Kita, orang Minang—meskipun tidak terbatas padanya, agak senang dengan selebrasi. Merayakan, mengingat, mengagungkan, menjunjung tinggi kelebihan-kelebihan, keunikan-keunikan, dan keunggulan-keunggulan. Tapi jangan salah, dalam cara baca—cara baca tertentu, ia sangat beralasan. Saya penikmat selebrasi. Ia adalah moment singkat perayaan nilai, pencapaian. Ada otonomi dan kepercayaan diri di situ. Sebagai media penerusan nilai-nilai, selebrasi bisa menjadi ritual edukatif dan penting atas apa yang dimiliki, menjadi medium pengayaan, meneruskannya serta mempertahankannya. Tentu saja dalam setiap selebrasi, proses refleksi dan evaluasi juga terjadi. Tradisi harian masyarakat Minangkabau (sebagaimana juga pada banyak kebudayaan masyarakat lain) penuh dengan selebrasi-selebrasi dan perayaan. Setiap moment-moment penting kehidupan: dari moment kelahiran, pernikahan, dan (bahkan) kematian, diperingati—dan pada setiap moment-moment peringatan itu, relasi sosial diikat, dan kebudayaan diteguhkan (Women at the Center, Life in Modern Matriarchy karya Peggy Reeves Sanday sangat bagus mendeskripsikan ini).
Dalam bulan ini, dua “perayaan” penting terjadi di Sumatera Barat—yang kedua-duanya mungkin secara kebetulan terhubungkan dalam satu kata, pusako. Tulisan kecil ini, ingin membicarakan dua perayaan besar itu, dengan sedikit melebihkan perhatian pada perayaan kedua.
Perayaan Pertama
Mari masuk pada perayaan pertama. Adalah Festival Pusako, yang diselenggarakan di Fabriek Bloc, Kota Padang pada 11-15 Oktober 2023 yang lalu. Festival ini adalah rangkaian dari program Pekan Kebudayaan Nasional oleh Kemendikbudristek RI, diikuti oleh banyak komunitas kreatif di Sumatera Barat dengan mengusung tema “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”.
Festival Pusako, kata Direktur Artistik Mahatma Muhammad, adalah peristiwa kolektif, sebagai ruang bertemunya para pewaris pusako untuk merawat, mengembangkan, dan memperkaya nilai-nilai warisan budaya yang menjadi milik bersama. Meskipun pusako adalah kosa kata yang asosiatif dengan Minangkabau, namun dalam batasan-batasan tertentu cukup universal, dan relefan pada keragaman suku bangsa dan kebudayaan yang berbeda di Sumatera Barat. Bagi Mahatma Muhammad, pusako secara umum diartikan sebagai aset kekayaan berwujud materiil atau tentang hal yang beririsan langsung dengan kebendaan yang diwariskan secara turun temurun.
Saya kira pendefenisian ini seiring dengan apa yang menjadi pemahaman umum masyarakat Minangkabau. Ditilik dari asal katanya, Sansekerta, pusako adalah benda-benda yang menyangga kehidupan, atau dalam bahasa Indonesia berarti benda-benda yang diwariskan—entah pusako yang berasal dari tambilang ruyuang, tambilang ameh, tambilang basi maupun tambilang kai’tan. Meskipun ada pendapat bahwa pusako juga memiliki kategori immaterial (bukan benda), tapi biasanya lebih sering diasosiasikan dengan kata yang berbeda, Sako, yang selain berupa kebesaran gelar-gelar juga termasuk adat istiadat dan pepatah-petitih.
Dengan pemaknaan pusako seperti itu, tim kurator dan kepanitiaan Festival Pusako bekerja sama mempertahankannya dengan langkah masing-masing, namun bersepakat berupaya menolak hilangnya pusako dek pancarian. Para seniman-budayawan meresponsnya melalui lima fokus dan kemudian tampil dalam lima hari pergelaran, yaitu gelaran literasi (yang mencakup arsip dan film), atraksi budaya, gastronomi, musik dan seni rupa[1].
Saya sangat bersenang hati dengan terselenggaranya festival ini. Sebuah moment perayaan elemen Minangkabau yang paling mendasar, basis materil, perihal kongkrit yang menyangga kebudayaan dan kehidupan. Karena properti merupakan pendukung utama ideologi pusaka, maka dengan demikian kita tidak bisa lepas dari pembicaraan soal tanah. Festival ini hadir pada saat dan konteks yang tepat—yang membawa kita pada perayaan yang kedua.
Perayaan Kedua
Adalah penyerahan “Sertifikat Tanah Ulayat” di tiga nagari di darek. Diserahkan langsung oleh Menteri ATR/BPN. Perayaan ini terpaut hanya satu hari sebelum festival pertama dibuka di kota pesisir. Ia istimewa, kata menteri, karena kali pertama negara memberikan sertipikat HPL (Hak Pengelolaan) kepada tanah ulayat masyarakat hukum adat (MHA). Kegembiraan Menteri ini tentu masuk akal, melihat telah begitu lamanya usaha-usaha memformalisasi tanah ulayat—tidak hanya di Sumatera Barat—digencarkan oleh negara melalui program Reforma Agraria versi dua periode rezim terakhir. Dengan tari galombang, disambutlah carik kertas sertifikat.
Pemberian sertifikat ini digadang-gadang memberikan kepastian hukum, yang memberikan perlindungan atas eksistensi dan menjaga kepemilikan tanah masyarakat hukum adat.
Benarkah begitu? Perlindungan dan kepastian seperti apakah yang dimaksudkan?
Pertanyaan itu pernah dijawab oleh Prof Maria SW Suwardjono, guru besar Fakultas Hukum UGM, tidak lama setelah keluarnya PP 18/2021 yang menjadi salah satu landasan hukum pemberian HPL pada tanah ulayat. Pertama menurut beliau, “UUCK yang menjadi rujukan PP 18/2021 ini tidak mengatur tentang kedudukan masyarakat hukum adat (MHA) beserta hak-haknya”. Ia melanjutkan, “penyebutan MHA hanya sebatas sebagai obyek ketika tanah dalam wilayah MHA diperlukan untuk berbagai kegiatan/usaha”. Di atas keperluan praktikal inilah HPL diberikan. Ini artinya, masyarakat adat sebagai subjek, yang otonom, yang menentukan, yang memiliki kewenangan, tidak ada dalam payung hukum pemberian HPL ini. Ia hanya “ada” dalam motif pragmatis.
Selanjutnya menurut beliau, menetapkan tanah ulayat sebagai HPL itu sejatinya mereduksi kewenangan MHA yang inheren/melekat pada dirinya, menjadi “sebagian kewenangan negara yang dilimpahkan” kepada MHA. Dengan kewenangan yang melekat pada masyarakat adat itu semestinya “tidak memerlukan pelimpahan kewenangan negara! Klaim bahwa sertifikat HPL adalah sebuah “bentuk pengakuan” kata Prof Maria, justru menegaskan tentang bentuk pengingkaran atas (kepastian) kedudukan tanah ulayat yang dijamin Pasal 33 ayat 3 UUD 45 dan UU Pokok Agraria. Dengan begitu, praktik sertifikasi HPL bisa dilihat bukanlah sebagai manifestasi dari upaya pengakuan hak MHA yang selama ini di dorong oleh banyak pihak.
Selain persoalan kewenangan, Prof Maria juga berbicara perihal pergeseran karakter pengelolaan sumberdaya. Dalam menjalankan kewenangannya yang hakiki, kata beliau, MHA memandang tanah ulayat sebagai kepentingan bersama (hak kolektif), berbeda dengan HPL yang berciri individualistik. Corak individualistik ini bisa memang sama-sama kita telusuri pada proses pengajuan dan penetapan dalam sertifikat, yang mana kewenangan terhadapnya dikuasakan pada individu (atau segelintir individu).
Sentralisasi kewenangan ala sertifikat ini tentu mempercepat dan memudahkan hubungan dengan pihak ketiga, mengingat pemberian hak atas tanah di atas tanah HPL dimungkinkan – entah berbentuk HGU, HGB, HP hingga 60 atau 75 tahun (kurang lebih satu generasi anak kemanakan kelarasan Koto-Piliang Bodi-Caniago). Tidak untuk mengatakan bahwa tanah ulayat harus bebas dari peran serta pihak ketiga, katakanlah investor, itu soal lain, tetapi dengan mereduksi kewenangan komunal menjadi kuasa individual, akan membuka peluang penghilangan proses-proses demokratis dan mekanisme bersama yang selama ini terbukti menopang keberlanjutan kehidupan sosial budaya Minangkabau. Pameo Keebet von Benda-Beckmann, runtuhnya (tidak hanya goyah) tangga menuju mufakat, bisa dipinjam untuk menggambarkan degradasi ini. Kondisi ini adalah ladang subur bagi lahirnya mafia tanah, yang secara naif ingin dihindari melalui pengaturan baru sertifikasi HPL.
Hal lain yang lebih penting adalah bagaimana tanah-tanah komunal masuk pada ekonomi liberal, yang akan memposisikan anak-anak nagari langsung berhadap-hadapan dengan kekuatan modal pasar bebas, tanpa ada benteng sosio-kultural yang memadai. Sebagaimana dikatakan Menteri ATR, sertifikat tanah ulayat “memberikan kepastian hukum bagi para investor yang ingin berinvestasi”[2].
Sebagai pilot project, Kerapatan Adat Nagari Sungayang, Kerapatan Adat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang dan Kerapatan Adat Nagari Sungai Kamuyang telah mendapatkan “kepastian hukum yang baru”, dalam kerangka HPL yang diberikan oleh negara. Konon, upaya sertifikasi tanah ulayat ini akan menyasar 352.000 hektar tanah ulayat yang ada di Sumatera Barat. Ini adalah obsesi besar bagi negara, yang juga telah menjadi corak di banyak belahan dunia lain dalam waktu lama. Tantangan dan pekerjaan yang berat bagi pemangku tanah ulayat, perempuan dan laki-laki nagari, untuk memikirkan kembali dengan serius bagaimana tanah, basis hidup sekaligus fondasi budaya Pusako berada, dibayangkan berbentuk di hari depan, agar tidak hilang hanya karena pencaharian.
Setelah Perayaan-Perayaan
Sebelum jeda, ada baiknya kembali ke festival yang pertama, pada satu instalasi Kapten Moed dari Komunitas Kupi Batigo yang dilaporkan tampil di Festival Pusako. Saya tidak pernah melihatnya memang, meskipun begitu ingin; berukuran 10x8x20 m, terbuat dari Karung Goni, Kayu Balok, Bata, Ijuk, Kawat, Tali Tambang, Triplek, dan Tikar Pandan. Namun yang menjadi penting sementara ini adalah “tagurajai” sebagai judul karya sekaligus representasi semantik atas karya. Dalam bahasa Minangkabau dikatakan tagurajai memiliki arti terjatuh, tersungkur atau jatuh ke lubang. Karya ini adalah sebuah kritikan sekaligus pengingat terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Perayaan yang pertama meresonansikan yang kedua (*)
Ilustrasi @yyumemiru
Tawaran Bacaan
Franz von Benda-Beckmann, Properti dan Keberlanjutan Sosial, 2000, Grasindo.
Tania Murray Li, Philip Hirsch, Derek Hall, Kuasa Eksklusi, Dilema Pertanahan di Asia Tenggara, 2020, Insist Press.
Peggy Reeves Sanday, Women at the Center, Life in Modern Matriarchy, 2002, Cornell University Press
[1] https://sumbar.antaranews.com/berita/584847/pekan-kebudayaan-nasional-2023-digelar-di-padang
[2] https://m.mediaindonesia.com/nusantara/620034/menteri-atrbpn-serahkan-sertifikat-hpl-tanah-ulayat-di-sumbar
Antara