Artikel

Harimau di Depan Buldozer

Ketika harimau menampakkan diri di lahan perusahaan perkebunan, mengaum keras dan mencakar-cakar ke arah buldozer yang sedang bekerja membuat petak-petak kebun, apa yang kemudian kita pikir dan rasakan?

Semacam nelangsa bisa saja menghinggapi tiba-tiba.

Tapi perasaan semacam itu lebih banyak diidap oleh kaum yang terlalu gampang terharu pada sesuatu. Sedang sikap-sikap praktis dunia modern akan punya jalan keluar yang juga praktis. Perkebunan-perkebunan harus dibuka. Apa yang darinya minyak sawit, karet, atau apa pun dari komoditas laku dan penting dunia sekarang diproduksi, harus jadi. Petugas akan didatangkan untuk mengusir harimau yang nakal. Mula-mula diusir secara baik-baik, kalau tidak mampu ya ditembak bius, dikerangkeng, untuk kemudian dilepas ke habitatnya?

Tapi, itulah soalnya, habitat yang mana?

Tidakkah ruang hidup mereka yang asli itu telah dialahkan dan digeser manusia dengan kebun-kebun luas dan besar.

Paling banter, biar sama-sama aman, rencana manusia tetap jalan, para fauna yang dilindungi itu tetap hidup, harimau-harimau yang mengamuk itu dikandangkan saja di kebun binatang. Bisa juga dilihat-lihat sewaktu-waktu buat healing kaum urban atau sarana edukasi bagi anak-anak TK.

Jadi apa yang kemudian terbersit dan terbetik jika sudah begitu?

Rasa sedih yang sama masih akan menghinggapi juga?

Bisa jadi yang kemudian datang menghampiri ialah semacam romantika. Kita mungkin teringat masa kanak-kanak ketika harimau mengandung citra yang magis, ketika harimau dipanggil dengan hormat, disaru dengan takzim. Dia dipanggil ‘Inyiak’, seruan penghormatan yang sama bagi seorang Datuk atau Penghulu di sebagian daerah di dataran tinggi Minangkabau. Lambang salah satu luhaknya menggunakan harimau untuk merepresentasikan suatu sikap pemberani dan gagah. Dari mencontoh pada gerak pertarungan kucing besar itu silek tua mencuplik jurus-jurusnya.

Cerita-cerita rakyat dipenuhi rasa takjub sekaligus hormat padanya. Ada juga beberapa pamali dan pantang yang berkaitan dengan upaya menenggang perasaan sang raja hutan: jika mau memasak nasi di hutan maka jangan langsung membawa periuk ke pincuran; kalau berjalan di dalam gelap di hutan dengan senter maka tundukkanlah cahayanya ke tanah; jangan meninggalkan baji lekat pada kayu yang sedang dibelah, dan banyak lagi.

Selain pamali atau pantangan, ada lebih banyak lagi suruhan dan anjuran. Jika memasuki hutan, patahlah ranting, atau berserulah keras agak sekali-dua, sebagai salam kedatangan, dan lain sebagainya.

Saya tidak tahu persis untuk apa suruhan atau pantangan seperti itu ada. Untuk semacam strategi menjaga dan melestarikan?

Yang jelas, imajinasi kita selama ini akannya kebanyakan baik. Kisah tentang seorang lelaki tua di kampung, misalnya, yang pernah berteman dengan harimau. Itu bermula, ketika suatu kali, lelaki itu memasang perangkap kera atau monyet atau beruk liar di hutan. Dia seorang yang lihai melatih beruk liar untuk dijinakkan guna membantu memanjat pohon kelapa. Tapi, yang masuk dalam keranda yang dipasangnya itu justru harimau. Dia ketakutan, tapi akhirnya dia melepaskan pintu keranda, dan harimau yang terperangkap di dalamnya dapat lepas. Sejak itu, harimau sering memperlihatkan diri di sekitar ladangnya di pinggir hutan. Harimau menjadi penjaga tanamannya dari serbuan hama seperti monyet dan babi. Dia hanya perlu menghadiahinya telur ayam beberapa butir.

Seberapa benar cerita itu? Mungkin setengahnya bualan orang-orang kampung yang terkenal ‘pencerita’ handal; mungkin telah banyak dilebih-lebihkan di sana-sini. Tetapi, yang mau kisah semacam itu katakan barangkali, harimau pandai sekali membalas jasa. Jika pun tidak berjasa padanya, harimau akan sedia menolong manusia yang kesusahan di hutan. Harimau akan menunjuki Anda jalan jika ada yang tersesat di rimbaraya. Ikuti saja petunjuk-petunjuknya, bisa berupa bunyi ranting patah atau lemparan tanah.

Konon, nenek moyang kita dan nenek moyang harimau pernah mengikat suatu perjanjian. Tidak akan saling memangsa. Akan berbagi ruang hidup. Mana yang untuk aku mana yang untuk angkau. Harimau tidak boleh memangsa hewan ternak milik manusia, apalagi memangsa manusia itu sendiri. Dan tidak akan mengganggu satu sama lain. Itulah konsensusnya.

Untuk mencapai konsensus semacam itu, komunikasi jadi penting. Antara manusia dan binatang? Masyarakat komunikatif selayaknya tidak hanya terjadi dan diusahakan untuk antarindividu manusia, tetapi lintas makhluk jugakah tampaknya kalau begitu? Untuk saling mengerti dan memahami, masing-masing punya kode-kode atau simbol-simbol tersendiri. Prinsip dasarnya mungkin tepaselira, tenggangrasa, atau sejenisnya; saling memahami tanpa paksaan apalagi kekerasan. Ada kisah tentang seorang penunggu durian yang berbagi durian yang jatuh dengan harimau, jika harimau bergerak ke durian yang jatuh lebih dulu maka si manusia undur-diri mengalah, begitupun sebaliknya. Apa harimau makan durian juga? Saya pikir cerita itu untuk menggambarkan betapa dekat keseharian kita dengan harimau dan kita bisa berbagi ruang hidup dengannya jika saling mengerti dan memahami kode-kode dan simbol-simbol masing-masing. Ada pula kisah tentang pemburu yang setiap memperoleh hasil buruan akan meninggalkan ‘sepaha’ untuk harimau yang menunggui kawasan perburuan yang dimasukinya. Kita harus hidup saling berdampingan tapi sedapat mungkin tidak harus bersinggungan atau bersentuhan secara langsung. Itu sebabnya, manusia sedapat mungkin tidak melalui jalur-jalur harimau ketika berjalan di hutan, begitupun harimau sedapat mungkin akan menghindar untuk terlihat manusia, serupa itulah kira-kira tindakan komunikasi berjalan.

Lalu bagaimana kalau perjanjian atau konsensus itu dilanggar?

Dulu, di masa kanak-kanak di kampung, seorang penakik getah pernah dimakan harimau. Jantungnya hilang, kepala dan badannya ditemukan terpisah, harimau mula-mula mencengkram bagian leher, lalu bagian penting lain lebih dulu dimakannya, terutama jantung dan mungkin organ-organ dalam. Kampung heboh, lalu kerangkeng atau keranda besar dibikin di pinggir hutan. Tukang ilau atau tukang dendang diundang datang dari kampung lain, semacam pawang yang bisa menyaru harimau.

Orang-orang meratap, menyanyi-nyanyi sendu, memanggil dengan merayu-rayu, menyeru-nyeru, menyatakan dalam lirik-lirik sedih kalau telah dilanggar perjanjian antara manusia dan harimau, antara anak cucu Adam dan Inyiak Balang. Dengan dimakannya seorang anak manusia oleh harimau.

Harimau-harimau yang bersalah itu jadi mabuk, linglung oleh mantra, tertutup pandangan ke lain tempat selain ke nganga pintu ‘penjara’. Saya jadi teringat sebuah mantra kuno pemanggil harimau:

Harimau alah gilo

Kami arak ka pinjoro tangah malam buto

Tariang diparang sibilang eh

Kanai miang manggalagek yo

Apo ka tenggang dayo lai

Tirai kulambu alah tabaka

Aruah kami kuruang dalam pinjaro

Lautan sajo yo bakuliliang

Apo ka tenggang dayo lai.

 

[harimau sudah gila

kami arak ke penjara tengah malam buta

taringnya diparang sibilang

kena miang menggelegak

tidak lagi berdaya

tirai kelambunya telah terbakar

ruhnya kami kurung dalam penjara

lautan saja sekelilingnya

tidak lagi berdaya.]

 

Usaha pawang berhasil sempurna. Kata orang, mula-mula yang masuk ke dalam keranda hanya seekor, lalu masuk lagi seekor, dan seekor berikutnya. Sesaklah kandang itu jadinya. Setiap yang ikut memakan, walau seserpih daging pun, akan menanggungkan hukuman.

Saya tidak tahu lagi ke mana harimau-harimau yang bersalah itu dibawa, ditembakkah mereka, atau mungkin diangkut ke Bukittinggi jadi penghuni kebun binatang?

Jadi, jika ya, maka harimau-harimau dari kampung kami pada suatu kurun bisa jadi pernah Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya lihat ketika berkunjung ke kebun binatang sana. Harimau-harimau hukuman itu. Terhukum karena telah melanggar penjanjian dengan manusia.

Kini, ketika ruang hidup harimau terus dirampas, ketika justru manusialah yang acap “memangsa” harimau, dengan deforestasi misalnya, atau perburuan langsung, maka apakah hukuman yang layak bagi kita sebagai yang melanggar perjanjian kalau begitu?

Harimau tidak punya ilau, tidak ada nyanyi-perindu, tidak ada pada mereka dendang-pedih menyeru-nyeru yang bikin pendengarnya mabuk-gila dan linglung. Mereka juga tak bisa bikin kerangkeng. Mereka hanya punya ngaum. Mereka hanya punya taring dan cakar yang dulu sebegitu menakutkan. Tapi kini? Mereka bisa saja mengamuk masuk kampung, mencakar-cakar dan menggigit dengan putus asa. Tapi dengan segera mereka akan ditembak pembidik yang lihai. Mati. Paling mujur, mereka ditangkap hidup-hidup dan dikirim ke kebun binatang atau tempat-tempat konservasi.

Manusialah raja di bumi ini sekarang.

Maka, sekali lagi, dengan apa menghukum manusia, kalau begitu?

Pandai Sikek, 2022. (*)

 

Ilustrasi @teawithami

About author

Deddy Arsya adalah dosen sejarah di IAIN Bukittinggi. Ia menulis puisi, cerpen, resensi film dan buku, serta esai tentang sejarah dan seni. Karya-karyanya telah dimuat di surat kabar, majalah, dan jurnal nasional. Kumpulan puisinya, Odong-odong Fort de Kock (2013) dan Khotbah Si Bisu (2019) terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik 2013 dan 2019 versi Majalah TEMPO.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *