Artikel

Mendirikan Surat Kabar, Menulis, Berorganisasi: Gerakan Politik Anti-Kolonial Haji Kuminih

“Djangan loepa! Djangan laloe! Djangan maoe ketinggalan! Pemandangan Islam tersedia oentoek membela Rajat yang melarat dan tertindas!”

Kutipan di atas adalah semacam slogan dari surat kabar Pemandangan Islam. Slogan tersebut adalah pernyataan terang-terangan memihak dan menyuarakan suara “Rajat terjajah yang melarat dan tertindas”.

Slogan surat Kabar yang terbit pada akhir 1923 tersebut tidak lahir dari ruang hampa. Semenjak awal abad 20, terjadi perubahan formasi sosial dan politik yang dipicu terintegrasinya Sumatera Barat dengan kapitalisme global. Lingkungan ekonomi yang baru itu kemudian memicu gejolak sosial. Kelas sosial baru, seperti para pedagang, wirausahawan dan kapitalis kecil dari golongan pribumi bermunculan. Kelas baru ini segera menyadari bahwa kolonialisme adalah hambatan bagi mereka[1].

Antara 1921-1924, para pedagang kecil yang baru saja muncul itu, terpuruk. Permintaan atas dagangan mereka merosot. Kebijakan Kolonial menyediakan jalan bagi bank-bank swasta pemberi kredit masuk sampai ke pelosok desa. Bank-bank ini segera menjerat calon pembeli para pedagang kecil dengan hutang. Saat kebijakan cuultur stelseel yang di Sumatera Barat berjalan sampai 1915, diganti dengan pajak uang, berbagai jenis pajak dibebankan pada pribumi. Sawah-sawah yang ditinggalkan karena dialihfungsikan sebagai perkebunan komersil, membuat produksi pangan terganggu[2]. Pada tahun 1920-an terjadi kenaikan harga beras. Dalam tahun-tahun yang sama kegiatan politik semakin meningkat. Para politisi lokal, yang disokong oleh pedagang-pedagang lokal yang tertekan oleh kebijakan pro-pedagang asing Kolonial Belanda, mulai membicarakan pengertian kolonialisme dan efek nyatanya di berbagai forum[3].

Pers Kuminih

Pada masa-masa yang sama, suatu lingkungan pers terbentuk di Sumatera Barat, termasuk Padang Panjang. Berbagai surat kabar bermunculan. Setiap surat kabar menyuarakan pandangangannya masing-masing. Yuliandre Darwis (2013) memberi gambaran umum tentang Pers pada masa itu yang memainkan peran penting dalam menyebarkan dan melahirkan berbagai gagasan. Surat kabar-surat kabar ikut memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang berpikir, menghargai pendapat dan memberi ruang dalam pengembangan ide-ide.

Namun di antara berbagai surat kabar bertema adat dan Islam yang memilih bersikap moderat, terdapat beberapa surat kabar yang mencengangkan dan membuat cemas tidak hanya para ulama dan penghulu adat namun juga pemerintah Kolonial, yaitu Pemandangan Islam, Djago! Djago! dan Doenia Achirat. Mencengangkan karena suarat kabar-surat kabar tersebut berani secara terang-terangan mengkritik pemerintahan Kolonial Belanda dan secara tegas menyatakan keberpihakannya pada kaum tertindas di antara surat kabar-surat kabar lainnya yang lebih moderat dan netral itu. Mencemaskan karena surat kabar-surat kabar tersebut adalah beberapa surat kabar dari dua puluh surat kabar berhaluan komunis yang tersebar di berbagai kota di Hindia yang dicurigai para ulama sebagai gerakan ateis.

Di Sumatera Barat, terutama di Padang Panjang, komunisme menyesuaikan diri sedemikian rupa dengan kultur serta agama setempat yaitu Islam. Meztika Zed (2014) menyebutnya komunisme khas Padang Panjang. Gerakan ini berbeda dengan gerakan komunis di daerah lain. Kalau di banyak daerah lain komunisme lebih sekular, termasuk di Padang, maka di Padang Panjang merupakan campuran antara Islam yang telah mengakar dalam masyarakat dengan ajaran komunis.

Penyebaran ideologi radikal ini tak lepas dari pengaruh seorang tokoh bernama Haji Ahmad Khatib gelar Datuak Batuah. Fikrul Hanif Sufyan dalam bukunya Menuju Lentera Merah Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah 1923-1949, menjelaskan aktivitas politik Datuak Batuah dalam menyebarkan komunisme di Padang Panjang dan sekitarnya.

Datuak Batuah selain memangku gelar adat, juga adalah seorang Haji. Di tangannya, perpaduan Islam dan komunisme menjadi ideologi perlawanan yang anti penjajahan dan penindasan. Konsep perjuangan kelas dilihat oleh Datuak Batuah seirama dengan Hadis Riwayat Muslim yang berisi ajakan untuk mencegah kemungkaran dan ketimpangan dalam masyarakat. Komunisme semacam ini, diperkenalkannya pada murid-murid sekolah di Padang Panjang serta masyarakat sekitarnya sebagai kuminih.

Datuak Batuah: Mendirikan Surat Kabar, Ditangkap dan Dibuang

Datuak Batuah lahir pada tahun 1895 di Koto Laweh. Pada 1909 ia berangkat Mekah untuk berguru dan naik haji. Di sana ia berguru pada ulama asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Haji Datuak Batuah memulai karirnya di dunia jurnalistik sebagai redaktur surat kabar Al-Munir dan Al-Manar pada 1918. Dua surat kabar tersebut merupakan surat kabar yang berisi uraian-uraian ilmiah tentang agama Islam, fiqih, pelajaran dan nasihat keagamaan. Saat itu ia tengah menjadi guru agama di Sumatera Thawalib Padang Panjang. Ia adalah sosok yang cerdas serta disenangi murid-muridnya. Kecerdasannya membuatnya dekat dengan Haji Rasul (ayah dari Buya Hamka). Ia kemudian menjadi salah satu murid kesayangan Haji Rasul.

Persentuhannya dengan masyarakat membuatnya sadar bahwa ada yang salah dalam masyarakatnya. Ia melihat sistem kolonial yang memperbudak, kapitalisme yang memiskinkan serta para penghulu yang korup. Ia juga menyadari bahwa dulunya orang Minang adalah orang merdeka yang memegang hak atas tanahnya secara komunal dan karena itu mereka pantas untuk merdeka. Tapi kebanyakan masyarakat saat itu belum menyadari apa itu penjajahan.

Pada Oktober 1923, di Padang Panjang, ia mendirikan surat kabarnya sendiri untuk menyebarkan pandangan-pandangan kuminih-nya: Pemandangan Islam. Berbeda dengan dua surat kabar yang lebih netral dimana ia bekerja sebelumnya sebagai redaktur, Pemandangan Islam menunjukkan keperpihakannya pada kaum terjajah dan tertindas.

Datuak Batuah sendiri juga aktif menulis. Lewat tulisan-tulisannya di Pemandangan Islam, ia menafsirkan teks-teks Al-Quran dan Hadis-hadis yang menganjurkan pentingnya persatuan dalam perjuangan melawan penjajahan yang ia padukan dengan ajaran komunis.

Agar lebih leluasa dalam menyampaikan pandangan-pandangan radikalnya, Datuak Batuah kemudian juga menulis untuk Djago! Djago! yang lebih sekular dibanding Pemandangan Islam. Bersama surat kabar dengan slogan “Suara Merdeka Kaoem Melarat” ini, ia mengajak rakyat untuk tidak tunduk pada penjajahan, melawan kapitalis Belanda, dan menyatakan penolakan terhadap pemerintah yang zalim serta menyerukan untuk mengusir Belanda.

Selain untuk Djago! Djago! Datuak Batuah juga menulis untuk surat kabar radikal lainnya: Doenia Achirat. Dalam surat kabar ini ia masih menyuarakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Beberapa tulisannya juga menyerang para penghulu yang suka menjilat dan membungkukkan badannya di depan pemerintah Koloni dan melupakan kaumnya yang tertindas.

Namun Pemandangan Islam dan Djago! Djago! tidak akan ada tanpa organisasi yang menopangnya. Surat kabar-surat kabar itu lahir dari rahim organisasi Sarekat Rakyat. Organisasi yang didirikan di Padang Panjang oleh Datuak Batuah koleganya Natar Zainuddin dan Jamludin Tamin ini, memiliki keterkaitan dengan persatuan saudagar yang tertekan oleh kebijakan proteksi pedagang asing Kolonial Belanda. Selain itu, mereka juga membentuk International Debating Club (IDC), suatu studi club tempat para anggotanya yang sebagian besar merupakan siswa Thawalib Padang Panjang mengkaji marxisme. Di IDC mereka menganalisis situasi terkini dunia dan Sumatera Barat. Hasil kajian di IDC inilah yang mereka sebar lewat Djago! Djago!. Dalam salah satu edisinya, Djago! Djago! menerbitkan artikel berisi analisis atas ketimpangan ekonomi yang diakibatkan dominannya modal asing di Sumatera Barat. Jadi, selain mendasarkan pandangannya pada ajaran Islam, Datuak Batuah dan Kawan-kawan juga melandasi aktifitas politiknya dengan analisis ilmiah.

Semua aktifitas politiknya membuat Kolonial Belanda gusar. Rezim represif itu membungkamnya. Sehabis salat Zuhur, Minggu 11 November 1923, ia ditangkap oleh aparat kepolisian Belanda tanpa surat perintah penangkapan. Kantor Pemandangan Islam serta rumahnya digeledah. Para redaktur serta orang yang terkait dengan Pemandangan Islam, Djago! Djago! serta Doenia Achirat, juga ditangkap.

Di antara para pembangkang yang ditangkap ini, Datuak Batuah dan koleganya Natar Zainudin dikategorikan sebagai tahanan politik berbahaya. Setelah setahun ditahan di Padang Panjang, pada 1924 mereka dipindahkan ke penjara Padang. Tahun berikutnya mereka dibuang ke Pulau Timor. Mereka dijerat dengan undang-undang penyiaran pers (persdelict). Datuak Batuah dituduh telah mendirikan Pemandangan Islam dan Djago! Djago! yang dalam setiap tulisannya selalu menghasut dan memusuhi pemerintah.

Datuak Batuah diasingkan di Pulau Timor selama dua tahun. Pada 1927 ia pindahkan ke Boven Digoel. Ketika Belanda melarikan diri ke Australia akibat serbuan Jepang, para tahanan ikut dibawa, termasuk Datuak Batuah. Ia sampai di Australia pada tahun 1943. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, pada tahun 1946 ia dipulangkan oleh pemerintah Australia ke Indonesia.

Suatu malam pada bulan Ramadan tahun 1949, sehabis melaksanakan tarawih, Ahmad Khatib gelar Datuak Batuah meninggal dunia di kampungnya, Koto Laweh. Sekembalinya dari pembuangan selama 24 tahun, ia lebih banyak mengaji serta memberi ceramah politik. Dua tahun sebelum meninggal dunia, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai anggota Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Dijebak Karena Anti-Korupsi, Menjadi Ikon Perlawanan.

Penangkapan Haji Datuak Batuah mengundang reaksi dari para pendukungnya. Sempat tersebar isu bahwa ia dijebak oleh Haji Rasul yang anti dengan kuminih. Namun isu tersebut tidak terbukti. Haji Datuak Batuah ternyata dijebak oleh Kepala Nagari Koto Laweh.

Masih mengutip Fikrul, sebelum penangkapannya ia pernah berseteru dengan seorang Datuk yang menjadi Kepala Nagari Koto Laweh karena Kepala Nagari itu menggelapkan upah para kuli. Selain itu, Kepala Nagari ini juga melakukan pungutan liar terhadap para pedagang ternak. Haji Datuak Batuah membongkar kasus tersebut dan membuat Kepala Nagari terpaksa membayar uang ganti rugi.

Akibat peristiwa tersebut Kepala Nagari yang memiliki kedekatan dengan Asisten Residen Padang Panjang menaruh dendam. Dia kemudian mengatakan pada Asisten Residen bahwa Datuak Batuah dan rekan-rekannya akan melakukan makar. Dia juga mengatur saksi-saksi palsu yang memberatkan Datuak Batuah dalam persidangan.

Sikapnya yang menolak penjajahan serta masyarakat yang korup, baik lewat tulisan maupun dalam praktek, menginspirasi generasi setelahnya. Walaupun kiprahnya dalam dunia pers maupun sebagai aktivis hanya berlangsung selama kurang lebih dua bulan, di mata para aktivis yang lebih muda ia telah menjadi ikon perlawanan.

Satu dekade setelah penangkapannya, para generasi aktivis 1930-an di Padang Panjang mendirikan sebuah organisasi pemuda independen berorientasi nasionalis Islam yang kemudian menjadi salah satu organisasi terbesar di Sumatera Barat, Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) (Kahin, 2008: 73). Organisasi ini mempunyai laskar-laskar pejuang. Nama Datuak Batuah dipakai sebagai nama untuk salah satu laskar yaitu Lasykar Datuak Batuah, sejajar dengan nama-nama besar yang juga dipakai untuk menamai laskar, seperti Lasykar Haji Miskin dan Lasykar Imam Bonjol. (*)

Illustrator: Graphirate

Catatan Kaki: 

[1]Joel S Khan, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasant and the World Economy, Cambridge Unversity Perss: New York, 1980. Hal, 10. Lihat juga F dan K. von Benda-Beckmann, Transformasi dan Perubahan di Minangkabau dalam Kebeet von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Pengadilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Grasindo: Jakarta, 2000. Hal: 253-260.

[2] Meztika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang 1927 (Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat). Jogjakarta: Syarikat Indonesia, 2004. Hal: 24-38.

[3] Taufik Abdullah Sekolah dan Politik: Gerakan Kaum Muda di Sumatera Barat (1927-1933). Hal: 39.

Rujukan:

Abdullah, Taufik. 1988. Sekolah dan Politik Gerakan Kaum Muda di Sumatera Barat (1927-1933). Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Benda-Beckmann, Kebeet von. 2000. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Pengadilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Grasindo: Jakarta, 2000.

Darwis, Yuliandre. 2013. Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kahin, Audrey. 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Khan, Joel S. 1980. Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasant and the World Economy. New York: Cambridge University Perss.

Sufyan, Fikrul Hanif. 2017. Menuju Lentera Merah Gerakan Propagandis Komunis di Kota Serambi Mekah 1923-1949. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press.

Zed, Mestika. 2004. Pemberontakan Komunis Silungkang 1927 (Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat). Jogjakarta: Syarikat Indonesia.

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mendirikan Surat Kabar, Menulis, Berorganisasi: Gerakan Politik Anti-Kolonial Haji Kuminih