Artikel Terjemahan

Sumatera Barat 1819-1825 (Bagian V & VI)

Artikel ini ditulis oleh E. B. Kielstra. Diterbitkan pertama kali pada 1887 dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie No. 36 tahun 1887, hal. 7-163 dengan judul asli “Sumatra’s Westkust van 1819-1825″. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.

(Sambungan bagian IV)

***

BAGIAN KELIMA

Advis Raad van Indie Muntinghe tentang situasi pelayaran dan perdagangan—Keputusan-Keputusan Pemerintah—Ditariknya izin sementara yang diberikan kepada para ambtenar untuk menjalankan bisnis—Ide-ide Pemerintah untuk memperkenalkan aneka pajak—Kesan-kesan Gubernur Jenderal tentang keadaan terkini di Sumatera Barat—Penguasaan Tanah Datar dianggap langkah tepat—Raaff diberi wewenang otoritas sipil di Dataran Tinggi Minangkabau.

Sangat wajar apabila di suatu wilayah di mana—seperti dalam periode yang dibahas dalam dua bab sebelumnya—terjadi perang terus menerus, waktu yang tersedia bagi pejabat-pejabat sipil sebagian besar akan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan operasi-operasi militer. Mereka tentu masih sangat membantu, tetapi kinerja mereka dipengaruhi sekali oleh situasi dan kondisi tersebut.

Tindakan-tindakan yang diambil atau diusulkan oleh Residen dan pegawai-pegawainya dalam periode yang disinggung tadi untuk perkembangan situasi di Sumatera Barat—sejauh yang kami lihat—tidak ada disebutkan; hal yang mengarah ke sana justru dirancang dan diputuskan di Batavia.

Seorang anggota Raad van Indië Mr. HW Muntinghe di awal tahun 1822 menaruh perhatian terhadap “situasi pelayaran dan perdagangan pada koloni Belanda di Sumatera Barat” dan tentang hal tersebut menyerahkan aneka pertimbangan dan sarannya pada penilaian Gubernur Jenderal tanggal 18 Maret 1822. Advisnya secara utuh tidak kami dapatkan; tapi isi dan lingkup advis tersebut dapat dilihat dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 30 April 1822 Nomor 23, intinya seperti kami sampaikan di bawah ini.

Muntinghe mendebat keniscayaan “bahwa–sebagaimana maksim yang lazim saat itu–koloni-koloni dianggap ada demi ibu pertiwi, tapi juga harus sekaligus memperhatikan–dengan memodifikasi maksim tersebut–pemeliharaan, kejayaan dan pertahanan jajahan, mengambil tindakan-tindakan untuk akhirnya turut memanfaatkan kemakmuran di wilayah-wilayah koloni tersebut untuk keperluan para penduduk Belanda.”

Untuk tujuan tersebut, tulisnya, para pedagang Belanda ditantang “melalui kerjasama dan konsensi yang kuat” agar “berpartisipasi dalam pelayaran dan perdagangan di Padang, yang hingga saat itu nyaris tanpa kecuali diserahkan ke tangan orang-orang asing lainnya.”

Lebih lanjut dia menimbang sarana-sarana apa yang akan disiapkan untuk tidak hanya mengkompensasi ongkos-ongkos pemerintahan, tapi juga dari wilayah-wilayah yang luas dan sangat menjanjikan yang telah berhasil dikuasai Pemerintah, atau daerah yang berhubungan langsung dengannya, untuk segera menambah pemasukan Negara.”

Sehubungan dengan hal tersebut, dia di antaranya mempertimbangkan untuk memajukan pelayaran dan perdagangan di Padang, semua barang yang dulu dikenai bea keluar di Padang, di seluruh Hindia Belanda akan dibebaskan dari bea masuk; dan untuk menghilangkan kompetisi tidak sehat, lisensi sementara dalam resolusi 5 Desember 1820 No. 21 bagi para ambtenaar di Padang untuk melakukan bisnis sebaiknya ditarik.

Anggota Raad van Indië, Chassé, sangat keberatan dengan saran terakhir, alasannya sama dengan motif-motif yang mengarah pada pemberian “lisensi” tersebut pada tahun 1820.

Namun, Pemerintah melihat “bahwa dilihat secara umum, pendudukan di Sumatera Barat dengan semakin berkembangnya budidaya khususnya kopi menjadi penting dari hari ke hari, sehingga patut menjadi perhatian lebih serius dari Pemerintah.”[1]

“Bahwa, selama perdagangan pada wilayah-wilayah koloni tetap menjadi tujuan dari orang-orang asing, yang sampai saat ini menikmati keuntungan nyaris tanpa saingan, hal ini tidak dapat lagi dianggap bisa ditolerir selaras dengan tujuan pembentukan koloni-koloni serta keuntungan yang didapatkan darinya;”

“Bahwa, untuk mencapai tujuan ini dipandang niscaya menggunakan segala cara untuk memberikan kesempatan kepada pedagang-pedagang Belanda meraih keuntungan-keuntungan dari perdagangan di wilayah Padang dan melalui cara ini meneruskan pemasukan kepada negeri Belanda, dan demi maksud tersebut memotivasi para pedagang ini dengan cara-cara yang tepat agar fokus pada perdagangan di daerah tersebut;”

“Bahwa, untuk memandang hal tersebut suatu yang special perlu membuat aturan-aturan penghapusan bea masuk dan keluar, hal mana akan berdampak positif bagi pelayaran dan perdagangan;”

“Bahwa, sejauh mana hal itu pada satu sisi memiliki alasan kuat atau tidak, dengan menarik lisensi sementara dalam resolusi tanggal 5 Desember 1820 Nomor 21 bagi para ambtenar di Padang untuk melakukan perdagangan, persis segelintir pedagang Belanda yang saat ini aktif di Padang tidak akan bisa meraih manfaat dari perdagangan tersebut; dan karenanya orang-orang asing berada dalam posisi menguntungkan untuk melakukan ekspansi usaha dengan merugikan kepentingan-kepentingan Belanda. Namun sebaliknya tidak dapat dipungkiri kerugian ini akan berlangsung lama, sehingga perlu dihambat melalui pemberian dorongan kepada sejumlah partikulir/ individu untuk berpartisipasi dalam perdagangan tersebut dengan pembukaan kesempatan-kesempatan. Hal ini lebih cepat lebih baik, sebab sudah rahasia umum bahwa tidak akan ada pesaing di antara para ambtenar, yang dengan sifat relasi mereka serta pengaruh yang dimiliki, sewajarnya dikhawatirkan berbuat demikian;

“Bahwa, meskipun tampaknya baik untuk menarik lisensi provisionil tersebut;…”

“Bahwa, pada akhirnya sebelum bisa beralih pada pengujian atau perkenalkan semacam sistem perpajakan baru kepada para penduduk pribumi di Sumatera Barat, informasi lebih lanjut perlu digali tentang beragam masalah, yang harus dilakukan dengan sangat seksama.”

Mempertimbangkan hal-hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan keputusan-keputusan berikut:

  1. Poin 3 resolusi: kamfer Barus, lada dan benzoin dibebaskan dari bea masuk pengiriman ketika sampai di Padang, juga dari bea keluar ketika dikirimkan dari Padang ke Batavia, dan dibebaskan dari bea masuk setibanya di Padang dari Batavia (publikasi 30 April 1822)
  2. Poin 4 resolusi: untuk meminimalisir kompetisi tidak sehat dalam perdagangan, lisensi bulan Desember 1820 dimaksud ditarik kembali,” dengan instruksi kepada para ambtenaar untuk menyelesaikan urusan-urusan bisnis yang masih tertinggal dalam waktu 3 bulan setelah menerima resolusi ini.”[2]
  3. Poin 5 resolusi: Residen di Padang diberi tugas “memberikan laporan yang solid dan detail tentang pertanyaan apakah penduduk pribumi Sumatera Barat dapat dikenakan sistem belasting seperti yang dibebankan kepada penduduk Jawa dengan misi antara lain:
  4. Melakukan analisis mendalam mengenai pemerintahan pribumi, maupun relasi dengan kekuasaan distrik dan kampung
  5. Mempelajari hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan baik yang tertulis maupun tidak yang berlaku di Sumatera Barat
  6. Menyelidiki alasan-alasan mendukung maupun menentang, mengapa tanaman kopi di Sumatera Barat menurut pendapat Residen tidak sama mudahnya dengan di Jawa menjadi dasar pengenaan pajak, dan apakah perbedaan harga produk yang biasa dijual para penanam di Pedalaman dan yang dikenai setelah ekspor, sudah benar-benar memadai.
  7. Mempelajari alasan-alasan apakah bisa pajak atas kebun-kebun kopi tersebut tidak melalui penentuan harga tahunan dengan efek-efek yang sama seperti di Pulau Jawa
  8. Bagaimana penentuan harga dalam kasus tersebut yang paling sesuai dalam hal kewajaran dan kepentingan pemasukan kas
  9. Pajak-pajak jenis apa yang dapat ditambahkan , seperti pajak tanah atau pajak pasar, langsung setelah atau setelah sekian waktu selain biaya sewa kebun-kebun opi
  10. Poin 6 resolusi. Kepada residen di Padang diinformasikan:

“Bahwa Pemerintah tidak bermaksud meminta Residen melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha segera untuk mengimplementasikan pajak-pajak yang diusulkan, tapi memberikan konsiderasi-konsiderasi logis serta advis tentang hal tersebut kepada Pemerintah;”

“Bahwa Pemerintah selanjutnya tidak menuntut lebih banyak pajak akan dipungut dari penduduk Sumatera Barat, daripada yang diakui layak dan valid oleh para kepala distrik dan nagari yang paling terkemuka;

“Bahwa mulai dari  sekarang Residen harus memperhatikan, bahwa Pemerintah tidak bisa selamanya memberikan perlindungan dan pembelaan, tanpa adanya kompensasi adekuat ditarik dari penduduk; dan bahwa, jika kompensasi ini tidak bisa diperoleh dengan pajak-pajak regular, maka selanjutnya patut diselidiki sejauh mana keuntungan-keuntungan langsung dan ekslusif dari perdagangan yang didapat akan memenuhi kompensasi itu;

“Bahwa Residen tidak hanya harus memperhatikan hal tersebut sendiri, tapi untuk memenuhi tujuan Pemerintah, mulai dari sekarang juga dengan kehati-hatian dan moderasi mencoba melakukan persuasi terhadap para kepala pribumi yang palung terkemuka dan paling bisa diajak bicara.”

Konsekuensi dari instruksi-instruksi terhadap Residen ini tampak dalam pembahasan dalam resolusi tanggal 4 November 1823 Nomor 18. Untuk sementara perlu disebut di sini kesan apa dari hal tersebut terhadap Gubernur Jenderal tanggal 3 Oktober 1822 (jadi sebelum mengetahui berita kekalahan Raaff) tentang situasi Sumatera Barat.

Gubernur Jenderal van der Capellen ketika itu menulis, ”Sejak beberapa lama satu sekte agama muncul di pedalaman Sumatera, yang pemimpin atau pendukungnya dikenal dengan nama Paderi, melakukan persekusi terhadap keturunan-keturunan kerajaan Pagaruyung yang dulu pernah jaya, kemudian akhir-akhir ini menjadi penguasa di sana. Tak puas dengan penaklukan di pedalaman, mereka berangsur mulai mengganggu perbatasan wilayah pendudukan kita, sehingga kita perlu memperbesar kekuatan di sana, dan di akhir tahun lalu membuat saya memutuskan mengirim satu detasemen solid di bawah Letnan Kolonel Raaff ke sana. Setelah opsir yang kompeten ini bersama dengan Residen du Puy melakukan segala macam upaya untuk menenangkan kaum Paderi agar menghormati hak-hak otoritas kita di sana melalui persuasi dan cara-cara lunak, akhirnya Raaff terpaksa juga beralih melakukan tindakan-tindakan urgen.

Menurut berita-berita yang dari waktu ke waktu diterima, berbagai pertempuran terjadi di sejumlah lokasi, di mana musuh sering menderita kekalahan telak. Karenanya, sejumlah kepala pribumi menyatakan tunduk pada kekuasaan kita, dan Letnan Kolonel Raaff membangun satu benteng di pusat pedalaman Minangakabau, di Pagaruyung, dari mana dengan kekuatan terbatas dia dapat menguasai banyak daerah di sana. Namun, sejauh mana keberhasilan dari semua ini dan keuntungan-keuntungan apa yang akan diraih dari pendudukan-pendudukan baru, apabila memang pantas dipertahankan, masih belum pasti. Namun yang agak pasti adalah bahwa pemulihan serta penjagaan kedamaian dan keamanan dengan durasi lebih lama di Padang Darat dan Pesisir, yang akan menjadi konsekuensi dari operasi sekarang, akan membuka sumber-sumber kemakmuran yang baru dan melimpah, yang apabila ditangangi dengan efektif akan meningkatkan aktivitas perdagangan di Padang secara signifikan.”

Sejauh mana “hal-hal yang dianjurkan” tersebut “dilanjutkan pada daerah-daerah pendudukan baru”, ditentukan dalam resolusi Gubernur Jenderal di Raad pada 8 April 1823 Nomor 11.[3]

Keputusan ini menyetujui Letnan Kolonel Raaff sementara waktu memegang otoritas sipil di Padang Darat; dan baik Residen maupun komandan militer sama-sama diberikan wewenang untuk menerapkan pachten (sewa) ataupun pajak dengan persetujuan lebih lanjut. Tema ini dibahas lebih lanjut dalam Resolusi tanggal 4 November 1823 No. 18 yang akan disampaikan di bawah ini. Namun sebelumnya, kita lihat dulu apa yang sedang terjadi di Sumatera Barat.

 

BAGIAN KEENAM

Penambahan kekuatan pasukan-Rencana operasi dari Raaff–Serbuan yang gagal terhadap benteng musuh di Marapalam—Gerak Mundur—Sikap berani dari Raaff—Kehilangan empat pucuk artileri—Pengakuan oleh Raaff atas jasa-jasa du Puy—Penilaian Jenderal de Kock dan Gubernur Jenderal terhadap Raaff—Pandangan-pandangan tentang langkah-langkah lanjutan yang akan diambil—Keputusan Pemerintah—Raaff dipanggil ke Batavia—Persepsi Pemerintah tentang situasi yang terjadi

Kaum Paderi mengancam Pesisir—Raaff mendorong mereka mundur—Pandangan Jenderal de Kock tentang urgensi perang melawan kaum Paderi—Akta penunjukan jabatan diperluas bagi kepala-kepala pribumi di Agam—Raaff bertolak ke Batavia—Natal diancam oleh orang-orang Paderi.

 

Terkait permohonan penambahan personil dan materil yang diajukan oleh Raaff pada akhir bulan Agustus 1822, dalam resolusi Gubernur Jenderal tanggal 30 Oktober 1822 Nomor 1a disetujui bahwa Komandan Pasukan Militer di Batavia akan mengirim melalui kapal Baron van der Capellen sebagai berikut:

  1. 1 kompi penuh dari Resimen ke-18 (4 opsir dan 150 pasukan Eropa)
  2. 1 detasemen artileri (2 opsir dan 50 prajurit)
  3. 1 kanon metal ukuran 3
  4. 1 houwitser 5 ½ thumb

Dalam resolusi tersebut juga diputuskan bahwa kapal fregat Zr. Ms. Melampus (di bawah kapitein-ter-zee[1] A. W. de Man) dan korvet kolonial Zwaluw (di bawah kapitein-luitenat-ter-zee[2] Z. Schroeijenstein) akan berangkat ke Padang.

Dalam resolusi 11 November 1822 juga disebutkan bahwa satu kompi pribumi (4 perwira dan 200 prajurit) dari Batalion Infanteri ke-20, dengan garnizun di Surabaya, juga dikirim ke Padang dengan kapal Admiral Buyskes.

Sebagian dengan Baron van der Capellen dan selebihnya dengan brik[3]Mentor selain artileri yang disebut tadi juga dikirimkan dari Batavia satu meriam besi ukuran 2 dengan seluruh material artileri, serta apa-apa yang kurang dari persenjataan dan perlengkapan infanteri, sedapat mungkin sesuai dengan yang diminta Raaff.[4]

Dalam laporan yang dibuat Jenderal de Kock kepada Gubernur Jenderal tanggal 1 Juli 1823 No. 1, kita peroleh informasi tentang jalannya perang di Sumatera Barat yang berlangsung utamanya pada bulan April 1823.

Orang sampai pada kesimpulan bahwa serbuan terhadap Lintau adalah hal niscaya yang jika berhasil akan mengakhiri kekuasaan kaum Paderi. Segera setelah Raaff mendapatkan tambahan kekuatan yang diminta, dia segera merencanakan serangan tersebut.

Dari patroli yang diadakan pada 6 Mei 1822 tampaklah bahwa jika Lintau tidak bisa didekati lewat Limapuluh Kota, maka jauh lebih baik menempuh jalan via Marapalam, daripada via Saruaso dan Tanjung Barulak yang pada Maret sebelumnya telah gagal.

Patroli-patroli selanjutnya yang diadakan Maret 1823 memperkuat hal tersebut, sehingga segala sesuatu disiapkan untuk melakukan mars ke Marapalam. Mereka berupaya mengenal medan sebaik-baiknya; di bawah supervisi Raaff, dua ajudannya –Letnan Satu artileri M. van Geen dan Luitenant-ter-zee Jhr. H. A. van Karnebeek—membuat suatu “peta Kerajaan Minangkabau”.

Dari Pagaruyung sampai sebelum Marapalam, dalam jarak tembakan senapan dari benteng musuh, dibuat jalan yang cukup bagus; melalui patrol-patroli diketahui bahwa celah-celah bukit dan ketinggian telah diduduki dan dibentengi Paderi, tapi pasukan kita berhasil mendapat beberapa lokasi yang bagus meletakkan artileri, sehingga musuh bisa ditembaki dari posisi menguntungkan.

Raaff pantas berharap akan meraih kesuksesan dalam penyerbuan ke Marapalam, sehingga membayangkan secepat mungkin menyerang Lintau. Negosiasi-negosiasi rahasia yang dijalin dengan kepala-kepala di Buo, memberinya keyakinan bahwa masih cukup banyak penduduk lembah Lintau yang tidak ingin bermusuhan. Sejumlah besar detasemen pasukan bantuan Melayu juga turut serta, sehingga jika rute lewat Marapalam mendapat perlawanan sengit, akan melakukan mars lewat Tandjong Baroelaq (Tanjung Barulak) ke Tiga-Djangkoq (Tigo Jangko) dan lanjut ke Tappi-Sello Tapi Selo (tempat kedudukan Tuanku Pasaman).

Raaff berharap, kalau lembah Lintau telah ditaklukkan, kita akan lanjut ke Limapuluh Kota untuk meneguhkan otoritas di sana; detasemen-detasemen kuat orang-orang Melayu, yang telah berkumpul di Situjuh dan Beroelaq (Barulak), akan menjadi pasukan bantuan untuk tujuan itu. Setelah dari sana, pasukan kita akan mengarah ke Koto Tuo, Pandai Sikat dan VI Kota, dan dengan dikuasainya kawasan-kawasan tersebut pertempuran lapangan pun berakhir sempurna.

Untuk pasokan regular amunisi dan bekal logistik dari pasukan-pasukan yang akan bertempur, gudang-gudang senjata dibuat di Tanjung Alam dan Gunung dan juga pada pos-pos yang tergabung dalam benteng-benteng tersebut di Barulak dan Taboe Berajer (Tabu Baraia).

Rencana operasi yang kompleks dalam waktu singkat tersebut tampaknya sangat luas, tapi seperti yang ditulis de Kock dalam laporannya “tidak bisa dipandang terlalu lebar” jika orang perhatikan “kecenderungan umum penduduk pribumi untuk saling bekerjasama melepaskan diri dari pasungan kaum Paderi.”

Untuk eksekusi rencana tersebut pasukan gerak cepat dengan kekuatan 582 personil dan 28 opsir, di antaranya satu detasemen dengan 1 perwira dan 39 marinir dari Melampus[5] dan satu grup (batterij) artileri medan 8 buah (2 kanon metal pendek ukuran 6, 4 kanon metal ukuran 4 dan 2 houwitser 5 ½ dm). Grup ini berada di bawah Kapten JB Heyligers dan terbagi dalam empat seksi, masing-masing dipimpin Letnan.

Pada 13 April, dengan kekuatan tersebut Raaff mulai berangkat dari Pagaruyung, dibantu 15 s/d 20 ribu pribumi dari Tanah Datar, 1.800 s/d 2.000 di antaranya bersenapan. Rute yang diambilnya lewat Tanjung hingga lokasi pertahanan musuh di lereng bukit Marapalam, yang di puncaknya masih ada sejumlah aktivitas.[6]

Pada hari yang sama Raaff berhasil menempatkan pasukan dan sebagian grup medan sesuai strategi yang dirancang, meskipun jatuh satu pasukan tewas dan dua terluka di pihak kita. Beberapa tembakan artileri dari dua houwitser  yang diarahkan ke benteng musuh, jatuh di parit dan tutupan pertahanan, tapi karena hanya satu atau dua granat yang meledak, efeknya tidak seperti yang diharapkan.

Pagi esoknya (14 April),  beberapa meriam disiap-siagakan,  ketika itu 2 houwitser dan 2 drieponder[7] diletakkan sebelah kanan, dan juga 2 drieponder dan 2 zesponder[8] ditaruh sebelah kiri arah benteng musuh. Sementara itu, untuk setiap setengah grup artileri dilindungi oleh setengah kekuatan infanteri yang ada.

Serangan diawali dengan tembakan meriam bertubi-tubi, diarahkan ke bagian kanan dan kiri benteng lawan, di saat itu mendapat tugas menyerbu ke bagian tengah musuh, selanjutnya melakukan penetrasi sejauh mungkin untuk merebutnya. Dua opsir yang menjadi ajudan Raaff, van Geen dan Karnebeek, menemani 2 formasi terpisah pasukan yang rencananya akan menggabung menyerbu ke tengah benteng; tapi seberapa beraninya pun serangan dilancarkan berulang kali, tujuan merampas benteng tidak tercapai.

Penyebab–tulis Raaff—dari kegagalan serangan ini terletak pada kesulitan melakukan pendakian bukit yang sangat curam, melalui mana personil kita sudah sangat kelelahan sampai di tujuan karena mengerahkan sebagian besar energi sebelumnya. Tambah lagi, parit musuh berbentuk lingkaran sehingga mereka tidak mendapat perlindungan memadai, dan akses masuk ke sana tampaknya cukup kecil, nyaris tidak bisa untuk 2 orang di front depan.

Meskipun mereka sebagian besar telah mengantisipasi halangan-halangan ini, ada hal-hal lain yang tidak disangka-sangka serta bersifat fatal, sebab tidak hanya tembakan tanpa jeda dari parit-parit dan lubang-lubang musuh ke arah pasukan kita, juga medan curam dimanfaatkan mereka sebaik-baiknya, dengan mengaitkan pakai tali dan rotan batu-batu serta balok-balok besar sebelum parit, di saat pasukan kita mendekat, tali-tali itu cepat-cepat diputus sehingga tidak mungkin meneruskan serangan; musuh-musuh juga memanfaatkan buluh-buluh air yang dibelokkan serta melimpahkannya ke jalan curam sehingga jadi sangat licin. Lagipula, di segala arah medan tersebut juga dipasangi ranjau-ranjau.

Perebutan benteng tersebut tampaknya kurang mungkin dengan sarana-sarana yang ada; dan Jenderal de Kock mencatat bahwa ditambahnya pun pasukan tidak akan begitu membantu, “Jika sebelumnya benteng-benteng yang terletak di antara parit-parit dan saling berhubungan tidak dihancurkan terlebih dahulu; dan untuk ini dibutuhkan meriam dengan kaliber besar, yang sayangnya sangat susah dibawa dalam medan berbukit-bukit tersebut.”

Pada serangan di hari ini Letnan Dua Artileri PH Marinus tewas dan 5 perwira lainnya –Luitenant ter Zee sang ajudan van Kernebeek, Letnan Dua TB Veltman, Letnan Dua C Bosch, Letnan Satu JJ Lefebvre dan Letnan Dua A Hellwig—terluka. Lefebvre bahkan meninggal seminggu kemudian.

Raaff yang berpendapat bahwa tidak meledaknya granat yang dilempar ke parit ikut berkontribusi pada perlambatan upaya perebutan posisi musuh, setelah ditariknya pasukan dari posisi sebelumnya, memberikan perintah mengangkut granat-granat lain dari Pagaruyung serta diisi dan digesek langsung di sana, supaya efeknya lebih baik. Raaff berencana melakukan serangan lanjutan keesokan harinya.

Selama malam tanggal 14 dan 15 April cuacanya sangat tidak bersahabat, tidak bagus untuk kesehatan pasukan maupun penggunaan senjata api. Hujan yang sangat deras tak henti turun pada tanggal 15 dan 16 menguras tenaga pasukan; tidak ada cerita melakukan penyerbuan pada saat itu, tapi lawan yang telah diuntungkan dalam banyak hal, berupaya memaksa kita mundur total. Hal demikian menyebabkan sejumlah tentara cedera, termasuk Letnan Satu de Liezer.

Sementara itu, pada 16 April, Raaff mencoba memanfaatkan posisinya yang di lereng bukit untuk melakukan observasi aktivitas-aktivitas musuh lebih dekat sebelum melancarkan serangan lanjutan. Ditemani sejumlah kecil perwira, di antaranya Komandan Artileri, dia berhasil menjalankan patrol tanpa diketahui orang-orang Paderi.

Hasil observasi tersebut sangat tidak menjanjikan; baik Raaff maupun perwira-perwira yang menemaninya berpendapat untuk tidak terburu melakukan serangan, karena telah mereka melihat sendiri halangan-halangan apa yang musti ditaklukkan terlebih dulu. Benteng-benteng itu sendiri musti diserbu serentak untuk dapat dikuasai; bahkan seandainya serangan tersebut sukses akan sangat banyak korban berjatuhan.

Hal-hal ini diperparah lagi dengan situasi di mana orang-orang Melayu yang awalnya penuh semangat ikut membantu penyerbuan, setelah melihat jalannya pertempuran, sebagian besar mundur melalui jalur biasa atau jalur memutar; satu houwitser dan salah satu meriam zesponder juga sebagian tak bisa digunakan; pasukan kita yang sejak tanggal 13 tak henti terpapar tembakan musuh serta cuaca kurang bagus sudah sangat kelelahan dan tampaknya tidak sanggup bergerak ofensif.

Setelah Mayor Laemin, yang pengalamannya sangat terkenal dalam peperangan pribumi, dan Residen du Puy yang turut dalam ekspedisi menyampaikan pendapat bahwa serbuan kedua sebaiknya ditangguhkan, diputuskan seluruh pasukan mundur pada 17 April 1822.

Kesulitan terbesar dari gerak mundur pasukan ini adalah transportasi artileri yang ditanam dekat benteng musuh. Pagi tanggal 17 Raaff memberikan sejumlah perintah terkait hal tersebut. Mayor Laemlin dengan seluruh pasukannya (2 kompi tentara Eropa dan 1 kompi orang Madura) bertugas mengamankan pengangkutan empat pucuk meriam yang ditempatkan kanan benteng; Ajudan Raaff, van Karnebeek, ditambahkan ke divisi ini sebagai perwira staf.

Penarikan mundur empat artileri lainnya (dua houwitser dan dua drieponder) yang ditanam di sebelah kiri benteng musuh akan dipimpin oleh Raaff sendiri, yang akan membawahi pasukan 1 kompi Eropa, 1 kompi tentara pribumi dan satu detasemen marinir dari Melampus.

Salah satu drieponder yang terletak sejarak tembakan pistol dari benteng musuh dan paling beresiko diambil musuh adalah yang pertama ditarik pasukan di bawah komando van Geen. Hal tersebut nyaris terjadi ketika van Karnebeek datang memberitahu Raaff bahwa Laemlin menemukan kesulitan besar dalam mengeksekusi tugas yang diberikan kepadanya dan meminta penundaan hingga malam esok. Permintaan ini belum dapat disetujui Raaff, dan van Karnebeek dikirim kembali dengan perintah jelas untuk segera menarik mundur senjata berat; sekali gerak mundur dilakukan hal itu harus segera diselesaikan jika tidak ingin mengambil resiko diserang

Pas ketika van Karnebeek mencapai tujuannya, musuh menyerang Raaff dan pasukannya dengan sangat garang sehingga mereka dibuat mundur dan artileri tidak mendapat perlindungan. Senjata berat tersebut niscaya jatuh ke tangan musuh jika Raaff tidak memperlihatkan teladan keberanian luar biasa: melihat bahaya yang mengancam, sendirian Raaff maju menghadang musuh dengan pedang di tangan; segera dia disusul oleh van Geen dan 21 pasukan pemberani lainnya. Jalan jadi terbuka ke lokasi senjata yang telah dikelilingi oleh kaum Paderi dari segala sisi; dan saat pasukan kita lainnya menyusul bergabung dengan pemimpin mereka, musuh sudah mundur sehingga artileri bisa dibawa  ke tempat lebih aman.

Kaum Paderi yang tertahan di sisi kiri benteng mereka kini mencoba melakukan serbuan ke kolom Mayor Laemlin. Tiga kali serangan bisa ditangkis, tapi yang keempat pasukan mulai kurang amunisi sehingga hubungan dengan mereka terputus sama sekali; pasukan kita hadap-hadapan satu-satu dengan musuh, tapi karena kalah jumlah kita jadi sangat kewalahan. Sementara setiap serdadu mempertahankan diri masing-masing, kaum Paderi berhasil merebut empat senjata berat (2 zesponder dan 2 drieponder).

Kehilangan artileri tersebut merupakan bencana fatal. Bagaimanapun juga, Raaff menyatakan bahwa Mayor Laemlin telah mengerahkan segenap usaha menghimpun kembali pasukannya, tapi karena sifat medan bersemak-semak membuat upaya itu sangat sulit; dan Jenderal de Kock menyebut dalam laporannya bahwa saat pertempuran itu terjadi,” Tidak ada selisih pendapat mengenai kinerja Laemlin” sebab “dia telah menjalankan tugasnya sebagai opsir yang loyal dan berani”.

Pada malam tanggal 17 pasukan kita telah bersatu di Tanjung. Jarak kurang se-jam dari tempat itu, di Andalas, satu pasukan penjaga yang solid ditempatkan, tapi selanjutnya ternyata tidak ada gangguan dari orang-orang Paderi.

Korban di pihak kita dalam empat hari itu mencapai: 21 tewas, 55 luka berat dan 82 luka ringan. Di antara opsir, tanggal 17 Letnan Dua JLC van Panhuys tewas, selebihnya yang terluka: Letnan Satu M van Geen, Letnan Satu NA Themmen, Letnan Dua G Schreiber dan Letnan Dua CF Kley.

Pada 18 April pasukan kembali ke Pagaruyung di mana tindakan-tindakan urgen dilakukan untuk perawatan yang tepat bagi yang sakit dan cedera. Raaff mengakhiri laporannya tentang kejadian-kejadian yang disampaikan di sini” dengan curahan pengakuan sebesar-besarnya atas kerjasama yang tulus dan tak terputus, baik selama ekspedisi khususnya beberapa hari terakhir dari Residen du Puy, yang mengerahkan seluruh kemampuannya, baik dalam menyokong kebutuhan-kebutuhan perang ketika sudah mulai berkurang serta dalam memenuhi logistik  pasukan, sementara nasib pasukan yang cedera juga semaksimal mungkin diperingan dengan semangatnya yang luar biasa.”

Dari data-data ofisial tersebut tampak jelas bahwa kepercayaan diri Raaff tidak sedikit pun berubah karena kegagalan di Marapalam. Dalam laporannya tanggal 1 Juli 1823, Jenderal de Kock menulis kepada Gubernur Jenderal,” Meskipun hasil ekspedisi tidak mencapai tujuan yang diharapkan dan tidak juga mencapai sasaran yang boleh saya banggakan, saya percaya Yang Mulia merasakan bahwa kebijakan dan ketabahan hati yang ditunjukkan oleh pemimpin ekspedisi, diperkuat oleh keberanian dan ketetapan hati luar biasa dari sebagian besar perwira dan prajurit dalam kesempatan tersebut, sebenarnya layak mendapat hasil yang lebih baik serta memiliki manfaat sangat besar suatu hari nanti…”

Dan dalam usulan untuk pemberian penghargaan yang dibuat pada tanggal yang sama oleh Jenderal de Kock, kepada Raaff ,”sangat pantas direkomendasikan dan diusulkan” untuk memperoleh penghargaan ridderkruis[9] der Militaire Willemsorde, dengan tambahan catatan berikut:

“Perwira ini sudah sejak sangat lama saya pandang sebagai salah satu opsir pasukan kita yang paling rajin, paling cakap dan paling berguna; apa yang ditunjukkannya sebagai komandan ekspedisi Padang Darat menunjukkan kinerjanya yang di atas rata-rata, serta semangatnya yang tak pupus dan keberanian luar biasa.”

Dan apa kata Gubernur Jenderal?

Pada artikel keempat resolusi tanggal 7 Juli 1823 Nomor 2 diinstruksikan kepada Letnan Jenderal, Komandan Pasukan Hindia Belanda,” untuk sekali lagi memperkuat bukti apresiasi khusus Gubernur Jenderal terhadap Letnan Kolonel Raaff, komandan ekspedisi Padang, dan terhadap perwira dan prajurit di bawah perintahnya,  sehubungan dengan kinerja mereka dalam ekspedisi terakhir di Padang Darat, dan untuk memberitahukan kepada mereka bahwa Gubernur Jenderal dengan senang hati merasakan tanggung jawab untuk merekomendasikan kepada Raja siapa-siapa pasukan yang berprestasi di atas rata-rata, dan khususnya kepada Letnan Kolonel yang menjadi pemimpin ekspedisi.”

Bahwa rasa puas Gubernur Jenderal ini memang sungguh-sungguh akan tampak dari surat yang dikirimkannya kepada Menteri Pengajaran Umum, Industri Nasional dan Koloni tertanggal 3 Mei dan 7 Juli 1823m Nomor 89 dan 144.

Dalam salah satu surat paling awal tertulis sebelum kegagalan ekspedisi tersebut sampai informasinya ke Batavia, Gubernur Jenderal van der Capellen mengatakan a.l….”Saya sekarang merasakan hutang kepada Letnan Kolonel yang menjadi komandan ekspedisi tersebut untuk memperlihatkan kepada Yang Mulia bahwa apa pun hasilnya ekspedisi ini, opsir yang sangat berjasa ini patut dipuji dalam upayanya mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu dilakukan, akan ketabahan hatinya, tidak hanya terhadap musuh tapi juga upayanya menjalankan pemerintahan sipil di distrik-distrik yang telah ditundukkan, sebagaimana juga caranya yang penuh perhitungan dan keteladanan, melalui mana dengan posisinya dia dapat bertahan terhadap musuh yang jauh unggul jumlah dalam saat-saat kesusahan dengan kewenangan terbatas, kekurangan kebutuhan-kebutuhan primer; dan juga kesabaran menunggu momen yang tepat untuk melakukan tindakan ofensif dengan mood terbaharui dan sokongan pasukan dan logistik yang lebih fresh; dan saya tidaklah ragu, kemungkinan keberhasilan hal itu sebagian besar, jika tidak satu-satunya berasal dari dirinya, di wilayah yang penuh tekanan dan sangat keras kepala ini.”

“Kombinasi dari banyak bakat dalam diri seorang opsir muda ini tak hanya menjanjikan banyak hal baik dari penugasannya, tapi juga akan berperan dalam misi-misi lanjutan lebih penting yang mungkin dinantikan dari Yang Mulia…”

Dalam surat kedua tersebut yang di antaranya menyebutkan hasil operasi dari tanggal 13 ke 17 April 1823, kita baca bahwa Menteri tidak akan “merasa ragu bahwa saya masih—meskipun kegagalan operasi terakhir dari Letnan Kolonel Raaff—mengungkapkan pujian kepadanya, yang telah saya singgung dalam surat tanggal 3 Mei Nomor 89, dengan harapan dan dengan perspektif akan adanya berita-berita lebih gembira dari perwira tinggi ini.

Pandangan saya tentang dirinya tidaklah berubah, dan sudah lazim pribadi dan perbuatan seseorang tidak bisa dinilai dari hasil kinerjanya belaka, dan saya dapat menambahkan apresiasi yang telah saya ungkapkan kepada Letnan Kolonel Raaff, bahwa pengalaman telah memberinya kesempatan untuk lebih baik mengenal satu sisi yang jarang dimiliki oleh seorang prajurit yang beruntung, yakni dalam posisinya sebagai komandan yang sepenuhnya mandiri, tanpa kepastian mendapat bantuan segera,  bisa membela dan mempertahankan diri  terhadap musuh yang jauh unggul jumlah bersama pasukan yang telah melemah dan sangat lelah dengan keberhasilan luar biasa. Dalam situasi itu Letnan Kolonel Raaff tidak hanya sepenuhnya hadir bersama mereka, tapi juga bersikap dengan sangat cakap menimbulkan simpati dari semua orang…”

Oleh karena kesaksian-kesaksian ini, berdasar keputusan Raja tanggal 27 Mei 1824 Nomor 103, Raaff ditunjuk menjadi Ridder der derde klasse van de Militaire Willemsorde.[10] Sayang di tanggal tersebut Raaff telah berpulang.

Setelah pasukan mundur ke Pagaruyung pada 18 April 1823, du Puy dan Raaff berdiskusi langkah apa yang selanjutnya harus dilakukan; mereka sampai pada kesimpulan bahwa untuk hal ini perlu meminta instruksi dari Pemerintahan Pusat.

Apakah harus tetap bertindak lebih agresif setelah pulih dari kerugian yang diderita atau apakah keinginan harus dibatasi pada penjagaan sebagian besar wilayah Minangkabau yang telah dikuasai dan dalam keadaan damai? Sehubungan dengan bagian wilayah tersebut–demikian tulis kedua otoritas tersebut—maksud-maksud dari Pemerintah Pusat sejauh ini tercapai, karena perdamaian yang terjadi “bermanfaat untuk kepentingan-kepentingan pendudukan di Padang”.

Keputusan yang diambil oleh Pemerintah tentu tergantung dari kekuatan dan sarana yang memadai untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Raaff memperhitungkan untuk melanjutkan operasi ofensif perlu tambahan minimal 950 prajurit dan untuk mengambil posisi siaga perlu 600 orang lebih. Dengan Residen dia berpendapat bahwa operasi musti ditahan sementara waktu dan dan seperti sebelumnya gerakan perlu dibatasi hanya untuk mengawasi daerah-daerah musuh seperti Lintau—hingga nanti Pemerintah memberikan instruksi-instruksi yang lebih tegas.

Komandan pasukan Hindia Belanda, Jenderal de Kock, berpendapat bahwa “sepanjang penaklukkan seluruh Kerajaan Minangkabau dipandang strategis, maka akan sangat ceroboh melakukan gerakan ofensif tanpa lebih mengenal situasi dan wilayah tersebut, tapi memang penguatan detasemen di Padang memang satu hal niscaya.”

Karena advis ini Gubernur Jenderal memutuskan (resolusi tanggal 6 Juni 1823 Nomor 6) untuk sementara memperkuat pasukan milter hanya sebanyak mereka yang telah tewas atau terluka dalam waktu-waktu terakhir, yakni:

Dari Resimen ke-18 : 5 opsir dan 105 prajurit Eropa
Dari Batalion ke-19 : 2 opsir dan 71 prajurit Eropa
40 pasukan pribumi
Dari resimen Artileri ke-5 : 1 opsir dan 18 tentara Eropa
22 inlander

 

Sekaitan dengan itu, Raaff menerima tugas:” pertama-tama untuk tidak melakukan tindakan ofensif dulu terhadap daerah-daerah Lintau, tapi mempersiapkan segala sesuatu untuk mempertahankan basis yang telah dikuasai, memperbaiki, memperkuat atau mengubah posisi kita di sana se-efisien mungkin apabila dituntut keadaan, kemudian melanjutkan pembicaraan dengan sejumlah kepala dari distrik Limapuluh Kota dan Agama serta menarik mereka sebanyak mungkin melalui cara halus agar mengikuti Pemerintah, dan terakhir mengupayakan kembali gar memperoleh info-info lebih banyak dan lebih lengkap tentang struktur dan kekuatan Lintau, serta bila perlu melakukan pengorbanan finansial untuk itu sehingga informasi yang diperoleh valid dan pasti.”

Gubernur Jenderal merasa perlu memanggil Raaff ke Batavia,” untuk akhirnya memperoleh informasi-informasi langsung darinya sehingga mendapat kabar-kabar penting, yang dibutuhkan untuk menghasilkan keputusan definitif berbasis pengetahuan valid atas situasi yang terjadi tentang apa yang sebaiknya akan dilakukan mengenai  daerah Padang,” (surat kepada Menteri tanggal 7 Juli 1823 Nomor 144).

Oleh karena itu, dalam resolusi tanggal 6 Juni tadi diminta kepada Raaff,” setelah membereskan sejumlah pos dengan baik dan meyakinkan perdamaian bisa diamankan, agar menyerahkan komando pasukan sementara waktu kepada Mayor Laemlin, dan dengan kapal fregat Melampus atau dengan kapal lain secepatnya datang ke Jawa, tujuannya memberikan info-info lebih lanjut tentang apa yang terjadi di wilayah Padang dan dari dasar itu, casu quo, menerima instruksi-instruksi lebih lanjut.”[11]

Bagaimana Pemerintah melihat persoalan tersebut pada pertengahan 1823 paling jelas terlihat dari surat Gubernur Jenderal tanggal 7 Juli yang telah sering kita kutipkan, di mana setelah kegagalan di bukit Marapalam yang lampau, dikatakan,” Keuntungan-keuntungan yang dapat diambil dari ekspedisi ini (i.e. perang di Sumatera Barat secara umum) masih akan banyak dan signifikan; dan sejauh mana tetap menjadi impian ketika seluruh kerajaan Minangkabau dibawa ke situasi perdamaian, ketertiban dan penaklukan—tujuan penggunaan kekuatan kita di Padang sebagian telah tercapai. Kaum Paderi yang suka onar telah ditahan jauh dari wilayah pesisir kita, dan tekanan yang mereka alami di bawah senjata Belanda akan berdampak bagus dan tidak akan segera mudah terhapus. Bayangan akan kepentingan menjaga keuntungan-keuntungan yang telah diperoleh, di mana suatu keniscayaan melanjutkan tujuan yang selama ini telah diraih, membuat saya menyimpulkan untuk perlunya mengambil tindakan-tindakan yang dianggap berguna untuk itu,  kemudian agar mendapat hasil yang baik akan beralih bergerak ke posisi-posisi defensif dari sebelumnya sudah ofensif.”

Tinggal menunggu waktu kaum Paderi setelah kemenangan di Marapalam akan berupaya memanfaatkan keuntungan dari situasi tersebut dan berharap melemahkan pasukan kita. Pada tanggal 29 April 1823 Raaff menerima informasi dari komandan militer di Gunung–Letnan Dua C van Ochsee—bahwa menurut kabar yang beredar sekumpulan Paderi dari Bonjol dan sekitarnya bergerak menuju wilayah pesisir. Beberapa jam kemudian info ini terkonfrimasi dan disebutkan bahwa Tuanku Mansiangan, pemimpin Paderi dari VI Kota, telah menggabungkan diri dengan mereka.

Raaff segera berangkat dengan satu detasemen berkekuatan 150 personil dari Pagaruyung menuju Gunung dan mengutus Kapten Brusse dengan sepasukan kecil ke Tanjung Alam. Setiba di Gunung, pada pagi tanggal 30 April, Raaff menerima surat dalam bahasa Melayu–ditulis atas nama pemimpin dan regen pribumi dari wilayah pesisir—di mana mereka meminta bantuan Raaff menghadapi sejumlah besar Paderi yang akan melakukan serangan serta kabarnya berniat memutus hubungan antara Minangkabau Darek dan Pesisir.

Rancangan Paderi tersebut dipandang masuk akal oleh Raaff, khususnya ketika dia semakin mendapat kepastian Tuanku Mensiangan dan sebagian pendukungnya telah berangkat dari Pandai Sikek. Raaff memutuskan mengancam Pandai Sikek dengan sebagian pasukannya, sementara sebagian lain diutus– satu detasemen di bawah Letnan Dua Artileri Vaessen—melewati Ambacang menuju kawasan pesisir dan mengamankan hubungan antara Kayu Tanam dan Ulakan.

Pergerakan ini ternyata sesuai ekspektasi. Kaum Paderi memang akhirnya menyerbu VII Kota dan mengancam Pariaman, tapi di malam tanggal 1 Mei mereka segera meninggalkan wilayah pesisir “dalam penuh rasa takut dan meninggalkan barang-barang serta senjata-senjata”; dalam beberapa hari kedamaian pun tercipta kembali.

Dalam laporannya tentang insiden tersebut komandan tertinggi pasukan Hindia Belanda, Jenderal de Kock, menyampaikan pandangan ini yang a.l. cukup penting untuk dikutip di sini, ”Meskipun persoalan ini tak begitu signifikan, saya musti memanfaatkan kesempatan ini…untuk mengambil kesimpulan bahwa menjadi satu kebutuhan niscaya untuk mempertahankan satu pasukan besar di residensi Padang, tapi eksekusi rencana umum, seperti menjaga kedamaian di seluruh wilayah kerajaan Minangkabau, tetap jadi prioritas, bahkan bisa dikatakan senantiasa jadi perhatian utama, dan hal tersebut atas dasar terjadinya penyerangan ke Padang, dipandang berkaitan dengan insiden di Natal, di mana tetangga kita orang-orang Inggris diganggu terus menerus oleh kaum Paderi dan menurut kabar karena kurang dukungan militer sudah dalam situasi terjepit, sehingga mereka terkepung tanpa bantuan dari Bengkulu, yang tentu akan membawa pada kesimpulan bahwa tujuan dari pemimpin-pemimpin Paderi dari awal jauh dari sekedar menyebarkan ajaran-ajaran keagamaan mereka atau menarik lebih banyak pengikut dari saudara sebangsa; dan ada alasan untuk percaya, segera setelah mereka melihat adanya peluang akan mengulang kembali penyerbuan yang gagal terhadap Padang, maka semakin mungkin Bengkulu, yang didukung oleh kekuatan cukup besar, dilihat dari satu sisi tidak menawarkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki Padang, sehingga membuat saya—sesuai dengan pandangan yang saya ungkapkan dalam laporan tanggal 12 April tahun lalu nomor 16 di mana saya berpendapat bahwa pada awalnya, ketika sekte Paderi telah melakukan deklarasi di Padang, kita akan menemukan jalan dengan cara bijak tetap menjaga kedamaian di daerah itu tanpa memancing permusuhan; bahwa saya kini, sehubung keadaan-keadaan yang berubah-ubah, cenderung untuk percaya perang dengan kaum Paderi takkan bisa dihindarkan lagi; bahwa kita, jika tidak jadi pihak penyerang maka akan jadi pihak yang diserang.[12] Sementara itu, jika kini perdamaian telah tercipta di sebagian besar daerah Minangkabau, hal demikian tidak akan berlangsung lama apabila kita tidak mempersiapkan pasukan cukup kuat di sana, dan juga kedamaian itu hanya akan sementara bila pemimpin-pemimpin pribumi terkemuka tidak ditarik ke pihak kita; sebab, dalam memerintah wilayah ini, yang kini sudah menembus ke pusat kerajaan, secara kontinu perlu menggabungkan sikap keras dengan moderasi, keberanian dengan kecerdikan dan bila perlu mengkombinasikan pemberian hukuman pada satu pihak dan pembagian hadiah pada pihak lainnya.”

Setelah kejadian-kejadian di atas, situasi damai untuk sementara. Raaff melaporkan pada 11 Juli 1823 (surat dinas nomor 665) bahwa dia melakukan perjalanan ke distrik-distrik Agam yang telah ditaklukkan; di kesempatan tersebut kelihatan olehnya bahwa penduduk di sana sedang dalam mood yang bagus, dan keadaan wilayah tersebut memungkinkan kuku kekuasaan kita akan semakin menancap dari hari ke hari. Residen du Puy yang menyampaikan laporan dari Raaff ke Pemerintah Pusat, menambahkan (surat 25 Juli Nomor 161) bahwa atas permintaan Raaff dia telah melakukan penunjukan jabatan sementara kepada sejumlah kepala pribumi terpilih pada sejumlah distrik di Agam (resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 23 September 1823 Nomo 31).

Situasi damai di Sumatera Barat dimanfaatkan oleh du Puy dan Raaff untuk mengumpulkan data yang diperlukan sebagai upaya memenuhi misi yang diberikan dalam resolusi tanggal 8 April 1823 Nomor 11. Pandangan dan usulan bersama mereka yang digerakkan oleh misi tersebut pada tanggal 1 September (surat resmi nomor 194) diserahkan ke Pemerintah pusat. Beberapa hari kemudian Raaff bertolak ke Batavia.

“Tampaknya…”, tulis Gubernur Jenderal tertanggal 4 Desember 1823 Nomor 260 kepada Menteri,  …kaum Paderi sedang menunggu momen berangkatnya Letnan Kolonel Raaff ke Jawa untuk membuat kembali perhitungan dengan pasukan kita; kedamaian yang telah berlangsung beberapa bulan akhirnya nanti akan disudahi mereka pada September.”

Insiden-insiden di Sumatera Barat selama ketidakhadiran Raaff dirinci oleh Lange dan mungkin tak perlu kita ulangi di sini.[13] Namun dapat kita tambahkan di sini bahwa Gubernur Jenderal yang menerima info tentang operasi pada September, pada resolusi tanggal 4 Desember 1823 Nomor 12 mengungkapkan rasa puas atas “sikap professional pasukan dan kebijaksanaan Mayor Laemlin”. Pada hari itu juga Gubernur Jenderal menulis dalam surat resmi di atas bahwa dia merasa senang “bahwa sewaktu ketidakhadiran Raaff—situasi yang tak ragu lagi dipandang menguntungkan oleh Paderi—pasukan kita bertindak dengan sangat cakap sehingga mendatangkan rasa segan dan hormat dari musuh, dan juga Mayor Laemlin memiliki kesempatan menguatkan dan menegaskan kembali pandangan baik saya terhadap kinerja bagus dari prajurit senior ini”.

Bahwa pada saat yang sama orang-orang Inggris di Natal mendapat gangguan dari kaum Paderi, tampak dari frase pada surat yang sama, di mana Gubernur Jenderal menulis, ”Saya telah mendapat kabar tentang pengiriman pasukan dan kebutuhan perang dari Bengal ke Natal untuk merespon kaum Paderi, yang juga telah menggancam dan mendatangkan gangguan kepada orang-orang Inggris”.

Sebagai penutup, di akhir bab ini perlu kita sebutkan bahwa kapal fregat Zr Ms Melampus, yang kehadirannya “karena perdamaian telah pulih” tidak terlalu dibutuhkan lagi, bertolak pada 15 Juni dari Padang ke Batavia. Prajurit bersenjata dari Melampus, yang “sejak beberapa waktu lalu telah menjalankan dinas garnisun di ibukota residensi” kemudian digantikan oleh jumlah pasukan yang sama dari korvet colonial Zr. Ms Zwaluw (resolusi Gubernur Jenderal tanggal 29 Juni 1823 Nomor 5).

(Bersambung ke bagian VII)

Ilustrasi @mithamiwuwu

Catatan kaki bagian V:

[1] Ya memang sangat berbeda dengan pandangan-pandangan yang semula disampaikan oleh VOC, bahwa Sumatera Barat adalah lastpost (pos rugi) yang tak layak diongkosi lagi, bahkan jauh lebih baik ditinggalkan saja! Dari tulisan Gubernur Jenderal terhadap “Menteri Pendidikan Umum, Industri Nasional dan Koloni”pada 3 Oktober 1822 No. 204a, nampaknya bahwa pengambilan kopi di Padang dan sekitarnya diestimasi “lebih dari 20 ribu pikul per tahun.”

[2] Dengan keputusan-keputusan Pemerintah ini, seperti yang Francis (Herinneringen III, hal. 57) ungkapkan, “ secara sekaligus perasaan-perasaan ketidaknyamanan dan keluh kesah yang dialami penduduk Kristen di sini jadi lenyap.” Betapa urgennya keputusan ini, antara lain Nampak dari Resolusi tanggal 3 Agustus 1822 No. 4, di mana meskipun bisnis para ambtenaar sudah berhenti, telah ditunjuk satu komisi yang terdiri dari anggota-anggota Raad van Indië, Chassé dan Dozy, selain inspektur finansial Meylan, bertugas melakukan penyelidikan alasan-alasan dari beragam complain serius yang disampaikan pedagang-pedagang di Padang.

Tampak dari resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 20 November 1822 No. 11 komisi ini menyatakan a.l. “Bahwa, meskipun lisensi yang dulu diberikan kepada para ambtenaar di Padang dapat mencegah jatuhnya seluruh perdagangan di sana ke tangan orang-orang asing, tapi baik ruang pemanfaatan lisensi tersebut serta posisi dan kondisi pedagang-pedagang asing di Padang telah membuat suatu pertentangan antara kepentingan para pedagang ternama di sana maupun dengan pedagang pribumi, yang dapat mengantisipasi orang-orang yang disebut pertama dan perbuatan-perbuatan mereka tampak kurang bagus bagi yang disebut kedua”, dan.

“Bahwa relasi-relasi bisnis antara para ambtenar  di sana sudah cukup untuk menempatkan diri mereka dan kegiatan-kegiatan mereka pada posisi kurang bagus, kesan jelek ini semakin diperkuat oleh keadaa di mana kebanyakan ambtenar memilikii relasi keluarga dengan derajat berbeda-beda,” dst

Karena laporan ini lah antara lain Asisten Residen AF van den Berg, yang namanya kemudian masih ditulis “honorable” (yang mulia) dibebaskan dari jabatannya. Dia meninggalkan posisinya dan kemudian melanjutkan operasi-operasi bisnis di Padang yang telah dimulainya semasa masih menjabat ambtenar.

[3] Resolusi ini dikutip dalam karya Jenderal de Stuers yang disebut sebelumnya, Bagian II, Apendiks A. Bagian yang dihapus dari Pengantar edisi ini menyebut bahwa data-data yang diambil sebagian diambil langsung dari anggota Raad van Indië, Muntinghe, dan ketika yang bersangkutan berangkat ke Eropa, diambil alih oleh Letnan Gubernur Jenderal, selanjutnya langsung ke tangan de Stuers. Inilah sebab terjadinya kelambatan penyelesaian rekomendasi-rekomendasi pada Residen.

 

Catatan kaki bagian VI:

[1] [Penerj: setara Kolonel)

[2] [Penerj: setara Letkol)

[3] [pener.: semacam kapal perang layar kecil yang lincah]

[4] Data ini mengisi celah yang menurut Lange (Bagian I hal. 83, catatan kaki) ada psda sumber-sumber yang dirujuknya.

[5] Lange (I hal. 86) keliru menyebut bahwa mariner tersebut tidak termasuk di antara yang 582.

[6] Detail dari operasi atas Marapalam ini, diambil dari laporan umum Jenderal de Kock—dengan perbedaan sejumlah detail—lebih singkat dan jelas dari Lange (I hal. 86 dst), dan kami kutip di sini.

[7] [Penerj: meriam yang memuntahkan peluru seberat 3 pon]

[8] [Penerj: meriam yang menembakkan peluru 6 pon]

[9] [Penerj: knight’s cross/ salib ksatria]

[10] [Penerj: Ksatria Kelas Tiga Militaire Willemsorde].

[11] Dari yang tertulis di sini tampak jelas bahwa apa yang disampaikan oleh Jenderal de Stuers tentang hal tersebut (a.l. I, hal. 77) jauh dari benar.

[12] Dari sini tampak, bahwa kata-kata Michiels (dalam Nederlands Souvereniteit op Sumatra, hal. 14): “Perang dengan kaum Paderi tak terhindar lagi; kita terpaksa memerangi mereka apabila tidak ingin disingkirkan dari sana,” diulang kembali oleh Jenderal de Kock pada 1823, dan memang hal itu sungguh sesuai dengan pengetahuan atas situasi pada waktu itu. Namun de Stuers keliru meyebut (I hal. 57) bahwa “teori” itu “atas dasar kebutuhan keadaan”; perang tersebut hanya akibat logis dari fakta-fakta yang berjalan saat itu.

[13] Lihat I, hal 101 dst. Yang jadi perhatian kita di sini adalah catatan kaki pada hal. 103 yang menyebut Mayor Laemlin, sekaitan pertempuran tanggal 19 September 1823, menyampaikan penghromatan atas sikap tenang dan berani Kapten Bauer; dan bahwa Laemlin, meski berita dari Saruaso (hal. 104) sangat menyusahkannya, memutuskan untuk berdiam di Agam yang sedang dikepung kaum Paderi “setelah melakukan musyawarah dengan beberapa opsir bawahan dan asisten residen GA Baud”.

 

 

About author

Penerjemah bernama lengkap Novelia Musda, SS, MA. Lahir di Rengat, Riau, tanggal 8 November 1982. Kampung Ibu di Sumanik, Tanah Datar, dan bersuku Koto Piliang, dan bako di nagari Kolok, Kota Sawahlunto. Pendidikan S1 dilakukan di IAIN Imam Bonjol Padang 2000-2005, masuk dua tahun pertama sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan Agama, Fak. Ushuluddin dan keluar sebagai alumni jurusan Sastra Arab, Fakultas Adab. Untuk S2 dijalani 2008-2010 di jurusan Islamic Studies, Universiteit Leiden. Sejak 2011 bekerja sebagai PNS yang baik di Kementerian Agama, sekarang di Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Sumbar. Minat akademis dulunya waktu kuliah filsafat eksistensialisme khususnya Nietzsche. Tapi sekarang sudah tak punya banyak waktu lagi untuk pusing memikirkan apa yang ada di antara ada dan tiada, dan lebih banyak membaca hal-hal praktis seperti sejarah serta mistisisme Islam dan Hindu serta belajar menerjemah khususnya dari karangan-karangan penulis Belanda tentang Minangkabau abad lampau dan tetap terus belajar bahasa asing sebagai cara efektif untuk menghibur sekaligus menyusahkan diri sendiri.
Related posts
Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1926 (Bagian II)

Artikel Terjemahan

Kesadaran Politik Kaum Tani di Sumatera Barat: Analisis Ulang Atas Pemberontakan Komunis 1927 (Bagian I)

Artikel Terjemahan

Menimbang Pemberontakan PRRI Sebagai Gerakan Kaum Tani Sumatera Barat

Artikel Terjemahan

Satu Abad Paulo Freire

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *