Artikel

Jurus-jurus Hadapi Pilkada 2020

Pilkada memang masih lama. Masih sekitar delapan bulan lagi. Tepatnya pada 23 september 2020 mendatang, beberapa daerah akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak untuk keempat kalinya. Pilkada kali ini diikuti 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Walau masih lama, namun tidak ada salahnya bersiap dari sekarang.

Secara teori Pemilu bertujuan untuk memilih pejabat-pejabat publik, langsung maupun tidak langsung oleh rakyat. Keikutsertaan rakyat dalam Pemilu menandakan adanya partisipasi rakyat dalam politik. Keikutsertaan rakyat dalam politik sendiri merupakan bentuk partisipasi paling kecil yang dapat ditunjukan. Michael Rush dan Philip Althof (2010) mengatakan terdapat beberapa bentuk partisipasi politik dalam hierarki partisipasi politik, yaitu: 1) Menduduki jabatan politik atau administratif; 2) Mencari jabatan politik atau administratif; 3) Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi politik; 4) Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik; 5) Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi-politik; 6) Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi-politik; 7) Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya; 8) Partisipasi dalam diskusi politik informal serta 9) Partisipasi dalam pemungutan suara.

Hanya saja selama ini ada anggapan umum bahwa pertisipasi politik sebatas persoalan coblos-mencoblos ketika pemilu saja. Diam-diam banyak orang mengira datang ke TPS sebagai satu-satunya bentuk partisipasi politik. Padahal, sebagaimana tampak dalam pernyataan Rush dan Althof di atas, partisipasi politik harus dipahami dalam pengertiannya yang luas, bentuk partisipasi politik tidak hanya ketika mencoblos di TPS saja. Bahkan memilih untuk tidak memilih alias Golput juga adalah bentuk partisipasi politik dalam pengertian tertentu.

Selain bentuk-bentuk partisipasi tadi, menurut saya ada bentuk partipasi poilitik lain yang juga penting namun sering terlupakan ketika masa-masa pemilihan, yaitu partisipasi politik dalam pengertian terlibat dalam Pilkada secara aktif. Baik aktif dalam menyeleksi silang-pungkang berita-berita politik di media sosial mau pun aktif mengawasi Proses panjang Pilkada.

Bukannya sudah ada lembaga khusus untuk mengawasi Pemilu yaitu Bawaslu? Di tiap Provinsi juga ada Bawaslunya? Benar sekali. Namun Bawaslu tidaklah sempurna. Lembaga tersebut hanya akan bekerja optimal jika rakyat partisipan Pilkadanya aktif memberi laporan terkait  pelanggaran penyelenggaraan Pilkada. Jangkauan intrik-intrik politisi busuk melebihi kemampuan Bawaslu, ia masuk ke wilayah-wilayah yang tidak setiap saat terawasi oleh Bawaslu. Sekarang mari kita lihat tahapan kampanye yang biasa dijalankan politisi dan mesin politiknya.

Para calon yang akan berlaga memerlukan kampanye sebagai media perkenalan kepada masyarakat. Perkenalan ini berupa profil dirinya, visi-misi, strategi, dan seterusnya. Bahkan ada pula kegiatan berkedok ‘menyerap aspirasi masyarakat’ dari calon incumben. Tentunya calon tidak akan bekerja sendiri, ada tim sukses yang dibentuk. Jika calon tersebut memperoleh kemenangan maka jaringan tim sukses ini akan meminta imbalan berupa keuntungan materil atau non materil dari sang calon. Siapa yang akan mengawasi dan kemudian mengatasi permainan kotor di belakang layar ini? Bawaslu saja tentu tidak cukup.

Itu baru salah satu celah. Pada masa kampanye sangat mungkin terjadi pelanggaran dalam bentuk lain. Jika tidak cermat, sudah pasti pelaku pelanggaran akan melenggang begitu saja. Sasaran utama dalam kampanye tentunya masyarakat yang telah menjadi daftar pemilih tetap. Berbagai macam cara dapat dilakukan bahkan dengan perhitungan matang. Misalnya politik serangan fajar. Siapa yang akan mengawasi pintu rumah tiap orang di pagi buta menjelang pencoblosan? Bawaslu hampir pasti tidak bisa.

Di sinilah pentingnya rakyat yang sadar politik. Sadar bahwa partisipasi politik, selain ikut mencoblos, juga adalah terlibat aktif dalam proses Pilkada. Mereka yang berniat menjalankan kampanye dengan cara curang akan ciut nyalinya jika rakyat terlibat   aktif dan turut  serta  dalam prosesnya dengan garang. Garang di sini bukan diartikan marah-marah, namun bersifat kritis dan tidak ingin dibodohi. Untuk itu saya menawarkan beberapa tindak politik sebagai senjata untuk menghadapai Pilkada tahun ini. Seperangkat senjata ini meski terlihat remeh namun penting juga untuk ditimbang.

Pertama, awali dengan memahami dengan seksama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilah Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Salah satu yang tertulis adalah mengenai politik uang. Sanksi bukan hanya ditimpakan kepada pemberi, namun juga kepada penerima. Satu suara sangat menentukan arah laju bangsa, jadi jangan sampai suara kita dapat dibarter dengan barang atau uang dengan syarat harus memilih salah satu calon.

Kedua, Jangan sembarangan memberikan data pribadi kepada seseorang. Masa-masa kampanye data pribadi seseorang sangat rentan untuk disalahgunakan, terutama data yang tertera pada KTP dan KK. Hati-hati saja jika ada yang meminta foto-copy kedua benda tersebut dengan maksud yang tidak jelas atau bukan instansi resmi dari pemerintah, maka tidak usah diberikan. Sebagai contoh data pribadi kita bisa dicaplok sebagai pendukung salah satu calon perseorangan, padahal kita sendiri tidak melakukannya. 

Ketiga, Pasang tampang garang. Selalu tegas jika ada tim sukses ingin menempelkan alat peraga kampanye seperti: bendera, sticker dan baliho di tempat-tempat terlarang. Sesuai dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 280 ayat 1 huruf h yang berbunyi, “Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.

Keempat, Bijak menggunakan media sosial. Sarana ini sangat-amat rentan menjadi penyalur berita bohong, bahkan kita kadang menjadi penyalurnya tanpa sadar. Amati dengan teliti segala konten berita dari media sosial baik itu dari portal berita online atau pesan berantai grup Whatsapp. Jangan sampai kita telah menganggap itu sebuah kebenaran tanpa diuji dengan seksama, terutama menyangkut SARA.

Kelima, laporkan jika ada kecurangan. Untuk jurus terakhir ini perlu strategi. Jika memang kita melihat secara langsung indikasi kecurangan kampanye sebagaimana yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, jangan segan untuk melaporkannya ke Bawaslu. Pastikan kita memiliki alat bukti seperti foto, video dll. Sebagai pelapor bawalah orang lain sebagai saksi minimal dua orang yang juga mengetahui kecurangan yang terjadi. Jangan terlalu lama menunggu untuk melaporkan pelaporan.

Kelima jurus itu merupakan bentuk peran partisipasi kritis dari masyarakat. Sehingga siapa pun yang akan masuk ke dalam gelanggang Pemilu, pikir-pikir dulu untuk main curang. Terlepas dari efektif atau tidaknya jurus-jurus tersebut, serta terlepas dari pilihan politik masing-masing, intinya jadilah pemilih yang cerdas sebagai bentuk partisipasi politik. Di atas semua itu, perbedaan pilihan politik adalah sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja, termasuk bagi yang memilih untuk Golput. (*)

 

Ilustrator: Talia Sartika Bara

 

 

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *