Disajikan dengan gaya bahasa yang cair dan mengalir, buku ini berbeda dengan kebanyakan buku sejarah yang terkesan kaku serta didaktis. Namun arti penting buku ini terletak pada tema yang disorotinya, yaitu penjara—suatu institusi yang kehadirannya nyaris diterima begitu saja oleh kebanyakan masyarakat Indonesia hari ini. Penjara hari ini nyaris dilihat sebagai sesuatu yang ada begitu saja dan karena itu fungsi serta tujuannya diterima begitu saja sebagai sesuatu yang terberi. Gagasan mengenai ‘pemenjaraan’ juga telah diterima secara luas sebagai wujud dari keadilan tanpa melihat relasi kuasa di belakangnya serta asal-usul historis yang mendasarinya.
Padahal, seperti yang ditunjukkan buku ini, konsep penjara modern serta gagasan mengenai ‘pemenjaraan’ yang kita kenal hari ini adalah kreasi kolonial. Ia adalah gagasan yang ditanamkan oleh suatu jenis kekuasaan terhadap objek yang dikuasai. Penjara adalah “lembaga sosial yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu. Dalam konteks ini, tujuannya adalah tujuan-tujuan kolonial, dilakukan untuk mempertahankan suatu kekuasaan negara kolonial. Dengan menggunakan penjaralah, penguasaan oleh suprastruktur kepada infrastruktur dilancarkan” (hal. 27)
Secara khusus buku karya Deddy Arsya ini bertujuan untuk “menelaah penjara secara prosesual-struktural sebagai praktik relasional antara kelompok superior dan inferior, dalam usaha yang satu menaklukkan/mendisiplinkan yang lain” (hal. 28)
Deddy memulai bukunya dengan penelurusan terhadap konsep penjara dan pemenjaraan dalam masyarakat Minangkabau pra-kolonial. Dengan mengikuti narasi Tambo (sejarah lisan masyarakat Minangkabau) ia mendapat gambaran akan suatu tipe masyarakat yang pada awalnya tidak mengenal suatu hukum yang pasti kecuali hukum rimba. Mereka tidak memiliki suatu order tertentu sampai dengan datangnya dua pemimpin yang “berusaha menyusun masyarakatnya menjadi lebih teratur dan dan tertib melalui undang-undang” (hal. 45). Undang-undang ini kemudian dikenal sebagai Undang-undang duo Puluah.
Dalam undang-undang ini, tidak dikenal hukuman dalam bentuk kurungan. Orang yang melakukan suatu kesalahan berat dihukum dengan berbagai cara, mulai dari dipancung sampai dengan dibuang. Sistem semacam inilah satu-satunya alat kontrol sosial sebelum kolonialisme membawa gagasan mengenai penjara.
Meski begitu, gagasan ‘pemenjaraan’ sendiri bukanlah hal baru. Gagasan ‘pemenjaraan’ memiliki akarnya dalam masyarakat tradisional Minangkabau. Defenisinya lebih ke penebusan kesalahan dengan ‘penghambaan’ terhadap otoritas tertentu. Misalnya, seorang yang tidak sanggup membayar hutangnya akan ‘memenjarakan’ diri dengan menjadi hamba atau ‘budak’ untuk melunasi hutangnya. “Hanya saja, perlu dikatakan di sini, bahwa penjara sebagai tempat untuk pemenjaraan itu sendiri, terlihat belum hadir sebagai sebuah lembaga dalam konsepsi yang dikenal dalam hukum modern. Dalam artian, penjara belum hadir sebagai insitusi yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan-tujuan pemenjaraan dengan segala struktur yang melingkupinya; bangunan penjara itu sendiri, orang-orangnya (baik petugas maupun tahanan), dan sistem aturan (regulasi) yang mengaturnya”. (hal. 64-64)
Barulah pada abad ke 17, penjara dalam artian penjara modern mulai dibangun di Padang. VOC mendirikan benteng di Padang lengkap dengan ruang tahanan. Namun pada saat itu, hukum kolonial lebih berfungsi di sekitaran benteng karena itu penjara pada masa-masa awal ini, lebih pada piranti hukum yang cakupannya terbatas. Misalnya, untuk memenjarakan siapa-siapa yang dianggap menganggu wilayah di sekitar kota benteng semata.
Penjara kemudian menjadi institusi yang kian penting bersamaan dengan diperkenalkannya hukum formal oleh kolonial di dataran tinggi Minangkabau. Pada 1865, Van den Bossche, Gubernur Pesisir Barat Sumatera, mengumpulkan para penghulu dan mengusulkan untuk “mengubah tata hukum peradilan” di Minangkabau. (hal. 71). Kolonial Belanda menginginkan agar diterapkannya hukum baru di Minangkabau untuk mengantikan hukum lama atau hukum adat. Kolonial menginginkan agar rapat-rapat hukum yang selama ini dilakukan oleh dewan-dewan penghulu harus mendapat ijin atau diketahui oleh otoritas kolonial. Hasil sidang pun harus dikonsultasikan dengan otoritas kolonial. Usulan tersebut mendapat persetujuan para penghulu. Sepuluh tahun setelahnya, perangkat-perangkat hukum seperti jaksa, ajudan jaksa, dan hakim, didatangkan dari Batavia untuk bertugas di Minangkabau. Artinya, sejak saat itu suatu sistem hukum yang baru mulai berlaku.
Seiring dengan proses modifikasi hukum tersebut, sebagai implikasinya, semakin kuat pula fungsi penjara sebagai piranti hukum kolonial. Di sisi lain, proses modifikasi hukum ini juga memiliki kaitan yang erat dengan proses penaklukan daerah jajahan lewat peperangan. Perang, sistem hukum legal formal, dan penjara merupakan tiga hal yang saling berkaitan. Terlibatnya Belanda dalam perang Paderi membuat penjara memiliki fungsi dan cakupan yang baru. Jika dalam masa-masa VOC penjara lebih berfungsi untuk menjaga ketertiban di sekitar kota benteng di Padang, maka kini berfungsi sebagai tempat untuk menawan pasukan Paderi yang merupakan saingan Belanda dalam perdagangan komoditas berharga seperti kopi. Dengan kata lain, penjara mulai difungsikan sebagai institusi penting yang ditujukan untuk menyangga koloniliasme dengan watak monopolistiknya.
“Seperti kurap di tubuh manusia, jejaring penjara membesar dan melebar” (hal. 91). Ia menghinggapi kota-kota di dataran tinggi seiring dengan upaya Belanda memerangi kaum Paderi. Di kota-kota berbenteng seperti Fort de Kock (1824) dan Fort Van der Cappelen (1822) yang didirikan pertama-tama sebagai pos militer untuk memerangi kaum Paderi itu, penjara dibangun. Segera setelah kekuatan militer Belanda makin kuat dan kekuatan Paderi telah hancur yang berarti kontrol terhadap aktivitas ekonomi di Pesisir Barat Sumatera, beberapa penjara berdiri di kota lain. Mulai dari Padang Panjang sampai Payakumbuh.
Makin menjamurnya penjara ini, bertepatan dengan ‘masa-masa tenang’ pasca perang Paderi dalam pertengahan abad 19 sampai meletusnya perang Belasting pada paro pertama abad 20. Pada masa-masa tenang ini pula, proses modifikasi atau intrusi hukum legal formal terhadap hukum adat seperti yang telah disinggung di atas, berlangsung dengan intens.
Pasca perang Paderi, “Pemerintahan kolonial Belanda segera mengambil tampuk kepemimpinan dalam agenda ‘mengamankan negeri’. Penjara semakin mendapat momentumnya untuk berfungsi.” (Hal. 190) Penjara pada masa-masa ini telah berhasil menjadi wujud baru dari ‘permufakatan’. Kasus-kasus yang ditangani dan tidak mampu diselesaikan oleh elit-elit adat diserahkan ke pengadilan tinggi dengan penjara sebagai hukuman bagi yang bersalah. Dengan kata lain, penjara dipandang sebagai penyelesaian terakhir dari suatu kasus, termasuk sengketa yang terkait dengan adat. Dari sini, kita juga bisa melihat bahwa buku ini secara tidak langsung melihat terjadinya perubahan mengenai konsep keadilan seiring dengan dikenalnya penjara modern. Konsep seperti ‘keadilan’ yang sebelumnya dicapai dengan permufakatan kini ditentukan sedemikian rupa lewat serangkaian hukum formal meski buku ini tidak membahas lebih dalam terkait hal tersebut. Dalam masa ini, pemenjaraan di ruang penjara telah menjadi ‘jalan lurus’, bentuk keadilan yang sepantasnya diterima semua orang tanpa keraguan sedikitpun.
Selain sebagai penyelesaian akhir bagi kasus-kasus yang terkait Adat, penjara juga menjadi penyelesaian kasus-kasus pembangkangan terhadap otoritas kolonial. Pelaku kejahatan dago-dagi (menghasut untuk memusuhi pemerintah), menjadi penghuni beberapa penjara pasca perang Paderi selain para pelaku kriminal biasa. Penjara sebagai bagian penting penegakan rust en orde kolonial Belanda makin mapan dalam masa-masa selanjutnya seiring mulai munculnya gagasan anti-kolonial pada awal abad 20.
Memasuki abad 20 penjara menjadi ancaman utama bagi para aktivis komunis, para jurnalis pembangkang, serta para orator anti-kolonial dari gerakan islam politik. Pada masa-masa ini juga, hukum serta defenisi tentang kejahatan telah sepenuhnya dimonopoli oleh otoritas kolonial. Kejahatan tidak lagi dimaknai sebagai sebatas kriminalitas, namun juga pola pikir. Orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan dalam arti bertindak dan bersikap subversif langsung berurusan dengan hukum kolonial dengan pemenjaraan sebagai hukuman. Para aktivis anti-kolonial ini ditangkap oleh polisi kolonial, diadili di pengadilan kolonial dan dipenjarakan di penjara kolonial.
Buku ini tidak sampai pada penggambaran lebih jauh dan komprehensif mengenai dampak penjara dan gagasan pemenjaraan dalam dimensi yang lebih luas. Beberapa pertanyaan baru muncul setelah membaca buku ini. Misalnya: sejauh mana penjara berhasil mendisiplinkan kawula jajahan dan bentuk-bentuk disiplin atau kepatuhan macam apa yang berhasil dicangkokkan oleh kolonial dengan adanya penjara? (*)
Judul Buku: Mendisiplinkan Kawula Jajahan, Politik Penjara Hindia Belanda Abad XIX dan XX
Penulis: Deddy Arsya
Jumlah halaman: 288
Tahun Terbit: 2017 (Labirin: Yogyakarta)
ISBN: 978-602-61246-5-4