Artikel

Menyelamatkan Negara Hukum

Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah potret luluh lantaknya negara hukum yang justru akibat ulah oknum Hakim Konstitusi yang seharusnya melindungi konstitusi. Upaya terakhir masih dapat dilakukan karena adanya cacat formil serius pada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.

Kejanggalan

Putusan setebal 122 halaman itu terdiri dari 34 halaman yang berisi dissenting opinion dari 4 orang Hakim Konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. Jumlah halaman itu memenuhi sekitar 27,87% tebal putusan. Menariknya 4 orang Hakim Konstitusi tersebut memiliki pandangan yang tidak mungkin diseragamkan.

Suhartoyo misalnya, menilai Pemohon tidak memiliki kepentingan dan kerugian konstitusional sehingga Mahkamah seharusnya menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Kemudian Wahiduddin yang sejak Putusan No. 29/PUU-XXI/2023, No. 51/PUU-XXI/2023 dan No. 55/PUU-XXI/2023 bersikukuh bahwa penentuan batas usia minimal Capres dan Cawapres adalah kewenangan pembentuk undang-undang.

Sementara Arief mempersoalkan kuasa hukum Pemohon yang melakukan penarikan permohonan tanpa persetujuan dari Pemohon adalah bentuk ketidakprofesionalan dan terkesan mempermainkan marwah MK. Ia juga menilai adanya ketidakpatutan atas kehadiran Anwar Usman dalam RPH karena perkara menyangkut kepentingan keponakannya.

Paling menarik adalah dissenting opinion Saldi yang lebih berupa paparan atas kronologi Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Ia menilai setidaknya ada dua misteri, yakni penarikan permohonan dan berubahnya pendirian Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh dan Manahan M.P. Sitompul. Ketiga Hakim Konstitusi tersebut dua hari sebelumnya, pada RPH Putusan No. 29/PUU-XXI/2023, No. 51/PUU-XXI/2023 dan No. 55/PUU-XXI/2023, sepakat bahwa penentuan batas usia Capres dan Cawapres adalah kewenangan pembentuk undang-undang. Namun kehadiran Anwar pada RPH Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 mengakibatkan Enny, Daniel dan Manahan mengikuti pandangan Anwar dan Guntur, meski dengan sedikit modifikasi. Enny dan Daniel menilai bahwa pengecualian usia minimal 40 tahun harus dipadankan dengan pengalaman sebagai Gubernur. Terutama Enny yang menilai persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang, artinya isu batas usia belum selesai dengan putusan MK.

Sedangkan Anwar, Guntur dan Manahan sepakat memadankan usia minimal 40 tahun dengan elected official, di mana cakupan jabatannya lebih luas dibanding padanan yang diajukan Enny dan Daniel. Artinya, Anwar, Guntur dan Manahan memasukkan semua jabatan yang diduduki melalui mekanisme pemilu. Jabatan itu mencakup Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota sebagai padanan usia minimal 40 tahun.

Di sinilah terjadi kerancuan. Amar Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 telah mengakomodir pandangan Anwar, Guntur dan Manahan yang maknanya mencakup semua jabatan yang diperoleh melalui pemilu, termasuk pilkada. Padahal pandangan itu hanya diwakili oleh 3 orang Hakim Konstitusi. Bila dicarah, komposisi argumentasi Hakim Konstitusi adalah 3:2:2:1:1. Dengan kata lain, amar Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak berasal dari pandangan mayoritas Hakim Konstitusi. Artinya perkara konstitusionalitas batas usia Capres dan Cawapres masih prematur untuk diputus karena tidak memenuhi syarat mayoritas suara sebagaimana ketentuan Pasal 45 Ayat (8) UU MK. Di sinilah cacat formil itu.

Majelis Kehormatan

Banyaknya kejanggalan yang terjadi meniscayakan ditempuhnya jalur etik dengan mendudukkan Anwar, Guntur, Manahan, Enny dan Daniel sebagai Hakim Terlapor karena kelimanya patut diduga melanggar Kode Etik sebagaimana diatur Pasal 10 huruf e PMK No. 1 Tahun 2023.

Anwar setidaknya telah melanggar prinsip ketakberpihakan yang mengharuskannya tidak terlibat sejak pemeriksaan perkara karena menyangkut kepentingan keponakannya. Selain itu ia jelas melanggar Pasal 10 huruf f angka 3 PMK No. 1 Tahun 2023 yang melarangnya membicarakan substansi perkara di luar persidangan sebagaimana yang ia lakukan sebelum putusan dibacakan (lihat di sini, atau di sini)

Manahan, Enny, dan Daniel, patut diduga melanggar prinsip independensi di mana Hakim Konstitusi tidak boleh terpengaruh rekan sejawat dalam mengambil keputusan sebagaimana pengaturan PMK No. 9/PMK/2006. Sebab setelah kehadiran Anwar dalam RPH, ketiganya tanpa argumentasi yang jelas telah mengubah pendiriannya hanya dalam waktu 2 hari, sedangkan pandangan serupa telah lebih dulu disampaikan oleh Guntur. Akibatnya ketiganya juga patut diduga melanggar Pasal 10 huruf g angka 3 PMK No. 1 Tahun 2023 karena tidak objektif dan tidak mendasari putusan dengan fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Guntur harus memberi penjelasan tentang mengapa pandangan yang ia pertahankan pada tiga putusan sebelumnya diadopsi menjadi amar Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.

Adanya cacat formil dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 membuka jalan untuk ditempuhnya jalur etik di Majelis Kehormatan MK. 5 orang Hakim Terlapor adalah jumlah mayoritas yang dapat mengakibatkan RPH mesti diulang. Upaya ini setidaknya memperlihatkan perjuangan menyelamatkan negara hukum masih terbuka. (*)

About author

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manajer Riset LBH Pers Padang.
Related posts
Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Artikel

Tiga Diskusi, Empat Eksebisi: Catatan Sinematografi Teater Tendi Karo Volkano

Artikel

Roehanna Koeddoes dan Proyek Kolonialisme Tercerahkan

Artikel

Siska, Rantau, dan Perlawatan Melampaui Diri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *