Reportase

Konservasi Manuskrip dan Dominasi Sumber Sejarah Kolonial

“Ada yang berkata seluruh naskah kita dibawa ke Belanda. Itu Mitos.” Kata Pramono, Filolog dari FIB Unand.

Suaranya menggema di hall GOR M Yamin, Payakumbuh, Sumatera Barat. Hari itu, Minggu, 15 Oktober 2023, hall besar yang biasanya digunakan untuk berbagai aktivitas fisik, diubah menjadi ruang pameran dan diskusi naskah-naskah kuno karya intelektual di masa lalu yang tersebar di Minangkabau.

Saat itu Pramono tengah bicara dalam diskusi bertajuk “Apa kabar Naskah Tuanku Imam: Retrospeksi Pengusulan Memori Kolektif Dunia”. Meski judul diskusinya tentang Naskah Tuanku Imam Bonjol, namun pembahasan mengenai naskah-naskah di Minangkabau lainnya mendapat tempat cukup banyak.

“Faktanya”, lanjut Pramono, “hingga kini ada sekitar 1.235 naskah kuno yang tersebar dan ditemukan di berbagai wilayah di Minangkabau”.

Itu belum termasuk manuskrip-manuskrip yang belum terdata, jumlahnya mungkin jauh lebih banyak, lanjut filolog yang juga tergabung dalam Surau Intellectual for Conservation (Suri), lembaga yang bergerak di bidang konservasi manuskrip.

Sebagian naskah itulah yang dipamerkan di hall GOR M Yamin. Panel-panel yang memampangkan berbagai manuskrip, illuminasi (ragam hias), azimat kuno, tampak berjejer di kiri-kanan hall. Di tengahnya, berderet kitab-kitab kuno aksara jawi dalam kotak kaca khusus.

Pameran dan diskusi ini merupakan bagian dari Intangible Cultural Heritage Festival (ICHF) 2023, yang berlangsung 12-17 Oktober 2023, di Payakumbuh, Sumatera Barat.

Dominasi Sumber Sejarah Produksi Kolonial

Apa yang dikatakan Pramono benar adanya. Saya sendiri sering mendengar mitos tersebut: tentang sumber-sumber sejarah lokal yang semuanya dibawa kabur ke Belanda. Ruang kosong yang tersisa kemudian diisi oleh arsip kolonial, baik berupa catatan, surat kabar, laporan, atau kajian sosial yang cukup serius. Tersisalah khazanah arsip tunggal.

Karenanya segala penelitian yang hanya bersumber pada arsip kolonial dan turunannya itu akan dengan gampang dicap sebagai ‘sejarah Minangkabau versi Belanda’, tak peduli apakah si peneliti sudah menerapkan kaidah ilmiah dengan ketat. Setiap sejarah Minangkabau  (kadang disebut juga sejarah Sumatera Barat) yang ditulis dengan menggantungkan diri pada khazanah arsip kolonial itu bisa dengan enteng dituduh ‘produk orientalis’.

Mitos itu pula yang sering jadi kambing hitam macetnya perkembangan ilmu pengetahuan dan terputusnya tradisi intelektual di Minangkabau. Sebagian cerdik pandai kemudian lari pada ‘sumber-sumber sejarah alternatif’ untuk merekonstruksi sejarah Minangkabau yang asali. Sayangnya ‘sumber-sumber sejarah alternatif’ seperti kaba dan simbol-simbol lama itu tidaklah dipakai secara bertanggungjawab. Sumber-sumber itu kadang hanya diotak-atik-ghatuk.  Hasilnya hanyalah cocoklogi yang dibalut heroisme konyol anti-barat.

Namun dominasi sumber barat (Belanda, Portugis, dll) dalam dunia akademik bidang humaniora Sumatera Barat memang benar adanya. Sebagian besar akademisi, terutama dari bidang sejarah, sangat bergantung pada teks-teks barat/kolonial sebagai sumber sejarah, terutama untuk periode sebelum abad 19.

Sejarawan Deddy Arsya yang banyak menulis soal Sumatera Barat dan Minangkabau masa kolonial, mengatakan sumber sejarah tertulis untuk periode abad 17-19 memang didominasi sumber asing yang kebanyakan problematik.

“Yang dibicarakan oleh sumber-sumber asing itu tentu saja hanya yang mereka anggap penting dan sesuai dengan kepentingannya, ” katanya saat saya ajak ngobrol-ngobrol seputar topik ini lewat percakapan Whatsapp.

Hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana mereka “bersentuhan dengan objek yang mereka rekam/catat. Sementara banyak aspek di luar itu yang tidak selalu terpantau radar pencatatan mereka.”

Salah satu azimat yang dipajang di pameran.

Manuskrip Sebagai Sejarah Intelektual dan Memori Kolektif

Selama ini manuskrip lebih identik dengan Islam. Ditulis oleh para ulama dari berbagai mazhab, isinya seputar fiqih hingga tasawuf. Namun tidak semua manuskrip hanya berisi ajaran Islam. Manuskrip juga berisi aneka informasi budaya, sosial, dan ekonomi di masa lalu.

