Dt Ahmad Simaradjo menguhunuskan kerisnya sambil berpidato di depan ribuan orang yang berkumpul di Kantor Residen (Shu) Jepang Bukittinggi dalam sebuah rapat akbar. Terhunusnya Keris Datuk yang sakral itu terjadi pada 10 Oktober 1943.
Beberapa saat sebelumnya, pada rapat akbar yang sama, seorang perwira Jepang berpidato dengan gaya yang serupa. Sambil menghunuskan katana di tangan kirinya, dia berkata “kalau tuan-tuan memegang Quran di tangan kanan, peganglah pedang ini di tangan kiri. Pedang di tangan kiri inilah untuk dihunuskan buat membasmi musuh”.
Persitiwa dalam rapat akbar tersebut dilansir oleh koran Kita Sumatora Simbun, 19 Oktober 1943 seperti ditulis Zed (2005:6). Koran ini adalah salah satu koran yang diberi izin terbit di Medan oleh Jepang. Sementara koran propaganda Jepang di Padang, Padang Nippo, tampaknya tidak memberitakan peristiwa bersejarah ini. Sepanjang 1943 rapat-rapat akbar semacam itu lazim digelar, mulai dari kota-kota sampai ke nagari-nagari paling pelosok. Rapat-rapat tersebut bertujuan untuk mengajak orang-orang muda agar bergabung dalam Giyugun.
Jumlah “ribuan orang” tadi, sangat mungkin hanyalah akal-akalan koran propaganda tersebut. Karena pada masa-masa itu, di kampung-kampung (nagari) kekecewaan atas janji-janji penghapusan pajak yang diberikan Jepang pada awal-awal pendudukan, yang ternyata hanya omong kosong, tengah merebak.[1] Ditambah lagi dengan tidak berminatnya orang-orang minang untuk bergabung dengan laskar-laskar bayaran semacam Heiho yang oleh mereka dianggap “rendahan” itu, serta meningkatnya jumlah setoran beras dan tenaga kerja (romusha).
Tapi yang namanya fasisme selalu punya cara untuk mengelabui orang banyak. Saat banyak orang di kampung-kampung terpaksa makan ubi beracun dan memakai pakaian dari kulit kayu, Jepang terus saja mengirim para tukang propagandanya, atau menyiarkan pidato-pidato di radio resmi. Di hadapan orang ramai yang dikumpulkan dengan berbagai alasan, mereka mengulang-ngulang slogan kosong seperti ‘Asia untuk Asia’, dan pengusiran selama-lamanya penjajah kulit putih.
***
Pemerintahan militer Jepang membawa serta gaya penguasaan yang disebut Kabuki ke wilayah pendudukannya. Kabuki ini semacam ideologi yang “sadar kerumunan”. Di kerumunan itu, upacara-upacara yang penuh pesona, kepatuhan militer, dan kekejaman di muka umum, dipanggungkan. Kerumunan adalah panggung itu sendiri. Serupa dengan sandiwara. Dan sandiwara ini, seperti dikatakan Ben Anderson (1988), adalah sandiwara besar-besaran, dengan gerakan dan tindakan-tindakan yang spektakuler. Di atas panggung-panggung tersebut, mitos-mitos lama “supremasi kulit putih” yang dibangun Belanda digantung dan diganti dengan mitos baru seperti “kejayaan Timur”, atau “berani mati”.
Jepang juga menggembleng para bumiputra dengan doktrin rela berkorban. Di Jawa, untuk mengobarkan semangat rela-berkorban-demi-tanah-air-dengan-cara-masuk-Peta (Giyugun-nya Jawa), maka disebarkanlah hoax yang sangat spektakuler: seorang pemimpin lokal telah menulis surat terbuka dengan darahnya sendiri sebagai tinta. Surat itu ditujukan pada pemimpin militer Jepang setempat agar dibikinkan sebuah laskar untuk membela tanah air.
Di Sumatera mirip-mirip pula. Demi mengajak para pemuda untuk masuk Giyugun, koran-koran propaganda Jepang menerbitkan berita-berita yang tak kalah spektakuler. Misalnya, masih mengutip Zed, seorang anak bangsawan Padang diberitakan rela membongkar tabungan demi bekal persiapan masuk Gyugun, atau 60 orang penghulu serta ratusan pemuda yang rela berjalan kaki puluhan kilo demi mendaftar masuk Giyugun. Di Aceh, Asia Raya, salah satu koran propaganda Jepang juga menurunkan berita yang dibuat-buat tentang 50 orang Uleebalang asal Aceh yang meminta bantuan pada Jepang di penang.[2]
***
Propaganda Jepang didasari oleh pandangan bahwa orang Indonesia belum beradab, pemalas, serta masih berpemikiran sederhana untuk tidak menyebut bodoh. Pemerintahan militer Jepang menganggap orang Indonesia belum siap untuk mengusir penjajah kulit putih, apalagi untuk memerintah diri sendiri. Mentalitas orang Indonesia dinilai tidak seperti mentalitas orang Jepang (Kurasawa, 1987). Makanya orang Indonesia perlu ditunjuk ajari. Diambil hatinya dan ‘dijepangkan’ lewat pertunjukan-pertunjukan spektakuler seperti di atas.
Propaganda yang serba spektakuler dan intensif ini sangat efektif. Misbach Yusa Biran (2009) mengenang betapa orang-orang di Jawa tidak dapat menerima kenyataan bahwa Jepang kalah oleh Sekutu. Semua itu gara-gara mereka menonton betapa spektakuler dan bombastisnya film-film propaganda Jepang yang menampilkan kegagahan militer Jepang saat perang dengan Rusia.
Semua propaganda tersebut diiringi dengan politik isolasi. Orang-orang hanya boleh tahu informasi yang telah disaring oleh penguasa militer Jepang. Pemerintah Jepang juga membagi wilayah administratif bekas Hindia Belanda itu menjadi tiga wilayah serta menerapkan kebijakan yang berbeda untuk Sumatera, Jawa dan kepulauan di Timur.
***
Setelah Jepang kehilangan kekuasaan di berbagai wilayah bekas pendudukannya, salah satu gejala yang mencolok adalah “ketegangan antar etnis yang semakin meningkat” (Reid, 2011). Termasuk di Indonesia. Di Sumatera Barat, pada periode 1950-an, setengah dekade setelah Jepang hengkang, para elit lokal yang paling berhasil menjalin hubungan dengan Jepang semasa pendudukan tampil menjadi kelompok yang dominan di tingkat lokal (Kahin, 2008: 153-154). Mereka mulai mengemukakan gagasan federalisme dan menggulirkan wacana “gerakan daerah”. Sementara sebagian besar elit perantauan didikan Belanda, merasa cemas dengan perkembangan yang mengarah pada “daerahisme” yang sempit dan chauvinist.
Saat itu tiba-tiba bermunculan berbagai biografi elit-elit lokal yang mengalami fasisme Jepang—menggantikan trend penulisan biografi pahlawan nasional asal daerah. Kecendrungan tersebut menunjukkan bergesernya konsep kepahlawan dari kepahlawan yang bersifat nasional ke yang bersifat lokal. Pada periode ini pula, tiba-tiba dalam tambo, sejarah oral masyarakat Minang, muncul sentimen anti-Jawa. Singkatnya, satu dekade setelah pendudukan Jepang, terjadi perubahan besar dalam cara masyarakat Minang memandang diri dan dunia: dari international minded dan national minded menjadi daerahsentris (Asnan, 2007: 122-127).
Jepang memang menyatukan berbagai unsur dalam masyarakat dan memfasilitasi hubungan antara para elit dengan masyarakat di akar rumput. Pengkosolidasian yang difasilitasi Jepang ini akan memainkan peran penting dalam revolusi, tapi sifatnya sangat lokal. Dalam kasus Sumatera Barat, konsolidasi yang difasiltasi Jepang sifatnya terbatas dalam wilayah administratif yang identik dengan etnis Minang. Sangat patut diduga bahwa paduan antara propaganda politik di media dan mobilisasi yang sifatnya tertutup dan fragmentaris semasa pendudukan Jepang, telah memicu timbulnya pemahaman yang sempit atas diri dan etnis dalam masyarakat Minang.
Sampai hari ini pun, banyak kalangan dalam masyarakat Minang yang secara naif melihat diri dan etnisnya sebagai “pusat dunia”. Mereka hanya tahu tentang “mereka”, sedangkan “dunia luar” dilihat penuh dengan ancaman dari “orang asing” yang jahat. Perasaan selalu terkepung seperti inilah yang dengan gampang dimanfaatkan dengan licik oleh beberapa elit politik busuk untuk meloloskan kepentingan dirinya dan segelintir kroninya. Semakin mahir seorang pemimpin menakut-nakuti orang banyak, semakin ia dipuja.
1978, saat Audrey Kahin melakukan riset di Sumatera Barat, beberapa orang yang diwawancarainya masih sangat percaya bahwa Giyugun didirikan berkat inisiatif Chatib Sulaiman, seorang tokoh lokal, yang kemudian ditiru oleh wilayah lain di Indonesia.[3] Padahal kenyataannya Giyugun memang dirancang Jepang untuk kawasan Asia Tenggara. (*)
Pemeriksa Aksara: Hemi Lavour.
Ilustrator: Graphirate
Catatan Kaki:
[1] Anthony Reid dan Saya Shiraishi, Rural Unrest in Sumatera, 1921 A Japanese Report.
[2] Anthony Reid. 2011, Menuju Sejarah Sumatera Antara Indonesia dan Dunia. Yayasan Psutaka Obor: Jakarta, catatan kaki no 35, hal, 411.
[3] Audrey Kahin, 1979, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia. MSI Sumatera Barat. hal. 53.
Rujukan:
Asnan, Gusti, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an. Yayasan Obor: Jakarta, 2007.
Anderson, Benedict, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1988.
Biran, H Misbach Yusa, Peran Pemuda Dalam Kebangkitan Film Indonesia. Kementrian Pemuda dan Olahraga, 2009.
Kahin, Audrey, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1928-1998. Yayasan Obor: Jakarta, 2008.
Kahin, Audrey, Sumatera Barat dalam Revolusi Nasional Indonesia. MSI Sumatera Barat, 1979.
Kurasawa, Aiko, Propaganda Media in Java Under the Japanese 1942-9145. Dalam Indonesia, Vol. 004, Oktober 1987.
Reid, Anthony, Menuju Sejarah Sumatera Antara Indonesia dan Dunia. Yayasan Psutaka Obor: Jakarta, 2011.
Reid, Anthony dan Saya Shiraishi, Rural Unrest in Sumatera, 1942 A Japanese Report.
Zed, Mestika, Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatera. LPES: Jakarta, 2005.