Dunia seni rupa Indonesia mengenal istilah mooi indie. Saya artikan sebagai “tanah jajahan yang molek.” Ini adalah pandangan kolonial para perupa terhadap negeri jajahan. Dalam lukisan (dan kemudian foto) mooi indie ini, negeri jajahan ditampilkan sebagai suatu koloni yang masih liar namun begitu indah, eksotis, dan hangat—suatu tropical holland.
Di tropical holland nan indah itu, tak ada duka, tak ada penindasan, tak ada yang dijajah. Yang ada hanyalah harmoni, kekayaan alam yang tak tepermanai dengan penduduk yang tidak tahu cara mengolahnya sebab mereka belum beradab: hanya tuan-tuan kulit putih lah yang punya segala pengetahuan dan teknologi untuk menjarah kekayaan itu sejadi-jadinya. Jika pribumi ingin dapat sedikit potongan kue, maka ia harus ikut jadi beradab, jadi modern, alias jadi anak jajahan yang tahu diri.
Seni rupa, sebagaimana bentuk seni lainnya, bersifat politis. Dan dengan demikian para pelukis serta fotografer berpandangan kolonial, sadar atau tidak, secara langsung atau tidak langsung, telah ikut melanggengkan mooi indie.
Rezim Orde Baru melanjutkan cara pandang ini terhadap pedesaan. Berbagai program pedesaan di zaman Orde Baru, berangkat dari semangat yang sama dengan mooei indie, dengan sedikit modifikasi di sana-sini. Bahwa desa adalah entitas yang harmonis, diisi kawula yang zuhud, tidak banyak minta, dan manunggaling dengan Suharto—Orde Baru itu sendiri.
Kolonialisme dan Orde Baru sebagai periode sejarah telah berakhir. Belanda angkat kaki setelah Revolusi Nasional. Orde Baru tumbang karena gelombang Revolusi rakyat yang, sayangnya, dengan sukses dibajak para reformis yang didonori negara imperialis baru.
Tapi mooi indie tetap hidup. Ia masih bersemayam di pikiran para teknokrat terkini, pelukis, fotografer, bahkan musisi.
Akhir pekan lalu, Sabtu 3 Agustus 2024, saya menyaksikan serangkain pertunjukan menarik di gelaran Galanggang Arang. Tempatnya di Dermaga Singkarak, Kab. Solok. Tak jauh dari Stasiun Kacang.
Yang paling menarik perhatian adalah penampilan Orkes Taman Bunga—orkes yang dengan ajaibnya cukup dominan di Galanggang Arang tahun ini. Mereka mengisi beberapa titik festival sebagai penampil utama.
Malam itu mereka memainkan lagu yang khusus diciptakan untuk WTBOS, atau merespon WTBOS? Entahlah. Pokoknya lagu itu dibawakan secara live dan bertemakan sejarah kereta api di sekitar Singakarak. Saya tidak ingat persis judulnya. Yang jelas ada kata ‘kereta’.
Dengan setengah terkantuk saya paksakan menyimak musiknya. Kegembiraan dan keceriaan menaiki kereta api, atau melihat kereta pengangkut batubara melintas di pinggiran Singkarak. Vokal berirama yang pada bagian tertentu seperti diadopsi dari suara peluit kereta api, memperkuat kesan semarak. Liriknya juga tak jauh berbeda. Secara umum, ia menggambarkan suka cita masyarakat pinggir danau saat kereta melintas.
Tak ada disingungnya darimana kereta itu berasal, bagaimana batubara yang diangkutnya itu diproduksi, dan untuk siapa serta dibawa kemana akhirnya semua itu. Perlintasan kereta api, dan masyarakat di sekitarnya adalah suatu harmoni.
Singat kata, lagu itu isinya hanyalah romantisme belaka.
Begitulah. Setelah bosan dihajar berbagai produk seni di media sosial dan ruang pameran ditambah program-program di Nagari dengan semangat mooi indie, saya harus menyaksikan satu lagi lagu dengan semangat yang sama.
Sebuah liputan yang khusus mengulas penampilan Orkes Taman Bunga, kemudian terbit di ombilinheritage.id (baca di sini). Isinya pun menggemakan semangat mooi indie, bagaimana upaya Orkes Taman Bunga—kelompok musik yang datang jauh-jauh ke Singkarak untuk menunjuk ajari seniman tradisi yang sebagiannya adalah anak nagari meski dibungkus dengan diksi ‘kolaborasi’: Permainan kata yang mantap, persis gaya judul-judul berita koran-koran di masa Orde Baru.
Dalam tulisan yang dibuat oleh Angelique Maria Cuaca itu, asisten kurator Galanggang Arang yang juga punya hubungan personal dengan salah satu personil Orkes Taman Bunga itu, hampir 75% tulisannya dihabiskan untuk mengulas betapa kerasnya upaya Orkes Taman Bunga dalam menciptakan karya berbasis seni tradisi. Sementara anak nagari sendiri hanya mendapat porsi sedikit saja, dan digambarkan seolah tidak tahu cara yang tepat untuk mengolah kekayaan seni tradisinya sendiri.
Dan ini bukan pertama kali beliau menggunakan ombilinheritage.id untuk mengendorse habis-habisan Orkes Tamn Bunga (baca di sini). Nama Orkes Taman Bunga dipakai/dihiglight di judul, sementara penampilan anak nagari hanya diulas sebagai pelengkap-lengkap sarat panjang tulisan. Saya jadi tidak bisa lagi membedakan apakah Galanggang Arang ini temanya Anak Nagari Mewarat Warisan Dunia atau Orkes Taman Bunga Merawat Dunia.
Sebagai anggota redaksi di website yang sepenuhnya didanai uang rakyat itu, saya tak bisa berbuat banyak. Karena Angelique posisinya setara dengan saya, sama-sama anggota redaksi. Dan begitulah beliau memanfaatkan kuasanya.
Tapi sudahlah, mencari hidup di dunia kebudayaan ini memang keras. Segala cara harus dipakai agar bisa bertahan. Sekarang mari kembali ke soal mooi indie dan narasi yang timpang tadi.
Lestarinya mooi indie ini tentu bukan sepenuhnya salah Orkes Taman Bunga. Para sejarawan dan penulis sejarahlah yang lebih bertanggungjawab. Dalam kasus ini, narasi sejarah WTBOS, sedari awal memang telah timpang.
Pertama, narasi sejarah WTBOS lebih terfokus di Sawahlunto. Itupun masih ditulis dengan secara ambivalen, antara memuji dan membenci kolonialisme. Hanya satu dua karya yang betul-betul menggugat praktek industri pertambangan batubara.
Kedua, narasi sejarah di daerah pinggiran WBTOS, atau kawasan penyangga WTBOS, sangatlah minim. Para pengkarya di Galanggang Arang, umumnya akan bergantung pada apa yang disebut ‘memori kolektif’sebagai dasar penciptaan karya jika titik festivalnya berada di kawasan penyangga seperti Singkarak.
Dan di kawasan penyangga ini, secara umum, narasi memori kolektifnya masihlah soal kereta api dengan segala romantismenya. Apa yang disebut memori keloketif itu, hanya mengenang lewatnya kereta api di Singkarak. Ia terputus dengan konteksnya yang lebih luas sebagai infrastruktur penjajahan atau penjarahan. Kemungkinan besar, Orkes Taman Bunga mengandalkan memori kolektif sebagai bahan utama karyanya.
Memori kolektif bukalah realitas sejarah. Seperti namanya, ia adalah memori, cara seseorang atau sekelompok orang mengingat masa lalu—bukan realitas sejarah itu sendiri.
Memori kolektif pendukung Naziisme akan melihat masa-masa kejayaan Nazi sebagai masa emas. Memori kolektif para veteran Belanda pada 1945-49, akan berkisah mengenai perjuangan dan patriotisme. Memori kolektif pendukung Suharto akan melihat Orde Baru sebagai kurun sejarah terbaik, terutama di soal ekonomi.
Studi memori kolektif, berusaha mengungkap dan mengurai faktor-faktor yang menciptakan memori semacam itu. Studi mengenai memori kolektif tidak menyasar objektivitas sejarah tapi bagaimana sejarah diingat dan disebarkan dalam berbagai cara.
Memori kolektif yang memuja Orde Baru akan segera runtuh jika dibedah dengan serius. Jika kita baca kajian sejarah ekonomi Orde Baru, akan tampak bahwa sistem ekonomi Orde Baru bagaikan rumah pasir; ia adalah bangunan ekonomi yang rapuh. Keruntuhan Orde Baru yang berlangsung dalam waktu sangat cepat, adalah bukti rapuhnya perekonomian Orde Baru.
Jika dalam memori kolektif pemuja Orde Baru, Suharto dipandang sebagai pembawa dan penjaga ketentraman, kajian-kajian tentang media pada masa Orde Baru menunjukkan semua itu adalah hasil propaganda. Melalui siaran TVRI atau koran pendukung rezim, Indonesia ditampilkan aman-aman saja. Keresahan-keresahan sosial di suatu wilayah disensor. Walau kadang dimuat juga, tapi judulnya dimainkan sedemikian rupa.
Begitupun memori kolektif masyarakat Singkarak tentang rel dan kereta api, tidak semata-mata berarti kebenaran sejarah. Begitu juga dengan memori-memori kolektif di kawasan penyangga lainnya atau bahkan di Sawahlunto sendiri.
Studi yang serius soal ini belum banyak. Begitupun studi sejarah yang serius tentang perkembangan sosial dan ekonomi dan hubungannya dengan kehadiran jalur kereta api di sepanjang jalur WTBOS. Semua diperparah minimnya arsip untuk kawasan-kawasan ini.
Tapi tesis soal ‘tambang batubara dan jalur kereta apinya sebagai pembawa kemajuan’ di kawasan penyangga WTBOS yang berasal dari kajian dari balik meja para sejarawan yang menggeneralisir semua kawasan WTBOS, tetap diterima begitu saja. Tak ada yang berani menguji tesis itu.
Begitupun memori kolektif yang ditelan mentah-mentah, levelnya bahkan sudah mendekati wahyu ilahiah yang haram untuk dipertanyakan dan ditelisik lebih jauh.
Tanpa studi serius soal memori kelektif masyarakat di kawasan penyangga WTBOS, dan tanpa upaya pengarsipan dan penulisan sejarah yang koheren di kawasan penyangga WTBOS, maka ceritanya akan itu-itu saja: ma angek-angek an gulai cubadak rasan. Sebaliknya, jika dua hal di atas terwujud, cara pandang terhadap WTBOS kemungkinan besar akan berubah.
Tapi saya pesimis sekali. Sepengamatan saya, kebanyakan seniman dan budayawan di Sumbar ini memang tidak tertarik untuk tahu apa itu memori kolektif dan mengkajinya dengan serius. Mereka seperti tidak peduli dimana kelebihan dan kekurangannya. Selama memori kolektif itu sejalan dengan ‘galeh’-nya, maka ia akan diterima sebagai kebenaran sejarah.
Banyak orang kini sudah jadi merasa seolah sejarawan. Cukup baca dua satu artikel dan mengaminkan memori keloktif, sudah merasa itulah kebenaran sejarah. Padahal sejarah dalam konteks ini adalah ilmu. Sekali lagi: Ilmu.
Mungkin sudah waktunya Jurusan-jurusan Ilmu Sejarah di berbagai universitas di Sumbar ini ditutup saja. (*)
Foto: Kereta api melintasi jembatan besi di Lembah Anai. Sumber: https://collectie.wereldculturen.nl