Karena itu Pramono menekankan bahwa selain rekaman sejarah intelektual, manuskrip juga merupakan memori kolektif masyarakat Minangkabau masa lalu.

“Bahkan ada manuskrip bicara soal gender. Itu dikarang Syekh Abdul Latif Syakur, tentang posisi perempuan dalam masyarakat Minangkabau di Agam.” Kembali mengutip paparan Pramono dalam diskusi.

Lebih jauh Pramono menjelaskan ragam isi manuskrip. Menurutnya, banyak naskah berisi ilmu pengetahuan. Mulai cara memproduksi benang dan memintal, hingga cara membuat bedil dan pelurunya lengkap cara-cara perawatannya.

Dari naskah-naskah tersebut “Kita bahkan mengetahui bahwa pada masa-masa itu, (abad 18-19) pasar bedil di Asia Tenggara dipenuhi oleh bedil produksi Sungai Pua, Agam. Kualitasnya bisa dibandingkan dengan bedil produksi Jepang,” tambahnya dalam diskusi yang dimoderatori sejarawan Fikrul Hanif Sufyan itu.

Apria Putra, juga narasumber dalam diskusi tersebut, menyampaikan hal yang sama. Menurut filolog dari UIN Syech M Djamil Djambek Bukittinggi itu, selain berisi ajaran Islam, banyak manuskrip bercerita tentang keadaan sosial di masa itu. Misalnya manuskrip berupa diary atau  catatan perjalanan.

“Syekh Abdurrahman Batuhampar menulis bagaimana ia berjalan kaki ke Aceh lalu menaiki kapal uap ke Mekah,” katanya.

Selain itu, lanjut Apria, ada manuskrip yang berisi catatan kejadian sehari-hari. Mulai dari gaya hidup sampai bagaimana masyarakat Agam (Bukittinggi) merespon gempa besar tahun 1926. “Contohnya naskah karangan Syekh Abdul Latif Syakur dari awal abad 20,” kata Apria.

Manuskrip juga menceritakan lingkungan sosial Surau. Tata letak Surau dengan satu bangunan utama dan 40 bangunan kecil di sekelilingnya yang ditempati oleh lebih dari seribuan murid (anak surau).  Juga diterangkan proses dan tahap-tahap pembelajaran, bagaimana seorang murid diberi ijazah sebagai tanda bahwa ilmunya sudah cukup mumpuni untuk terjun ke masyarakat.

Tak terbatas pada isi saja, menurut Apria, dari mempelajari gaya tulisan serta bahan kertas manuskrip  bisa memberitahu lebih jauh soal masa lalu. Ia pun menerangkan beberapa gaya tulisan pada manuskrip. Ada tulisan bergaya Farisi. Gaya tulis ini berasal dari Persia, yang menandakan adanya pengaruh Persia dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau.

“Dari kertasnya saja kita juga bisa dapat gambaran masa lalu,” tambahnya sambil menjelaskan bahwa manuskrip yang ditulis oleh Syekh Ibrahim Kuntu diperkirakan berasal dari abad 16-17 setelah kertasnya diteliti. Penemuan itu memperkuat narasi sejarah sebelumnya yang mengatakan Islam telah berkembang di Minangkabau antara abad 16-17.

Namun yang digarisbawahi Apria, temuan itu memperlihatkan bahwa Islam juga masuk ke Minangkabau dari Pantai Timur mengingat Kuntu berada di jalur yang hubungkan pedalaman Minangkabau dan Pantai Timur. Hal ini akan memperkaya narasi dan kajian sejarah kedatangan Islam yang sebelumnya lebih terfokus di Pantai Barat.

Suara dari Dalam

Bias, misinformasi, serta miskonsepsi, merupakan salah satu ciri arsip kolonial ketika mendeskripsikan masyarakat lokal. Ada jurang pengetahuan dan motif penaklukan antara penulis kolonial dan masyarakat kolonial yang diamati dan dicatatnya.

Sebaliknya, kembali mengutip Deddy, manuskrip yang memuat berbagai informasi sejarah rata-rata mengandung keterangan dari in group, dari orang dalam. “Tentu, informasinya bersifat tangan pertama. Dianggap lebih kredibel dan otoritatif lah”.

Karena itulah menurut Deddy, “kehadiran manuskrip sejarah tentu bisa menjelaskan lebih baik sisi tak terjelaskan maupun membereskan misinformasi dan miskonsepsi dalam sumber-sumber asing itu.”

Salah satu contoh misinformasi yang cukup terkenal dalam penulisan sejarah Sumatera Barat adalah pelabelan Wahabi terhadap Tuanku Imam Bonjol. Padahal dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol sendiri, tidak sekalipun ia pernah mendaku Wahabi. Begitu juga tokoh-tokoh kunci dalam perang Paderi lainnya.Misinformasi ini berasal dari teks-teks kolonial yang direproduksi terus menerus hingga ke penulis asal Indonesia sendiri.

Sejarawan Gusti Asnan juga punya pendapat sama. Bahkan menurutnya manuskrip-manuskrip  haruslah menjadi sumber utama, bukan sekadar alternatif bagi sumber sejarah kolonial.

Karena, jelasnya, “manuskrip yang ditulis oleh masyarakat Minang sendiri, berisi pengalaman-pengalaman yang langsung mereka hadapi dan saksikan sendiri.”

Juga banyak hal lain yang bisa diperoleh dari manuskrip namun tidak ditemukan dalam catatan kolonial. Guru Besar Sejarah FIB Unand itu memberi contoh soal keterangan-keterangan yang bersifat irasional yang cendrung tidak ditemukan dalam sumber-sumber Belanda. Manuskrip juga bisa memberi informasi yang berbeda dengan sumber Belanda, misalnya soal angka kerugian yang dialami pihak Belanda dalam Perang Paderi.

“Pihak kolonialis cendrung memanipulasi angka kerugian mereka,” katanya lewat percakapan Whatsapp beberapa waktu lalu.

Meski melihat manuskrip seharusnya diperlakukan sebagai sumber utama, Gusti Asnan mengatakan lebih jauh bahwa selama ini pemanfaatannya memang masih kurang. Jikapun dimanfaatkan, seringkali belum sesuai kaidah keilmuan (metode penelitan sejarah).

Terkait aspek-aspek irasional di atas sebetulnya cukup sering disinggung Gusti Asnan dalam kuliah-kuliahnya. Saya sendiri adalah salah satu mahasiswanya di S2 Ilmu Sejarah Unand. Berikut ini adalah sedikit catatan saya waktu ikuti kuliah Metodologi Sejarah dengan Gusti Asnan sebagai pengampunya:

Kepercayaan terhadap hal-hal gaib sering diabaikan dalam penelitian sejarah. Belanda sering mengabaikannya sehingga jarang ditemukan dalam arsip-arsipnya. Jika pun dicatat, irasionalitas macam itu malah dibingkai sebagai sebatas bentuk kekolotan pribumi. Padahal sumber-sumber lokal seperti kaba penuh dengan kisah-kisah irasional. Artinya, yang irasional itu mestinya punya peran tertentu dalam sejarah, ia harus diperhitungkan sebagai faktor sejarah.

Kepercayaan terhadap jimat kebal peluru misalnya, di banyak kasus dalam sejarah masa kolonial Indonesia, turut mendorong para pemberontak untuk maju ke medan perang melawan Belanda. Kepercayaan terhadap ramalan, juga dapat mengarahkan orang atau masyarakat untuk melakukan tindakan tertentu.

Naskah asli Tuanku Imam Bonjol.

Problem Transliterasi dan Kerja Lintas-Disiplin

Selain 1.235 naskah yang disebut di muka, ada sekitar 350 manuskrip dalam bentuk kitab dan 100-an naskah kuno yang kini dikoleksi dan dipelajari oleh Apria Putra dan kawan-kawannya. Naskah-naskah tersebut berasal dari sekitaran Kab Limapuluh Kota saja. Menurut Apria, masih banyak naskah yang tersebar yang belum mereka selamatkan.

Ribuan naskah yang masih bisa ditemukan di Kab Limapuluh Kota (dan wilayah Minangkabau) lainnya menunjukkan betapa massifnya produksi dan distribusi ilmu pengetahuan di masa lalu dengan surau sebagai pusatnya, lanjut Apria.

Masing-masing surau memiliki disiplin ilmu masing-masing. Seorang murid yang telah menamatkan pelajaran (mendapat ijazah) di satu surau, bisa pindah belajar ke surau lain untuk mendalami keilmuan yang beda lagi. Hal ini turut memicu massifnya produksi dan distribusi manuskrip, baik yang berupa salinan, maupun yang ditulis sendiri oleh ulama di satu surau.

Sekitar 800-an bundel dari naskah tersebut, yang telah direstorasi dan didigitalisasi oleh Suri, kini bisa diakses oleh publik di situs seperti DREAMSE, EAP British Library, dan Lektur Keagamaan.

Meski menyimpan potensi besar sebagai sumber sejarah, sebagai sumber primer untuk mengetahui bagaimana suatu masyarakat di masa lalu melihat dirinya sendiri tanpa representasi pihak lain, penggunaannya masih terbatas.

Hari ini untuk membaca dan meneliti manuskrip, dibutuhkan ilmu tersendiri. Ribuan manuskrip yang telah diselamatkan dan didigitalisasi, belum seberapa yang dialihaksarakan. Sejarawan seperti Deddy mengaku terhambat oleh pengetahuannya yang terbatas di bidang filologi saat hendak menggunakan manuskrip sebagai sumber sejarah.

“Idealnya ada kerja-kerja lintas disiplin, filolog menyediakan transliterasi, sedangkan sejarawan menyediakan narasi hasil rekonstruksi sejarahnya,” katanya sambil menambahkan bahwa  sejarawan atau pengkaji sejarah juga perlu menempatkan naskah-naskah tersebut dalam konteks masyarakat dan zaman saat teks-teks tersebut dibuat. (*)

Foto: Fachri Hamzah

 

 

 

 

 

 

 

 

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *