Artikel

Kritik Lewat Jalan yang Lebih Sederhana

Sebenarnya menyangkut posisi kritik, biasanya orang yang mengkritik dihadapkan oleh dua batasan, pertama menyangkut kualitas pengetahuan atau informasi terhadap apa yang dikritik, dan kedua menyangkut batasan interpersonal yang cenderung diungkap sebagai batasan etis atau batasan moral.

Dalam kondisi umum, menyangkut hal yang pertama biasanya kita akan begitu mudah memahami muatan kritik yang disampaikan. Apabila yang menyampaikan kritik punya pengetahuan dan informasi memadai terkait hal yang tengah dikritik. Mulai dari penjelasan kenapa sebuah kritik harus disampaikan, dari sudut mana objek kritik harus dilihat dan dianalisis, serta bagaimana harus menganalisisnya.

Kalau dianalogikan, mengkritik ibarat sebuah tindakan bedah kedokteran. Tahapan yang dilakukan oleh yang melakukan kritik atau biasa disebut sebagai kritikus haruslah sangat terukur, sistematis, serta ditunjang oleh alat dan peralatan yang memadai. Hingga jika telah dilakukan, ia akan bertindak begitu meyakinkan dalam mengeksekusi setiap tahapan. Adapun yang ditampilkan tidak sekedar organ-organ tubuh yang tidak terlihat dari luar, namun juga mampu menampilkan unsur-unsur atau bagian-bagian yang tidak terlihat kasat mata secara baik, tanpa harus menghancurkan wujud asli dari objek yang sedang dibedah.

Untuk lebih kongkretnya, analogi ini akan lebih diarahkan kepada seorang dokter bedah yang tengah melaksanakan tugasnya menyelamatkan nyawa seseorang. Di mana tindakan itu mungkin hanya untuk memperbaiki jaringan syaraf yang paling tersembunyi letaknya di dalam tubuh manusia. Sehingga membutuhkan tindakan yang sangat hati-hati. Sebab sang dokter bedah selain bisa menyembuhkan orang tersebut, ia juga bisa sekaligus menghilangkan nyawa pasien yang sedang ia bedah.

Sementara di sekeliling sang dokter bedah, ada beberapa dokter muda yang juga menjadi asistennya dalam membedah sekaligus juga sedang menangkap pembelajaran. Entah itu lewat penjelasan dari mulut sang dokter bedah atau mungkin juga lewat tampilan pada layar hasil tangkapan kamera yang dipasang di kening sang dokter bedah. Sehingga para dokter muda yang ada di sekelilingnya bisa melihat tangan dan peralatan yang digunakan sang dokter bekerja.

Intinya sang dokter bedah sedang melakukan dua peran sekaligus. Pertama, menjadi dokter bedah yang sedang mengambil tindakan medis untuk menyelamatkan nyawa pasien. Kedua, memberikan pengajaran bagi junior-juniornya agar dapat paham akan persoalan medis yang sedang dihadapi serta memberikan contoh yang tepat bagaimana tindakan harus dilakukan. Mulai dari informasi rekam medis pasien hingga pada tindakan perawatan pasca bedah.

Lebih daripada itu, dalam melakukan bedah pun, dokter bedah juga harus memastikan dirinya siap untuk melakukan tindakan yang beresiko tersebut. Ia harus memiliki akurasi hasil yang mendekati pasti, memiliki kesiapan fisik dan mental. Sebab tindakan pemaksaan jelas beresiko terhadap pasien dan juga kepada dirinya. Terhadap nyawa atau kondisi pasien setelah pembedahan, seperti cacat atau lumpuh. Terhadap karir atau reputasinya sebagai dokter bedah. Terhadap rumah sakit atau klinik tempat ia bekerja. Bahkan mungkin saja sampai terhadap nama baik korps kedokteran.

Kesiapan-kesiapan teknis dan non teknis itu jelas tidak boleh luput atau sengaja terlewatkan sedikitpun. Karena setiap kealpaan dalam tindakan medis di dunia kodokteran, khususnya dalam urusan bedah, mengandung resiko besar. Apalagi sampai kehilangan nyawa pasien. Jelas kesalahan fatal tersebut tidak bisa diganti oleh apapun.

