Pada 28 Desember 1895, di Grand Cafe Boulevard des Capucines, Paris, Budi duduk di kursi paling depan untuk menonton The Arrival of a Train at La Ciotat Station karya Lumiere bersaudara. Kebetulan, bioskop pertama yang dihadiri Budi adalah bioskop pertama di dunia, meski pemutaran karya gambar bergerak sudah ada sebelum Lumiere bersaudara.
Thomas Armat lebih dulu memutarkan gambar bergerak di Atlanta, Amerika, ketika berlangsung pameran kapas pada 1895. Pada tahun yang sama, Roberto Paul memukau publik London, juga Max dan Emil Skladanowsky di Berlin. Bedanya, Lumiere bersaudara menerapkan sistem berbayar untuk pemutaran karyanya.
Di dalam kafe, peluh dingin Budi mengalir deras. Tontonannya itu selama lima puluh detik, memvisualkan sebuah kereta yang bergerak menuju ke arah kamera. Kengerian itu membuat suasana kafe menjadi panas dan menegangkan. Sedangkan di luar, butiran salju turun dengan derasnya. Dongeng Santa dan tahun baru berembus bersama angin musim dingin.
Sejak hari itu Budi turut serta menghadiri pemutaran film di berbgai belahan dunia: di London, Inggris, pada Februari 1896; St. Petersburg, Uni Soviet, pada Mei 1986; Jepang pada 1896 sampai 1897; Korea pada 1903; dan Italia pada 1905.
Sebelum ke Korea dan Italia, Budi sempat singgah di Hindia Belanda. Pada 5 Desember 1990, Nederlanshe Biosckop Maatschappij (Perusahaan Bioskop Belanda) mensponsori pemutaran film di Tanah Abang, Batavia. Budi senang sebab ia bisa duduk bersebelahan dengan sinyo dan noni-noni Belanda, yang kala itu berkedudukan lebih tinggi dalam strata sosial masyarakat setempat.
Kunjungan inilah yang membuat Budi kembali ke Hindia Belanda setelah ia puas berkeliling dunia. Dari Italia, ia langsung berlayar ke Padang untuk menemui Susi, kekasihnya.
Cikal Bakal Sinema di Padang
Pada masanya, Padang merupakan salah satu kota sibuk dan penting di pantai barat Sumatera–salah satu kosmopolit. Berbagai bangsa berinteraksi di sini. Tak heran apabila Padang terhitung cepat dalam menerima hal-hal baru dibanding dengan daerah lain di bagian barat Indonesia. Fonograf, atau mesin bicara yang diciptakan Thomas Alva Edison pada 1887, sudah ada di Padang tahun 1898. Begitu juga dengan film. Pemutaran film sudah ada di Padang sejak 1905, walau sifatnya masih eksklusif untuk orang-orang Belanda. Film yang diputar adalah dokumenter perang Jepang melawan Uni Soviet. Pemutaran-pemutaran film belum berlangsung di bioskop, melainkan di gedung multifungsi tempat berkumpulnya imigran-imigran Eropa, seperti Edisons Wereld Toneel, Royal, dan Ons Genoegen.
Bioskop-bioskop baru berdiri pada dekade 1920an. Empat bioskop pertama di Padang, yakni Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scalabio[scope], dan Cinema Theater, dimiliki oleh pengusaha Cina dan Eropa. Sampai sekarang belum diketahui letak persisnya keempat bioskop itu. Pada masa itu, pengusaha Cina memang banyak menanam saham untuk membangun bioskop, karena usaha perbioskopan begitu menjanjikan kala itu. Selain itu, para pengusaha Cina juga menganggap pengusaha Eropa telah gagal dalam berbisnis bioskop. Mereka yakin bisa lebih baik dari orang-orang Eropa. Dalam berbisnis bioskop, pengusaha Cina cenderung mendirkan banyak bioskop dalam satu payung kepemilikan. Contohnya adalah Cinema Bioskop, yang dirintis pada 1921 oleh perusahan Maskapay Handle Industri. Ang Eng Kwan, pemimpinnya, kemudian mendirikan Appolo Bioscope pada 1926 dan Rio Bioskop pada 1936.
