Laut dan darat tak dapat lagi didiami
Benahilah kamar di hatimu
Atau – mari diam dalam rumahku,
Bumi yang tak berumah satu.
Demikian penggalan Puisi “Rumah” karya penyair Sitor Situmorang. Saya teringat puisi lama ini, usai menonton pertunjukan koreografi Siska Aprisia: “Merantau Dalam Diri”. Sebuah perjalanan merasuk. Ke lubuk-lubuk diri. Rantau, tentu bukan kata asing buatnya. Hayatnya dilingkupi falsafah Alam Takambang Jadi Guru. Itulah kredo dan mantra manusia Minang memasuki luas semesta. Menjelajahi tanda-tanda. Mereguk makna-makna. Memetik pelajaran-pelajaran.
Sesungguhnya, datang dan pergi, mencari dan kehilangan, pisah dan temu, adalah kisah purba. Ia berlangsung sepanjang peradaban manusia. Diceritakan sejak dari dinding gua purba, batu bersurat, serat, kitab, tambo, kidung, lakon hingga di layar bergerak kiwari. Heran, kita tak kunjung bosan. Selalu ada tempat dalam diri menampung kisah-kisah itu. Dari manusia untuk manusia. Termasuk apa yang hendak dihikayatkan Siska lewat karyanya.
“Merantau Dalam Diri” adalah repertoar padat berdurasi 30 menit. Dibentangkan di panggung ArtJog, dua malam berturut-turut, 13 dan 14 Juli 2024. Ia merangkum kisah perjalanan tubuh yang jauh mencari. Ke luar dan ke dalam. Secara visual, terasa sukses sebagai pertunjukan yang mengawinkan kemegahan dan kebersahajaan. Megah, karena segala lantai dan dinding panggung pertunjukan, berulang kali disirami video mapping yang diampuh Bulqini, seniman multimedia asal Bandung. Berisi cuplikan tubuh Siska yang bergerak, berjalan, meremas-remas kertas yang membungkus kepalanya. Gigantik. Puitis. Filmis.
Bersahaja. Sebab sejatinya tanpa segala tata lampu dan teknologi itu, properti yang diusungnya adalah benda-benda lazim keseharian; bantal dan kertas. Saya kira, pengawinan kedua unsur itu merupakan sebentuk siasat. Terutama mengingat panggung tempat karya itu dipertunjukkan. Arealnya serba terbuka, luas, sebagaimana lazim panggung pertunjukan All in One. Ada terasa upaya menebalkan semiotika atas gerak dan properti yang dimainkan. Menghasilkan efek visual yang bukan main memukaunya. Semacam permainan komposisi seni rupa.
Di atas panggung, Siska tampil sendiri. Dia berputar membuat poros. Dia memeluk bantal erat, menaruhnya di lantai, berlarian mengepungnya hingga menidurinya. Bantal, benda yang telah demikian lama menemani tidur manusia. Landasan kepala sebelum kita terbang, tersangkut di mimpi-mimpi. Saksi bisu segala keluh kesah. Tempat penampungan air mata.
Lalu ada dua helai kertas putih tergantung. Siska meraihnya. Diremas, dipantas-pantaskan pada tubuhnya, lalu diremuk-remukkan hingga berhamburan. Siska seperti sedang lempar kode. Kertas, adalah medium untuk mengurai dan mengucurkan keresahan lewat kata-kata. Bisa juga ia melambangkan standar sosial yang menghantui Siska di tanah rantau. Standar yang terus menuntut dipenuhi; kesuksesan, membahagiakan orang-orang terkasih. Sebagaimana lazimnya ekspektasi setiap insan rantau. Atau, bisa juga melambangkan standar yang telah dilanggar. Protes dan perlawanan, atas kepatutan-kepatutan sosial dan kultural. Misalnya, tentang pilihan Siska untuk merantau, di tengah kemahfuman, bahwa rantau identik milik laki laki Minang. Bahwa masih ada imajinasi seorang perempuan Minang patutnya berdiam di rumah, menjaga pusaka, dst..dst. Kertas putih. Seperti takdir manusia. Minta disingkap dan dituliskan.
Sepanjang pertunjukan pada malam pertama, tata suara yang diampuh Arham Aryadi terasa dominan. Seperti memagari. Tata suaranya berusaha ilustratif.Ia seperti tidak ingin hadir sebagai latar yang memukul dan berlari pada waktunya. Demi memboboti adegan. Mungkin itu juga bentuk siasat untuk mengunci penonton dari sekian distraksi. Orang lalu lalang di. sekitar arena panggung, cas cis cus dari kafe-kafe seputaran kompleks Jogja National Museum. Sesekali ada suara bocor halus merambat di telinga penonton.
Saya tidak menonton pertunjukan pada malam kedua. Tapi beberapa kawan bilang, tata suaranya lebih peka memboboti adegan. Juga tidak selantang dan dominan pada malam pertama. Bisa jadi itu perkara teknis. Boleh jadi juga ini siasat demi memberikan dua pengalaman berbeda atas satu suguhan pertunjukan. Tapi bukankah begitu misteri seni pertunjukan? Ia bisa lain jika dimainkan di tempat dan waktu berbeda. Soal selera sih ini.
Kalau saya, paling favorit adalah bagian ketika tata suara menggabungkan suara aneh dan ngilu. Sekilas tertafsir sebagai deru roda kereta. Cericit mesin yang berpacu laju di jalan raya atau gelegar mesin jet pesawat di udara. Itu berhasil menggambarkan perjalanan yang tampak riuh padahal sepi. Sesepi benak orang-orang pergi dan tak tahu, apa kelak gerangan dijumpainya.
***
Saya mengenal Siska sekira 2021 silam. Kami ternyata bertetangga dekat di ‘Jalur Sutra’ kesenian Yogjakarta, sekitar Jeblog, Nitiprayan, Kasihan, Bantul.
“Ka,” begitu kami memanggilnya. Sebagai kawan dan sesama orang rantau, cerita turun dari rumah dan aneka kisah di kampung halaman, mau tak mau tersisip dalam senarai obrolan kami. Ini bukan pertama saya menonton karya pertunjukan Siska. Bukan pertama kali pula Siska mengangkat tema perjalanan dan perantauan. Langsung ataupun tidak.
Tapi yang ini terasa berbeza. Nyaris sulit ditemukan tanda keminangan, sebagaimana ada pada pertunjukan-pertunjukan Siska sebelumnya. Entah itu senandung, rintihan saluang, atau Parewa–kostum pendekar Minang yang terlanjur melekat pada diri Siska karena berkali-kali dia kenakan saat pertunjukan.
Saya dan kawan-kawannya di lingkaran seni rupa, yang sudah beberapa kali menyimak pertunjukannya, tentu tak bisa menghindari ekspektasi yang terlanjur terbangun. Ada kami berdiskusi sampai jauh malam, tak lama usai pertunjukan. Kami mengupas dengan cara dan semampu-mampunya kami.
Dalam karyanya kali ini, Siska seolah ingin membuat kosakata lebih luas. Dia ingin sejenak lepas dari lilitan akar tradisinya. Membicarakan proses pencarian dan penjelajahan diri dengan bahasa lebih universal. Bantal dan kertas yang dipeluk, disobek dan dijunjungnya itu, rasanya seperti bantal dan kertas milik kita semua. Personal tapi universal. Suguhan baru yang ditawarkannya, berhasil memantik diskusi panjang. Kemana-mana.
Meski begitu, bagi yang benar mengenalnya, ada terbau juga jejak Minang itu. Tipis saja. Silih berganti menguar pada gestur, mimik muka hingga cara dia merobek kertas. Kita diingatkan pada bunga-bunga Ulu Ambek, silat Minang yang lama dia pelajari dan selami. Pribadi, jejak Minang itu entah kenapa nongol pada jeda adegan, saat dia berjalan biasa di atas panggung. Tanpa ada artikulasi artistik pun, dramatik.
Ha! itulah Siska. Begitulah cara berjalannya di rantau orang. Ringan dan tegap!
Siska Aprisia, lahir di Pariaman, Sumatera Barat, 1992, menempuh studi tari di fakultas seni pertunjukan di Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Dilanjutkan ke jenjang Pascasarjana penciptaan tari di Institusi yang sama. Dia melakukan riset artistik silat Ulu Ambek. Mula-mula dia tertarik karena selama ini silat tanpa bersentuhan fisik itu, identik dimainkan laki-laki. Bak cerita di komik -komik, dia pun mencari guru di pelosok Pariaman dan belajar.
Pada Tuo Silek (tetua silat) Andah, sang guru, dia memetik banyak hal. Kesiagaan, waspada sekaligus mawas dengan siapa kita berhadapan. Bagaimana cara menghadapinya. Ulu Ambek jadi guru penuntun perjalanannya.
Tak lama setelah lulus pada 2016, dia memutuskan merantau. Pada orang tuanya, dia hanya pamit untuk sebuah pekerjaan sesaat, berkaitan dengan tari dan pertunjukan. Mula-mula Bandung, lalu Jakarta. Sendiri. Di rantau orang berbulan-bulan dan tak kunjung pulang, tentu bikin Amak dan Apaknya khawatir. Berkali kali mereka minta anak gadisnya, si bungsu dari 6 bersaudara itu, pulang ke ranah. Kampung halaman.
”Menikahlah kamu” begitu pesan amaknya. Siska patuh. Pulang dan menikah.
Tapi selang sebulan setelah itu, dia bersepakat bersama Alfi, suaminya, untuk sekali lagi merantau. Menumpang bis dan kereta dengan bekal seadanya, tibalah mereka di Yogyakarta, 2019. Alfi melanjutkan pekerjaannya sebagai jurnalis. Siska meraba-raba Yogyakarta.
“Temanku banyak di Yogya,” begitu Siska meyakinkan orang tuanya saat pamit. Baru tiga bulan di sana, Siska terbang ke Prancis. Residensi. Persulihan fisik dan psikis yang demikian cepat, tentu meninggalkan jejak dan dampak baginya. Setelah itu Siska mengalir dan mengembara ke mana-mana. Tak hanya menari. Dia merambah teater hingga seni rupa. Dia membuat tafsir atas karya perupa Gusmen Heriadi dan Iwan Yusuf menjadi tawaran pertunjukan. Dia tidak hanya sekadar berkolaborasi dengan banyak seniman antar matra, tapi juga bernegosiasi. Berasimilasi. Luwes saja. Khas orang rantau.
Pada pertunjukan kali ini, Siska tak lagi terang menjadikan unsur silat Ulu Ambek sebagai kosakata utama keminangannya. Dia menjumput sarinya. Diam-diam membubuhinya dalam kisah perjalanan tubuhnya. Akhirnya, “Merantau Dalam Diri” adalah bahasa laut dalam tentang hakikat orang rantau. Apa pun suku bangsanya. Bahwa mengenal dan menjelajahi isi bumi, sejatinya adalah perlawatan melampaui diri sendiri. Penonton, dipersilahkan menyelam di masing-masing sunyi. (*)
Editor: Randi Reimena
Foto: Adit & Team