Reportase

Merayakan Dinginnya Patah Hati di Menace Space

“Dear friends:

Ini akan jadi acara dari kita untuk kita. Kami menginginkan teman-teman berpartisipasi dalam acara ini. Salah satunya dengan membawa barang-barang peninggalan (surat cinta, foto, boneka, pakaian, bunga, dll) orang yang dulunya pernah jadi yang terkasih atau gagal menjadi yang terkasih :(. Barang-barang tersebut nantinya akan dijadikan pameran. Tenang, barang akan dikembalikan setelah menangis :(”

Begitu postingan pre-show November Rain di akun Instagram Menace Space (@menacespace).

November 2022 ini, Kota Padang atau bahkan Sumbar, curah hujannya lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya. Langit gelap mendominasi hampir sepanjang waktu. Udara terasa lebih dingin. Jarang sekali ada yang mau keluar rumah, bahkan sebagian anak kost lebih memilih kelaparan dalam selimut hangat dari pada ke luar sekedar mencari makanan.

Hujan, cuaca dingin, dan selimut hangat, barangkali membuat waktu berefleksi menjadi lebih banyak (baca; mengingat mantan). Dan dalam cuaca yang syahdu dan hari-hari yang gloomy itulah November Rain dihelat.

Motor saya kendarai ke bilangan Tarandam di mana Menace Space berada. Ketika sampai dan memarkirkan kendaraan di halaman parkir yang luas – insyaallah tidak mengganggu jalanan – saya langsung dihadapkan sebuah papan tegak berisikan kumpulan kertas. Teman-teman di Menace Space menyediakan kertas dan pin untuk ditempelkan di papan berlapis busa. Puluhan kertas yang menempel pada papan tersebut ternyata berisi kalimat ekspresi patah hati dari para pengunjung.

Ketika melihat isi papan tersebut saya menyerap kalimat-kalimat melankolis seperti, “I am too scared for the possibility, I might loose him someday. It might be break up or just death”, “being ignored is hurt by the way”,nothing, I just miss you”, atau “aku masih ingat pesan terakhirmu. Jangan suka begadang, kurangi ngopinya”.

Selain kalimat-kalimat melankolis di atas, sebenarnya ada juga kalimat-kalimat lucu yang disampaikan sebagai ekspresi patah hati, hanya saja kalimat-kalimat tersebut tidak lulus sensor, jadi saya tidak akan menuliskannya di sini, hehe.

Di sebelah papan itu ada meja bertingkat yang awalnya saya pikir menjual barang acak yang disusun di atasnya. Ternyata bukan. Barang-barang tersebut ialah barang yang menyimpan kenangan dari para mantan. Saya sebut saja ini sebagai ‘meja kenangan’.

Ketika berada di hadapan stand ‘meja kenangan’ itu, salah satu penjaganya langsung menjelaskan latar belakang dari barang-barang tersebut kepada saya. Barang pertama yang saya tanyakan adalah lukisan potret wajah yang hanya setengah, dari hidung sampai ujung rambut. Media lukisan itu bukan kanvas, melainkan papan balok.

Dari kakak penjaga stand yang duduk dekat pintu itu pula saya dapat informasi bahwa wajah di lukisan itu adalah wajah mantan pacar si pengunjung yang sudah menikah dengan orang lain. Saya terenyuh mendengar kalimat sederhana yang disampaikan dengan santainya oleh kakak itu. Saya akhirnya bersimpati dengan lukisan setengah wajah tersebut.

Ada lagi origami burung dalam sarang, dan kakak itu menjelaskan ke saya kalau itu origami yang dibuat oleh si pengunjung bersama dengan mantannya dulu. Saya berpikir kalau perasaan yang tersimpan bersamaan dengan origami ini adalah perasaan yang cukup menyenangkan, suatu kenangan dari masa lalu yang indah, tapi nyatanya kenangan itu tidak punya masa depan.

Selain itu, ada baju, jam tangan, kotak musik, kerang dalam kantong, surat-surat, dan lain sebagainya. Semua barang tersebut punya latar belakangnya masing-masing. Si kakak yang menjaga ‘meja kenangan’ itu tahu semua, mungkin pemilik barang-barang tersebut adalah temannya dan saya juga curiga si kakak tersebut juga mendengar curhatan teman-temannya tersebut. Dia seperti penjaga museum yang mempelajari semua barang di museum dari A sampai Z.

Semua ekspresi patah hati itu bersifat anonim, kita tidak akan tahu yang kita lihat itu kenangan milik siapa. Jadi, sebelum masuk pintu ruang pergelaran musik yang melankolis sekaligus cadas, kita akan melihat kenangan yang bersifat private untuk menjadi konsumsi publik.

Untuk tiket masuk pergelaran November Rain ini dibanderol seharga Rp15.000. Dengan harga segitu saya bisa menikmati suguhan musik melankolis sekaligus cadas, katakanlah emo.

Setelah membayar tiket masuk, saya melewati pintu dan sampai di ruangan segi empat dengan dekorasi balon, kapas, dan lampu led biru. Sirkulasi udara agak sulit di dalam ruangan itu, karenanya perlu dibantu dengan dua unit AC. Barangkali, orang yang terbiasa dengan pergelaran musik bawah tanah apalagi diadakan oleh ruang-ruang kolektif seperti Manace Space, tidak akan asing dengan suasana seperti itu.

Band yang menjadi line up malam itu adalah Souffrance, Left Behind, Hitten, dan Quaint. Setelah suguhan keempat band tadi, dilanjutkan dengan karaoke sadsion, begitu para pegiat acara menamainya.

Setiap band tampil dalam durasi 30 menit. Pergelaran ini dibuka oleh Souffrance yang memulai alunan musik pelan dan suram dengan ketukan drum yang pelan juga. Semua penonton berteriak ketika gitar mulai dipetik. Gebukan drum band tersebut yang menjadi makin cepat, seakan menyihir penonton untuk bergerak lebih cepat dan sikut-sikutan, moshing.

Begitu lah dinamika pertunjukan musik tersebut berjalan. Dengan lirik dan musik yang mengartikulasikan kesedihan dari band-band yang hadir malam itu, penonton terhanyut, larut dalam November yang sendu berpadu vibes musik yang muram namun tetap terasa sangarnya.

Tadi ndak taraso sakik do, lah kalua badarah se tangan den” (tadi tidak terasa sakit, ketika di luar tangan saya sudah berdarah), begitu salah seorang pengunjung di hadapan teman-temannya ketika mereka berjalan ke luar dari ruang pertunjukan musik itu.

Memang saya melihatnya melakukan diving stage dan pendaratannya tidak mulus: dia mendarat dengan posisi agak meyamping, dan bagian yang perih untuk anda bayangkan adalah sikunya mendarat lebih dulu. Ajaibnya, dia langsung berdiri dan melanjutkan moshing, seakan tidak terjadi apa-apa dengan tangannya. Keluhan sakit barulah terasa ketika ia keluar dari ruangan itu.

Setelah keempat band beraksi di atas panggung, acara dilanjutkan dengan karaoke sadsion. Semua orang bernyanyi dengan iringan musik karaoke. Lagu seperti Cancer dari MCR, I Miss You dari Blink 182, Ingin Hilang Ingatan dari Rocket Rocker, beberapa lagu dari Vierratale, dan masih banyak lagi, membuat pengunjung bernyanyi kencang dalam ruangan yang tidak bisa dikatakan besar itu. Meski demikian, entah bagaimana, musik tetap saja menyihir semua orang yang hadir malam itu, kondisi ruangan tersebut seakan bukan persoalan untuk tetap bernyanyi kencang, bergerak, menari, dorong-dorongan. Ruangan yang kecil itu seolah menciptakan semacam keintiman di antara para pengunjungan.

Setelah acara selesai, semua orang keluar dengan keringat, beberapa di antaranya mungkin cidera ringan—cidera dari masa lalu dan masa sekarang? Dan, ya, begitulah November Rain di Manace Space, hari Sabtu, 26 November 2022 digelar. (*)

About author

Musisi / Alumni Ilmu Politik FISIP UNAND
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *