Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Sumatera Barat baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Pemerintah. Pembentukan produk hukum ini dapat dimaklumi, sebab keberadaan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang “Penetapan Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau” tidak lagi relevan dengan kondisi hari ini bagi ketiga provinsi tersebut.
Hanya saja, lahirnya Undang-Undang tentang Provinsi Sumatera Barat (UU Sumbar) justru memantik perdebatan baru. Terutama menyangkut eksistensi masyarakat Mentawai yang hilang dari pengaturan dalam batang tubuh UU Sumbar. Sebab dalam Pasal 5 huruf c menyatakan, “Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik, yaitu: … c. adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”
Pasal ini apabila dibaca secara cermat, jelas bermuatan penyeragaman dan mengandung kekeliruan. Dalam kalimat awal Pasal 5 UU Sumbar menyebutkan klausa, “Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik…”. Sementara pada saat yang sama, pada huruf c, klausanya dibuka dengan, “adat dan budaya Minangkabau…” yang diikuti dengan segala penjabarannya, dan ditutup dengan frasa “masyarakat Sumatera Barat”.
Ketentuan Pasal 5 huruf c UU Sumbar ini jelas menggeneralisasi kondisi faktual yang ada dan sangatlah keliru. Sebab secara faktual Sumatera Barat tidak hanya perihal Minangkabau, dan Minangkabau hari ini bukan hanya Sumatera Barat yang dipahami sebagai luhak dan rantau. Sumatera Barat lahir sebagai entitas pemerintahan dengan wilayah administratifnya sebagian besar wilayah Minangkabau. Hal ini jelas tidak sama dengan kelahiran Minangkabau, yang adat dan wilayahnya masih menjadi perdebatan kapan bermulanya. Entah sejak Adityawarman menang adu kerbau melawan Majapahit, sejak perjanjian Bukit Marapalam, sejak Gunung Marapi sagadang talua itiak, atau sejak banyak orang bermunculan merasa paling Minangkabau dan autentik ber-Minangkabau.
Jika hendak berbicara karakteristik masyarakat Sumatera Barat secara utuh, ada fakta turun temurun yang tidak dapat diabaikan. Semisal keturunan Sumatera Utara di Pasaman dan Pasaman Barat , masyarakat keturunan Nias di Kota Padang, masyarakat transmigrasi Jawa di beberapa kabupaten di Sumatera Barat, masyarakat keturunan Tionghoa, serta entitas masyarakat lainnya yang hidup secara komunal dan telah berakulturasi dengan masyarakat Minangkabau secara khusus dan Sumatera Barat secara umum.
Generalisasi kondisi sosio-kultural karakteristik masyarakat Sumatera Barat dalam Pasal 5 huruf c UU Sumbar, tentu membuka peluang munculnya praktik diskriminasi mulai dari level kebijakan di tingkat provinsi, sampai pada tindakan individual. Sebab memiliki legitimasi yuridis untuk bertindak.
Kondisi penyeragaman tentu adalah muaranya dan telah selangkah lebih dekat dengan kejahatan genosida, tanpa perlu membuktikan siapa aktornya. Sebab terlegitimasi oleh produk undang-undang (state actor). Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan, “kejahatan genosida sebagaimana adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara yang salah satunya dengan menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.”
Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, apabila digunakan untuk melihat ketiadaan ketentuan dalam UU Sumbar yang menggambarkan karakteristik masyarakat Sumatera Barat di luar masyarakat Minangkabau setidaknya telah memenuhi sebagian unsur formil kejahatan genosida. Karena telah ada sebuah prakondisi melalui legitimasi normatif yang meniadakan keberadaan masyarakat lain di luar masyarakat Minangkabau.
Niat dan Ketidaktahuan
Sekalipun selangkah lebih dekat dengan kejahatan genosida, sejatinya tidak perlu percaya akan munculnya niat sejahat itu. Sebab terdapat beberapa alasan yang bisa dimengerti bahwa ini adalah persoalan ketidaktahuan semata, dan mungkin ada sedikit sifat ego primordialisme di dalamnya.
Apabila membaca Naskah Akademik UU Sumbar yang beredar, Mentawai sejatinya tidaklah luput. Hanya saja dapat dipahami secara seksama, bahwa pembentuk undang-undang, atau yang menyusun Naskah Akademik UU Sumbar tidak memahami secara riil bagaimana tatanan sosio-kultural masyarakat Mentawai. Mentawai hanya tersebutkan namun tidak terjelaskan sebagaimana Minangkabau dijelaskan secara gamblang dan mendekati komprehensif.
Narasi dalam Naskah Akademik UU Sumbar sebagaimana tersebut, dapat dikatakan murni sebagai persoalan ketidaktahuan semata. Bahwa Mentawai disertakan sebagai bagian dari masyarakat Sumatera Barat telah terniatkan lewat Naskah Akademik UU Sumbar. Karena tidak sekali kata-kata “masyarakat Minangkabau dan Mentawai” tersebutkan di dalamnya.
Persoalan ketidaktahuan bagaimana tatanan sosio-kultural masyarakat Mentawai inilah yang patut diduga menjadi alasan kenapa dalam uraian ketentuan karakteristik masyarakat Sumatera Barat dalam Pasal 5 UU Sumbar hanya mengurai karakteristik masyarakat Minangkabau. Semestinya pembentuk undang-undang memahami situasi tersebut—terutama anggota DPR yang berasal dari Sumatera Barat—agar tidak menimbulkan polemik dan memunculkan ketidakadilan struktural dengan mengaspirasikan bahwa Sumatera Barat tidak hanya Minangkabau.
Apabila NKRI adalah persatuan dan Bhineka Tunggal Ika, justru ada alasan untuk memvonis pembentuk undang-undang tidak mencerminkan NKRI yang seutuhnya dalam membentuk UU Sumbar, apabila berkaca dari hasilnya. Termasuk kepada mereka yang menganggap ketiadaan pengakuan masyarakat Mentawai dan entitas masyarakat lainnya sebagai bagian karakteristik Sumatera Barat bukanlah persoalan serius. Bahwa kehendak persoalan ini perlu dipahami tidak untuk mengusik keberadaan Pasal 5 huruf c UU Sumbar.
Hanya saja Pasal 5 huruf c UU Sumbar tidaklah dapat berdiri sendiri sebagai gambaran normatif atas karakteristik masyarakat Sumatera Barat. Pasal 5 UU Sumbar harus menambahkan klausul “huruf d” saja bagi masyarakat Mentawai apabila memahami karakteristik masyarakat Sumatera Barat sebagai masyarakat hukum adat yang melekat padanya hak-hak rekognisi. Atau menambahkan klausul “huruf e” apabila memandang karakteristik masyarakat Sumatera Barat, sebagai masyarakat luas secara utuh yang telah hidup secara turun temurun dan telah berakulturasi.
Apabila tidak demikian, UU Sumbar ini sebagaimana disebutkan sebelumnya telah membuka bagi tumbuh dan berjalannya praktik diskriminasi dan ketidakadilan struktural terhadap masyarakat di luar masyarakat Minangkabau. Begitu juga turut mempermanenkan kekeliruan bahwa Minangkabau sama dengan Sumatera Barat. Tentu kekeliruan yang sepertinya telah bersifat massal ini musti diakhiri. Kalau tidak mau disebut kufur nikmat, karena kita telah dianugerahi otak untuk berpikir namun tidak dipergunakan sebaik mungkin. Apalagi adanya otoritas serta kesempatan untuk meluruskan. (*)
Selamat malam, Tn. Fajri.
Saya menghargai tulisan Anda yang sangat menarik untuk dibahas. Saya melihat ketidaksetujuan Anda terhadap pembentukan UU Sumbar yang baru, dimana saya sendiri berada di sisi yang sama. Pembentukan provinsi di Indonesia tidak seluruhnya berdasarkan wilayah geografis masyarakat adatnya, seperti Provinsi Sumbar. Banyak terdapat masyarakat adat yang merupakan minoritas yang tentu secara administrasi tidak dapat dipisahkan karena terlalu kecil dan belum mampu untuk berdiri sendiri sebagai suatu provinsi. Saya yakin dahulu hal tersebut hanya didasarkan demi kemudahan dalam hal administrasi saja, perihal kedekatan geografis.
Namun terkait tulisan Anda, saya tertarik untuk memberikan komentar mengenai Unsur Genosida dalam RUU ini, yang Anda pandang sebagai bentuk Genosida yang dilakukan oleh State Actor (saya sengaja menyadur frasa Anda). Dan Anda juga menyebutkan bahwa RUU tersebut telah memenuhi unsur formil kejahatan genosida. Apa itu unsur formil dalam tindak pidana? Unsur formil (taatbestandmaszigkeit) adalah unsur yang termaktum dalam UU (dalam hal ini UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM). Dalam pandangan saya, RUU ini belum memenuhi unsur formil dari kejahatan genosida karena tidak ada perbuatan konkrit dari State Actor dalam mewujudkan hal tersebut. Saya sangat setuju dengan argumen Anda mengenai kemungkinan terkait diskriminasi yang akan timbul oleh RUU ini jika disahkan dan saya melihat kegelisahan Anda. Namun hal itu saja tidak dapat memenuhi unsur formil dari suatu tindak pidana (khususnya Kejahatan HAM).
Dalam sejarahnya kita dapat melihat bahwa Genosida adalah bentuk dari Kejahatan HAM yang terjadi bagi suatu kelompok masyarakat (baik etnis, bahasa, agama, dst) yang hendak dihilangkan atau dimusnahkan. Dan saya melihat hal tersebut sangat jauh dari kekhawatiran Anda. Bahkan secara materiil, RUU ini belum mengarah ke genosida seperti yang Anda sebutkan dalan tulisan Anda. Genosida bukanlah hal yang sederhana, bahkan ICC pun berhati-hati untuk menerapkan ketentuan ini (meskipun Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma).
Juga dalam mengajukan tuntutan mengenai suatu kejahatan terhadap badan (misdrijven tegen bet leven), saya sering menggunakan rumus:
Pelaku + Perbuatan + Korban
Dan dalam hal ini siapa yang menjadi pelaku? Perbuatan konkrit apa yang dilakukannya? Dan siapa korbannya?
Saya dengan kerendahan hati sangat senang membuka ruang diskusi ini dan berharap agar dapat berkorespondensi dengan Anda atau tim Garak. Saya memohon maaf jika terdapat kesalahan kata atau ada maksud yang tidak sempurna penyampaiannya.
Salam hangat,
Albert Michael Julyan Lase
Terimakasih atas komentarnya, dan mohon maaf atas keterlembatan respon dari kami. Kami akan mencoba untuk mengontak penulis terkait tanggapan ini.