Permasalahan kekerasan seksual bagai bola api yang menggelinding tiada henti. Deretan kisah yang sampai saat ini masih tersimpan di beberapa orang saja, maupun berita yang berhasil diangkat ke media massa, memunculkan satu pertanyaan, apakah ruang aman itu benar ada?
Akhir tahun lalu. Sumatera Barat menjadi bintang utama dalam kasus kekerasan seksual. Di kota Padang, masyarakat dibuat gempar pasca beredarnya berita mengenai kasus kekerasan seksual terhadap 2 bocah perempuan di bawah umur.
Lebih buruknya lagi, pelaku kasus kekerasan seksual tersebut tak lain adalah keluarga korban sendiri. Para pelaku adalah kakek, kakak, dan paman korban. Kasus tersebut terbongkar karena korban yang tengah bermain di rumah tetangganya menyatakan ketakutannya untuk pulang ke rumah.
Setelah dilakukan visum terhadap dua korban, mereka diketahui mengalami trauma dan kerusakan pada alat vital. Tak lama setelah terungkapnya kasus itu, dua orang korban tersebut berada dalam pendampingan untuk pemulihan trauma psikologis oleh instansi terkait.
***
Ketika menyoal kekerasan seksual, saya teringat akan sebuah karya yang saya baca akhir tahun lalu. Sebuah cerita pendek dalam buku karya Laksmi Pamuntjak, berjudul Kitab Kawin. Bagi saya pengalaman membaca karya sastra tersebut adalah sebuah pengalaman duka. Saat sedang asik membaca kisahnya, saya terhenti cukup lama pada sepenggal narasi dari tokoh utama bernama Maya.
“Tapi Maya tak melihat dunia melalui roda warna ataupun tabel kimia. Ia juga tak menyadari bahwa biru serupa bisa ular yang menyebar pelan-pelan, seperti seorang ayah yang memperkosa anaknya berali-kali, bertahun-tahun, dan membutakan semua orang yang hidup di bawah atap yang sama”. (hal 24)
Saya sebagai pembaca, merasa begitu dekat dengan kisah Maya. Setelah selesai membaca karya sastra tersebut—meski bukan sebagai korban sebagaimana Maya yang menjadi sasaran perbuatan bejat tersebut—saya melihat bahwa kekerasan seksual masih saja menggelinding. Bagai bola api, ia membakar apa saja yang dilaluinya, bahkan tempat yang harusnya paling aman, yaitu rumah.
Benar adanya, sebagaimana dikatakan oleh Plato bahwa karya sastra adalah mimesis, artinya karya sastra adalah cerminan dari kehidupan. Saya jadi bisa merasakan apa yang dirasakan dua korban kasus kekerasan seksual di atas ketika membaca kisah Maya.
Bisa saja pembaca merasa bahwa Maya adalah pembaca itu sendiri versi dunia nyata. Sebagaimana rumah yang idealnya menjadi tempat yang memberikan kenyamanan dan rasa aman kepada penghuninya, bagi korban, sebagaimana dua orang bocah belia dari Padang dan juga Maya dalam cerita fiksi, rumah justru menyuguhkan hal yang sungguh bertolak belakang. Baik secara fakta maupun fiksi, keduanya ironi.
***
Banyak yang bertanya, kenapa kekerasan seksual bisa terjadi? Sebagian orang begitu terburu-buru mengaitkanya dengan cara berpakaian, misalnya. Jika perspektif itu didasari akan ajaran agama islam yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia, begitupun Sumbar, bumi Minangkabau yang terkenal begitu menjunjung tinggi nilai adat dan agama, maka cara korban berpakainnlah yang tampak.
Akan tetapi, ada hal yang harus segera diluruskan bahwa permasalahan kekerasan seksual tidak bisa hanya dikaitkan dengan cara berpakaian korban. Saya ingin mengatakan bahwa tidak semua sebab itu berada pada diri korban. Pandangan tersebut tak bisa sepenuhnya dapat dibenarkan, yang ada justru makin menyudutkan korban, seakan pelaku tidak mengemban tanggungjawab atas sebab-sebab kelakuan bejatnya.
Dengan adanya fakta bahwa korban yang menjadi sasaran pelaku tak pandang bulu dan berada di usia yang sangat belia, apakah kita masih bisa membebankan sebab kekerasan seksual itu pada si korban?
Kita harusnya tidak mempersalahkan korban dengan pandangan yang menjurus pada sikap menyudutkan. Pandangan yang demikian, justru tanpa sadar memberikan hukuman moral dengan porsi yang lebih sedikit kepada pelaku kekerasan seksual.
Dari kasus lain di Jakarta Utara, kita bisa tahu bahwa perkosaan tidak disebabkan kesalahan korban. Seorang ayah di Jakarta Utara memperkosa anaknya yang berusia 16 tahun itu hampir setiap hari. Hal tersebut dilakukan sebab sang istri jarang berada di rumah, karena bekerja sebagai buruh pabrik. Setelah ditangkap Polres Metro Jakarta Utara, tersangka Jamaludin, dengan entengnya mengaku khilaf dan melakukan aksinya hingga satu tahun.
Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pakaian korban, perkosaan terjadi bukan karena salah si anak. Kita bisa menyebut banyak kasus dimana para korban tidak ‘memancing’ orang agar diperkosa, namun yang tak kalah penting ialah nasib para penyintas perkosaan tersebut. Kini kita tidak begitu tahu nasib si anak. Bagiamana masa depannya, bagaimana pendidikannya, dan seterusnya.
***
Melihat fenomena kekerasan seksual yang semakin tak terkendali, maka sudah saatnya masyarakat lebih melek lagi terhadap problem ini. Tidak hanya sekedar simpati, korban harusnya mendapatkan keadilan dan memeroleh hak-haknya secara layak.
Kedua hal tersebut barang tentu harus didasarkan atas aturan hukum yang jelas. Sejauh ini perangkat perundangan yang ada belum menyentuh persoalan hak para korban. Maka kehadiran Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) bisa dianggap sebagai payung yang melindungi korban kekerasan seksual. RUU TPKS merupakan bentuk lain dari RUU PKS yang tak kunjung disahkan sebab masih belum berterima di masyarakat. Rancangan Undang-Undang itu masih sarat akan pro dan kontra. Di Sumatera barat pun terdapat banyak pihak yang menolak adanya RUU ini karena ketakutan akan lunturnya nilai budaya dan agama di ranah Minang.
Saya jadi bertanya, nilai budaya mana yang luntur? Apakah nilai-nilai yang luhur itu dapat melindungi dua anak yang diperkosa tadi? Apakah nilai-nilai yang luhur itu dapat menjamin masa depan anak-anak itu, dan korban kekerasan seksual lainnya?
Dalam Draf RUU TPKS yang diutamakan itu adalah hak-hak korban kekerasan seksual. Itu diatur dalam Bab V draf RUU tersebut. Mulai dari hak korban, keluarga korban, dan saksi, semuanya dianggap penting dan harus dipenuhi. Salah satu hak yang menjadi dasar atas perlindungan korban terdapat pada Pasal 46 ayat (2) yang berbunyi “Pelaksanaan Perlindungan Saksi dan Korban diselenggarakan sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang perlidungan saksi dan korban, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini.”
Lebih lanjut diatur pada Pasal 47 pada bab yang sama, berbunyi ”Setiap korban berhak atas penaganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, baik dalam proses peradilan maupun proses penanganan di lembaga non peradilan.”
Regulasi yang demikian jelas diperlukan dan dibutuhkan oleh penyintas kekerasan seksual. Undang-undang yang selama ini digunakan untuk kasus kekerasan seksual tidak mengatur hak korban secara khusus. Peristiwa kekerasan seksual barang tentu membuat korban berada dalam pusaran trauma yang membuat keterbutuhan korban akan perlindungan dan hak pasca terjadinya kekerasan seksual. Tak hanya membawa korban pada luka yang berlapis-lapis, kejadian yang menimpa korban juga akan bermuara pada hadirnya sebuah memori kelam dalam hidupnya. Ketika rumah sudah tidak aman, ketika budaya dan perangkat hukum yang ada mengabaikan hak para penyintas, saat itu UU TPKS dibutuhkan. (*)
Rujukan:
Kompas.com. Begini Hak-hak Korban Kekerasan Seksual yang Diatur dalam Draf RUU TPK.
KOMPASTV. Kekerasan Seksual, 2 Bocah Perempuan Diperksa Kakek, Kakak, dan Paman. Diunduh 27 Januari 2022.
Pamuntjak, L. 2021. Kitab Kawin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Republika.co.id. Menelisik Dua Bocah Korban Kekerasan Seksual di Kota Padang. Diunduh pada 4 Februari 2022.
Trbunnews (YouTube). Kasus Pemerkosaan Sekeluarga di Padang, Ibu Korban Pilih Bungkam. Diunduh 28 Januari 2022.
Editor: Setia Subakti
Ilustrasi: @teawithami