list di setiap sudut harapan dan catatan. Jika memungkinkan, masih banyak kekecewaan baru yang menunggu di tahun-tahun berikutnya. Toh, di tahun ini nyatanya tidak semua mengecewakan. Ada banyak rilisan enak oleh musisi dan band lokal yang layak jadi suplemen untuk ditambahkan ke daftar putar beriringan dengan narsisnya budaya playlist.
Mengutip Albert Camus dalam Mitos Sisifus yang diterbitkan lebih dari setengah abad lalu, bahwa manusia bisa berbahagia, meski apa yang dibangun dan dikerjakannya pada akhirnya tak membebaskannya dari beban. Maka dari itu berbahagialah dengan—atau tanpa lagu yang disarankan di sini. Dunia dan ciptaan Tuhan toh tak sesempurna Tuhan itu sendiri. Apa pun kekecewaan yang dihadapi, usahakan untuk menyetel musik. Begitu banyak musisi lokal dan band arus pinggir yang menghadirkan segi musikalitas adiwarna di tahun ini. Berikut beberapa dari mereka yang menjadi favorit. Tidak seluruhnya saya rangkum:
Mamlaka – Sillas
Ibarat kursi, Sillas adalah sebuah tempat imajiner untuk membumikan kembali cinta kasih, dan pembebasan atas beban kultural-ideologis yang ditanggung Bahasa Arab selama ini. Hal itu dilihat dari lirik-lirik Sillas yang humanis tanpa tendensi ke suatu hal atau beban yang dominan. Juga dari mutasi genetik kultural yang dilakukan Sillas pada Bahasa Arab dan musik dreampop atau indiepop. Mutasi genetik tersebut ditemukan dalam single terbaru mereka, yakni “Mamlaka” yang dirilis Anoa Records.
Lentingan instrumen musik ala dreampop yang membuat lenyap terseret dalam kesedihan baru, dan ketakutan lama akan krisis identitas seorang anak manusia. Diawali dengan bassline, lalu disusul suara drum sonor, dan gitar yang nyaring. “Mamlaka” berhasil membuat suatu perpaduan bittersweet effects. Ditambah lirik Bahasa Arab, lagu ini mampu membentuk pengalaman baru ketika mendengarkan dreampop atau indiepop. Bikin saya mangut ketika mendengarkan, dan tertidur pulas setelahnya.
Cerita Bahaya – Goodnight Electric
Tampaknya darkwave telah merasuki Goodnight Electric. Dibuktikan dengan Dopamin dan Erotika, lalu diperkuat oleh “Cerita Bahaya”. Pendapat pribadi saya, lagu ini berkisah tentang romansa menyedihkan yang agaknya nyeleneh. Terasa nafas indie electronic yang sangat kental dari intro hingga outro, tanpa meninggalkan kesan otentik dari Goodnight Electric sendiri. “Cerita Bahaya” dibalut apik dengan perbendaharaan sound unik khas ‘80-an, diiringi oleh vokal malas Henry Foundation. Eksplorasi yang sungguh matang dan solid!
Spackle Boy – Kinder Bloomen
Bebunyian instrumen yang ramai serta permainan ambience. Kinder Bloomen menonjolkan musik yang terbilang funk lewat instrumen yang disuguhkan. Trek “Spackle Boy” dilambungkan dalam EP Progressoin II sebagai lead single. Meski psikedelik disadari sebagai musik yang berasal dari dunia asing, tapi entah kenapa “Spackle Boy” kedengaran begitu akrab; petikan bass funky, gitar fuzzy, dan bebunyian terompet, semuanya utuh di telinga. Orang-orang yang bosan dengan musik arus utama Indonesia hari ini, saya sarankan sebaiknya dengarkan Kinder Bloomen. Mereka punya yang kamu butuhkan untuk mengubah arah permainan.
Hook – Lips!!
Program besutan Greedydust bersama Kolibri Rekords yang didukung oleh Greenpeace bertajuk Brighter Days ini menampilkan kompilasi dari Puff Punch, Milledenials, dan Lips. Menampakkan diri dengan sengit lewat trek “Hook”, Lips menyengat dengan mempertahankan ciri khas dance punk-nya, yakni memainkan lagu berdurasi singkat. Trek yang berdurasi kurang dari dua menit ini begitu raw dengan hook yang cepat sebagai bentuk penghormatan terhadap pendekatan musik punk rock tanpa banyak embel-embelan.
Samba di Kota – Vira Talisa
Siapa yang tidak tahu Vira Talisa? Banyak! Solois kenamaan asal Jakarta ini kembali tampil dengan tembangberjudul “Samba di Kota”. Lewat unsur jazz yang subtil, dibalut dengan tema city pop. “Samba di Kota” dikemas cantik dengan menghadirkan reminisensi yang meriah, tentunya dengan nuansa easy listening. Gaya bermusik Vira Talisa yang identik dengan genre retro pop, membuat “Samba di Kota tidak sulit dicerna”. Jika kamu miskin referensi atau sama sekali tak punya ide tentang siapa itu Candra Darusma, lagu-lagu Vira Talisa mampu membasuh naluri pendek seorang pendengar musik yang paling pasaran sekalipun menjadi lebih terhormat; selama mau mendengarkan. “Samba di Kota”mudah dinikmati hanya dalam hitungan sekali pejam.
Bertaruh Pada Api – Dongker
Unit hardcore asal Kota Kembang, Dongker, kembali hadir dalam radar para penggemar musik punk untuk menghibur yang menderita. Di materi terbarunya ini, Dongker bermain pintar tapi sederhana dengan menambahkan proses kreasi yang lebih terbuka dan inklusif. “Bertaruh Pada Api” memiliki kesan lebih ramah dibandingkan lagu-lagu Dongker yang silam. Ramah dalam segi musikalitas, tapi tetap konsisten dengan ciri kalimat yang ofensif di tiap baitnya. Saya yakin, dengan adanya “Bertaruh Pada Api”, Dongker bakal semakin malang melintang di kancah bawah tanah Indonesia maupun Asia Tenggara.
***
Ada orang yang memfungsikan musik sebagai wadah reflektif, kontemplatif, atau membentuk kesadaran dirinya. Ada juga yang menjadikan musik lebih hanya sekedar “latar” pemanis yang dengan serba mudah untuk di-skip. Setiap orang bebas, dan berhak untuk menjadi apa yang ia inginkan. Bagi saya, tidak ada yang berhak menentukan bagaimana setiap penikmat semestinya merespon karya, dan persoalan selera selalu didasari pemahaman yang subjektif. Cukup sekian rekomendasi dari saya. Maka dari itu, saya—yang bukan siapa-siapa-nya kamu pamit undur diri. Jika ada yang salah tak ada yang perlu dimaafkan, karena saya yang salah. Lagi pula semuanya akan baik-baik saja. Kamu tahu bagaimana mengatasi persoalanmu, dan mudah-mudahan akan selalu berakhir dengan baik. Selamat menyambut Natal dan Tahun Baru. (*)