Artikel

Melawan Korupsi dengan Literasi

Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2015 menunjukkan bahwa tingkat literasi di Indonesia masih rendah, jauh di bawah negara lain di dunia. Indonesia menduduki ranking 62 dari 70 negara.

Sedangkan dalam penelitian Central Connecticut State University (CCSU), Indonesia menduduki ranking 60 dari 61 negara. Tingkat konsumsi buku anak-anak di Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara di eropa dan amerika yang dapat mencapai 25-27 persen buku per tahun, dan jepang dengan minat baca 15-18 persen, sedangkan Indonesia hanya mencapai 0,01 persen per tahun.

Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri bagi bangsa ini, mengingat banyaknya manfaat baik dari tingginya minat literasi bagi individu seseorang ataupun pada sebuah negara. Dengan melihat fakta tersebut, sudah saatnya Indonesia berbenah. Hal tersebut tidak dapat hanya dibebankan pada pemerintah saja sebagai fasilitator, tetapi harus menjadi persoalan  semua elemen yang ada dalam masyarakat. Pembenahan tersebut dapat  dimulai dengan menanamkan budaya literasi sedari dini dari pranata sosial yang terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.

Rendahnya minat literasi dalam masyarakat terlihat seperti persoalan sederhana, namun hal ini akan berdampak sangat besar. Rendahnya minat literasi secara tidak langsung dapat menyebabkan rendahnya kualitas individu seseorang karena minimnya pengetahuan dan wawasan yang didapat.

Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya minat literasi di Indonesia, mulai dari faktor internal pada diri seseorang seperti kebiasaan malas membaca, hingga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti harga buku yang mahal, dan minimnya wadah literasi, seperti perpustakaan umum. Dibutuhkan alternatif lain untuk dapat memenuhi kebutuhan literasi. Seperti dengan membangun perpustakaan secara kolektif .

Literasi sendiri tidak hanya dapat dipahami secara bahasa yaitu sebatas kegiatan membaca dan menulis. Akan tetapi lebih dari itu, literasi  harus juga dimaknai sebagai sebuah wadah berlangsungnya dialektika yang akan menghasilkan gagasan-gagasan atau ide-ide yang nantinya berguna untuk kepentingan bersama. Dari sanalah literasi dapat menciptakan karakter individu manusia yang mempunyai kesadaran, menumbuhkan nilai-nilai empati, meningkatkan kemampuan analisis dan krtitis, dan juga menumbuhkan kepedulian atau kepekaan antar sesama.

Semangat literasi harus terus dikembangkan sedari dini dengan melihat keadaan pada saat sekarang, di mana praktik korupsi masih terus terjadi. Berita tentang kasus korupsi yang kerap muncul di media massa dan telah menjadi konsumsi kita setiap hari mulai dari sarapan, makan siang, hingga menjadi menu utama di makan malam.  Pemberitaannya  tidak  pernah habis disajikan oleh media massa kepada masyarakat, karena memang hampir setiap harinya ada saja pejabat negara ini yang tersangkut permasalahan korupsi.

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International bahwa lima besar negara dengan skor Indeks Persepsi Korupsi tertinggi yaitu Denmark, New Zealand, Finlandia, Singapura, dan Swedia. Negara-negara tersebut juga menduduki peringkat yang tinggi dalam penelitian tingkat literasi oleh PISA. Coba bandingkan dengan Indonesia yang  mengisi urutan ke-62 dari 70 negara dalam penelitian PISA,  rankyang mendapatkani rangking ke-89 dalam Indeks Persepsi Korupsi.

Hal tersebut memperlihatkan bahwa minat literasi berhubungan dengan perilaku koruptif. Dengan begitu kita dapat melihat bahwa semangat literasi dapat menjadi salah satu cara dalam melawan perilaku korupsi yang masih menjadi mimpi buruk di negri ini. Artinya, rendahnya tingkat korupsi berhubungan dengan tingginya tingkat literasi.

Kalau begitu, kenapa mayoritas koruptor adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi? Hal itu terjadi karena capaian dari pendidikan kita hanyalah nilai dalam bentuk angka. Pemahaman serta apresiasi terhadap konsep nilai dan integritas seringkali ditinggalkan. Sehingga penerapan sistem pendidikan yang ideal disertai dengan pembangunan budaya literasi akan memantik kesadaran tentang bahaya tindak koruptif.

Membudayakan literasi membuat seseorang memiliki modal interpretatif yang secara tidak langsung menciptakan nalar kritis untuk menafsirkan isu-isu yang ada dan berkembang di sekitar mereka. Hal ini juga berlaku bagi pejabat publik yang mempunyai legitimasi akses untuk melakukan tindakan korupsi. Literasi di tataran birokrat akan mendorong terciptanya pandangan moral serta penekanan untuk tidak melakukan tindakan korupsi serta menumbuhkan kesadaran  bahwa perbuatan korupsi adalah salah dan merugikan masyarakat banyak.

Saat ini telah banyak wadah literasi yang digagas melalui gerakan-gerakan literasi secara individu atau kelompok, seperti perpustakaan jalanan atau lapak baca yang menyajikan banyak buku-buku yang menarik secara gratis. Gerakan-gerakan literasi tersebut yang dibangun secara kolektif ini dapat menjadi perpustakaan alternatif, dan juga dapat menjadi ruang diskusi terbuka. Hal ini dapat menjadi pendidikan alternatif yang bisa menjadi pilihan dalam mencerdaskan masyarakat. Selain itu, saat ini tersedia bermacam-macam buku dengan format .pdf yang dapat diunduh langsung di telefon genggam penggunanya baik secara gratis maupun berbayar.

Banyaknya wadah literasi alternatif yang disediakan oleh kelompok-kelompok kolektif ataupun pada telefon genggam, diharapkan dapat menumbuhkan minat literasi dalam masyarakat yang didorong karena rasa kesadaran, terutama untuk para remaja, karena para remaja ini lah yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Dan, tidak ada lagi alasan untuk tidak dapat membaca buku karena mahalnya harga buku atau minimnya sarana perpustakaan umum.

Dengan tumbuhnya semangat literasi, masyarakat akan semakin sadar tentang pentingnya melawan tindakan korupsi dan menanamkan nilai-nilai anti-korupsi. Dan yang terpenting adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan infrastruktur literasi yang masih terus harus ditagih. Optimisme juga harus terus dijaga agar cita-cita tentang masa depan Indonesia bebas dari korupsi tidak hanya menjadi mimpi, akan tetapi dapat menjadi sebuah kenyataan.

Editor: Hemi Lavour

Ilustrator: Talia Sartika Bara

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *