Sejarah Nasional Indonesia (versi Orde Baru) penuh dengan epos—cerita tentang setan melawan malaikat. Contohnya, dengan menempatkan PKI sebagai setan dan Militerisme Orde Baru sebagai malaikat, Orde Baru melegitimasi diri dan kekuasaannya sebagai pahlawan, penyelamat Indonesia dari ancaman PKI. Pembantaian terhadap ratusan ribu manusia yang dituduh sebagai komunis oleh militer dan para militer sampai hari ini tidak pernah diusut. Pembubaran kegiatan intelektual seperti diskusi dan pustaka jalanan, pelarangan pertunjukan monolog dan festival, sampai perampasan buku masih terjadi hingga hari ini. Semua pola pikir dan tindakan bar-bar itu menggunakan narasi sejarah setan-malaikat tadi sebagai legitimasi. Rasialisme dan diskriminasi juga memiliki hubungan dengan narasi sejarah setan-malaikat di mana sejarah hanya digambarkan sebagai panggung bagi ekesistensi dan heroisme warna kulit tertentu. Itu hanyalah sedikit gambaran berbahayanya narasi sejarah setan-malaikat.
Selain berbahaya bagi kehidupan hari ini maupun bagi masa depan, narasi sejarah setan-malaikat adalah sesuatu yang cacat secara metodologi: ia akan selalu berakhir sebagai sejarah dengan penjelasan monokausal yang kelewat menyederhanakan persoalan. Walau begitu narasi semacam itu laku keras di pasaran. Jangankan orang awan, para akademisi di bidang sejarah pun tak jarang yang ikut serta melestarikannya. Dan ia tidak hanya ada dalam penulisan sejarah nasional, namun juga dengan mudah dapat ditemukan dalam apa yang bisa disebut sebagai sejarah lokal. Dalam penulisan sejarah Perang Paderi, misalnya.
Dua Model Historiografi Perang Paderi
Penulisan sejarah Perang Paderi, terutama yang dikemas secara populer, juga penuh sesak dengan narasi setan-malaikat ini. Hanya saja dalam penulisan sejarah macam ini siapa yang berperan sebagai setan dan siapa yang digambarkan sebagai malaikat dalam menulis sejarah Perang Paderi, tergantung pada ‘keimanan’ si penulis. Keimanan itu tentu saja berkaitan dengan kondisi terkini. Seorang yang punya aspirasi pluralisme agama cenderung curiga pada sejarah gerakan Paderi terlebih jika ia merasa fundamentalisme Islam kian mengancam, demikian juga sebaliknya. Singkatnya, dalam kasus penulisan sejarah Perang Paderi terdapat dua model: 1) kaum Paderi sebagai setan dan 2) kaum Paderi sebagai malaikat.
Model pertama dapat diwakili oleh tulisan berjudul Perang Paderi, Imbas Dakwah Kaku Sekte Wahabi di Sumatera. Dalam tulisan tersebut, Perang Paderi dikatakan dipicu oleh “gerakan dakwah kaku dari tiga orang Haji asal Minang yang terpengaruh ajaran wahabi” yang, “tanpa tedeng aling-aling […] menghantam amalan orang-orang di wilayah Kesultanan Pagaruyung”. Dalam tulisan ini, secara implisit Perang Paderi digambarkan sebagai akibat beberapa orang naif yang berdarah panas serta keras kepala. Itu saja. Tidak lebih tidak kurang. Narasi kaum Paderi sebagai setan ini adalah gaung dari pensetanan (demonisasi) kaum Paderi yang pernah dilakukan oleh Parlindungan lewat bukunya Tuanku Rao (2007) yang mashyur itu, meski dalam tampilan mutakhirnya, seperti tulisan di atas, gambaran tentang kaum Paderi sudah tidak demikian brutal.
Pensetanan macam itu kemudian ditanggapi oleh Hamka lewat bukunya Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao yang terbit pada 1971. Hamka melihat bahwa demi upaya pensetanan itu Parlindungan jatuh dalam anakronisme. Ia membantah klaim-klaim Parlindungan dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan fatal Parlindungan saat mencocok-cocokkan urutan peristiwa dalam bukunya. Bantahan Hamka inilah yang sepertinya mengilhami model kedua penulisan sejarah Perang Paderi.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, sangat berbeda dengan Hamka sendiri, reaksi atas pensetanan kaum Paderi berubah menjadi pemalaikatan kaum Paderi. Gambaran kaum Paderi sebagai setan, secara sekonyong-konyong dibalik menjadi malaikat. (Gejala ini serupa dengan pembalikan historiografi Indonesia, saat para ‘sejarawan’ generasi awal Indonesia membalikkan secara mentah-mentah historiografi bikinan kolonial. Dalam pembalikan itu, gerakan Paderi yang digambarkan Belanda sebagai gerakan para pengacau dibalik menjadi gerakan para pahlawan. Inilah embrio penulisan sejarah resmi Indonesia).
Model kedua dapat diwakili oleh artikel Muhammad Nasir yang berjudul Perang Candu di Minangkabau yang memiliki tendensi semacam itu. Perang Paderi dalam artikel itu dilihat sebagai perang yang awalnya disebabkan oleh “…niat pemimpin Paderi agar rakyat hidup menurut ajaran agama yang sebenarnya. Agar terbebas dari kebiasaan yang tidak baik seperti berjudi, sabung ayam, dan menghisap barang haram, candu atau opium yang dijual Belanda itu”. Mengamini narasi sejarah resmi, penulisnya mencatat “Perang Paderi dalam kebanyakan buku teks sejarah nasional ditulis sebagai perang kaum agama menentang kebiasaan perjudian, sabung ayam, menghisap candu/madat, minuman keras, tembakau sirih, dan persoalan adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran islam.” Di sini, Perang Paderi dimaknai sebagai perang antara si malaikat yaitu kaum Paderi pemberantas maksiat candu melawan Belanda si setan penjual candu bersama kaum adat yang masih jahilyah.
Kecacatan Metodologi
Meski kelihatan berdiri di dua kutub berbeda, dua model penulisan sejarah tersebut pada dasarnya sama saja. Penjelasan sejarahnya adalah penjelasan monokausal yang terlalu melebih-lebihkan agensi. Terlalu melebih-lebihkan agensi di sini maksudnya ialah menempatkan manusia dengan moralitasnya sebagai faktor ultima penggerak sejarah. Dinamika sejarah, dalam dua model tersebut, selalu didasarkan pada moralitas manusia. Apa yang kemudian diabaikan dua model tersebut adalah adanya lingkungan sosial dan ekonomi yang ikut membentuk moralitas serta mempengaruhi tindakan-tindakan aktor sejarah (dalam hal ini para elite kaum Paderi).
Jika kita betul-betul mempelajari karya Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 17784-18847 yang terkenal itu, bukan sekadar membacanya untuk mengambil data-data mentah saja, maka kita akan melihat bahwa asal-usul serta jalannya Perang Paderi adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks. Ia bukan sebatas kisah tentang kebaikan melawan kejahatan, ia juga bukan sekadar panggung pertempuran si setan dan si malaikat. Lebih dari itu, Dobbin melihat gerakan Paderi sebagai bagian dari kebangkitan Islam yang, ini sangat penting untuk dicatat, ditempatkannya “pada konteks sosial dan ekonomi”[1]. Konteks sosial dan ekonomi itu pun tidak dipisahkannya begitu saja dari konteks geografis, suatu pendekatan yang dalam ilmu sejarah dikenal sebagai geografi kesejarahan.
Itulah kenapa Dobbin memulai bukunya dengan pembahasan mengenai dasar-dasar geografis kebudayaan Sumatera Tengah—bukan dimulai dengan kisah kepulangan tiga orang pahlawan dari rantau untuk memberantas kemaksiatan yang merajalela di kampung. Dari sana, ia memperlihatkan bagaimana saling pengaruh antara topografi suatu wilayah, dinamika ekonomi, dan perubahan sosial yang menjadi latar sekaligus memicu Perang Paderi. Dobbin tidak membiarkan dimensi moralitas seperti ‘niat baik memberantas kemungkaran’ menjadi Tuhan yang memulai serta menentukan gerak sejarah dalam sejarah Perang Paderi sebagaimana lazimnya narasi sejarah setan-malaikat.
Sacara kasar, dalam bukunya, Dobbin membagi dataran tinggi Minangkabau ke dalam dua tipe “desa”. “Desa dataran” yang ditopang pertanian sawah basah dan kaya dengan mineral (emas) serta “desa bukit” yang cocok untuk budidaya tanaman ekspor seperti kopi. Di luar dataran tinggi, terdapat dua wilayah ekologi utama yaitu Pantai Barat dan Pantai Timur yang tumbuh sebagai bandar dagang. Tiap wilayah, karena faktor-faktor geografisnya masing-masing, memiliki pola perdagangan, organisasi sosial, serta sistem budaya yang berbeda. Desa daratan menyediakan segala sumber daya bagi berkembangnya sistem ‘kebangsawanan’, sementara desa-desa bukit merupakan desa nomor dua. Sejak akhir abad 18 terjadi gejolak ekonomi di wilayah-wilayah ini yang kemudian memicu perubahan dalam masyarakat Minangkabau.
Ekonomi domestik di dataran tinggi merosot seiring merosotnya perdagangan emas. Desa-desa dataran dengan para bangsawannya mulai kehilangan kekuatan. Seiring dengan itu, di luar dataran tinggi, di bandar-bandar dagang, terjadi perubahan pola-pola perdagangan. Permintaan atas komoditi seperti kopi dan akasia dari Bandar-bandar dagang sebagai akibat bergairahnya ekonomi global makin meningkat. Gejolak ini telah memunculkan kekuatan baru dalam masyarakat dataran tinggi. Desa-desa perbukitan, yang karena topografinya tidak memungkinkan untuk membangun organisasi sosial yang kompleks sebagaimana desa dataran dengan pertanian sawah basahnya, kini menjadi makmur dan kuat berkat budidaya kopi. Mereka menjadi ‘ancaman’ bagi desa-desa dataran.
Desa-desa di mana Paderi mula-mula berkembang di dataran tinggi merupakan desa-desa perbukitan. Mereka menjadi cukup makmur untuk mengirim putra-putra mereka ke Mekah. Dengan begitu, terbuka pula kesempatan untuk bersentuhan dengan pandangan keagamaan yang segar. Tiga Haji yang pulang dari Mekah pada 1803, adalah bagian dari perkembangan ekonomi ini. Ekonomi desa-desa ini menjadi kuat dan warganya kini menganggap diri lebih unggul secara moral dan ekonomi dibanding desa-desa dataran.
Munculnya kekuatan baru dalam masyarakat Minangkabau, memaksa para bangsawan untuk mendatangkan kekuatan dari luar sebagai pengimbang. Perjanjian-perjanjian antara orang orang Minang baik dari kalangan bangsawan mau pun kaum Paderi dengan pihak luar seperti Inggris dan Belanda “menunjukkan masalah yang dihadapi orang Minangkabau akibat pergolakan kehidupan ekonomi Minangkabau. Pergolakan ekonomi ini disebabkan perubahan-perubahan pola perdagangan di luar dataran tinggi”[2].
Di atas latar geografis, gejolak ekonomi, dan dinamika sosial itulah sejenis moralitas baru tumbuh di dataran tinggi Minangkabau. Faktor-faktor yang saling-pengaruh itulah yang mempersiapkan kondisi bagi lahirnya Perang Paderi.
Pembingkaian dan Penyempitan Sudut Pandang
Dalam Islam candu tergolong barang haram, ia berasosiasi dengan maksiat. Memerangi sesuatu yang merusak dan haram adalah amal saleh. Dalam konteks inilah alasan di balik penekanan faktor candu dalam penulisan sejarah Perang Paderi tidak bisa dilihat sebatas sebagai sesuatu yang ‘menarik untuk ditulis’. Lebih dari itu, penekanan macam ini ialah suatu upaya untuk memposisikan satu pihak sebagai malaikat pembasmi maksiat dan pihak lain sebagai setan yang mengambil keuntungan dari perbuatan maksiat.
Upaya pemalaikatan itu membuat keseluruhan Perang Paderi terbingkai sedemikian rupa agar terlihat sebagai perang candu—rangkaian persitiwa dalam kurun waktu antara 1818-1838 seolah-olah menjadi semata-mata perang terhadap maksiat, terhadap candu. Padahal kenyataannya berbeda.
Kaum Paderi memang menantang maksiat seperti peredaran candu. Ini fakta. Tapi itu hanya separuh cerita. Perang terbuka antara kaum Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol dengan tentara Belanda, yang sering dipahami sebagai puncak Perang Paderi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan upaya memerangi maksiat. Apa yang Tuanku Imam tentang adalah monopoli dagang. Dalam memoarnya, Naskah Tuanku Imam Bonjol yang dialih-tuliskan oleh Sjafnir Aboe Nain (2008), Tuanku Imam sendiri mengatakan demikian. Penyerbuan Aia Bangih pada 1931, sebuah bandar dagang penting di Pantai Barat, diakibatkan pelarangan transaksi oleh Belanda. Dengan menutup bandar tersebut, Belanda berharap bisa memaksa orang-orang Paderi mengalihkan aktivitas niaganya ke Bandar Padang yang sepenuhnya berada di Bawah kontrol Belanda. Paderi dari Bonjol, bersama mitra dagangnya dari Aceh, menggempur Air Bangih karena alasan tersebut.
Sedikit berbeda dengan ‘niat baik’ memberantas maksiat yang hanya disinggung sekali lalu di bagian awal memoarnya, Tuanku Imam menunjukkan kekesalannya terhadap upaya monopoli dagang oleh Belanda itu sebanyak dua kali:
“Dengan seboleh-bolehnya permintaan kami pada Tuanku Imam hendaklah kita perangi gadung air bangis. Katanya surat Tuanku Bujang di Aceh. Supaya boleh kita berniaga” (Naskah Tuanku Imam Bojol, hal 30)
“…maka tibalah surat dari Bagindo Marah Husin dari Natal. Katanya dalam surat ‘Kumendur laut sudah berganti dengan Kompeni’. Itulah kata dalam surat Marah Husin. ‘Hendaklah kita perangi gedung Natal itu, sebab perintahnyo sudah sangat tidak boleh berniago lagi’.” (Naskah Tunaku Imam Bonjol, hal 33)
Upaya pemalaikatan Kaum Paderi akan mengakibatkan penyempitan sudut pandang. Membenamkan hal lainnya sambil mengapung-ngapungkan hal tertentu, mengabaikan faktor sosial dan ekonomi sambil menonjol-nonjolkan dimensi moral. Saat melakukan interpretasi atas perundingan Kaum Paderi dengan Belanda, misalnya. Orang hanya akan melihat faktor candu dalam Perundingan Masang 1924 atau Perundingan Padang 1925. Perundingan-perundingan itu digambarkan seolah-olah hanya menyangkut urusan candu, urusan memberantas maksiat. Pihak Paderi memang mengusulkan pelarangan candu, namun, lagi-lagi itu hanya separuh cerita.
“Pihak Paderi justru hanya meminta bantuan Belanda untuk secara bertahap melarang menghisap candu…” tulis Nasir dalam artiktelnya. Padahal, urusan candu hanya sebagian dari tuntutan Kaum Paderi. Pihak Paderi tidak hanya, sekali lagi, tidak hanya meminta bantuan Belanda untuk mengatasi peredaran candu. Kenyataannya, perundingan-perundingan itu terutama membahas soal-soal perniagaan.
Dari 16 poin dalam perundingan yang disetujui kedua belah pihak, 8 di antaranya ialah soal perdagangan. 8 poin lainnya berisi kesepakatan untuk menciptakan semacam tertib sosial. Kondisi yang aman, tentu saja dimaksudkan untuk menyokong lancarnya kegiatan ekonomi. Perjanjian Padang setahun setelahnya, juga menekankan hal yang sama[3]. Artinya, selain mengindikasikan adanya pergolakan ekonomi di Minangkabau sebagaimana dikatakan Dobbin, bagi kaum Paderi perundingan-perundingan ini adalah jaminan bagi prospek dagang mereka. Kita harus ingat bahwa banyak dari Tuanku-Tuanku yang terkenal adalah pedagang. Tuanku Imam Bonjol sendiri adalah saudagar.
Ilmu Sejarah untuk Kemaslahatan
Saya mungkin disangka terlalu berlebihan menanggapi satu artikel sejarah yang dikemas secara populer dengan sebegininya. Justru karena ia dikemas secara populer-lah ia patut diperhitungkan. Tulisan macam itu jelas ditujukan untuk orang kebanyakan, dengan medium yang populer dan berjangkauan luas. Jumlahnya tidak sedikit. Tidak hanya Nasir yang menulis dengan pemahaman demikian. Tulisan ini atau ini adalah contoh lainnya. Gejala di permukaan macam ini pastilah indikasi atas bobroknya alas bakul dunia sejarah di Sumatera Barat.
Jika upaya pemalaikatan itu dianggap sebagai upaya merehabilitasi posisi kaum Paderi yang selama ini kerap disetankan, maka ia adalah semacam ghirah yang kontraproduktif. Posisi kaum Paderi dalam sejarah Perang Paderi mesti ditempatkan secara proporsional dalam konteksnya. Penulisan sejarah Perang Paderi mesti dilandasi dengan analisa sosial dan ekonomi. Selain itu, secara aksiologis, jika terus-terusan begini bukannya mendatangkan maslahat, ilmu sejarah malah membawa mudharat. Pemalaikatan kaum Paderi hanya akan mendorong timbulnya benih-benih pemujaan terhadap kekerasan. Ia juga sangat rentan menjadi legitimasi bagi kelompok yang mengedepankan kekerasan sebagai solusi bagi banyak masalah maksiat yang sebetulnya berakar pada persoalan sosial dan ekonomi. Sebaliknya, pensetanan kaum Paderi hanya akan meneguhkan kebencian buta tehadap kelompok keagamaan yang dianggap fanatik. Padahal fanatisme tidak hanya dan tidak selalu berkaitan dengan agama tertentu. (*)
Ilusitrasi oleh: Amalia Putri.
Catatan Kaki:
[1] Chritine Dobbin: 2008, vii.
[2] Christine Dobbin, 2008: 19.
[3] Untuk lebih detailnya, lihat lampiran Perundingan Masang dan Perundingan Padang dalam Muhammad Radjab, Perang Paderi,1964.
Rujukan:
Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 17784-18847. Komunitas Bambu: Jakarta, 2008.
Hamka. Antara Khayal dan Fakta Tuanku Rao. Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, 2008.
Nain, Sjafnir Aboe. Naskah Tuanku Imam Bonjol, Revisi dan Beranotasi. Sentra Budaya: Padang, 2008.
Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao. LKIS: Yogyakarta, 2007.
Radjab, Muhammad. Perang Paderi. PN Balai Pustaka: Djakarta, 1964.