Pemerintah secara resmi mengubah nama Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja menjadi Cipta Kerja. Hal tersebut dilakukan setelah penyerahan naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada Hari Kamis (13/2).
Pengubahan nama terhadap naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dilakukan karena pemerintah menganggap terdapat beberapa pihak yang menyingkat Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dengan sebutan Rancangan Undang-Undang Cilaka. Namun, dengan mengganti nomenklatur penamaan Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Cipta Kerja bukan berarti secara otomatis akan menghilangkan pelbagai persoalan dalam muatan isinya.
Terdapat beberapa permasalahan yang memunculkan protes dari masyarakat.
Pertama, tujuan perancangan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Harus diakui bahwa memang dibutuhkan harmonisasi yang efektif atas tumpang-tindih peraturan perundang-undangan. Tetapi tidak dengan cara membabat habis regulasi yang telah ada.
Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), telah terjadi hiperregulasi atau melonjaknya angka pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif.
Dari Tahun 2014-2018, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menerbitkan lebih dari delapan ribu peraturan yang diterbitkan oleh lembaga eksekutif. Aturan tersebut terdiri dari Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, hingga pada Peraturan Menteri.
Obesitas regulasi tersebut berakibat pada overlapping sehingga menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan dari setiap aturan yang ada. Hal tersebut diduga menjadi alasan penyumbat aliran-aliran investasi di Indonesia. Setidaknya, begitulah pemerintah memandang permasalahan ini sehingga memilih jalan untuk menggunakan omnibus law.
Seharusnya sedari awal pemerintah telah memahami bahwa menerbitkan banyak aturan akan menghambat dan memperlambat gerak pemerintah dalam melakukan pembangunan. Namun hal tersebut akan dapat dipahami apabila tindakan itu memang sudah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo sejak periode pertama Pemerintahannya. Sehingga pada periode kedua dapat melakukan “pembabatan” atas regulasi yang dianggap bermasalah.
Kedua, pergeseran kewenangan lembaga eksekutif yang diberikan oleh Pasal 170 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja, pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini. Hal tersebut akan dilakukan melalui peraturan pemerintah.
Artinya pemerintah berencana untuk menyasar ketentuan dari undang-undang lain diluar yang coba diubah melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Cilakanya, pengubahan undang-undang lain tersebut dilakukan melalui peraturan pemerintah. Padahal peraturan pemerintah kedudukannya berada di bawah undang-undang apabila merujuk pada hierarki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Untuk permasalahan di atas, telah muncul pembelaan yang dilontarkan oleh Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dengan menyatakan bahwa pasal tersebut “salah ketik”. Artinya sebelum naskah tersebut diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, tidak terdapat evaluasi terhadap muatan isi yang dilakukan secara menyeluruh.
Ketiga, terbatasnya akses masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Pasca penyerahan naskah Rancangan Undang-Undang Cipta kerja yang dilakukan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, naskah rancangan tersebut belum juga dipublikasikan secara resmi. Sehingga masyarakat hanya dapat mengakses naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dari beberapa kanal berita di dunia maya.
Melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menegaskan bahwa sebuah rancangan undang-undang harus mudah diakses oleh masyarakat. Itu bertujuan agar membuka ruang yang luas untuk melakukan dialog dan menampung setiap masukan dari masyarakat. Namun dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, ruang dialog tersebut sepertinya coba untuk ditutup.
Selain ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, membuka informasi kepada publik dalam pembahasan suatu aturan juga diisyaratkan oleh ketentuan lain. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) mengisyaratkan perihal tentang informasi yang wajib tersedia setiap saat. Ketentuan tersebut memerintahkan kepada Badan Publik untuk menyediakan beberapa bentuk informasi. Salah satunya adalah seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya.
Istilah Badan Publik digunakan dalam UU KIP yang merujuk pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang bagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN maupun APBD.
Sehingga, secara langsung, UU KIP mewajibkan Presiden dan kelembagaan di bawahnya serta DPR untuk membuka proses perumusan kebijakan serta rancangan undang-undang kepada publik. Karena dalam pembahasan sebuah undang-undang menggunakan dana yang berasal dari APBN, menjadi sebuah keanehan apabila proses tersebut coba untuk ditutup.
Selain itu, terdapat lebih dari seribu halaman dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja berdasarkan naskah yang saat ini beredar di dunia maya. Teknik penyusunan yang masih belum jelas berakibat pada banyaknya pasal yang berulang, sehingga mempersulit pemahaman masyarakat.
Sebagai sebuah eksperimen dalam penyusunan peraturan perundang-undangan –karena konsep omnibus law pertama kali diterapkan– seharusnya pemerintah bersama dengan DPR harus terlebih dahulu membentuk regulasi yang jelas sebagai dasar hukum penerapan konsep omnibus law. Karena kesalahan pemerintah dalam upaya menarik investasi dibenturkan dengan hak-hak dasar masyarakat serta kepastian hukum. (*)