Artikel

Tiga Kekeliruan Pak Miko Kamal

Tanggal 7 Maret 2022,  pukul 01.44 WIB, ada sebuah pandangan pendek di akun Twitter @kamalmiko. Berikut kutipan seutuhnya:

“Org rantau banyak yg sok hebat. Org kampung dianggapnya bodoh semua. Pdhl mamangan adatnya: “keratau madang di hulu, berbuah berbunga belum. Merantau bujang dahulu, di rumah berguna belum. Artinya, yg tinggal di kampung adlh org yg sangat berguna. Dia merantau krn tdk berguna di kampung.”

Saya tidak kenal dan belum pernah bertemu dengan pemilik akun tersebut. Namun, menurut informasi yang didapatkan, pemiliknya adalah seorang akademisi, pakar hukum, sobat kerja pemerintah daerah, bernama Miko Kamal. Saya tidak tahu bagaimana cara memanggilnya, namun bila dilihat dari taraf emosinya di cuitan akun Twitter, saya menduga bahwa usia beliau jauh lebih tua dan matang daripada saya yang seumur jagung, penuh dosa, dan fakir ini. Ijinkan saya memanggilnya Pak Miko Kamal.

Saya sangatlah girang mengetahui kalau beliau seorang akademisi dan tentulah beliau akan berlapang hati bila mendapatkan kritik. Pandangan serupa cuitan itu sudah diusung oleh yang bersangkutan semenjak tahun 2014 melalui tulisan di sebuah media lokal. Oleh sebab itu, karena muncul lagi sekarang, saya berminat untuk menyampaikan tanggapan kepadanya. Tanggapan saya dalam tulisan ini hanyalah untuk membela ilmu-pengetahuan dalam bidang budaya. Sebagai orang yang bergiat dalam arena budaya, dan ketika pihak-pihak lain (apalagi orang politik) cenderung semakin bersilantas-angan saja terhadap kebudayaan, maka saya merasa perlu membelanya. Dan sejauh-dekat yang saya pahami, cuitan Pak Miko Kamal tersebut sangat keliru. Ijinkan saya menawarkan perbaikannya.

Tapi, sebelum itu, saya menduga bahwa sekarang adalah momen yang tidak tepat untuk menyampaikan kritik. Dalam beberapa waktu ini, banyak orang Minangkabau yang sedang menunjukkan bakat terbaiknya sebagai pahlawan, dan karena adanya bakat langka seperti itu, tentu tak terlepas dari adanya sesuatu yang dianggap sebagai musuh besar. Dalam situasi ini, saya cemas bila tanggapan saya ini malah jadi ikan lele yang dimasukkan ke dalam tebat berair keruh. Atau yang lebih parah, tulisan ini hanyalah jadi penegasan ke sekian kalinya atas kepandiran saya. Tapi, lagi-lagi, saya merasa perlu membela ilmu-pengetahuan. Mohon dimaafkan bila dalam membela ilmu-pengetahuan ini saya malah tidak punya bekal ilmu-pengetahuan yang cukup.

Di dalam cuitannya, Pak Miko berpandangan bahwa karya sastra klasik Minangkabau yang bicara soal merantau itu menegaskan bahwa kampung adalah tempat orang berguna dan  rantau adalah tempat untuk orang tidak berguna. Menurut saya, Pak Miko telah melakukan setidaknya tiga kekeliruan fatal. Untuk menjelaskan itu saya tidak ingin jauh-jauh memulai dari keterkaitan semantik antara bagian sampiran dan isi, tapi langsung saja ke pokok gagasannya.

Pertama, mamangan tersebut tidak bicara soal pintar dan bodoh, melainkan soal pentingnya kesadaran untuk mengembangkan diri. Silakan dalami penggunaan kata “bujang” di sana, yakni suatu titik anjak dari perjalanan hidup laki-laki antara kanak-kanak dan dewasa, yang menyimbolkan suatu tahap dalam kehidupan manusia ketika “belum banyak pengalaman” dan karena itulah diharapkan mencari pengalaman di mana-mana.

Kedua, terkait dengan poin pertama, mamangan itu tidak bicara soal siapa yang berguna dan siapa yang tidak berguna, melainkan bicara soal proses dari belum berguna menuju berguna. Ini adalah penegasan soal kesempatan yang mesti dicari bagi orang Minangkabau untuk memperkaya pengalamannya. Silakan perhatikan penggunaan kata “belum” di sana, tidak ada  penggunaan kata “tidak”.

Ketiga, masih bertali dengan dua poin di atas, mamangan itu tidak berbicara soal hirarki antara kampuang dan rantau, melainkan soal keseimbangan kampuang dan rantau dalam proses tumbuh-kembang manusia Minangkabau. Kampung dan rantau adalah dua lokus yang mempunyai peran yang sama-sama penting dalam proses “menjadi Minangkabau”. Silakan dalami hubungan makna antara kata “dahulu” dan kata “belum” di sana.

Merantau, dengan demikian, adalah proses untuk mempertebal jalin-kelindan antara di dalam kampung halaman dan di luar kampung halaman. Meskipun proses merantau selalu mempunyai konsekuensi terjadinya benturan nilai-nilai, tapi itu tidak untuk menciptakan garis pembatas antara kampung dan rantau. Inilah yang sering disebut sebagai dialektika Minangkabau, yaitu suatu ikhtiar bertarik-ulur dalam mencari titik-temu antara apa yang ada di kampung dengan apa yang bisa dibawa dari rantau. Pada gilirannya, dalam proses merantau (tak hanya merantau fisik tetapi juga merantau non-fisik), kampung halaman dan rantau sama-sama saling mengisi, saling mempengaruhi, bahkan saling meminjam nilai. Inilah salah satu pusaran makna dari mamangan tersebut.

Jadi, nilai yang diusung mamangan yang dikutip Pak Miko justru berbanding terbalik dengan pikiran yang diajukannya sendiri. Saya tidak tahu apa alasan Pak Miko memelintir mamangan tersebut sedemikian rupa. Pemelintiran itu membuat suatu mamangan yang begitu mulia dan kaya maknanya tiba-tiba jadi picik dan dangkal. Bila misalnya, katakanlah, beliau mendapati suatu persoalan perihal adanya orang rantau yang minim ilmu tapi penuh lagak dan adanya orang kampung yang tinggi ilmu serta rendah hati, maka persoalan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang hendak disampaikan oleh mamangan tersebut. Kalau Pak Miko mau berusaha sedikit mencari, maka tidak sulit baginya untuk mencari mamangan yang lebih tepat untuk menggambarkan fenomena yang ditemuinya. Namun, bila beliau masih menggunakan mamangan tersebut untuk menebalkan ketidaksenangannya pada persoalan yang ditemukannya itu, maka tentulah itu tindakan salah kaprah yang terang-benderang. Kita tahu, sebuah tindakan yang salah kaprah, bila terus terjadi, dilakukan turun-temurun dan tidak diingatkan sama sekali, maka takutnya nanti jadi “kepandiran massal”. Kita sangat berharap hal itu tidak terjadi. Sumatra Barat konon kabarnya, menurut info dari puncak gunung Marapi, belum pernah mengalami kepandiran massal. Lagi-lagi konon kabarnya, sejak zaman ketumbar sampai sekarang, orang Minangkabau selalu hebat dan banyak yang rendah hati.

Sebenarnya, tidak ada salahnya kita menggunakan mamangan (atau sastra umumnya) sebagai penegasan dari pandangan kita, asalkan kita melakukannya dengan tepat. Dan untuk melakukannya dengan tepat tentu dengan terlebih dahulu memahami atau mendalami sastra itu sendiri. Dengan kata lain, semua ada ilmunya dan bisa dipelajari. Sebagaimana menggunakan dalil-dalil hukum, menggunakan karya sastra pun tidak bisa garebeh-tebeh begitu saja. Namun begitu, saya berharap bahwa ini semua terjadi bukan karena maksud hati pak Miko untuk memelintir dan memperalat (semoga beliau terhindar dari politik pemelintiran yang marak akhir-akhir ini di Sumatra Barat). Mungkin saja ini semua terjadi hanya karena Pak Miko Kamal belum menikmati membaca karya sastra dan menemukan sendiri fungsi sastra dalam perkembangan manusia.

Bila bicara soal fungsi sastra, saya jadi teringat dan tak pernah berhenti menyampaikan salut kepada beberapa pakar hukum di Indonesia, di antaranya Adnan Buyung Nasution, Saldi Isra, dan Feri Amsari (mohon maaf bila pihak bersangkutan dan keluarga dari nama yang saya sebutkan nama di sini tidak berkenan, saya hanya bermaksud memberikan contoh terbaik yang diketahui). Salah satu kesalutan saya karena mereka adalah orang yang membaca sastra. Ketika mereka membaca sastra dengan serius, maka setidak-tidaknya mereka masih berusaha untuk melihat dunia ini tidak hitam-putih dan memahami bahwa ada banyak cara melihat dunia yang tersedia di zaman kita ini dari berbagai bidang ilmu. Bagaimana pun juga, kita tidak bisa berlagak bahwa hanya ilmu kita, cara pandang dunia kita saja, yang paling tepat menjelaskan semua kenyataan yang sedang terjadi. Kita tahu bahwa setiap ilmu dan logika berpikir yang dikandungnya punya ruang lingkup penerapannya, seberapa pun canggihnya ilmu itu. Tidak bisa dipakai utuk semua kasus.

Dalam hal ini, salah satu karakter utama karya sastra (dan seni umumnya) adalah kemampuannya untuk menyediakan keberbagaian cara melihat kenyataan melalui medium narasi (fiksi ataupun non-fiksi). Jadi, tak seperti yang sering dipahami orang banyak—termasuk akademisi di bidang ilmu lain—sastra (dan seni umumnya) bukanlah sebatas hiburan saja, pelipur lara, penggisi waktu luang. Aspek hiburan dari sastra bukanlah titik pijak ataupun titik tuju dari sastra, itu semua hanyalah bonus saja. Sastra justru melatih kita untuk meningkatkan sensibilitas pada bahasa, makna, rasa, dan segala dinamika di antaranya. Dengan kata lain, salah satu fungsi terbaik sastra adalah untuk melatih kecerdasan emosi, kecerdasan indrawi, dan kecerdasan kognitif—termasuk lingusitik—sekaligus.

Oleh sebab itu, alangkah baiknya kita mulai berhenti menjadikan sastra sebatas alat untuk memaksakan pikiran kita saja, apalagi bila pemaksaan itu dengan cara mengangkangi karya sastra itu sendiri. Galilah karya sastra itu sebagai sumber ilmu pengetahuan serta sumber peningkatan tiga kecerdasan tadi (apalagi untuk anak-anak), dan sudahilah tindakan-tindakan yang menjadikan sastra sebagai “semir sepatu untuk panggung fashion show” belaka, sebagaimana banyak juga dilakukan oleh orang-orang yang katanya pegiat literasi. Akhir kata, sebagai penutup, ijinkan saya meneruskan pesan berharga dari nenek-moyang kita dahulu, pesan untuk kita semua, dan saya yakin sekali Pak Miko Kamal tidak lupa: Jikok tali panciang panjang sajangka, dalam lauik usah dikiro.

Mohon maaf lahir dan batin. Wassalam.

 

Credit ilustrasi: Roby Satria

About author

Sastrawan dan Peneliti Budaya.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *