Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Menjelang Krisis

Konon menurut kabar, ketika ilmu pengetahuan tengah di arak kearah positivism tingkat lanjut, sebuah perdebatan terjadi di seminar Malinowski, antara Jomo Kenyatta dan Louis S.B Leakey. Pada acara ini Kenyatta mempresentasikan karya berjudul “Facing Mount Kenya” yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1938, sesaat sebelum perdebatan terjadi. Buku ini adalah hasil studi antropologi tentang masyarakat Kikuyu, sebuah kelompok etnik terbesar di sentral Kenya. Si penulis, Kenyatta, lahir di Kenya, seorang lelaki suku Kikuyu dan menempuh pendidikan di luar negeri.

Barangkali sudah jalannya, dalam seminar ini juga duduk seorang pembicara yang lain, Leakey, seorang afrika kulit putih, arkeolog/antropolog abad ke-20 yang terkenal, dan yang juga mengerti tentang Kikuyu. Leakey adalah putra misionaris Kristen yang bekerja lama di tengah masyarakat Kikuyu. Keduanya mengaku memiliki pengetahuan “orang dalam” perihal adat istiadat Kikuyu.

Inti argumen mereka adalah “siapa yang berhak mewakili masyarakat Kikuyu dan melalui cara metodologis apa?” Apakah Leaky dengan antropologi tradisionalnya yang didorong oleh hipotesis, atau Kenyatta yang karyanya sepertinya memperkenalkan kombinasi otobiografi dan etnografi antropologis ke dunia barat untuk mewakili masyarakat Kikuyu? Argumen ini secara gamblang mengangkat pertanyaan tentang validitas data antropologis dengan menilai karakteristik, minat, dan asal orang yang melakukan kerja lapangan.

Seperti koheren, pada pertengahan 1980 an–di atas interrelasi antara limitasi pengetahuan saintifik dan meningkatnya apresiasi pada pengkajian kualitatif, meningkatnya perhatian pada tema-tema identitas sosial dan politik, perhatian pada persoalan etik dan politik penelitian, serta panggilan yang makin menguat pada bentuk penelitian yang berbentuk naratif, sastrawi dan estetik, yang menekankan pada emosi dan tubuh–perdebatan Kenyatta dan Leakey mendapatkan tempatnya kembali. Interelasi trend-trend historis itu memicu pada apa yang disebut sebagai krisis ganda–krisis legitimasi dan representasi. Siapa yang legitimate dan representatif mewakili penggambaran suatu kebudayaan/masyarakat. Terma-terma validitas, generalisasi, reliabilitas, khas postpositivistik, difikirkan ulang. Ia juga disemangati atau tertanam dalam wacana post-strukturalisme dan postmodernisme. Gambaran budaya masyarakat sebagai hasil kemampuan peneliti, sebenarnya adalah kreasi teks sosial yang ditulis oleh peneliti.

Sebagai respons (alami) atas krisis ganda dalam ilmu pengetahuan kualitatif inilah, sebuah pendekatan baru muncul dan berkembang, yang memungkinkan suara kembali pada insider alih-alih dinarasikan oleh outsider. Kita kembali kesini nanti.

Narasi Outsider dan Hilangnya Subjek

Jauh sebelum perdebatan Kenyatta Leakey, pada pertengahan abad ke-19, para antropolog mulai menjelajahi dunia untuk mempelajari dan menulis tentang budaya “eksotik” atau “primitif”. Mereka memelopori praktik etnografi—mengamati, menulis tentang, dan menganalisis secara sistematis orang-orang dan praktik budaya mereka—dengan harapan dapat menyusun catatan atau interpretasi budaya yang sistematis yang memperdalam pemahaman tentang dunia. Para etnografer awal ini menawarkan “kisah realis” (realist tales) yang naturalistik, yang menekankan objektivitas. Para pelopor ini mengenali dan bergulat dengan pertanyaan tentang bagaimana menyajikan catatan tekstual yang akan memberikan deskripsi yang jelas, akurat, dan kaya tentang praktik budaya orang lain (others). Karya-karya mereka masih menjadi canon sampai sekarang. Dan narasi etnografi outsider, bagaimanapun, telah menopang bangun pengetahuan kita tentang suatu masyarakat.

Mari lihat contoh pengetahuan tentang Minangkabau. Istilah matrilineal/matriakat, adalah konsepsi teoritik yang dinarasikan pertama kali oleh pencatat-pencatat Belanda, dan kemudian menjadi identitas yang kita pegang dan yakini sampai hari ini. Sebelum konsepsi tersebut diinternalisasikan melalui beragam publikasi, orang Minangkabau tidak pernah mendefenisikan diri mereka sebagai matriarkat. Begitu juga perihal Formasi Sosial Minangkabau, digambarkan oleh Joel S Kahn, jaringan kekuasaan di dalam organisasi sosial Minangkabau diteoritisasi oleh Evelyn Blackwood. Fungsi limpapeh rumah gadang, ibu, istri dan saudara perempuan dinarasikan oleh Joke van Reenen, atau relasi sosial dan properti didefenisikan oleh Franz von Benda Backmann. Jerfrey Hadler, Tsuyoshi Kato, Peggy Reeves Sanday, Nancy Tanner, Joanne Prindiville, dll. Tidak bermaksud menegasikan nama-nama ilmuan dalam negeri bahkan minangkabau sendiri, barisan-barisan nama tersebut diatas–bagaimanapun–telah dan masih mendapat tempat tersendiri bagi peneliti-peneliti akademik penerusnya.

Ilmuan Minangkabau dalam negeri, bahkan yang bisa dianggap sebagai “insider Minangkabau” sekalipun, seperti Harsja Bachtiar, menyajikan gambaran tentang Minangkabau dalam cara baca (metodologis) objektif positivistik. Meskipun Pak Harsja adalah orang berdarah Minangkabau, memiliki pengalaman dan merasakan kehidupan sebagai etnis Minang, tapi ia berangkat dari hipotesa dan kategorisasi objektif yang mapan. Negeri Taram:  A Minangkabau Village Community, karya Harsja Bachtiar yang terbit pada tahun 1967, adalah satu tulisan di antara sekian banyak tulisan lain dibawah kategorisasi budaya Koentjaraningratan.

Artinya apa? 1) Narasi negeri taram di susun diatas kategori objective. Narasi yang berada diluar kategori-kategori budaya Koentjaraningrat tidak masuk sebagai puzzle Minangkabau village community, yang sangat mungkin justru menjadi fakta sosial otentik dari yang diteliti. Minim–kalaupun tidak mau mengatakan tidak ada sama sekali–narasi-narasi fenomenologis yang berangkat dari subjek-subjek objek yang diteliti. Atau, kalaupun ada, ia dibatasi dalam kerangka objective penelitian. 2) Yang kedua sebagai insider dan peneliti, Harsja Bachtiar tidak memasukkan pengalamannya sendiri sebagai anak dari salah satu nagari Minangkabau. Di atas kertas, narasi personal peneliti tersebut taboo atas nama objektivitas. Inilah krisis legitimasi dan representasi. Sebagai catatan kaki, karya Muhamad Radjab, adalah salah satu karya narrative yang memotret pengalaman hidup masa kecilnya sendiri, yang darinya pembaca bisa mendapatkan potongan gambaran kehidupan masyarakat di sebuah nagari era awal abad ke 20. Namun jika berpegang pada kacamata akademik tradisional, ini bukanlah karya etnografi.

Saya ingin menggarisbawahi, bahwa kajian-kajian para peneliti tradisional di atas (termasuk kajian-kajian etnografis serupa hingga hari ini) bukanlah tidak bermanfaat. Secara pribadi, saya sangat mengagumi karya-karya tersebut. Sebagai pembaca saya sangat banyak terbantu dalam memahami kebudayaan saya sendiri (dalam cara pandang orang lain) dengan membaca karya-karya etnografi mereka. Dan sebagai peneliti, karya-karya ini sangat baik sebagai titik berangkat analisis. Yang menjadi menarik adalah perihal dimana posisi suara insider (subjek) nagari Taram dalam narasi-narasi tersebut. Dimana suara, pengalaman, perasaan dan refleksi dari Harsja Bachtiar dalam potret Minangkabau Village Community. Di atas kaidah etnografi tradisional, suara orang-orang Taram hilang, dan Harsja Bachtiar sebagai subjek, raib.

Meminjam argumentasi kritis dari semangat krisis ganda sebelumnya, gambaran budaya masyarakat sebagai hasil kemampuan peneliti, sebenarnya adalah kreasi teks sosial yang ditulis oleh peneliti saja. Mengapa kita bisa lebih menerima hasil penelitian orang lain (peneliti luar negeri misalnya), yang membuat penelitian (atau kategorisasi) atas diri kita, dan menganggapnya sebagai suatu kebenaran, dari pada apa yang diri kita sendiri alami dan maknai, hanya atas nama objektivitas? – kata Katrin Bandel suatu waktu.

Dari Etnografi ke Autoetnografi

Gap inilah agaknya yang ingin dipenuhi oleh Autoetnografi–penggunaan pengalaman personal untuk mengeksaminasi dan atau mengkritik wacana sosio-kultural. Lebih dari sekedar mengembalikan suara pada subjek (khas fenomenologi), tetapi menjadikan peneliti sekaligus sebagai objek kaji itu sendiri.

Autoetnografer menggunakan data personal dalam pekerjaan mereka. Sebuah autobiografi yang etnografis secara metodologi, dan berorientasi kultural dalam analisis dan interpretasi. Melalui pendekatan ini peneliti memberi ruang dan kesempatan untuk menggunakan suara dan pengalaman pribadinya untuk lebih memahami lingkungan atau situasi budaya yang ada di sekitarnya (their cultural assumptions) atau posisi dirinya dalam wacana intelektual. Dalam konteks Minangkabau Village Community tadi misalnya, dengan berautoetnografi Harsja Bachtiar dimungkinkan menjadikan pengalaman personal masa kecilnya sebagai data dalam membicarakan nagari Minangkabau. Sebagai anak-nagari, setiap kita bisa merefleksikan secara kritis sistem sosial Minangkabau yang dinarasikan oleh Josselin de Jong, misalnya, formasi sosial ekonomi Minangkabau oleh Joel S Kahn, atau defenisi diri lainnya yang dinarasikan oleh petinggi-petinggi ilmu pengetahuan kita hari ini. Bahkan, membicarakan ulang ke-moderen-an kita.

Penghadiran subjek ini akan mengarahkan kita pada proses introspeksi sosio-antropologis yang mungkin saja tengah “mandeg” dibawah narasi-narasi canonical selama ini. Ia memungkinkan kita “memecahkan kesunyian”, dan “me(re)claiming suara”. Sebagai hasilnya barangkali akan mengetengahkan satu gambaran dalam nuansa etnografi yang berbeda, dan patut mendapatkan tempat dalam wacana akademik. Sebagai metodologi, autoetnografi melengkapi beragam pendekatan yang telah ada, dan sebagai praktik ia menjadi ceruk bagi orang minang (dan secara lebih luas, siapa saja dari konteks kebudayaan manapun) untuk mahaden (mendaku – menyuarakan keakuan–manifestasi subjek Minangkabau) atas konteks budaya yang menjadi perhatiannya. Sebuah kemampuan metodologi refleksif dalam menarasikan diri hari ini dan menyusun masa depan. (*)

Sleman, 21 September, 2024.

Tulisan kecil ini adalah catatan umum yang berangkat dari satu diskusi reguler Komunitas Titian, sebuah komunitas yang berisi mahasiswa, budayawan, seniman dan umum, yang concern dengan wacana Keminangkabauan, Keislaman dan Modernitas. Diskusi kali itu bertema Mahaden dan Potensi Autoetnografi, yang terselenggara pada tanggal 18 September 2024, di Sarang Building Blok 2, Yogyakarta.

Foto: Tiruan Rumah Gadang dari kawat perak. Dibuat oleh seorang tukang emas di Pantai Barat Sumatra. Repro dari buku Ilmoe Boemi Seloeroeh Hindia-Nederland (tanpa tahun).

 

Bahan Bacaan

David M Hayano, Paradigma, Problem and Prospects, Human Organization 1979-mar vol. 38 iss.

Yvonnas S. Lincoln & Norman K. Denzin, Handbook of Qualitative Research, Sage Publications, Inc. 1994

Stacy Holman Jones, Tony E. Adams, and Carolyn Ellis, Handbook of Autoethnography, Routledge, 2016.

Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies, Sage Publication. 2003

Koetjaraningrat (ed), In Villages in Indonesia , Ithaca : Cornell University Press, 1967.

Peggy Reeves Sanday, Women at the Center, Life in a Modern Matriarchy, Cornell University Press, 2002.

Heewon Chang, Autoethnography as Method, Heewon Chang, Routledge, 2016

Anne Shakka, 2019, “Berbicara Auto-etnografi: Metode reflektif dalam penelitian ilmu sosial”, Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Budaya, Vol. 14

 

Related posts
Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Artikel

Tiga Diskusi, Empat Eksebisi: Catatan Sinematografi Teater Tendi Karo Volkano

Artikel

Roehanna Koeddoes dan Proyek Kolonialisme Tercerahkan

Artikel

Siska, Rantau, dan Perlawatan Melampaui Diri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *