Hujan deras tiba-tiba turun di kota itu. Hari sore menjelang malam. Angin bertiup dengan kencangnya. Dani (bukan nama sebenarnya), berlari-lari kecil menyusuri gang sempit yang becek. Kepalanya dibalutnya dengan handuk sebagai ganti payung, namun curahan air hujan dari genteng di kanan kiri gang itu tetap saja menimpa kepalanya tanpa ampun.
Saya mengikutinya dari belakang dengan kepayahan. Setelah beberapa belokan, melewati dempetan rumah-rumah petak sederhana, kami akhirnya sampai di apa yang disebut Dani sebagai bengkel ayah tirinya. Tapi tempat itu bukanlah bengkel dalam arti umum, ia adalah becak yang dimodifikasi secara sederhana menjadi tambal ban berjalan yang diparkir di samping trotoar di depan sebuah gedung.
Atap terpal bengkel itu sudah tak kuat menahan hujan. Dani ada di sana untuk menolong ayah tirinya memperkuat atap terpal tersebut, mengikatnya dengan tali ke pagar gedung. Ayah tirinya yang telah basah kuyup, mengikat terpal di sisi lain pagar. Namun atap itu kembali rompak.
Dengan wajah cemas, ibu Dani berusaha melindungi beberapa botol pertalite eceran dari guyuran hujan menggunakan mantel. Dan upaya wanita akhir 50-an tahun itu sia-sia, karena satu mantel saja tak cukup untuk melindungi semua botol pertalite. Saya tak bisa membantu banyak. Kencang angin makin menjadi-jadi. Tongkak-tongkak sederhana penyangga atap bengkel itu sudah menyerah.
Saya permisi kepada Dani dan bapak tirinya, beranjak pergi dari bengkel keluarga yang tengah diamuk cuaca itu diiringi tatapan nanar ibu Dani seperti memberitahu bahwa satu malam untuk mencari uang terbuang–tak akan ada pemasukan malam itu.
Beberapa saat sebelum bengkel itu berantakan, saya dan Dani tengah ngobrol-ngobrol di rumah kontrakannya. Rumah kayu kecil itu, dulunya dihuni Dani bersama ibunya. Namun Ibunya kemudian ikut dengan suami baru. Danilah yang menafkahi ibunya pada masa-masa itu. Kini pun Dani masih sesekali membagi penghasilannya dengan Ibunya karena pendapatan bengkel tidak menentu. Saat ini Ibu Dani tak punya pekerjaan kecuali bantu-bantu di bengkel.
“Saya kerja dari pagi hingga malam. Jam 4 pagi saya sudah ke pasar, bantu-bantu saudara yang jualan sayur dan sembako,” papar Dani. Dulu ia dan ibunya sempat buka kedai minum pagi, namun usaha itu bangkrut karena pandemi. Yang tersisa hanyalah utang ke rentenir.
Ia mengeluarkan sebatang rokok yang diselipkannya di bawah taplak meja kecil di mana kami duduk berhadap-hadapan. Memandang kosong keluar pintu, di mana hujan dan angin tengah mengamuk. Air mulai menetes dari beberapa titik di lotengnya. Dani bergegas mengambil gelas untuk menampung bocoran air itu.
“Menjelang sore, saya bantu-bantu di bengkel bapak, menambal ban, dan lainnya,” Ia jentikkan abu rokok ke asbak dengan sisa kutek berwarna hijau muda di kuku-kuku jarinya.
“Kalau malam?” tanya saya. “Bantu-bantu di kedai bandrek di depan itu,” katanya sambil menambahkan kerja di bandrek itu cuma sekali-kali, tidak rutin.
Obrolan kami terhenti ketika seorang penagih hutang dari sebuah koperasi muncul di pintu. Dani segera berdiri, merogoh uang 20 ribuan dari dalam sakunya. “Biasalah, hutang,” katanya sambil tersenyum masam.
Saya diperkenalkan ke Dani oleh Beri, pemilik warung bandrek yang dimaksud Dani. Dari Beri lah saya tahu bahwa Dani seorang yang rajin bekerja. Dan hal itu juga muncul secara konsisten ketika saya mewawancarai para tetangga Dani: pekerja keras tak kenal lelah demi menghidupi ibunya.
Dani, tamatan SMP yang kini berumur 40 tahun, telah menghuni kontrakan itu selama 6 tahun. Sebelumnya, ia sering berpindah-pindah kontrakan bersama ibunya. Dia berasal dari kota tetangga dan telah tinggal di kota ini selama lebih dari 30 tahun. Saat saya pertama kali mencari rumahnya, dan bertanya pada para tetangga, saya tidak kesulitan menemukan rumahnya, nyaris semua orang di pemukiman kelas bawah di kota ini itu mengenalnya.
“Oh, Dani bencong. Terus saja ke depan, rumahnya paling ujung, menghadap kebun,” kata seorang tetangganya. Tak ada tatapan curiga atau pandangan mata merendahkan ke saya ketika mengatakan ingin ke rumah Dani.
***
Tak begitu jauh dari kontrakan Dani, Wanda (bukan nama asli) membuka usaha pijat dan lulur di sebuah indekos sederhana yang ia sewa. Letaknya tidak begitu strategis, agak jauh dari jalan raya. Untuk mencapainya orang mesti melalui gang-gang sempit. Tidak ada akses untuk mobil. Meski kecil, tempat pijat dan lulur milik Wanda tampak terawat dan rapi, dengan teras penuh bunga serta cat dinding berwarna cerah.
Wanda membangun usaha kecil-kecilan itu setelah usaha yang sama di kawasan lain kota ini hancur akibat pandemi Covid-19. Tak hanya menghancurkan usaha pijat dan lulur, pandemi juga membuat bisnis koperasi simpan pinjam Wanda tiarap.
“Di tempat sebelumnya aku sempat beli mobil, dicicil, tapi dijual pas pandemi, buat hidup sehari-hari,” jelasnya.
Sisa uang penjualan itu ia tabung dan jadikan modal untuk membangun usahanya yang sekarang begitu pandemi mereda. Selain membangun kembali usaha pijat, Wanda juga menjalankan lagi bisnis koperasi simpan pinjamnya. Namun ia harus memulai semuanya dari awal.
“Dulu aku bisa ajak kerja 3 orang pengutip (debt collector), sekarang enggak lagi,” terangnya.
Sekarang Wanda bangun jam 5 subuh tiap hari. Mulai berkeliling dari kampung ke kampung untuk mengutip uang angsuran para nasabahnya. Salah satu kampung itu adalah kampung halamannya sendiri, di mana ayah dan adik perempuannya tinggal. Selesai mengutip, Wanda sering singgah ke rumahnya. Menengok ayahnya dan meninggalkan sejumlah uang pada adiknya. Tidak besar memang, cuma 50-100 ribu rupiah, tapi itu sudah lebih dari seperempat keuntungan yang bisa diperolehnya dalam sehari. Selepas siang, Wanda baru bisa beristirahat untuk bekerja lagi memijit semenjak sore, jika ada pelanggan. Untuk sekali pijit dan lulur, Wanda memasang harga 100-150 ribu.
Saat mengutip subuh-subuh itu, kadang di jalanan ia disoraki orang, tapi ia mengaku acuh saja.
“Aku sudah sejak kecil seperti ini. Suka pakai rok dan make up-an. Almarhum Ibuku sudah tahu dari aku kecil itu, beliau bisa terima, ayah dan adik juga,” terang Wanda sambil mulai berkisah tentang masa lalunya di sebuah kota di Provinsi Riau.
Keluarga Wanda merantau ke kota itu saat usianya menginjak 3-4 tahun. Di kota itu Wanda hidup dengan dua identitas hingga masa remajanya. Di rumah ia memakai rok dan berdandan, di ruang publik seperti sekolah ia memakai pakaian pria. Wanda tak mengatakan dengan eksplisit bahwa ia memutuskan tidak lanjut ke sekolah tingkat SMA karena persoalan tersebut. Yang jelas, Wanda berhenti sekolah, memakai rok di ruang publik, dan mulai mencari kerja.
Penampilan luar dan ijazah, membuat Wanda mustahil bekerja di sektor formal. Karenanya ia masuk ke dalam hubungan kerja informal yang serba tak pasti. Bekerja tanpa kontrak dengan upah dan perlindungan kerja yang minim. Ia pernah bekerja sebagai penyanyi organ tunggal, pelayan pub, hingga penjaga toko elektronik.
Di masa-masa itu, ibunya, yang sangat dicintainya meninggal dunia. Ekonomi keluarganya merosot perlahan-lahan. Wanda mulai kenal dengan alkohol, gaya hidup konsumtif, dan akhirnya prostitusi. Usaha pijat dan lulur yang mulai dirintisnya di kota itu tak berkembang karena manajemen keuangan yang tidak cermat.
Wanda memutuskan untuk keluar dari ‘dunia malam’ itu sekitar pertengahan 2010-an. Kembali ke kota asalnya, dan memulai lagi semuanya. Ia merintis kembali usaha pijat dan lulur, dan kemudian koperasi simpan pinjam—dua bisnis yang sempat berkembang sebelum dihajar pandemi.
***
Suatu hari Kiki dan ibunya melihat-lihat etalase kaca di sebuah toko. Mereka ingin membelinya. Tapi harganya di luar kemampuan ekonomi ibu dan anak itu.
“Harganya 1,5 sampai 2,5 juta, Kiki dan Ibu tidak punya uang. Belum lagi uang untuk beli pulsa dan voucher,” kata transpuan berusia 35 tahun itu.
Kiki lalu menjelaskan rencananya seandainya ia memiliki modal setidaknya 4 jutaan: ia akan membeli etalase kaca lalu mengisinya dengan pulsa dan voucher untuk ia jual. Soal tempat, ia bisa memanfaatkan sedikit ruang di samping kedai kecil ibunya di pinggiran jalan.
Kiki mengaku lelah dengan kehidupan lamanya sebagai pekerja seks. Ia ingin hidup seperti orang kebanyakan. “Kiki juga ingin hidup seperti orang lain, berbaur dengan orang-orang, kerja siang, malamnya istirahat,” harapnya.
Prostitusi, terutama jalanan bagi Kiki dunia yang penuh kekerasan. Di Sumatera Barat, pekerja seks dianggap melanggar norma. Masyarakat Sumbar menganggap pekerja seks menyebabkan keresahan. Baku hantam dengan preman, dikejar-kejar aparat, hingga berurusan dengan orang-orang homofobik dan transfobik sudah pernah dilalui transpuan seperti Kiki.
Para pekerja seks juga akan dianggap melanggar Perda Provinsi Sumatera Barat No.5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat. Dalam pasal 24 dan 25 mengenai tertib sosial, diatur larangan soal aktivitas sebagai tuna susila (pekerja seks) dan perilaku penyimpangan seksual sesama jenis. Jika melanggar 2 pasal dalam Perda tersebut lebih dari sekali, mereka akan dikenakan pidana berupa kurungan 3 bulan atau denda paling banyak 10 juta dan 25 juta Rupiah.
Kiki mulai terjun ke dunia prostitusi jalanan pada 2004, saat ia memutuskan berhenti sekolah di kelas 2 SMA, keluar dari rumah dan hidup mandiri secara nomaden. Faktor ekonomi dan keluarga yang belum bisa menerima eksistensinya sebagai transpuan, menjadi latar keputusan tersebut.
Sejak 2004 ia hidup berpindah-pindah dari satu kos ke kos lainnya, dari satu kota ke kota lainnya. Ia bahkan pernah ‘dijual’ ke Malaysia pada 2006 bersama 3 temannya selama setahun oleh seorang ‘agen’. Si agen menyediakan pasport dan tiket, mengantar Kiki dan kawan-kawannya sampai ke Malaysia. Di sana mereka dititipkan pada seseorang. Si agen mematok harga 4000 Ringgit untuk itu, yang harus dilunasi Kiki dalam waktu setahun.
Setiap hari Kiki mesti mendapatkan uang 200 Ringgit, separonya ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari mulai dari kamar hingga makan, separonya lagi untuk mengangsur hutangnya.
Jera dengan kerasnya dunia prostitusi di Malaysia, Kiki kembali ke kotanya begitu bisa melunasi hutang. Ia mulai bekerja sebagai waiters di sebuah pub sembari berusaha menjauh dari dunia lamanya. Tak lama kemudian pub itu pindah tempat dan berganti manajemen. Manajemen baru mewajibkan pekerjanya memiliki ijazah SMA. Kiki tak bisa ikut pindah karena tak ada ijazah SMA.
Kiki kembali terjun ke dunia prostitusi karenanya. Kali ini ia mencoba peruntungan di Taman Lawang, Jakarta. Lagi-lagi karena kerasnya dunia prostitusi, di sana Kiki hanya bertahan setahun, dan sekali lagi pulang ke kotanya di mana ia mulai menjalin hubungan dengan seorang laki-laki pengguna narkotika. Di titik itu, Kiki terjebak menjadi pecandu. Demi narkotika, ia harus bekerja lebih keras mencari pelanggan.
Namun di saat-saat tertentu, Kiki kerap pulang ke rumahnya, memberi ibunya ‘uang token’. “Ibu kan jualan lontong pagi, Kiki sering singgah subuh-subuh sehabis bekerja, Kiki kasih ibu ‘uang token’. Jumlahnya tidak tetap, terserah mau dibelikan apa sama ibu,” katanya.
Tubuh adalah satu-satunya aset Kiki. Untuk mempertahankan bentuk tubuhnya agar terus laris, ia harus merogoh uang setidaknya 500 ribu dalam seminggu. Uang itu ia gunakan untuk membeli vitamin, pemutih wajah, hingga suntik hormon. Namun tubuh Kiki hanya sanggup berada di performa puncaknya hingga umur 30-an awal. Setelah bekerja selama lebih dari 10 tahun, Kiki tidak berhasil mengumpulkan tabungan. Jeratan narkotika, tuntutan gaya hidup, menyedot semuanya. Setelah berhasil sembuh dari kecanduan narkotika dengan susah payah dan ingin membangun usaha sendiri, ia terhambat minimnya modal.
***
Mak Etek menjelaskan dengan rinci jenis-jenis model rambut. Tangannya yang mulai keriput bergerak-gerak lincah, memberi gambaran model rambut yang cocok untuk struktur kepala saya.
“Dari jauh Mak Etek sudah bisa bayangkan, model rambut yang cocok untuk orang,” katanya dengan mata berbinar-binar.
“Shaggy, macam-macam layer, bob lama, bob baru, model-model paling baru, Mak Etek masih update. Mak Etek ini ahli rambut,” lanjutnya seraya menekankan ia tidak ahli soal make up.
Mak Etek kini berusia 55 tahun. Ia hanya tamatan Sekolah Dasar. Pada 1990-an, Mak Etek memberanikan diri merantau ke Batam dengan satu impian: menjadi ahli tata rambut alias hairstylist. Tapi segalanya tak berjalan mudah.
Selama hampir 12 tahun di Batam, Mak Etek masuk ke dalam dunia prostitusi. Dunia prostitusi di Batam memang menjanjikan, kata Mak Etek, namun pemasukan yang besar seiring pula dengan besarnya pengeluaran. Prostitusi di kota seperti Batam sangat bergantung pada relasi pertemanan. Jaringan pertemanan itu tidak hanya membuat mereka lebih mudah mendapat pelanggan namun juga membuat mereka lebih aman. Untuk menjaga relasi tersebut, butuh ongkos tersendiri. Mak Etek harus beli barang-barang branded, make-up mahal, serta kongkow-kongkow agar terus terhubung dengan lingkaran tersebut. (Ini juga yang dialami Kiki selama menggeluti dunia prostitusi).
Sulit untuk mengumpulkan modal dalam situasi itu. Di saat yang sama, Mak Etek masih merawat impiannya. Ia bekerja dari salon ke salon sembari mempelajari ilmu hairstylist.
Kerasnya dunia prostitusi waria di Batam, membuat Mak Etek memutuskan pulang ke kotanya, keluar dari dunia itu dan menghidupkan kembali impiannya. Dengan bantuan modal dari keluarga ia membuka salon di bangunan milik keluarganya. “Modal tidak dapat di Batam, hanya pengalaman dan ilmu yang dibawa pulang,” katanya lirih.
Namun satu-satunya usaha ia miliki itu terbakar pada 2004. Kerugiannya cukup besar untuk masa itu: lebih dari 10 juta rupiah.
Setelah mimpi dan salonnya hancur, Mak Etek pindah dari satu salon ke salon lainnya sebagai pekerja dengan sistem bagi hasil dengan pemilik salon. Kadang ia membuat kursus untuk para penata rambut baru. Mak Etek dengan bangga menyebut beberapa nama pemilik salon yang kini cukup sukses sebagai murid-muridnya.
Seiring waktu dan bertambahnya usia, jasanya tidak lagi dibutuhkan salon-salon. Pelanggan tidak begitu suka dengan penata rambut tua. Sejak beberapa tahun belakangan, ia makin jarang bekerja di salon. Ajakan untuk memberi kursus, atau menjadi MC dan penyanyi di pesta-pesta pernikahan juga makin menurun. Ia mencoba membangun channel Youtube berisi video-videonya bernyanyi mengcover lagu artis lain. Karena terbentur masalah hak cipta, video-videonya kerap dihapus pemilik platform.
Ketiadaan modal membuat sulit baginya untuk merintis salon baru. Baru-baru ini, Mak Etek ditawari untuk melanjutkan usaha salon seorang kenalannya. Mak Etek dimintai uang 15 juta. Dengan uang segitu ia bisa melanjutkan usaha selama setahun, lengkap dengan alat-alat salon. Tapi ia tak punya uang sebanyak itu. Setelah mencoba meminjam ke beberapa teman, akhirnya ia menyerah. Uang sebanyak itu tak bisa didapatkan.
“Tidak ada modal, mau jual apa juga tidak ada. Motor pun bukan punya Mak Etek, bagaimana mau menggadaikan.”
Untuk bertahan hidup, kini Mak Etek kerja serabutan, melakukan apa saja. “Mencabut rumput di pekarangan orang, cuci piring, kerja bangunan, apa saja, yang penting dapat uang,” terangnya.
Kini Mak Etek tinggal bersama keponakannya yang alami gangguan mental karena narkotika. Sebelumnya si keponakan dirawat oleh keluarga kakak perempuan Mak Etek. Kakak si keponakan kemudian menikah, ikut suaminya. Untuk makan sehari-hari, keluarga kakak perempuan Mak Etek menyediakan dua karung beras untuk satu bulan. Dengan beras itulah mereka berdua makan sehari-hari.
Di usia senjanya, Mak Etek bingung bagaimana menghadapi hari-hari ke depannya. Seandainya memiliki modal, ia masih memendam niat untuk membangun lagi mimpinya: mengelola salon.
Di Luar Jaring Pengaman Sosial
Dani, Wanda, Kiki, dan Mak Etek adalah transpuan yang hidup di kota-kota penting di Sumatera Barat. Di tengah-tengah kesulitan ekonomi, mereka umumnya sama sekali tidak tersentuh oleh jenis-jenis bantuan sosial, bahkan mereka tidak mengenal jenis-jenis bantuan sosial.
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat 2021-2026, terdapat sejumlah isu strategis, mulai dari kemiskinan, keterlantaran, kedisabilitasan, korban bencana, tuna sosial, serta Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). Secara struktural, Dinas Sosial Sumbar tidak memiliki bidang yang khusus menyasar waria, atau pun program yang memasukkan waria sebagai sasaran strategis.
Menurut Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat, Suyanto, pihaknya bekerja dengan mengacu pada Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial sebagai salah satu dasar hukum. Permen itulah yang mengatur kategori-kategori Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Dalam Permen tersebut terdapat 26 kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), kini disebut Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), salah satunya adalah kelompok minoritas yang terdiri atas gay, waria dan lesbian. Mereka didefinisikan sebagai “kelompok yang mengalami gangguan keberfungsian sosialnya akibat diskriminasi dan marginalisasi yang diterimanya sehingga karena keterbatasannya menyebabkan dirinya rentan mengalami masalah sosial”. Ada empat kriteria untuk bisa disebut PPKS kategori Kelompok Minoritas ini, yaitu: gangguan keberfungsian sosial; diskriminasi; marginalisasi, dan berperilaku seks menyimpang.
Namun, dalam penyusunan program jaminan dan bantuan sosial di tingkat daerah, kata Suyanto, dinas lebih berfokus pada kategori PPKS yang memenuhi kriteria “telantar”, seperti anak telantar, Balita telantar, lansia telantar, atau penyandang disabilitas telantar. Program-programnya sendiri secara lebih khusus diarahkan ke PPKS telantar yang ada di panti-panti. Dalam Laporan Kinerja Dinas Sosial Sumbar 2022, anggaran untuk PPKS 2022 sejumlah Rp, 27.235.683.188. Sebagian besarnya, yaitu 66% digunakan untuk ‘Rehabilitasi Sosial Anak Dasar Terlantar di Dalam Panti’ yang merupakan salah satu sasaran strategis.
“Kriteria dan indikator ‘telantar’ itulah kuncinya,” lanjut Suyanto. “Itu kerangka pikir kami.”
“’Kan tidak semua lansia atau anak itu masuk kriteria telantar. Termasuk penyandang disabilitas atau kelompok minoritas seperti waria. Jika masih diurus oleh keluarganya, jika berasal dari keluarga mampu, maka tidak bisa disebut telantar, tidak termasuk ke dalam penyandang masalah kesejahteraan sosial,” tambahnya.
Saat ditanya apakah dengan demikian waria atau transpuan yang tidak ada indikasi telantar akhirnya berada di luar jangkauan jaminan dan perlindungan sosial, Suyanto berkata “teorinya memang begitu”.
Dalam Renstra tersebut keterlantaran sendiri didefinisikan sebagai “pengabaian/ penelantaran anak-anak dan orang lanjut usia karena berbagai penyebab”. Situasi sosial ekonomi para waria yang serba sulit, berada di luar defenisi resmi keterlantaran tersebut.
Dinas Sosial bukannya tidak menyadari bahwa kalangan transpuan mengalami stigmatisasi dan diskriminasi dalam masyarakat, dan karenanya merupakan bagian dari masalah sosial. Namun, mereka dinilai hanyalah salah satu dari 26 kategori PPKS, yang tidak memiliki indikator sebagai PPKS terlantar.
“Mereka kan dikucilkan, distigma oleh orang kampung, keluarga, namun itu tadi,” katanya seraya menyinggung kembali indikator ‘keterlantaran’ sebagai framework instansinya.
Dahulu, lanjut Suyanto, penanganan waria lebih baik. Mereka tidak sekedar didata, namun juga diberi pendampingan dan modal usaha. “Sampai sekitar tahun 2004, masih ada program bantuan usaha ekonomi produktif, berupa bimbingan keterampilan untuk kelompok waria, dananya langsung dari pusat, bukan daerah. Dalam program itu, waria didampingi untuk membuka usaha dan diberi modal 3-5 juta per-orang. Nah, sekarang itu yang sudah tidak ada,” jelasnya lagi.
Karena Dinas Sosial di daerah tidak punya program khusus untuk menangani masalah sosial transpuan, Suyanto menyarankan agar para transpuan langsung mengajukan masalah dan kebutuhan ke Kementrian Dinas Sosial RI. Saat ini sudah dibuka Layanan Pengaduan Kementerian Sosial. Saya mencoba mengakses layanan tersebut lewat instagram Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos RI @pustdatinkesos. Namun saat mengklik tautan yang disediakan di bio akun tersebut untuk mencari tahu mekanisme pelaporan masalah yang dialami para transpuan di Sumbar, aplikasi tersebut sedang dalam proses perbaikan.
Di luar Radar Jaminan Kesehatan dan Bantuan Permodalan
Para narasumber juga tidak semuanya mengetahui soal layanan kesehatan dan bantuan permodalan. Sebagiannya tahu soal BPJS, seperti Ma Etek. Namun ia sendiri tidak memiliki BPJS, ia hanya membantu mengurus BPJS keponakannya. Mereka juga tidak mengenal bantuan peminjaman modal untuk pelaku usaha mikro dan kecil seperti Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disediakan Kementerian Keuangan. Atau program peningkatan kapasitas seperti Kartu Pra-Kerja. Mereka berada di luar jaring jaminan kesehatan, sekaligus di luar radar penyaluran bantuan modal dari pemerintah.
Tak ada sosialisasi soal bantuan peminjaman modal dan peningkatan kapasitas yang disediakan pemerintah. Pola hidup yang cenderung nomaden membuat mereka terasing dari program macam itu. Meski memiliki android, mereka umumnya gaptek.
“Kami tidak tahu informasi-informasi seperti itu,” kata Kiki, waria mantan pecandu yang disebut di atas yang kini ingin membuka usaha sendiri namun terhambat ketiadaan modal.
“Yang datang ke kami buat edukasi gitu juga tidak ada. Misal Kelurahan mau kasih tau, kami kan sering pindah-pindah kos, gak terlalu diperhatikan juga sama Lurahnya,” jelas Kiki sambil menambahkan bahwa mereka terpaksa berpindah-pindah karena tekanan sosial masyarakat sekitar dan razia-razia oleh aparat penegak Perda.
Jika pun mengetahui dan tertarik untuk mengakses jenis bantuan sosial dan permodalan, mereka akan terhambat oleh tiadanya KTP. Para transpuan seperti Kiki, Mak Etek, dan Wanda, merasa enggan mengurus kembali KTP-nya yang hilang.
Di satu sisi mereka merasa minder sendiri karena pengalaman-pengalaman sebelumnya saat mengurus KTP di mana mereka kerap terbentur pengisian kolom jenis kelamin dan foto KTP. Para transpuan diharuskan mengisi kolom jenis kelamin laki-laki, sementara foto yang akan mereka pakai dianggap tidak sesuai karena lebih mirip perempuan.
Di sisi lain, mereka merasa selama ini negara tidak hadir dalam membantu kesulitan-kesulitannya. Segala kesukaran mereka atasi sendiri, meski hasilnya lebih sering gagal, dalam soal membangun usaha seperti salon, misalnya. Karena itu mengurus KTP belum dilihat sebagai kebutuhan utama.
Sosiolog Universitas Andalas, Indah Sari Rahmaini M.A, memang melihat selama ini transpuan di Sumbar teralienasi dari negara. “Pemerintah cenderung mengabaikan mereka sebagai realitas sosial yang seharusnya diberikan keadilan dan kesempatan secara administratif maupun praktis,” jelas Indah.
Menyongsong Masa Lansia yang Penuh Ketidakpastian
Teman-teman waria Mak Etek yang seumuran dengannya, hidup dalam kondisi serupa: Kerja serabutan, rentan secara ekonomi. Tak berapa yang bisa dikatakan berhasil mapan secara ekonomi, kebanyakan gagal mendirikan usaha seperti Mak Etek. Yang lebih senior darinya, ada yang berumur 75 tahun, kini diurus oleh teman-temannya.
“Tapi sampai kapan? Teman-teman juga tidak mungkin kan, selamanya membantu, mereka juga banyak yang susah hidupnya,” Mak Etek menatap saya dalam-dalam. Terpancar kegamangan di matanya.
Soal ini, Dinsos Provinsi Sumbar mengatakan pihaknya punya panti jompo yang bisa dimanfaatkan waria lanjut usia.
“Waria usia 60 yang telantar, bisa masuk ke panti jompo di Batusangkar dan Sicincin. Kami sudah siapkan. Selama ia betul-betul telantar, dan tidak sedang mengidap penyakit berat. SDM kami di sana belum cukup untuk tangani lansia terlantar dengan penyakit berat.”
“Semua bisa masuk ke panti jompo, asal memenuhi dua syarat tadi, tak pandang dia waria atau bukan. Itu sudah tugas kami,” masing mengutip Suyanto.
“Tapi kadang ada kesulitan, karena terbatasnya ruang dan SDM di panti-panti, kadang lansia yang seharusnya bisa masuk, harus menunggu dulu apakah ada anggota panti yang keluar,” jelasnya lagi sambil menambahkan bahwa panti-panti itu hanya bisa menampung 110 lansia terlantar.
Untuk mengakses bantuan ke panti jompo, transpuan bisa langsung mendatangi panti-panti tersebut dengan pendamping. Suyanto menjamin prosesnya tidak sulit, selama masih ada kuota. Dan yang lebih penting, Suyanto mengingatkan bahwa salah satu syarat lainnya adalah adanya NIK dari KTP karena itulah syarat mutlak untuk mengakses bantuan sosial dan jaminan kesehatan.
“Jika para waria tidak punya KTP, urus dulu ke Disdukcapil. Rasanya tak akan sulit, karena waria kan juga manusia, warga negara, dan punya hak untuk itu,” saran Suyanto.
Dalam liputan Langgam.id, Disdukcapil Kota Padang, misalnya, mengaku tidak akan mempersulit pengurusan KTP untuk transpuan. Mereka membuka pintu lebar-lebar untuk siapa saja yang ingin mengurus administrasi kependudukan.
Rentan Kembali ke Dunia Prostitusi
Kekerasan fisik, intimidasi, diskriminasi, serta stigma, adalah makanan sehari-hari para transpuan di Sumbar, terutama di masa lalu, saat mereka masih sering nongkrong di jalanan. Hal ini yang turut membuat mereka pindah-pindah kota seperti Mak Etek, Wanda, dan Kiki. Ketika sudah tak kuat menahan kerasnya kehidupan dunia prostitusi dan keluar dari sana dengan harapan bisa membangun usaha secara mandiri, mereka terhambat oleh minimnya modal. Menurut mereka, tak sedikit teman-temannya yang kembali ke dunia prostitusi karena keterbatasan modal.
“Pada umumnya dunia transpuan dan waria, di luar dari faktornya adalah keinginan dari setiap individu, memilih jalur tersebut juga disebabkan oleh kondisi struktural dan kemiskinan,” kembali mengutip Indah.
Di samping itu, karena umumnya berasal dari keluarga kelas bawah, tak sedikit dari mereka yang jadi salah satu sumber ekonomi penting keluarga, seperti yang dialami Dani dan Wanda. Meski akhirnya bisa bekerja di sektor-sektor non-formal yang sangat amat terbatas bagi kalangan transpuan, penghasilannya jauh di bawah cukup, seperti pengalaman beberapa narasumber ketika mencoba pekerjaan di luar prostitusi.
“Pekerjaan konvensional banyak yang tidak mampu memenuhi hidup mereka secara komprehensif karena didorong oleh kondisi ekonomi, selain itu, mereka juga banyak yang apa disebut hari ini sebagai generasi sandwich, ikut menafkahi anggota keluarga,” tambah Indah.
Semua itu akhirnya membuat transpuan yang berniat keluar dari dunia prostitusi dan berwirausaha, terpaksa kembali menjadi pekerja seks. Di sisi lain, lanjut Indah, “masyarakat juga tidak memberikan tempat bagi mereka, baik tempat untuk menetap maupun tempat untuk keluar dari jalan tersebut, sehingga jika ada keinginan kuat dari dalam diri untuk ‘keluar’, mereka tidak memiliki bargaining position, akhirnya kembali menjadi transpuan pekerja seks, hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa bertahan hidup,” pungkas Indah.
Kiki dan para transpuan lain yang dikenalnya, bekerja sebagai pekerja seks untuk bertahan hidup di tengah kekerasan yang kerap menimpa mereka. “Kami tak punya pilihan,” kata Kiki. (*)
Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #RawatHakDasarKita oleh 6 media massa di Pulau Sumatera dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Ilustrasi @graphirate