Bioskop dengan cepat menjadi bagian dari keseharian warga setempat, tak terkecuali Budi dan Susi. Mereka senang ke bioskop karena mereka bisa rebahan di kursi sambil menonton karya-karya gambar bergerak. Waktu itu harga karcis terbagi menjadi tiga klasifikasi: kelas satu ƒ 1,25; kelas dua ƒ 0,75; kelas tiga ƒ 0,25. Kelas menentukan posisi tempat duduk: kelas satu paling belakang, kelas dua di tengah, dan kelas tiga di depan. Penempatan ini selaras dengan stratifikasi sosial yang ditegaskan pemerintahan kolonial kala itu: kelas satu untuk orang-orang Belanda; kelas dua untuk orang Cina, India, Amerika, dan Eropa; dan kelas tiga untuk kaum pribumi.
Budi dan Susi tak punya banyak uang. Mereka kesulitan menyisihkan uang untuk membeli dua lembar karcis kelas tiga di Cinema Bioscope. Mereka dapat tempat duduk paling depan. Budi sendiri sebenarnya ingin duduk di belakang, supaya bisa bermesraan dengan Susi, tapi itu hanya mimpi yang lekas pudar di kala kedudukan sosial adalah sesuatu yang kokoh. Ditambah lagi dengan “penonton kelas kambing” yang duduk di lantai depan kursi kelas tiga. Mereka suka meribut, sehingga keintiman Budi dan Susi terganggu.
Pembagian kelas di bioskop untungnya tidak bertahan lama. Melihat potensi penonton yang tinggi di kalangan penonton pribumi, para pengusaha Cina membuka bioskop mereka sepenuhnya untuk orang pribumi, selama mereka bisa membayar harga tiket untuk kelas dua atau kelas satu. Budi dan Susi pun bisa berasyikmasyuk dalam gelap.
Di salah satu pemutaran film, ketika film belum ditayangkan, Susi berbisik kepada Budi, bahwa sanak-familinya di Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh juga senang nonton film di bioskop. Di kota-kota itu, bioskop juga sudah mulai banyak berdiri. Pada suatu kesempatan, ketika Budi membaca koran Sinar Sumatra, ia dikejutkan oleh berita seorang anak yang menjahili tukang minyak tanah keliling dengan meniru gaya Tom Mix di salah satu adegan filmnya, sehingga minyak terbuang sepanjang jalan.
Sejak 1926, film-film bersuara mulai hadir di Hindia Belanda. Tidak saja film-film bersuara dari luar, seperti Jazz Singer, Fox Foolies, dan Rainbow Man, tapi juga film-film bersuara produksi lokal Njai Dasima dan Pembalasan Nancy. Film-film ini menghadirkan pengalaman menonton yang berbeda. Kalau biasanya Budi dan Susi bisa memahami film dari gerak-gerik para pemeran dan visual, kini mereka mesti mencermati dialog-dialog yang mereka ucapkan. Sialnya, bahasa yang dipakai tak dipahami oleh mereka. Tidak hanya Budi dan Susi, banyak juga penonton lain merasakan hal serupa, sehingga para pengusaha bioskop menyertakan teks tertulis di layar (subtitle) supaya film mudah dipahami.
Awal 1930an, perbioskopan mengalami masalah. Tidak hanya di Padang, juga di luar Padang. Krisis ekonomi akibat Perang Dunia I mulai terasa di Hindia Belanda. Para pengusaha bioskop kesusahan mengimpor film-film dari luar, dan bioskop mulai ditinggalkan penonton. Budi dan Susi pun terlalu sibuk mencari uang untuk makan. Tak banyak yang bisa disihkan untuk membeli tiket bioskop.
Krisis mendorong para pengusaha bioskop untuk berstrategi bersama. Pada 13 September 1934, mereka berkumpul dan menyelenggarakan rapat di Batavia. Pertemuan itu menghasilkan Gabungan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda. Holthaus dari Centraale Theater, Buitenzorg (Bogor), terpilih sebagai ketua; Liono, manajer perusahaan film Remaco, terpilih sebagai sekretaris; dan Van Der Ie dari Centraale Bioscoop, Batavia, terpilih sebagai bendahara. Ada pula Yo Hen Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan dari Cinema Palace, Batavia, terpilih sebagai komisaris.
Pertemuan itu juga menetapkan iuran bioskop per bulan berdasarkan kelasnya: ƒ 15 untuk bioskop kelas I, ƒ 10 kelas II, dan ƒ 5 kelai III. Di Padang, bioskop kelas I meliputi Cinema Bioscoop, Rio Bioscoop, Capitol Bioscoop, dan Rex Bioscoop. Bioskop kelas II hanya Apollo Bioscoop.
Kedatangan Saudara Tua
Agresi Jepang di Pearl Harbour membuat Belanda gentar. Mereka yakin Jepang akan segera menduduki Hindia Belanda, apalagi setelah Jerman, sekutu Jepang, berhasil menduduki negeri Belanda. Oleh karena itu AWL Tjarda van Starkenborg Stackhouwer, Gubernur Jenderal Belanda sekaligus wakil tertinggi Ratu Belanda di Hindia Belanda, mengumumkan pernyataan perang dengan Jepang melalui sebuah siaran radio. Wilhelmina, Ratu Belanda, menyetujui pernyataan perang tersebut, yang disampaikan oleh Duta Besar Belanda di Tokyo pada 9 Desember 1941.
Budi, sebagai seorang yang bisa membaca koran, mengetahui pergolakan yang terjadi atas bahaya Jepang itu. Budi pun memberi tahu Susi mengenai hal tersebut. Mereka cemas. Gemuruh perang akan singgah di rumah mereka.
Serbuan pertama Jepang ke Hindia Belanda berlangsung pada 11 Januari 1942. Dua bulan kemudian, tepatnya 8 Maret 1942, Belanda menandatangani penyerahan kawasan Hindia Belanda kepada balatentara Jepang tanpa syarat. Lima hari kemudian, derap langkah tentara Jepang mulai memasuki Padang dan Bukittinggi. Budi dan Susi mengamati mereka. Serdadu dengan mata sipit yang khas. Beberapa memakai kacamata, dan semuanya membawa sebilah pedang di bagian pinggul.
Jepang, yang merasa dirinya “kakak tertua” bagi bangsa Asia, mendirikan Sindenbu alias Badan Propaganda dan Penerangan. Salah satu dampak dari kehadiran Sindenbu adalah pelatihan dan pendidikan seniman Indonesia, termasuk para sineas. Dampak lainnya adalah penutupan atau pengambilalihan semua bioskop milik warga Cina peranakan. Jepang tidak percaya kepada orang-orang Cina. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Jepang mendatangkan film-film dari negeri mereka, lengkap dengan subtitel supaya mudah dipahami warga setempat. Jepang juga mengatur harga karcis menjadi lebih murah, kira-kira 10 sen, sehingga warga pribumi miskin sekalipun bisa menonton di bioskop. Selain itu, Jepang turut menyelenggarakan pemutaran di ruang terbuka untuk daerah-daerah kecil yang tidak memiliki gedung bioskop.
Pada suatu kunjungan ke bioskop, Budi dan Susi menonton sebuah film tentang pesawat tentara Jepang yang menembak jatuh pesawat sekutu. Mata Budi dan Susi berbinar-binar. Ketika kredit film bergulir, Budi dan Susi bersorak-sorak kegirangan karena ikut merasakan kekuatan dari pasukan Jepang. Dalam hati, Budi percaya, pasukan Jepang adalah pasukan nomor satu di dunia.
Setelah sekian kali menonton di bioskop, Budi dan Susi mulai bosan. Pilihan film yang tersedia begitu terbatas. Selain film-film yang didatangkan dari Jepang, cuma ada film-film produksi sineas setempat yang diizinkan Jepang, dan jumlahnya tidak banyak. Pemutaran selalu diulang-ulang. Belum lagi krisis ekonomi yang melanda Sumatra Barat tidak kunjung membaik. Budi dan Susi mulai kekurangan semangat menonton ke bioskop, begitu juga dengan teman-temannya juga tetangga-tetangganya.
Merdeka dengan Segala Konsekuensinya
Kabar tersiar bahwa Hiroshima dan Nagasaki hangus dihajar bom atom Amerika. Tak berdaya, kekaisaran Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Hanya ada satu kata bagi Indonesia: merdeka!
Budi dan Susi awalnya tak percaya. Jepang yang selama ini mereka lihat dalam film adalah Jepang yang begitu tangguh, begitu digdaya. Tapi realitas berkata lain. Kejatuhan Jepang membawa berkah tersendiri bagi penikmat film macam Budi dan Susi. Film-film dari luar Indonesia kembali banyak, tidak saja dari Amerika, tapi juga Uni Soviet dan Prancis. Bioskop-bioskop di Padang, salah satunya Capitol Bioscoop, juga kembali sering menayangkan film baru.
Kenikmatan Budi dan Susi tidak berlangsung lama ternyata, pembrontakan PRRI pada 1950an membuat suasana kota tidak aman dan mereka takut keluar rumah. Beberapa teman dan tetangga mereka bahkan sampai mengungsi ke daerah lain. Bioskop kala itu hanya mengadakan satu pemutaran tiap harinya, yakni pada jam tujuh malam.
Selang satu dekade, hadir Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melihat budaya Barat sebagai bagian dari imperialisme, berusaha menghentikan pemutaran “film-film imperialis” di bioskop. Beberapa kader PKI, juga Lekra, membentuk PAPFIAS alias Panitia Aksi Penggayangan Film-film Imperialis Amerika Serikat. Bioskop pun berhenti menayangkan film-film Amerika, namun tetap memutar film-film dari Hongkong, Cina, Jepang, dan Italia. Budi dan Susi jadi tak antusias pergi ke bioskop lantaran tak suka atau tidak tahu filmnya. Selain itu, situasi nasional yang tak menentu juga membuat Budi dan Susi memilih bertahan di rumah.
Setelah peristiwa 30 September 1965, pemerintahan Soeharto mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama bioskop berbau asing ke nama yang lebih Indonesia. Cinema Bioscoop ganti nama jadi Bioskop Karia, Apollo Bioscoop jadi Bioskop Satria, Rio Bioscoop jadi Bioskop Mulia, Capitol Bioscoop jadi Bioskop Raya, dan New Rex jadi Bioskop Kencana.
Masa Keemasan
Dekade 1970an sampai 1990an kembali mengakrabkan Budi dan Susi dengan bioskop. Boleh dibilang masa itu adalah masa keemasan bioskop di Padang. Masa-masa mencekam sudah berakhir, dan orang-orang kembali aktif berkegiatan di luar rumah. Budi dan Susi sampai berdesak-desakan ketika memesan tiket di bioskop. Kadang kala, Budi harus berseteru dengan orang lain untuk memesan tiket yang hampir habis. Demi Susi, Budi rela berkelahi dengan siapa saja.
Bagi Budi dan Susi, menonton di bioskop lebih dari sekadar mencari hiburan. Ketika Budi dan Susi bertemu teman-temannya, hal pertama yang mereka kerap tanyakan, “Film apa yang sudah kalian tonton?” Jika teman-temannya menjawab judul-judul lama, Budi dan Susi akan berbangga sekali.
Menonton di bioskop kala itu menghadirkan pengalaman yang khas. Selain perangkat pemutaran film dan tata suara bioskop, setiap studio turut dilengkapi skuadron nyamuk, pendingin ruangan seadanya, dan tentu saja suara ribut para penonton. Hal yang paling menjengkelkan kala itu adalah ketika film yang yang sedang ditonton mendadak berhenti di tengah-tengah pemutaran. Sebabnya adalah gulungan rol film berisikan bagian kedua film tersebut belum sampai di bioskop. Di tengah-tengah layar akan muncul tulisan “Mohon Maaf”. Kalau sudah jengkel, Budi akan berteriak, “Incek! Kalera ang!” Incek adalah panggilan orang Cina pemilik bioskop.
Setiap bioskop juga menawarkan sajian film yang berbeda, atau setidaknya begitu menurut amatan Budi dan Susi sepanjang kiprah kepenontonan mereka. Di Padang, misalnya, Bioskop Karia lebih banyak menayangkan film-film asing, dari Amerika, Eropa, Cina, Hongkong, dan Taiwan. Beberapa film Mandarin yang Budi dan Susi sempat tonton di Karia adalah The Chance (1977), Hit Team (1982), dan Chow Yun Fat, The Killer (1982). Bioskop Mulia adalah spesialis film India, sementara Bioskop Raya lebih sering memutar film-film Indonesia, seperti Lelaki Binal, Susuk Nyi Roro Kidul, Kenikmatan Tabu, Bernafas dalam Lumpur, Raja Copet, dan Raja Dangdut.
Budi punya istilah tersendiri untuk orang-orang yang getol meniru tingkah aktor utama sebuah film: korban bioskop. Kebanyakan “korban bioskop” yang Budi amati mengikuti jagoan-jagoan film laga. Budi sendiri sempat jadi “korban bioskop”. Ia ingin sekali tubuhnya sekeren Bruce Lee, sampai-sampai Budi selalu latihan angkat beban dan bermain nunchaku.
Animo masyarakat yang begitu tinggi mendorong pengusaha bioskop di Padang untuk mengembangkan bioskop-bioskop murah atau Taman Hiburan Rakyat (THR) karena masyarakat yang ingin menonton tidak bisa ditampung lagi oleh bioskop yang ada. Kehadiran bioskop-bioskop baru ini menambah jumlah bioskop di Padang mencapai 28 bioskop: Bioskop Karia, Bioskop Satria, Bioskop Raya, Purnama Theater, Kencana Theater, THR Irama Bahari, Padang Theater, Indah Theater, Bioskop Buana, THR Purnama, THR Angkasa, THR Bhakti, THR Imam Bonjol, THR Simpang Haru, THR Jati, THR Alai, THR Siteba, THR Karia Bandar Buat, THR Lubuk Begalung, THR Teluk Bayur, THR Bungus, THR Sarang Gagak, Indarung Theater, THR Yani, Arjuna Theater, Bioskop President, dan THR Parak Laweh.
Sarana menonton lainnya yang tersedia bagi masyarakat Sumatra Barat, khususnya di Padang, adalah bioskop misbar alias gerimis bubar. Pemutarannya berlangsung di lapangan terbuka, dengan harga tiket yang relatif murah. Jika Budi dan Susi sedang tidak ada uang, mereka memilih menonton di bioskop misbar. Harga tiket kala itu bermacam, mulai dari Rp. 100 sampai Rp. 10.000, tergantung posisi tempat duduk yang ditentukan oleh warna tiket: merah, kuning, dan hijau. Bioskop Raya memiliki harga tiket paling mahal, yakni Rp. 10.000.
Sinema Versus Layar Kaca
Masa kejayaan bioskop di Sumatra Barat tidak berlangsung lama. Tanda-tanda keruntuhan bioskop sudah terbaca sejak 1985, ketika teknologi video tape memungkinkan orang untuk menonton film di televisi. Maraknya pembajakan film membuat orang-orang lebih memilih menonton film dengan video tape yang diputar di televisi mereka (jika ada) atau tetangga mereka (jika tidak ada). Budi dan Susi pun ikut menonton film di rumah tetangga-tetangga mereka yang kaya. Walau rumah tetangga, mereka tetap membayar untuk listrik, namun tidak terlalu mahal. Tidak lebih dari Rp. 100.
Orang-orang jadi jarang ke bioskop. Bioskop-bioskop kehilangan pemasukan, dan akibatnya sulit untuk merawat dan memperbaiki perangkat pemutaran film serta fasilitas bioskop. Satu per satu mulai gulung tikar. Beberapa di antaranya: Bioskop Buana I, II, III, THR Imam Bonjol, Bioskop President I, Bioskop Purnama, THR Siteba, THR Jati, THR Bungus, THR Serayu, dan THR Bahari. Semuanya tutup usaha pada dekade 90an.
Lambat laun, televisi mulai ramai dimiliki orang. Televisi dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan peralatan rumah tangga: berbentuk segi empat serupa kulkas, kursi, meja makan, kompor, dan lain-lain. Juga iklan-iklan di media massa ramai menggambarkan bagaimana televisi menjadi sebuah simbol atas kenyamanan sebuah keluarga. Televisi pun menjadi bagian dari keluarga, yang diletakkan tepat di inti rumah: ruang keluarga.
Budi dan Susi, tentu saja ikut membeli televisi. Mereka baru saja menikah pada saat itu. Mereka membeli televisi untuk meramaikan rumah baru mereka. Kadang kala mereka juga bertengkar dalam memilih siaran. Budi suka nonton berita, sementara Susi suka telenovela.
Beberapa gedung bioskop yang masih bertahan semakin kosong penonton dan kemudian bangkrut. Gedung-gedung itu dirubuhkan, lalu diganti dengan bangunan baru, seperti Pertamina, Kantor Polsek, showroom mobil, ruko, Kantor Bank dan sebagainya. Hancurnya gedung bioskop juga disebabkan oleh gempa besar yang melanda Padang pada 2009. Sampai akhir 2015, bioskop yang bisa dikatakan aktif hanya ada dua, yaitu Bioskop Karia dan Bioskop Raya. Kedua bioskop itu juga sudah mengganti perangkat pemutarannya, dari seluloid ke digital. Sayangnya mereka hanya mampu merenovasi satu studio saja di bioskop masing-masing. Jadi tidak terlalu banyak berpengaruh.
Pernah Budi dan Susi pergi ke Bioskop Karia untuk bernostalgia berdua, namun mereka mersa risih. Pengunjung bioskop itu kebanyakan muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Memang dahulu Budi dan Susi juga sedang dimabuk cinta ketika sering datang ke bioskop, namun susana sekarang lebih tidak menyenangkan. Para pasangan itu, yang jumlahnya dalam setiap pertunjukan tidak sampai belasan, memilih bangku-bangku yang ada di sudut-sudut ruangan. Tidak hanya itu, ketika pemutaran sedang berlangsung, bunyi bibir yang sedang berciuman, bunyi ikat pinggang yang dilepaskan, bunyi desahan yang keluar tidak tahu malu, juga aroma pandan menyebar di ruangan. Budi dan Susi memilih untuk keluar di tengah-tengah pemutaran.
Pada akhir 2016 Grup 21 buka cabang pusat perbelanjaan Ramayana Padang. Bioskop yang sudah terlebih dulu hadir di seantero Indonesia, baru hadir di Sumatra Barat pada 2016. Hadirnya XXI di Ramayana merupakan pintu masuk bagi Grup 21 untuk kembali membuka bioskop di Transmart Padang yang beroperasi pada tahun 2017. Dua tahun setelah itu CGV, perusahaan bioskop asal Korea Selatan, menyulap Bioskop Raya menjadi CGV Raya Padang. Yang menarik dari bioskop ini adalah ia masih mempertahankan bentuk bangunan luar dari Bioskop Raya yang lama, sehingga nostalgia ketika pergi ke sana masih terasa.
Ini tentu menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi Budi dan Susi yang baru saja menyambut kelahiran anak pertamanya, Sudi. Kelahiran anaknya dan hadirnya beberapa bioskop baru di Padang seakan-akan menggambarkan kelahiran sebuah harapan baru. Semenjak hadirnya beberapa bioskop itu, minat menonton film di bioskop semakin tinggi. Seperti masa keemasannya dahulu, pergi ke XXI atau CGV adalah bukti bahwa kita adalah manusia gaul yang mengikuti gerak peradaban dengan duduk bersama teman atau pacar, berfoto, lalu memostingnya di media sosial. Bedanya, bioskop baru ini tampak begitu eksklusif. Teknologinya juga canggih. Penonton bisa memilih kursi sebelum menontonnya. Lantainya berkarpet, kursinya empuk, juga makanan yang dijajakan tampak lezat dan mengundang liur.
Namun, semarak itu tidak berlangsung lama karena dunia diserang oleh virus yang mematikan: Covid-19, yang mulai menyebar dari Wuhan, Cina, pada bulan desember 2019. Indonesia termasuk salah satu negara yang dengan tingkat positif yang parah. Budi dan Susi sangat mencemaskan anaknya. Pemerintah kemudian menghimbau untuk melakukan PSBB, sehingga Budi dan Susi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Selama pandemi, bioskop tutup. Virus yang bisa menyebar melalui sentuhan dan interaksi jarak dekat membuat manusia terpaksa harus menjaga jarak. Kota menjadi mati karena tidak ada interaksi antar manusia. Ruang publik menjadi sepi.
Walau telah begitu ketat, tapi masih banyak juga orang yang terserang dan meninggal karena virus ini. Di dalam berita, Budi dan Susi melihat jumlah kematian yang terus bertambah dari hari ke hari, yang bahkan jumlah positifnya mencapai 10.000 kasus. Untuk menghilangkan efek stres karena hal itu, Budi dan Susi memutarkan film animasi agar anaknya bisa menonton. Kegiatan kecil-kecil itulah yang membuat harapan mereka untuk hidup tetap ada.
Keadaan yang mencekam itu terjadi hampir setahun. Pada bulan Oktober 2020, beberapa bioskop mulai membuka beberapa studionya dengan protocol kesehatan yang ketat. Sebenarnya Budi dan Susi ingin sekali untuk menonton di bioskop, apalagi ia ingin mengenalkan anaknya itu bagaimana nikmatnya menonton di bioskop. Namun, mereka ingin menunggu situasi benar-benar pulih. Setahun penuh kegamangan mengajarkan mereka untuk selalu berhati-hati.
Untuk mengobati hati rindunya dunia sebelum pandemi, Budi dan Susi membawa Sudi berkeliling Kota Padang dengan motor. Mereka melewati tempat-tempat yang nikmat untuk dipandangi seperti Pantai Padang, Kota Tua, dan lain sebagainya. Tidak lupa untuk melihat bangunan bioskop-bioskop yang masih berdiri seperti CGV Raya Padang dan Bioskop Karia. Ketika sampai di Bioskop Karia, mereka berhenti sejenak.
“Sudi, lihat, di bioskop ini dulu Ayah dan Ibu sering menonton film,” ucap Susi ke Sudi yang berada di dalam gendongannya.
“Ibu tahu tidak berapa umur bioskop ini?” tanya Budi ke Susi.
“Kalau tidak salah sudah 90 tahunan.”
“Umurnya hampir 100 tahun. April 2021 besok, umur Bioskop ini 100 tahun, Bu.”
“Wah. Semestinya kita bisa merayakannya dengan menonton di sini, Yah.”
“Iya, ayah juga berharap seperti itu. Semoga pandemi ini cepat pulih, ya, Bu.”
“Amin. Semoga saja…” (*)
Editor: Randi Reimena
Ilustrasi oleh: @theawithami
*Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di situs cinemapoetica.com dengan bentuk, isi, dan fokus yang sedikit berbeda
REFERENSI
Albert Rahman Putra. Nostalgia Layar Kejayaan. Diakses melalui gubuakkopi.wordpress.com pada 20 Februari 2017
Eric Sasono et. al. 2011. Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. Jakarta: Rumah Film dan TIFA Foundation.
Garin Nugroho. 1998. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Bentang.
Haris Jauhari. 1992. Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Ibrya, Latifa. Transkrip wawancara dengan Yulidar (63 tahun) dan Darmawan (70 tahun) mengenai bioskop di Bukittingi.
M Sarief Arief. 2010. Politik Film di Hindia Belanda. Jawa Barat: Komunitas Bambu.
Meri Erawati. Bioskop Sebagai Sarana Hiburan Tahun 1950-2000. Tesis. Padang: Pascasarjana Universitas Andalas, 2012.
Meri Erawati. Budaya dalam Lintasan Sejarah: Booming Nonton Bioskop di Padang Tempo Dulu. Jurnal Ilmu Sosial Mangan, Januari-Juni 2015
Miscbach Yusa Biran. 2009. Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa. Jawa Barat: Komunitas Bambu.
S Metron Madison. Ketika Bioskop Ada Di Setiap Sudut Kota Padang Film Pun Jadi Milik Semua Orang. Diakses melalui ranah.id pada 29 Februari 2017.
S Metron Madison. Saat Ruang Tamu Diubah Jadi Bioskop Tiketnya Pun Seharga Jajan Anak-Anak. Diakses melalui ranah.id pada 29 Februari 2017.
Suryadi. Nonton Bioskop di Padang Tempo Doeloe. Padang Ekspres, Minggu 23 November, 2008.
Suryadi. Bioskop dan Perfileman di Padang Tempo Doeloe. Haluan, Minggu 20 Februari 2011.
Viriya Paramita. Jejak Film Horor Indonesia. Diakses melalui cinemapoetica.com pada 12 Desember 2016.
Vivi Eliyati. Sejarah Bioskop di Kota Padang: Studi Kasus Bioskop Karia Padang tahun 1921-1995. Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unand. Padang. 1999.
*Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di situs cinemapoetica.com dengan bentuk, isi, dan fokus yang sedikit berbed