Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah bunyi gong yang menandakan takluknya Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan yang menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu inkonstitusional bersyarat itu, terdapat 5 orang Hakim Konstitusi yang bertindak bagai teroris yang menghancurkan independensi dan marwah MK dari dalam. Di mana 3 orang di antaranya adalah perpanjangan tangan kekuasaan, dengan 2 orang yang merupakan representasi kepentingan oligarki, Anwar Usman dan Guntur Hamzah.
Tren buruk MK satu tahun terakhir memunculkan pertanyaan mendasar tentang akan kemanakah MK dibawa? Pemilu serentak, yang menjadi kontestasi politik terbesar dalam sejarah Indonesia, tinggal beberapa bulan lagi. Namun buruknya independensi oknum Hakim Konstitusi, yang tanpa malu menghalalkan segala cara untuk memuaskan libido kekuasaan oligarki, harus menjadi peringatan dini betapa sengketa pemilu nantinya akan penuh dengan kecamuk.
Makan Masak Mentah
Terlalu banyak kejanggalan dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bisa diulas untuk menggambarkan betapa oknum Hakim Konstitusi telah menjadi teroris atas konstitusi yang seharusnya mereka lindungi. Sebagaimana diketahui, pada hari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibacakan, Mahkamah terlebih dahulu membacakan Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, di mana ketiganya memohonkan pengujian objek yang sama dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yakni Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur batas minimum usia Capres dan Cawapres di angka 40 tahun.
Pada tiga putusan itu, Mahkamah menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya meski tidak diputus dengan suara bulat. Pasalnya, RPH tanggal 19 September dengan 8 orang Hakim Konstitusi yang tidak dihadiri Anwar Usman itu, menghasilkan putusan mayoritas dengan 6 orang Hakim Konstitusi yang menolak permohonan karena sepakat penentuan batas usia Capres dan Cawapres adalah kewenangan pembentuk undang-undang. Sedangkan 2 orang Hakim Konstitusi menyatakan pendapat berbeda, yakni Suhartoyo dan Guntur.
Bila ditelaah, Suhartoyo tidak menyatakan pendapat yang begitu berseberangan dengan 6 Hakim Konstitusi lainnya. Sebab pada Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023, ia bahkan menganggap pemohon tidak memiliki kepentingan dan kerugian konstitusional terhadap batas usia Capres dan Cawapres, sehingga Mahkamah seharusnya tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan. Namun pada Putusan Nomor 55/PUU-XXI/2023, Suhartoyo menilai Pemohon telah dirugikan hak konstitusionalnya untuk maju pada kontestasi Pilpres mengingat profesinya sebagai kepala daerah yang belum berusia 40 tahun.
Namun Guntur pada tiga putusan tersebut justru menilai batas minimum usia 40 tahun seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Sayangnya, ia tidak merangkai logika hukum secara komprehensif dengan menghubungkan fakta bahwa ketentuan batas usia yang tidak diakomodir dalam UUD 1945 merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang. Guntur tampak seolah memaksa untuk meneroka jalan dengan ngalor-ngidul bernarasi tentang generasi milinial yang, sadar atau tidak, argumentasinya sangat menggambarkan posisi moril Guntur pada perkara tersebut.
Plot berikutnya dalam drama batas usia Capres dan Cawapres adalah kehadiran Anwar Usman yang turut membahas Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam RPH tanggal 21 September. Sedangkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka muncul 7 kali dalam alasan permohonan. Bahkan bangunan argumentasi Pemohon mengacu pada “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Gibran sebagai Walikota Solo, bukan berdasarkan “dipilih melalui pemilihan umum”. Sehingga Anwar seharusnya tidak terlibat bahkan sejak pemeriksaan perkara sebagaimana ketentuan Kode Etik Hakim Konstitusi.
Menariknya kehadiran Anwar di RPH mengakibatkan Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh dan Manahan M.P. Sitompul mengubah pendirian pada tiga putusan sebelumnya yang hanya berselang 2 hari. Kejanggalan ini diperparah fakta adanya penarikan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan kerancuan amar putusan yang seharusnya memperlebar norma secara terbatas bagi “Gubernur”, bukan elected official yang jauh lebih luas.
Dengan menghubungkan alasan permohonan dan rapuhnnya independensi oknum Hakim Konstitusi, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 hanyalah bentuk akal-akalan untuk meloloskan keponakan Anwar Usman untuk maju dalam kontestasi Pilpres mendatang.
Arsul Sani dan Pemilu
Pensiunnya Wahiduddin Adams pada Januari mendatang mengharuskan DPR untuk mempersiapkan penggantinya. Menariknya pilihan DPR jatuh kepada Arsul Sani kendati ia tengah menjabat sebagai Wakil Ketua MPR sekaligus Waketum PPP, partai yang berkoalisi dengan PDI-P. Pilihan ini tidak perlu dipertanyakan mengingat drama pencopotan Aswanto beberapa waktu lalu yang oleh DPR yang menenggarai Aswanto tidak loyal kepada DPR, dan tentunya juga kepada lingkaran oligarki. Logika ini jugalah yang mengantar Arsul Sani menjadi Hakim Konstitusi, sebagai pelayan kepentingan kekuasaan.
Melihat komposisi Hakim Konstitusi saat ini dengan 5 orang oknum yang bertindak bagai teroris konstitusi, ditambah Arief Hidayat yang lebih serupa simpatisan partai dan beberapa kali melakukan pelanggaran etik, kehadiran Arsul kian memperburuk keadaan, karena MK kelak akan memiliki 7 orang oknum Hakim Konstitusi yang minus independensi.
Ketatnya persaingan pemilu 2024 telah terlihat dari kian tajamnya sentimen politik antarkoalisi yang akan berkontestasi. Antara partai pemenang di dua Pilpres terakhir dan Capres veteran yang digadang-gadang akan menggaet Gibran, di mana Jokowi memiliki saham di dua kandidat itu. Dengan kandidat ketiga yang belum memiliki saham di antara 7 orang Hakim Konstitusi yang menjadi oknum.
Terlepas dari siapa pemenang pemilu serentak mendatang, pemilu yang jujur dan adil adalah nilai yang tidak dapat ditawar, di mana sengketa hasil adalah keniscayaan dengan MK sebagai penentu.
Maka kemanakah arah laju MK ketika dihadapkan dengan sengketa pemilu serentak mendatang, apalagi ketika Gibran telah memanfaatkan putusan pamannya untuk maju sebagai Cawapres?