Artikel

Di Setengah Abad Payakumbuh

Di Setengah Abad Payakumbuh

Sejak resmi merantau mulai Agustus 2009 untuk melanjutkan pendidikan hingga bekerja, kesempatan kembali menetap lebih lama daripada biasanya di Payakumbuh baru didapatkan karena adanya pandemi Covid-19. Hampir sebelas tahun lamanya menjadi penduduk di rantau. Pulang ke Payakumbuh hanya untuk melepas rindu dengan keluarga, dalam waktu yang relatif tidak lama, dan hanya diisi dengan kegiatan bersama keluarga.

Dalam rentang waktu hampir sebelas tahun tersebut, sudah pasti tidak dapat lagi secara langsung menyaksikan perubahan yang terjadi di Kota Payakumbuh. Sejak saat itu tidak lagi menghitung berapa bilangan tahun usia Kota Payakumbuh, perubahan apa yang terjadi dari berbagai sudut kota – selain sepengamatan mata dari batas kota hingga pintu depan rumah – sampai-sampai tidak lagi mengenali dengan baik siapa dan seperti apa rupa teman atau kolega. Tanpa terasa, Desember lalu Payukumbuh sudah memasuki usia setengah abad.

Kepulangan pada akhir Maret 2020 adalah momentum untuk kembali menemukan apa yang telah “hilang” dari Payakumbuh. Berbagai pertemuan dengan teman-teman lama selalu memunculkan pertanyaan standar menyangkut di mana selama ini beraktivitas. Dengan berseloroh jawaban diucapkan, “Sejak kuliah saya sudah pindah kampung halaman. Datang ke Payakumbuh hanya untuk liburan sebagai wisatawan”.

Di samping pertemuan-pertemuan, perjalanan sendiri juga kerap dilakukan untuk memungut kenangan masa lampau dengan menyusuri jalan-jalan kecil ke berbagai sudut Kota Payakumbuh. Perjalanan yang membuat tercenung. Banyak tempat yang mengembalikan memori masa kecil kini telah berubah wujud bahkan beberapanya telah hilang, digantikan oleh pembaruan bernama pembangunan. Sawah dan kebun tak lagi seluas biasanya, bahkan ada yang telah hilang. Begitu juga dengan lapangan olahraga kelurahan. Keduanya sudah berganti wujud menjadi bangunan-bangunan atau sekedar tak terurus.

Batang Agam yang dulunya memiliki pematang kini sudah berganti titian beraspal yang bisa dilalui oleh kendaran, dan juga taman. Dasarnya tak lagi berpensi. Alirannya telah kehilangan simbol keberanian bagi usia kanak-kanak, bahwa belum dapat seseorang dikatakan mampu berenang kalau belum menaklukan aliran Batang Agam. Jalan-jalan utama tampak jauh lebih ramai. Bahkan kala libur Idulfitri, kita sudah dapat merasakan kemacetan di beberapa jalan utama.

Ramainya jalan utama tidak bisa dilepaskan dari geliat ekonomi yang terus hidup. Pedagang-pedagang semakin berjejer sampai ke bahu jalan. Sampai-sampai, kita mungkin tidak tahu lagi di mana batas sebenarnya antara kawasan Pasar Payakumbuh dengan kawasan sekitar pada umumnya.

Pertumbuhan dan Kerentanan

Kemajuan atau pertumbuhan dalam usia setengah abad ini, terasa mencengangkan untuk sebuah kota kecil. Bahkan pertumbuhan kelas menengah Kota Payakumbuh dalam rentang waktu 2016-2018 berada di posisi kedua secara nasional dengan persentase 50 persen, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 27 persen. Jumlah yang menjanjikan untuk keluarga-keluarga yang memiliki rasio pengeluaran sekitar Rp. 3 juta sampai Rp. 5 juta per bulan (BPS, 2018), atau sampai Rp. 7,5 juta per bulan. Artinya ada banyak uang yang dapat berputar dari akumulasi konsumsi kelas menengah yang terus bertumbuh pesat. Akan tetapi, angka pertumbuhan barangkali akan terganggu oleh pandemi Covid-19. Kelas menengah ke bawah adalah kelompok yang paling rentan terdampak.

