Jakarta Biennale memasuki usia 50 tahun. Sejak digelar pada 1974, pameran seni rupa ini telah ikut memberi sumbangan pada perkembangan seni rupa di Indonesia. Mulai dari pembacaan terhadap peta persebaran seniman, menawarkan perkembangan dan keragaman estetika seni, hingga memberikan gambaran bagaimana seharusnya pameran seni rupa dikelola dengan baik.
Sudah setengah abad, biennale tertua di Indonesia ini memang tidak dapat diselenggarakan berkala sebagaimana diniatkan Dewan Kesenian Jakarta di awal penyelenggaraan–untuk dilaksanakan setiap dua tahun sesuai kata ‘biennale’. Terhitung, pameran ini hanya terselenggara 19 kali, dari yang seharusnya 25 kali penyelenggaraan. Namun dinamika penyelenggaraan Jakarta Biennale telah memberi begitu banyak pembelajaran berharga bagi proses penyelenggaran pameran-pameran serupa di berbagai daerah di Indonesia.
Biennale ini pernah dikecam dan ‘diamuk’ seniman. Pernah ditunda penyelenggaraannya karena rezim berkuasa selalu bercuriga pada praktik-praktik berkesenian. Pernah juga ditunda karena penyelenggara tidak mencapai target modal penyelenggaraan. Atau harus ditunda karena harapan akan selesainya sebuah ruang pameran representatif di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Di luar semua persoalan tersebut, diam-diam biennale ini dirindukan. Diam-diam, dari segala kelebihan dan kekurangannya, perayaan seni rupa ini diadaptasi lalu dikembangkan oleh para pegiat seni di berbagai daerah.
Menjangkau Seni Rupa
Sebagai penutup tahun 1974, Harian Kompas menurunkan tulisan wartawan Sides Sudyarto DS berjudul “Seni Lukis Indonesia Merindukan Pengadilan”. Sides membuka tulisannya dengan mengutip lagi pandangan provokatif Oesman Effendi tahun 1969 melalui tulisan yang menyatakan seni lukis Indonesia belum ada. Menurut Sides, pandangan Effendi tersebut masih bergelora dalam pembicaraan-pembicaraan resmi atau tidak resmi soal seni lukis.
Tulisan Sides berangkat dari fenomena banyaknya peristiwa-peristiwa seni rupa bermunculan di tahun itu, tetapi tidak terjadi satupun hal istimewa selain pemberian penghargaan Doktor Honoris Causa untuk Affandi dari Universitas Singapura. Pada 1974 itu, setidaknya tercatat hampir setiap bulan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan pameran lukisan di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM). Beberapa di antaranya adalah Pameran Lukisan Baharudin MS dan Mustika, Pameran Tunggal Affandi, Pameran Tunggal Rusli, Pameran Tunggal Salim, Pameran Tunggal Srihadi, dan Pameran Lukisan Dunia Minyak Indonesia disponsori Pertamina yang melibatkan 14 pelukis kenamaan Indonesia.Selain penyelenggaraan pameran di PKJ TIM, sepanjang 1974 beberapa pameran seni lukis juga diselenggarakan di beberapa lokasi di Jakarta, salah satunya Pameran Muharyoto Hartoyo dan Bambang Budjono yang diselenggarakan di Bentara Budaya (31 Juli – 5 Agustus 1974).
Pada tulisan di Koran Kompas tersebut, Sides juga mencatat fenomena percobaan beberapa anak muda untuk menggunting gaya lukisan Raden Saleh, “namun kemandegan seni lukis yang telah mempola itu belum bisa ditembus jalan buntunya,” tulisnya. Menurut Sides, pembahasan mengenai ‘pengadilan’ seni lukis sering menjadi pembicaraan oleh seniman muda maupun tua di tiap-tiap pertemuan. Sebagaimana pelukis Rusli dengan tenang pernah berkata: “Saya menjadi ngiri. Kalau ada pengadilan untuk puisi, mengapa tidak ada pengadilan untuk seni lukis kita?”
Namun bagi beberapa pelukis periode itu, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia pertama (PBSI I) mungkin sudah seperti ‘pengadilan’. Mereka dengan sukarela ‘disidang’ (dinilai) oleh para juri yang terdiri dari Affandi, Popo Iskandar, Sudjoko, Alex Papadimitriou, Fadjar Sidik, Umar Kayam. PBSI I pada dasarnya memang diniatkan menjadi pameran seni lukis yang merepresentasikan perkembangan seni lukis (seni rupa di Indonesia). “Komite Seni Rupa berpendapat sewaktu-waktu perlu diadakan pameran besar yang mencakup karya lukisan yang se-reprentatip mungkin dari sebanyak mungkin pelukis yang masih aktif di negeri kita,” tulis Dewan Kesenian Jakarta dalam katalog program PBSI I.
Dewan Kesenian Jakarta memandang pameran seni lukis yang setiap bulan mereka selenggarakan belum sanggup menjangkau sebanyak mungkin pelukis, belum memenuhi berbagai gaya lukisan dan patokan minimal kualitas yang ditentukan, juga tidak sanggup menampung atau mencakup karya-karya berbagai pelukis sebanyak yang diharapkan. Menurut DKJ, ada dua persoalan mendasar yang menyebabkan keterbatasan ini. Pertama, jarak antara Jakarta dengan kota-kota tempat pelukis banyak bermukim dan berkarya menyebabkan DKJ tidak dapat terus-menerus melakukan pembaruan pengetahuan tentang perkembangan karya. Kedua, keterbatasan anggaran dan tenaga membuat DKJ tidak mampu melakukan penelitian dan penjelajahan (scouting) bila sewaktu-waktu diperlukan.
Sementara itu, DKJ mengasumsikan, menganggap, dan membayangkan pelukis-pelukis di berbagai daerah terus-menerus menghasilkan karya-karya yang pantas untuk dipamerkan. Maka PBSI merupakan jalan tengah menurut DKJ untuk merepresentasikan seni rupa Indonesia secara menyeluruh melalui konsep Pameran Besar. PBSI akhirnya diselenggarakan untuk pertama kali dari tanggal 18-31 Desember 1974 dalam rangkaian Pesta Seni 1974–sebuah perhelatan yang dianggap sebagai prestasi puncak dalam setiap kegiatan selama periode bertugasnya anggota DKJ.
Ruang Belajar dan Kritik
Sepanjang pelaksanaan PBSI I, hingga biennale ini berusia 50 tahun, kritik tajam sampai polemik ‘nyeleneh’ dan ‘menjengkelkan’ selalu menyertai penyelenggaraan pameran ini. Pada periode awal penyelenggaraan, PBSI memang mendapat perhatian besar dari para pelukis karena menjadi satu-satunya pameran terbesar tempat bertemunya para “pelukis besar”. Terpilih dan ikut serta dalam pameran ini mungkin menjadi satu pencapaian tersendiri bagi para pelukis. Di luar itu semua, para seniman juga menyoroti bagian bopong dari pelaksanaan agenda tersebut.
D.A Peransi misalnya, dalam makalahnya “Lee? Levi? Amco? Texwood?” pada Diskusi Seni Lukis Indonesia (21 Desember 1974) menyatakan Pameran Besar Senirupa Indonesia memperlihatkan suatu perkembangan yang sangat menarik. Walau menarik, tidak berarti tanpa masalah. Lewat makalahnya, Ia bahkan mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang radikal. Dan benar saja, pameran tersebut kemudian memunculkan perdebatan dari beberapa para ‘seniman muda’ yang kemudian mendorong mereka untuk memunculkan “Pernyataan Desember Hitam” dan dikenal dengan “Desember Hitam”.
Pernyataan Desember Hitam adalah bentuk protes terhadap penjurian dan penghargaan karya-karya terbaik dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia I. Dengan mengirimkan karangan bunga putih dan pita hitam bertuliskan “Ikut Berduka Cita Atas Kematian Seni Lukis Kita”. Pernyataan yang ditandatangani oleh Muryotohartoyo, FX Harsono, B. Munni Ardhi, Ikranegara, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, Siti Adiyati, D.A. Peransi, Hardi, Abdul Hadi WM, Adri Darmadji, serta Baharudin Marasutan ini, salah satunya tujuannya untuk menampik pandangan Dewan Juri PBSI I yang dianggap mendiskreditkan para pelukis muda. Juri dalam catatan pemilihan lukisan terbaik menyatakan bahwa pelukis muda melakukan usaha bermain-main dengan apa-apa yang asal “baru” dan “aneh”, dan dianggap sebagai usaha coba-coba, cari-cari atau sekadar iseng, dan dipandang sebagai bukti kelangkaan kreatifitas.
Dalam Pernyataan Desember Hitam, para seniman muda memandang bahwa beberapa tahun belakangan kegiatan-kegiatan seni budaya dilaksanakan tanpa strategi budaya yang jelas, dan tidak tampak sedikitpun wawasan pada pengusaha-pengusaha seni-budaya terhadap masalah-masalah paling asasi dari kebudayaan (Indonesia). Melalui Desember Hitam, para seniman muda juga memandang bahwa telah terjadi suatu erosi “spirituil” dan mengarah ke penghancuran perkembangan seni-budaya. Mereka juga memandang bahwa seni rupa Indonesia telah mengalami establishment, menjadi sesuatu yang mapan dan tidak memberikan daya tawar baru.
Desember Hitam kemudian menjadi titik tolak untuk Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Gerakan ini muncul pada tahun 1975 dengan suatu paradigma yang melawan bentuk seni rupa lama yang personal dan liris. Dari berbagai kecenderungan yang muncul, dapat dilihat Lima Jurus GSRB Indonesia menjadi rujukan estetiknya, seperti dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut: Usaha mereka untuk meniadakan batas seni lukis, grafis, patung, atau cabang-cabang seni rupa lain yang juga bisa dikaitkan dengan ruang, gerak, dan waktu bisa melahirkan bentuk-bentuk seni rupa baru; Mereka lebih percaya masalah sosial yang aktual lebih penting untuk diangkat menjadi karya seni dari pada keharuan sentimen-sentimen pribadi, imaji personal yang bersifat liris dan esoteris seorang seniman; Mengharapkan keragaman gaya dan kemungkinan baru tanpa batasan, menolak penurunan gaya guru pada cantrik atau muridnya; dan Membangun seni rupa Indonesia dengan historiografinya sendiri yang tidak merupakan bagian dari sejarah seni rupa dunia.
GSRB mencita-citakan perkembangan seni rupa yang “Indonesia” dengan jalan mengutamakan pengetahuan tentang Sejarah Seni Rupa Indonesia Baru yang berawal dari Raden Saleh. Mempelajari periodisasinya, melihat dengan kritis dan tajam caranya berkembang, menimbang dan menumpukkan perkembangan selanjutnya ke situ. Termasuk mencita-citakan perkembangan seni rupa yang didasari tulisan-tulisan dan teori-teori orang- orang Indonesia, baik kritikus, sejarawan ataupun pemikir. Selain itu, mereka turut mencita-citakan seni rupa yang lebih hidup, dalam arti tidak diragukan kehadirannya, wajar, berguna, dan hidup meluas di kalangan masyarakat.
Gerakan ini, setidaknya memperlihatkan betapa PBSI I telah menjadi titik pijak dan mengantarkan seni rupa Indonesia pada perkembangan berbeda setelahnya. PBSI I telah mendorong untuk mempertanyakan bagaimana meraih nilai-nilai untuk menuju sesuatu yang bukan cuma sekadar “baru”, “aneh-aneh”, “coba-coba” atau “iseng-iseng” sebagaimana dikatakan para juri PBSI I. (*)
Foto:Jim Supangkat membawa makalah berjudul “Masalah identitas, Sejarah dan Memajukan Seni Rupa Kita” dalam Diskusi Seni Lukis Indonesia, Pameran Besar Seni Rupa II, 26 Desember 1976. (Arsip Dewan Kesenian Jakarta)