Siang itu, Selasa (14/11), suhu Jakarta mencapai 35 derajat celcius. Saya terjebak kemacetan akut di belantara hutan beton di kawasan niaga Senen. Hawa panas datang dari segala arah. Sambil berdiri di atas pijakan motor, saya melihat kemacetan masih sangat panjang di depan. Di tengah kondisi yang suram itu, orang-orang entah mengapa gemar sekali membunyikan klakson kendaraan mereka seolah-olah itu bisa memperbaiki keadaan. Saya jengkel sekali dibuatnya sembari bercarut pungkang di dalam hati. Atau sambil melontarkan umpatan yang hanya terdengar oleh kuping saya sendiri.
Bernaung di bawah pohon ketapang yang daunnya mulai menguning, seorang pria paruh baya dengan gerobak warna biru kusam bertuliskan “ES CENDOL SEGAR ASLI” lebih menarik perhatian saya ketimbang meneruskan perjalanan. Saya memesan satu mangkuk yang tak butuh waktu lama untuk menandaskannya. Sebatang rokok agaknya bisa mengalihkan perhatian dari kondisi lalu lintas tadi, yang sudah tak terkendali lagi dan berada di luar kontrol polisi lalu lintas.
Di samping saya, duduk seorang pemuda bertubuh kekar. Ia mengenakan kemeja putih kotak-kotak. Dua kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Di sampingnya tersandar ransel Polo warna coklat yang padat sekali dan seperti hendak meletus.
Kami lantas ngobrol sedikit karena saya memilih berbasa-basi setelah meminjam korek api darinya. Merasa janggal duduk bersebelahan dan diam saja, saya coba membuka obrolan.
Kami saling berkenalan. Nama pemuda itu Ihsan Akbar Puteh. Lengan dan bahunya kekar. Di dagu sebelah kanan terpacak tahi lalat yang cukup pekat. Badannya berdegap, tidak terlalu tinggi. Usianya mungkin sepantaran saya. Orangnya murah senyum.
Obrolan terus berlanjut karena Ihsan bercerita begitu mengalir, soal apa saja. Harus saya akui, Ihsan adalah pencerita yang handal, seperti kebanyakan orang Sumatera yang saya kenal. Kami ngobrol banyak hal dan cukup lama. Saya memesan dua mangkuk lagi.
Ihsan baru dua minggu tiba di Jakarta. Ngobrol dengan Ihsan, bagi saya, serasa berjumpa kawan lama. Ihsan bertanya mengapa saya memilih jadi wartawan. Pertanyaan yang kelewat sering saya terima dari orang yang baru saya kenal sekaligus yang tidak bisa saya jawab dengan konkrit.
Saat ini Ihsan tengah ikut seleksi kerja di salah satu perusahaan ekspedisi di Tanjung Priok. “Sudah tiga lamaran kucoba, tapi baru kali ini sampai tahap wawancara,” katanya, tersenyum tipis.
Lulus dari SMK, Ihsan pernah bekerja di sebuah perkebunan sawit di Sumatra Utara. Tak heran lengan pemuda Aceh ini kekar dan berisi, pikir saya. Ihsan lahir di Aceh, tapi tumbuh dan besar di sebuah perkampungan transmigran bikinan pemerintah di Kabupaten Asahan. Ayahnya tak pernah kembali saat memutuskan berjuang bersama GAM untuk membebaskan Aceh dari Indonesia.
Ihsan mengingat Aceh hanya soal kekerasan, ketakutan akan tentara dan kota yang hanya menyisakan puing akibat dihantam tsunami. Di Meulaboh, kampung halaman Ibunya, hanya sedikit kerabat yang selamat dari tsunami yang membunuh lebih dari 200 ribu orang Aceh. Provinsi di moncong Sumatra itu, yang telah lama remuk dari segi sosial dan ekonomi karena perang, makin luluh lantak. Dia hanya ingat soal masa kecil yang penuh ketakutan dan trauma, terutama tentang kontak senjata di kampung-kampung yang menurut Ihsan sangat mencekam.
“Tiap sebentar terdengar suara tembakan, kami lari ke dalam rumah, sembunyi di bawah meja, hampir setiap hari begitu. Kalau datang tentara Indonesia itu, kampung jadi sunyi. Ibu sering menangis dibuatnya,” kata Ihsan. Seingatnya itu di tahun 2003, sekitar bulan Agustus.
Tahun itu adalah operasi militer besar-besaran setelah Presiden Megawati menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer atau DOM. Puluhan ribu aparat yang terdiri dari tentara dan polisi dikirim ke Aceh. Di tahun itu pula, Abdullah Zulkarnaen Puteh, ayah Ihsan, bergabung dengan GAM dan ikut bergerilya di hutan. Sejak saat itu pula Ihsan tak pernah melihat lagi batang tubuh ayahnya.
Kala tsunami menghantam bumi serambi mekkah pada penghujung tahun 2004, Ihsan dan ibunya berserta adiknya yang masih balita sedang berkunjung ke rumah salah satu kerabat mereka di Gayo Lues. Daerah ini berada di ketinggian dan jauh dari laut. Tujuannya saat itu hendak memastikan apakah Zulkarnaen berada di Gayo.
“Di rumah tak aman, tentara terus datang cari orang-orang GAM termasuk ayah. Saya ingat ketika itu kami pergi ke rumah keluarga ayah. Ayah sudah satu tahun tidak pernah kembali dari hutan. Ikut GAM dia. Sampai sekarang tidak tahu kabarnya,” Ihsan menjawab pertanyaan saya bagaimana ia bisa selamat dari amukan tsunami.
Setelah tsunami, kabar soal keberadaan Zulkarnaen tak pernah diketahui lagi. Pihak keluarga sempat mencari tahu keberadaan Zulkarnaen. Namun itu tak membuahkan hasil. Memang ada banyak orang yang dinyatakan hilang akibat tsunami. Tapi tak sedikit pula yang raib kala masa DOM berlaku di Aceh.
Pada 2005, Jakarta dan GAM meneken kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia. Kontak senjata dan tsunami memang telah usai kecuali meninggalkan kenangan buruk di benak sebagian besar warga Aceh. Di saat bersamaan, kemiskinan semakin memeluk erat kehidupan sebagian besar warga Aceh, termasuk keluarga Ihsan. Dua tahun pasca tsunami atau tiga tahun setelah raibnya Zulkarnaen, Ihsan beserta dua adiknya dibawa sang ibu meninggalkan Meulaboh.
Di Meulaboh, Ibu Ihsan dulunya menggalas sayur dan segala barang muda di pasar. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan yang dari sana terdengar suara ombak. Keluarga pihak ibu Ihsan tak setuju soal aktivitas ayahnya yang terlibat GAM. Akibatnya mereka dikucilkan dari keluarga besar.
Ihsan bercerita ia sempat setahun lebih tinggal di tenda pengungsian. Kontrakan mereka di Meulaboh benar-benar lenyap. Ibu Ihsan pernah bilang bahwasanya banyak orang yang bersitegang perkara tanah setelah tsunami itu. Tahun kedua pasca tsunami, ibunya memutuskan pindah ke Berastagi. Di sana ada kerabat mereka yang bekerja di perkebunan sayur yang lumayan besar. Namun itu tak berlangsung lama. Setahun kemudian, ibu Ihsan memutuskan menikah lagi. Sejak saat itu mereka mulai bermukim di Asahan. Mereka memulai kehidupan baru di sana. Pondasi ekonomi keluarga ditopang oleh ayah tiri Ihsan yang bekerja di sebuah perusahaan sawit milik swasta.
“Di Asahan susah mencari kerja. Di kebun sawit upahnya sedikit, saya punya ijazah SMK, mengapa tidak mencari kerja di Jakarta saja. Mak bilang begitu,” katanya. Ihsan punya keahlian di bidang kelistrikan. Ia berharap bisa mendapatkan pekerjaan sesuai jurusan di SMK dulu. “Tapi untuk sekarang apa saya peluang yang ada, aku siap. Kata temanku lumayan susah dapat kerja kalau orang baru dan tidak punya kenalan,” katanya lagi.
Saya bertanya mengapa dia begitu terbuka menceritakan hal yang menurut saya terlalu intim buat diceritakan kepada orang asing yang baru dikenal. Ia hanya tertawa kecil merespon pertanyaan saya.
“Mengapa abang bertanya soal GAM dan tsunami kepada saya? Kepada semua orang Aceh juga tanya begitu ya,” katanya, serius. Saya diam. Ihsan diam. Saya menyulut rokok lagi. Muka saya terasa panas saat berada di momen ini.
“Soal dua itu saya tidak bisa tidak menceritakannya. Itu sangat membekas di ingatan kami. Tidak masalah” kata Ihsan lagi.
Di Jakarta, ayah tiri Ihsan punya kerabat yang menetap di bilangan Semper, Jakarta Utara. Sampai dapat pekerjaan, Ihsan menetap di situ. “Teman-temanku di Asahan bekerja di sawit semua. Banyak yang putus sekolah, lalu kerja di perkebunan sawit,” Ihsan berkata sambil menyulut rokok.
Setelah obrolan yang sangat berkesan bagi saya itu, kami lantas berpamitan. Ihsan tak masalah bila kisahnya saya tuliskan. Hari sudah mulai sore, tapi hawa masih tetap panas. Saya menawarkan diri buat antar Ihsan ke stasiun. Sore itu ia hendak ke Bekasi, bertemu salah seorang kawannya yang juga dari Asahan.
Di seberang jalan depan stasiun, kami bertukar nomor WhatsApp. Kami bersalaman dengan hangat dan berjanji akan bertemu kembali. Siang kian terik meski awan tampak mendung. Punggung pemuda Aceh itu hilang ditelan riuh keramaian stasiun Pasar Senen. Suara klakson kendaraan yang meraung tiap sebentar di tengah padatnya jalanan bikin saya makin gerah.
Saya merasa makin bersemangat setelah bertemu Ihsan siang itu. Dia punya motivasi dan keberanian yang besar untuk memutuskan mencari pekerjaan di Jakarta meski harus berkawan dekat dengan ketidakpastian. Tetapi mengapa harus Jakarta, Ihsan Akbar Puteh? Pertanyaan yang juga saya tanyakan kepada diri sendiri.
Saban tahun, ribuan pemuda dari berbagai daerah datang ke sini, kota semrawut yang menjanjikan harapan dan kemungkinan-kemungkinan yang terenggut di kampung mereka akibat ketimpangan pembangunan yang terstruktur.
Saya teringat dengan Azmi, pemuda penambang emas di Aie Luo di pedalaman Solok sana. Ia tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA karena jalan di kampungnya yang tersuruk di balik lapis-lapis bukit barisan belum teraspal. Lain lagi dengan Nadia, siswi Aie Luo yang bersemangat namun terpaksa putus sekolah karena tak bisa belajar daring saat Covid-19 mengharuskan dia pulang dari Kota Solok. Sebelumnya Nadia indekos di situ dan pulang ke Aie Luo sekali sebulan. Lain lagi yang terjadi di Kapa, Pasaman Barat, dimana banyak anak muda yang harus membagi energi untuk memperjuangkan tanah ulayat mereka yang diserobot perkebunan sawit milik perusahaan multinasional.
Bukankah kemungkinan-kemungkinan itu bisa terbuka lebar kalau saja keputusan-keputusan yang dibikin di Jakarta berpihak kepada mereka?
Ihsan, Azmi, Nadia dan pemuda Kapa tidak sendirian. Di pulau lain, di pelosok lain di Indonesia, mungkin banyak mereka yang sengsara karena keputusan-keputusan yang dibikin di sini tidak memberikan dampak apa-apa kepada mereka. Entahlah. Saya kembali terjebak di tengah lautan kendaraan. Pekik kalkson kian meraung-raung, tanpa memperbaiki keadaan. Semua orang tampak tergesa-gesa. (*)
Ilustrasi: Amalia Putri @yyummemiru