Bicara kemampuan kelas menengah, mereka adalah gerbong besar penggerak ekonomi dari sektor konsumsi yang membuat bisnis tetap tumbuh dan berkelanjutan. Data BPS menunjukan hal setali tiga uang dengan konsep tersebut. Distribusi presentase PDRB lapangan usaha Kota Payakumbuh tahun 2019 tetap didominasi oleh perdagangan besar dan eceran (25,13 persen), diikuti oleh konstruksi (13,76 persen), dan transportasi dan pergudangan (12,61 persen).

Sudah bisa dipastikan catatan positif tersebut telah rusak oleh pandemi Covid-19. Namun demikian, dampak pandemi Covid-19 merupakan dampak temporal. Adapun dampak permanen yang dapat lebih tampak dan bisa diprediksi ialah hilangnya kendali atas pertumbuhan itu sendiri serta keberadaan jalan tol. Dua ancaman ini paling nyata bisa diprediksi.

Di beberapa sudut kota, jalanan mulai penuh sesak. Penataan kawasan publik musti menjadi prioritas kedepannya yang diikuti dengan konsistensi penegakan aturan. Khususnya sentra ekonomi kecil-menegah, transportasi publik, dan pemukiman. Pembangunan yang mengedepankan egoisme individu harus mulai ditinggal dan bertransisi ke pembangunan yang berorientasi pada penggunaan fasilitas publik, seperti transportasi umum.

Pemetaan spasial tematik, khususnya dengan pendekatan lingkungan hidup strategis serta aspek kondisi demografi berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sudah harus dimulai sejak dini agar Payakumbuh tidak semakin kehilangan kawasan hijau serta dapat menata klaster kependudukan dalam penempatan wilayah. Tujuannya agar pemanfaatan kawasan lebih tertata dan terkelompok dengan baik, sehingga pembangunan fasilitas publik menjadi tepat sasaran.

Di samping itu, keberadaan pembangunan jalan tol jelas ancaman nyata. Meski Kota Payakumbuh tidak terganggu oleh proses pembangunan karena tidak dilalui oleh jalan tol, akan tetapi sebagai kota yang menjadi penghubung antara Riau dengan Sumbar dampaknya pasti akan dirasakan. Data Bank Indonesia tentang dampak operasi tol Cipali terhadap aktivitas ekonomi di Pantura dan Cipali tahun 2015 menunjukan bahwa restoran yang berada di Pantura mengalami penurunan omzet mencapai 78 persen.

Angka tersebut jelas amat berbahaya apabila berkaca pada peringkat tertinggi PDRB lapangan usaha Kota Payakumbuh yang bergantung pada sektor perdagangan besar dan eceran serta di peringkat ketiga dengan sektor transportasi & pergudangan. Jarak tempuh serta waktu yang dapat dipangkas dengan adanya tol Padang-Pekanbaru barangkali membuat kebanyakan orang tak lagi berpikir untuk sengaja singgah ke Payakumbuh. Dengan begitu penting bagi seluruh elemen kota, khususnya Pemerintahan Daerah memikirkan kebijakan strategis untuk mengantisipasi dampak terburuk yang mungkin terjadi.

Dalam hal ini ada keyakinan kalau tak ada yang ingin melihat kemajuan yang didapatkan oleh Kota Payakumbuh ketika memasuki usia ke-50 adalah persiapan untuk “pensiun” pada usia ke-60. Kota yang bisa saja semakin tua akan semakin ditinggalkan karena adanya pembangunan yang dapat mematikan tetapi terlambat untuk diantisipasi.

Meski telat, dari kejauhan selamat ulang tahun diucapkan, dari kejauhan cinta tak pernah hilang. (*)

 

Editor: Randi Reimena

Related posts
Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Artikel

Tiga Diskusi, Empat Eksebisi: Catatan Sinematografi Teater Tendi Karo Volkano

Artikel

Roehanna Koeddoes dan Proyek Kolonialisme Tercerahkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *