Perempuan itu istimewa. Namun realitasnya, kata istimewa ini seringkali disandingkan dengan sebutan lain, seperti makhluk yang perlu dilindungi serta makhluk lemah. Hal tersebut membuat beberapa orang berpendapat bahwa perempuan sebaiknya menjaga dirinya dengan baik karena ia merupakan makhluk yang istimewa, namun lemah sehingga harus dilindungi oleh orang lain.
Pendapat tentang perlunya perempuan menjaga dirinya sering direalisasikan dalam konsep dan praktik yang konservatif. Pandangan itu menganggap bahwa perempuan tak akan mampu untuk menjaga dirinya sendiri, sehingga membutuhkan laki-laki atau orang lain untuk menjadi pelindungnya. Contohnya seperti suami yang melarang istrinya untuk bekerja dan menjalin hubungan kerja dengan laki-laki lain, atau orang tua yang selektif serta mengambil peran dalam hal memilihkan teman untuk anaknya.
Perempuan dianggap mampu untuk menjaga dirinya dengan baik apabila ia tidak sering keluar rumah, bisa berpakaian dengan baik dan sopan, menjaga pergaulannya, serta perihal lain semacam itu. Namun yang dianggap sebagai langkah pencegahan tersebut ternyata tidak mampu untuk meniadakan peran laki-laki dalam menjaga dan melindungi perempuan.
Terhadap fenomena di atas, Professor Havelock Ellis mengatakan bahwa kebanyakan orang laki-laki memandang perempuan sebagai “Suatu blasteran antara seorang dewi dan seorang tolol. Dipundi-pundikan sebagai seorang dewi, dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol.”[1] Bagi beberapa perempuan, perlakuan konservatif itu tidak bertujuan untuk mengistimewakan atau memuliakannya, mereka justru merasa bahwa haknya telah dibatasi. Sehingga akhirnya muncul beberapa perempuan yang menuntut kebebasannya, berupa kesempatan dan hak yang sama dengan laki-laki.
Namun di sisi lain, tidak hanya laki-laki yang memandang perempuan sebagai dewi-tolol, segelintir perempuan pun menjadikan perempuan seperti itu. Tidak jarang kita melihat seorang ibu yang membatasi ruang gerak anak perempuannya. Beberapa ibu juga mengatur cara berpakaian, pergaulan, hingga cara anak perempuannya dalam bersikap. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari seringkali perempuan sendirilah yang menganggap dirinya lemah. Beberapa dari kawan perempuan saya pernah berkata, “masa perempuan yang ngerjain itu?”. Pada waktu-waktu tertentu perempuan ingin ada laki-laki yang membantunya. Mereka mengakui bahwa ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang tidak bisa dilakukan olehnya sebagai perempuan.
Perihal tersebut, secara signifikan ada dua golongan perempuan yang memperlakukan dirinya sendiri secara berbeda. Pertama, ada yang menuntut dirinya dimuliakan dan diistimewakan sebagai dewi. Kedua, ada yang merasa diperlakukan sebagai dewi-tolol dan mereka tidak terima dengan hal itu. Sampai akhirnya sebagian dari mereka ingin diperlakukan seperti halnya laki-laki.
Idealnya saat perempuan menuntut kesetaraan, mereka tidak dapat menuntutnya secara mutlak. Karena dalam segi bahasa, diksi yang dipakai saat berbicara mengenai kesetaraan ialah kata gender, yaitu kesetaraan gender, bukan kesetaraan jenis kelamin. Gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda.
Secara sederhana gender ialah bagaimana laki-laki dan perempuan dikonstruksikan dalam masyarakat. Sedangkan jenis kelamin merupakan suatu hal yang berhubungan dengan sifat biologis manusia dan kodrat manusia.
Perihal tersebutlah yang membuat perempuan tidak akan dapat setara dengan laki-laki secara mutlak. Karena terdapat perbedaan kodrat penciptaan antara perempuan dengan laki-laki. Perempuan dikodratkan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sehingga hak-hak perempuan seperti dalam melakukan sebuah pekerjaan tentu tidak bisa disamakan dengan laki-laki.
Pada saat melahirkan, seorang perempuan yang bekerja seharusnya mendapat cuti dari pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapar dalan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), pekerja/buruh perempuan berhak untuk memperoleh istirahat (cuti) selama 1,5 bulan – atau kurang lebih empat puluh lima hari kalender- sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Kodrat inilah yang juga harus dipertimbangan mengenai perbedaan hak bagi perempuan dan laki-laki.
Selain itu, perlu diingat bahwa terdapat unsur “keadilan” di samping unsur “kesetaraan”. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh UNESDOC, “Gender equality, equality between men and women… does not mean that women and men have to become the same, but that their rights, responsibilities will not depend on whether they were born male or female. Gender equity means fairness of treatment for men and women according to their respective needs. This may include equal treatment or treatment that is different but which is considered equivalent in terms of rights, benefits, obligations, and opportunities.”
Konsep Equity inilah yang tidak dipertimbangkan oleh beberapa orang dalam membicarakan tentang gender. Sehingga realisasi dari kesetaraan yang dituntut sama saja dengan semula, masih tetap merugikan perempuan dan pada akhirnya kata istimewa justru tidak pernah dirasakan oleh perempuan. Mengenai hal tersebut, kita dapat memperhatikan beberapa wilayah yang dianggap mengistimewakan perempuan, Minangkabau salah satunya.
Minangkabau dikenal sebagai etnis yang mengistimewakan perempuan. Perempuan di Minangkabau tidak hanya menjadi pengikut, tetapi ia terlibat dalam musyawarah saat mengambil keputusan, itulah hakikat perempuan sebagai Bundo Kanduang. Selain itu, sistem matrilineal membuatnya dikenal sebagai daerah yang memuliakan perempuan di dunia. Matrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis kerabat wanita. Sehingga idealnya, perempuan memiliki peran penting di Minangkabau.
Meskipun demikian, perempuan Minangkabau tidak sepenuhnya menganggap bahwa hal tersebut merupakan sebuah keistimewaan. Pada kenyataannya Bundo Kanduang kini hanya menjadi simbol upacara adat. Ia kehilangan perannya dalam masyarakat. Begitu juga dengan sistem matrilineal. Sistem ini bukanlah matriarkat yang menempatkan perempuan sebagai pusat kendali, karena dalam praktiknya sistem ini bersifat patriarkat.[2]
Setiap keputusan justru berada di tangan mamak, datuak, dan penghulu. Hal ini terlihat dari sebagian besar karya sastra yang dihasilkan di Minangkabau ataupun yang menceritakan tentang perempuan di Minangkabau lebih banyak memposisikan perempuan sebagai second sex, seperti dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli, novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan novel Terusir karya Buya Hamka. Lalu mengapa perempuan itu disebut istimewa? Atau kita kembali ke pertanyaan fundamentalnya, apakah perempuan itu benar-benar istimewa?
Editor: Hemi Lavour Febrinandez
Ilustrator: Azwandi Hanafi
[1] Soekarno, Sarinah (Yogyakarta: The Soekarno Foundation, 1947), hal. 7.
[2] Welhendri Azwar, Muliono dan Yuli Permatasari, “Feminisme Kemiskinan: Studi tentang Pengemis Perempuan pada Masyarakat Matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia,” JurnalMusawa, Vol. 17 No. 2, Juli 2018, hal. 85.