Artikel

Mendukung Penyintas, Mengakhiri Kekerasan Seksual

“Pantas saja, penampilan dan gaya-nya genit gitu.”

“Duh, pasti gara-gara dia berpakaian terbuka deh.”

 “Siapa suruh keluar rumah malam-malam!”

Pernah mendengar komentar seperti itu dan mengabaikannya? Atau malah ikut-ikutan mengeluarkan pernyataan-pernyataan seperti itu? Selamat, anda telah ikut melanggengkan kekerasan seksual. Karena kalimat-kalimat di atas tidak mengedepankan perspektif penyintas, yang ada malah sikap menyalahkan dan menyudutkan. Hilangnya perspektif penyintas dalam kasus-kasus kekerasan seksual juga tampak dalam kebiasaan publik dan media saat “mengomentari” subjek kekerasan seksual yang masih menggunakan kata korban ketimbang kata penyintas.

Dari Korban ke Penyintas

Hukum sebagai pemberi kepastian atas keadilan bagi warga negara pun tidak mengenal istilah penyintas. Seperti pengaturan tentang “korban pemerkosaan” dalam KUHP yang dimasukan dalam bab mengenai kesusilaan. Ketentuan seperti ini pada dasarnya bukan untuk melindungi perempuan yang jelas-jelas memiliki posisi rentan dalam timpangnya relasi kuasa saat ini. Ketentuan hukum tersebut pada dasarnya hanya melindungi norma susila dalam masyarakat. Bukan perempuan sebagai individu dan penyintas. Sebagai akibatnya penyintas bisa saja menjadi tertuduh sebagai pelaku asusila jika dianggap ikut melanggar norma masyarakat. Padahal yang terjadi sebaliknya.

Kembali ke soal istilah penyintas. Tidak terteranya istilah penyintas dalam hukum sendiri terjadi karena akan muncul ambiguitas dalam penegakan hukum apabila terdapat perubahan dari kata “korban” menjadi “penyintas”. Penyintas (survivor) merupakan orang-orang yang mampu bertahan dan melewati sebuah peristiwa—dalam hal ini berhubungan dengan kekerasan seksual—karena hal yang telah mereka lewati memiliki dampak, baik secara fisik maupun psikis. Awalnya istilah ini muncul dari keprihatinan yang dirasakan oleh para pegiat penanggulangan bencana yang menganggap bahwa kata “korban” lebih berkonotasi pada ketidakberdayaan atau bersifat pasif. Demi memberikan apresiasi atas upaya mereka untuk tetap bertahan pasca sebuah bencana, akhirnya istilah yang lebih tepat untuk digunakan adalah “penyintas”. Kata yang cukup asing, namun harus diperkenalkan dan digunakan dalam beberapa peristiwa.

Dalam hubungannya dengan kekerasan seksual, istilah penyintas harus dimunculkan agar mampu mengubah perspektif masyarakat dan media di depan kasus kekerasan seksual. Tidak hanya memperlakukan penyintas sebagai korban, namun juga melihatnya sebagai orang yang mampu melalui masa berat pasca kekerasan seksual yang dialaminya, sehingga dapat menghilangkan kebiasaan publik untuk menyalahkan korban (victim blaming). Di sinilah urgensi memperkenalkan istilah penyintas.

Menyalahkan Penyintas Kekerasan Seksual Adalah Salah!

Kasus kekerasan seksual dapat terjadi baik di ruang publik maupun domestik. Di mana  pelaku kekerasan seksual biasanya menyasar perempuan dan anak bagai kelompok “lemah” dalam konsep relasi kuasa yang timpang. Kekerasan seksual yang terjadi tidak hanya berupa kekerasan fisik yang jamak terjadi dalam rumah tangga, namun juga terdapat beberapa bentuk kekerasan lain yang dapat diklasifikasikan pada empat tataran berbeda, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Terdapat peningkatan signifikan terhadap jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia dalam rentang waktu dari tahun 2016 hingga pada tahun 2018. Pada tahun 2016 terdapat 259.150 dan pada tahun 2017 terdapat 348.446 kasus yang tercatat oleh Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan). Terdapat peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi beriringan dengan masa pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR sejak tahun 2016. Apabila RUU ini disahkan dan dilaksanakan dengan baik, maka UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dapat menjadi salah satu regulasi untuk menekan jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Berdasarkan lembar fakta dan poin kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan terlihat bahwa kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi sepanjang tahun 2018 adalah sebanyak 362.062 kasus. Jumlah kasus yang terjadi pada tahun 2018 kembali meningkat apabila dibandingkan dengan kasus yang tercatat pada tahun 2017. Angka-angka kasus tersebut adalah data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan dari kasus yang dilaporkan dan ditangani langsung oleh Pengadilan Agama dan lembaga pengada layanan yang tersebar di 34 Provinsi. Namun dapat diperkirakan bahwa terdapat lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan kepada lembaga yang bertanggungjawab untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual.

Kebiasaan menyalahkan korban (victim blaming) yang dilakukan oleh masyarakat serta media seperti di ataslah yang mengakibatkan banyak penyintas kekerasan seksual enggan untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya. Terus lestarinya perilaku victim blaming dengan sendirinya akan melestarikan dan menghambat upaya penghapusan kekerasan seksual. Penyintas akan lebih memilih untuk menyimpan sendiri kejadian tersebut. Karena ketika masyarakat mengetahui seseorang telah menjadi penyintas kekerasan seksual, maka mereka akan cenderung untuk menyalahkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana cara hidup, cara berpakaian, hingga penyintas yang dianggap hanya melebih-lebihkan permasalahan.

Semua itu menyebabkan mayoritas penyintas lebih memilih untuk menutup rapat-rapat pelecehan seksual maupun kekerasan seksual yang dialaminya. Pandangan bahwa hal tersebut merupakan aib dan harus ditutupi dari publik membuat beberapa kekerasan seksual yang muncul ke publik itu bagai puncak gunung es. Menyisakan banyak peristiwa yang hanya disimpan dan tidak pernah diceritakan pada orang lain.

Penyintas Harus Bicara!

Edwin dan Shirley (2006), yang mengajukan Teori Kelompok Terbungkam (Muted Group Theory), memandang bahwa kebungkaman perempuan merupakan pasangan dari ketulian laki-laki. Mereka menjelaskan bahwa perempuan memang berbicara, tetapi kata-katanya berjatuhan pada telinga yang tuli (laki-laki). Sehingga dengan berjalannya waktu, perempuan akan cenderung berhenti untuk mencoba mengemukakan pendapatnya. Shirley menyatakan bahwa, “kata-kata yang selalu jatuh pada telinga yang tuli pada akhirnya dapat, tentu saja, menjadi tidak diucapkan, atau bahkan tidak dipikirkan”.

Hal tersebut terjadi dalam masyarakat patriarkis, yang menempatkan laki-laki sebagai kelompok superordinat dan perempuan di posisi subordinat. Sehingga kata-kata yang dikeluarkan oleh perempuan menjadi tidak terdengar karena akan tertutup, tidak hanya oleh bantahan dan suara laki-laki patriarki, namun juga perempuan yang telah terhegemoni patriarki.

Jika dilihat dari sudut ini, maka akan terlihat bahwa victim blaming berkaitan erat dengan teori kelompok terbungkam. Dalam banyak kasus, victim blaming memang dimungkinkan karena adanya kelompok mayoritas yang terjebak dalam suatu paradigma patriarki saat melihat kasus kekerasan seksual. Kata-kata, bantahan, bahkan alibi, yang dikeluarkan oleh laki-laki pelaku kekerasan seksual jauh lebih bepengaruh dan didengarkan. Sementara itu kata-kata perempuan penyintas sendiri sebagai bagian kelompok terbungkam, menjadi terabaikan. Kelompok mayoritas malah mencari celah kesalahan penyintas berdasarkan latar belakang subjektif yang dibangun dalam kerangka kesesatan berpikir (logical fallacy).

Penyintas kekesaran seksual harus bicara dan berani menuntut keadilan. Namun tanpa ditopang oleh lingkungan yang memiliki paradigma memihak korban, serta tanpa didukung regulasi dan negara dengan aparatus hukumnya, hal tersebut nyaris mustahil.

Jalan menuju penghapusan kekerasan seksual memang masih panjang dan berliku, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Memulai untuk memilih istilah “penyintas” alih-alih “korban” dalam komunikasi di ruang publik, adalah salah satu jalan. Teman-teman media sedapatnya juga lebih peka dalam soal pemilihan istilah ini. Selain itu, upaya penghapusan kekerasan seksual sekaligus mengenyahkan perilaku victim blaming, juga perlu didorong oleh adanya regulasi yang mendukung semua itu. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual sejatinya telah membuka ruang untuk itu. Adanya pendidikan tentang kekerasan seksual, misalnya, akan membuat kebiasaan menyalahkan penyintas kekerasan seksual hilang—berganti dengan dukungan untuk memulihkan kembali keadaan psikologis serta mendorongnya untuk menuntut haknya mendapat perlindungan dari negara atas kekerasan seksual yang dialaminya. (*)

Editor: Randi Reimena

Ilustrator: Talia Sartika Bara

 

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Revisi UU (Karet) ITE Sekarang Juga!