Pasal karet dalam UU ITE kembali menjerat korban. Kali ini yang tersandung masalah tersebut adalah Sudarto, Direktur Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA). Ia dilaporkan atas status di akun facebook pribadinya yang mengomentari isu kebebasan beragama di Kabupaten Dhamasraya. Pelapor menganggap bahwa apa yang disampaikan oleh Sudarto pada statusnya tersebut keliru dan dapat menyebabkan permasalahan dalam masyarakat.
Dianggap telah terdapat alat bukti yang cukup serta memenuhi unsur sebuah tindak pidana, akhirnya Sudarto ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Barat. Namun tulisan ini tidak akan secara kronologis dan analitis menguliti pangkal mula persoalan di Kabupaten Dhamasraya tersebut secara rinci. Tetapi saya akan coba mengomentari permasalahan dan dampak berlarut-larut yang ditimbulkan oleh pasal-pasal karet pada UU ITE. Karena regulasi tersebut bukan baru kali ini saja memakan korban.
Masih ingat dengan sosok Baiq Nuril? Perempuan yang dahulunya bekerja sebagai Pegawai Tata Usaha SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat dan mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh Kepala Sekolah tempat ia bekerja pada saat itu. Namun sebagai korban kekerasan seksual, Baiq Nuril malah divonis Enam Bulan Penjara dan Denda Lima Ratus Juta Rupiah karena dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kasus tersebut bermula pada saat beredarnya rekaman yang diambil oleh Baiq Nuril ketika Muslimin mengajaknya untuk berhubungan seksual serta menceritakan hubungan seksualnya dengan perempuan lain yang bukan istrinya melalui telepon genggam. Rekaman yang beredar tersebut mengakibatkan dicabutnya jabatan Muslimin sebagai kepala sekolah. Merasa tidak terima, akhirnya Muslimin melaporkan kasus tersebut dengan dalil ketentuan yang terdapat dalam UU ITE. Mahkamah Agung kemudian menyatakan bahwa Baiq Nuril bersalah atas pelanggaran UU ITE. Langkah panjang advokasi dan massifnya tekanan publik, membuat Presiden Joko Widodo memberikan amnesti untuk Baiq Nuril sehingga semua akibat hukum pidana yang didapatnya dihapuskan.
Pasal karet dalam UU ITE telah terbukti tidak hanya beberapa kali menjerat individu yang keliru namun juga menjadi penghambat kebebasan menyampaikan pendapat. Seperti yang dialami oleh Sudarto, terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan, harus dipahami bahwa dia adalah korban dari multitafsir ketentuan yang terdapat dalam UU ITE. Peristiwa tersebut tak terlepas dari insitusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) yang memandang ketentuan dalam undang-undang tersebut dengan kacamata kuda.
Sebagai sebuah negara yang telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, harusnya Indonesia dapat mengimplementasikannya dalam sebuah regulasi yang melindungi hak setiap warga negara. Karena ketentuan yang terdapat pada Pasal 19 ICCPR telah mengatur dan menjamin hak bagi setiap orang untuk berpendapat, mencakup hak kebebasan mencari, menerima, memberikan informasi, dan pemikiran apapun. Baik disampaikan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
Harus dilakukan evaluasi secara paripurna terhadap pasal-pasal yang mengancam kebebesan berpendapat dalam UU ITE. Apabila regulasi bermasalah tersebut masih diterapkan, maka tidak menutup kemungkinan UU ITE dijadikan sebagai alat yang untuk mengancam serta mengekang kebebasan individu dan demokrasi.
Salah satu variabel pengancam demokrasi pada sebuah negara adalah pembatasan terhadap kebebasan sipil, termasuk dengan cara mengekang media. Apabila pemerintah memberlakukan sebuah produk undang-undang yang digunakan untuk membatasi hak-hak individu dalam menyampaikan pendapat, maka demokrasi di negara tersebut sedang berada di ujung tanduk (Steven dan Daniel, 2019).
Penerapan sanksi pidana sebagai hukuman pamungkas atau terakhir (ultimum remedium) dalam upaya penegakan hukum harus dikembalikan pada kodratnya. Seperti pada ketentuan-ketentuan keliru yang terdapat pada UU ITE. Upaya penegakan hukum atas pelanggaran dalam UU ITE dapat dilakukan tanpa harus melewati jalan peradilan. Peradilan bukan satu-satunya jalan, masih ada jalan lain yang dapat ditempuh seperti dengan menggunakan mediasi.
Penyelesaian masalah akibat terlanggarnya ketentuan dalam UU ITE dapat dilakukan dengan mempertemukan kedua belah pihak. Pada pertemuan tersebut harus terdapat satu orang yang berperan sebagai mediator—bisa berasal dari pihak kepolisian—yang bertanggung jawab untuk menengahi pelapor dan terlapor. Akhir dari mediasi tersebut dapat berbuah pemahaman dan pencabutan laporan kepolisian oleh terlapor, atau apabila ditemukan pelanggaran terhadap UU ITE, maka terlapor dapat membuat sebuah klarafikasi dan permintaan maaf atas permasalahan tersebut.
Proses mediasi yang dilanjutkan dengan pembangunan pemahaman bersama antara pemohon dan termohon dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah. Sehingga sanksi pidana dapat dihindari dalam menyelesaikan pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU ITE.
Demi mencapai hal tersebut, perlu dilakukan kerja-kerja bersama antar pemangku kepentingan. Pemerintah, bersama DPR yang memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, harus mampu melakukan revisi dan pencabutan terhadap pasal karet yang bermasalah dalam UU ITE. Kemudian dapat mempertimbangkan jalur mediasi sebagai langkah non-litigasi ketimbang secara serampangan menerapkan sanksi pidana melalui pengadilan. Apabila ketentuan ini dapat dilaksanakan, maka kepolisian dan penegak hukum lainnya memiliki alternatif lain dalam menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh UU ITE.
Harus diingat bahwa UU ITE merupakan tonggak sejarah berkembangnya cyber law di Indonesia. Pada dasarnya undang-undang tersebut memiliki fungsi melindungi kepentingan masyarakat yang berkaitan dengan distribusi informasi dan transaksi elektronik. Jangan sampai regulasi yang harusnya menjadi pelindung hak tersebut malah menjelma menjadi alat pelanggar HAM.
Dinamika dalam pelaksanaan UU ITE dapat dijadikan sebagai refleksi terhadap penerapan demokrasi di Indonesia. Berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh UU ITE yang seringkali menciderai kebebasan berpendapat. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan dan pencabutan beberapa ketentuan bermasalah dalam undang-undang tersebut. Karena apabila telah muncul ketakutan pada saat akan mengunkapkan sesuatu, maka pada saat itulah demokrasi menuju kematian.
Editor: Randi Reimena
Ilustrator: Talia Sartika Bara