Adakah yang lebih jenaka daripada percakapan panjang tentang “demokrasi” ketika institusi yang konon menjadi soko guru kebebasan justru hadir dengan wajah kaku dan sering kali tak manusiawi? Partai politik, mesin penggerak kekuasaan, dulu dianggap kendaraan suci bagi kaum progresif untuk menggeser tatanan yang usang. Tapi apakah kita masih memerlukan mereka? Di Indonesia hari ini, aktivisme menemukan dirinya dalam persimpangan antara harapan baru dan kemuakan lama. Partai politik seolah tak lagi membawa cita-cita mulia, melainkan menjadi teater bagi elit-elit yang bermain atas nama rakyat. Ironisnya, seperti kata Marx, masyarakat kita digiring oleh tangan-tangan tak kasat mata yang bekerja di bawah bayang-bayang struktur sosial dan ekonomi.
Kita hidup di masa di mana “politik” tak lagi bersemayam dalam ide-ide besar, tetapi dalam cuitan, meme, dan janji-janji kosong yang cepat terlupakan. Partai politik hari ini? Mereka lebih mirip klub sosial, berputar dalam lingkaran elit dengan janji-janji manis yang senantiasa menguap. Mereka menyedot energi para aktivis dan pemikir muda ke dalam sumur pragmatisme yang hampa, mengubur idealisme dalam tumpukan proyek, konsesi, dan lobi. Bukankah sudah saatnya kita bertanya ulang: apakah partai masih relevan?
Rosa Luxemburg pernah mengatakan, “Kebebasan adalah kebebasan bagi mereka yang berpikir berbeda.” Di mana kebebasan itu ketika partai politik di Indonesia lebih sibuk meneguhkan struktur oligarki daripada menghidupkan suara rakyat? Sebagai mesin kuasa, partai-partai ini tampak semakin jauh dari rakyat yang seharusnya mereka wakili. Para elit partai, dengan segala kepentingan dan agenda tersembunyi, kerap lupa bahwa rakyat bukan sekadar angka dalam survei elektabilitas. Demokrasi, dalam idealnya, adalah suara kolektif; tetapi dalam praktiknya, ia lebih menyerupai lelang yang dimenangkan oleh yang punya dana kampanye terbesar.
Dalam percaturan politik Indonesia kontemporer, kita menyaksikan bagaimana partai-partai beroperasi bukan untuk ideologi, bukan untuk kemajuan bangsa, tetapi untuk kepentingan jangka pendek yang penuh kalkulasi pribadi. Ketika aktivis muda berbicara soal perubahan sosial, tentang kesetaraan dan keadilan, partai politik sibuk dengan urusan elektoral yang kerap mengabaikan suara mereka. Bayangkan seorang buruh yang bekerja 10 jam sehari dengan upah di bawah standar. Baginya, apa arti partai politik yang tak pernah hadir di tengah perjuangan keseharian?
Aktivisme di Indonesia hari ini lebih banyak muncul dari gerakan rakyat yang spontan, dari kelompok-kelompok masyarakat sipil yang mandiri, dari ruang-ruang virtual tempat wacana dan resistensi tumbuh. Gerakan #ReformasiDikorupsi adalah contoh nyata bagaimana rakyat bergerak di luar kerangka partai politik, menuntut perubahan atas nama keadilan sosial. Partai, dalam situasi ini, tak lebih dari penonton yang berharap mendapatkan keuntungan dari kegaduhan.
Jika kita menilik sejarah, partai revolusioner memang pernah memainkan peran penting. Lenin dan Trotsky, dengan visi mereka yang tajam, menunjukkan bagaimana sebuah partai bisa menjadi instrumen perubahan yang signifikan, terutama di tengah krisis besar. Tapi konteks hari ini berbeda. Partai-partai modern lebih sibuk memperbaiki citra daripada mengoreksi sistem. Mereka bukan lagi agen perubahan, tetapi penjaga status quo. Dan status quo ini? Ditenun oleh kekuasaan ekonomi yang rapuh namun kejam.
Filsuf Prancis Jean-Paul Sartre menyebut “kebebasan terkutuk” — kebebasan yang menjerat manusia dalam pilihan-pilihan tak terelakkan. Di sinilah kita berdiri, di depan pilihan untuk tetap percaya pada partai-partai yang ada atau mencari jalan alternatif. Apakah kita masih memerlukan partai untuk mewujudkan perubahan? Atau, dalam dunia yang semakin terhubung, kita bisa menciptakan model baru di luar hierarki yang kaku ini?
Aktivisme modern tampak lebih hidup di jalanan, di ruang-ruang diskusi kecil, atau bahkan di ranah digital — di mana mereka bisa bebas dari intervensi partai. Dalam dinamika ini, partai terlihat sebagai peninggalan kuno, lamban merespons tuntutan zaman, dan terlalu terseret pada rutinitas kekuasaan.
Menjadi elegan dalam skeptisisme adalah sikap yang perlu kita ambil hari ini. Menolak partai bukan berarti menolak demokrasi, tetapi justru mempertanyakan bentuk demokrasi yang kita jalani. Sebagaimana Michel Foucault sering katakan, kekuasaan tidak datang dari satu sumber, melainkan menyebar melalui berbagai jaringan. Jika begitu, kenapa kita harus terus menaruh harapan pada satu sumber kekuasaan yang sudah terbukti cacat?
Mungkin, jawabannya terletak pada kegigihan masyarakat sipil. Dalam bahasa Antonio Gramsci, kita memerlukan “organik” baru, sebuah gerakan yang muncul dari bawah, dari jaringan-jaringan sosial yang lebih dekat dengan rakyat ketimbang partai-partai yang berjarak. Kekuasaan, seperti air, harus mengalir dari bawah, dari arus besar yang dibentuk oleh gerakan rakyat itu sendiri. Dan jika itu berarti meminggirkan partai politik, maka mungkin kita harus berani melakukannya.
Lantas, apakah kita memerlukan partai? Saya kira, pertanyaan ini bisa dijawab dengan ironis: mungkin kita hanya memerlukan partai jika mereka bisa berhenti menjadi “partai”. Jika mereka kembali menjadi alat perjuangan rakyat, bukan sekadar alat kekuasaan. Atau mungkin kita hanya perlu terus mempertanyakan, terus menolak kepastian, dan membiarkan sejarah berjalan dalam ketidakpastiannya. Siapa tahu, dalam ketidakpastian itulah kita menemukan jalan baru.(*)
Ilustrasi: Amalia Putri / @yyumemiru