Meskipun kita tidak juga sedang membantah bahwa hidup dan mati adalah suratan. Namun atas nama tindakan medis, sebagai tindakan yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, tindakan itu haruslah memiliki akurasi dan tingkat kepastian yang mendekati sempurna.

Dalam konteks kritik, dokter bedah sebagai penyampai kritik dan pasien sebagai objek kritik memang bukanlah padanan analogi yang benar-benar setara. Akan tetapi barangkali cukup untuk menunjukannya dalam wujud yang lebih kongkret, bukan yang mengawang-awang.

Apalagi yang menjadi objek kritik menyangkut permasalahan sosial kemasyarakatan. Objek yang mengandung beragam perspektif dengan permasalahan teramat kompleks. Tentu beragam pandangan akan keluar. Dalam ilmu hukum misalnya, ada pameo“tiga orang sarjana hukum berdebat, lima pendapat hukum yang keluar”. Pameo ini merupakan jalan tengah serta pemakluman akan perdebatan yang terjadi dalam ranah ilmu hukum pasti akan menghadirkan beragam perspektif atau sudut pandang. Sehingga kesepakatan bersama bukanlah hal yang harus dipaksakan. Hal ini menunjukan begitu cairnya argumentasi dalam mengkritisi sebuah persoalan dalam rumpun sosial kemasyarakatan. Lalu, bagaimanakah titik jalan tengahnya?

Seperti halnya tindakan bedah yang sebelumnya dijelaskan, sebagai bagian dari ilmu eksakta, hal itu boleh disebut sebagai tindakan yang telah terikat oleh “rumus-rumus” atau pola-pola kausalitas. Dengan objek yang lebih pasti, segala tindakan apalagi tindakan serupa juga sudah pernah dilakukan sebelumnya tentu telah terprediksi bagaimana hasilnya. Itu kenapa ilmu eksakta atau ilmu pengetahuan alam juga dikenal dengan sebutan ilmu pasti. Meskipun nanti misalnya ada penyakit yang belum ditemukan bagaimana cara menyembuhkannya, tapi setidaknya penyakit tersebut bisa dikenali, bagaimana gejala-gejalanya, serta minimal memiliki tindakan strategis tentang bagaimana cara mempertahankan agar kondisi tubuh yang mengidap penyakit dapat tetap bertahan atau tidak semakin memburuk.

Kerumitan dalam ilmu sosial apalagi sampai pada tahapan mengkritisi adalah ruang perdebatan yang sangat terbuka dari berbagai perspektif. Apalagi perdebatan itu bahkan sudah harus hadir saat menentukan gejala atau fenomena. Apakah benar gejala atau fenomena itu benar sebuah masalah atau sebenarnya bukanlah sebuah masalah. Sebab dari banyak permasalahan sosial kemasyarakatan yang ada, kerap kali orang-orang tidak menyadari adanya masalah. Walaupun masalah itu sebenarnya sangat dekat dengan kesehariannya.

Kerumitan yang di awal saja sudah hadir, mulai dari mengangkat apa yang dimaksudkan sebagai permasalahan, hingga memberikan batasan-batasan yang jelas. Di sinilah kemudian kita kembali mencoba untuk memahami, bahwa dalam mengkritik, para produsen atau kritikus dituntut memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai. Sehingga kesulitan awal dalam mengungkap permasalahan serta memberikan pembatasan akan masalah yang dikritik dapat terjawab dengan baik. Sehingga pembaca atau pendengar kritik bisa memahami maksud dan apa saja yang menjadi sasaran kritik. (bersambung)

Ilustrator oleh Amalia Putri.

Related posts
Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Artikel

Tiga Diskusi, Empat Eksebisi: Catatan Sinematografi Teater Tendi Karo Volkano

Artikel

Roehanna Koeddoes dan Proyek Kolonialisme Tercerahkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *