Artikel

Onghokham yang Senantiasa Waras Karena Buku

Banjir sudah sedemikian lekat dengan ibukota, selalu berkunjung setiap tahun. Onghokham terhitung beruntung. Rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur, tak pernah terjamah banjir walaupun posisinya lebih rendah dari jalan. Namun tahun 2002 adalah pengecualian. Rumah Onghokham akhirnya didatangi banjir, merendam banyak perabotan. Beruntung, barang kesayangannya yakni buku-buku, masih bisa diselamatkan. Sejarawan berdarah Tionghoa ini menganggap buku sebagai harta, yang membuatnya senantiasa tetap waras di tengah kehidupan duniawi yang gila.

Mungkin pandangan itu pula yang menjadi landasan Ong─begitu ia disapa beberapa kawannya─ untuk konsisten berkiprah sebagai akademisi yang tak henti memasyarakatkan bidang yang ia geluti, sejarah. Ya, selain gila pesta dan makan, nama Onghokham tentu akan abadi sebagai seorang intelektual besar. Selain mengajar, melakukan banyak penelitian, dan menulis buku, Ong juga menulis sejarah di media massa, seperti majalah Tempo dan Star Weekly. Tulisan-tulisan yang dimuat di Star Weekly kemudian dibukukan menjadi Tionghoa Peranakan di Jawa. Menyusul kemudian pada 2003 terbit kumpulan artikelnya di Tempo, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Dari Onghongkham sejarah bisa ditulis dan dibaca secara luas di luar lingkungan akademisi, lepas dari label membosankan dan elitis yang sekian lama mengurungnya.

Sedari kuliah, Ong banyak menulis tentang masyarakat Tionghoa di Indonesia, tema yang memang dekat dengan hidupnya sendiri. Namun untuk tugas akhir sarjana mudanya, Ong justru tidak menulis tentang Tionghoa. Pilihannya jatuh pada saminisme, sebuah bentuk perlawanan petani di utara Jawa terhadap sistem kekuasaan modern. Tugas akhir ini seperti memulai daya jelajah Ong yang lebih luas dalam jagat sejarah Indonesia. Ia keluar dari lingkaran ras dan kehidupan sosialnya untuk melihat Indonesia dari sisi yang berbeda.

***

Di Surabaya, Onghokham lahir dari keluarga elit kelas menengah perkotaan pada 1 Mei 1933. Kakeknya adalah seorang kapitan China di Pasuruan. Ibunya yang bermarga Han, berasal dari golongan elit yang menjadi salah satu golongan konglomerat pertama waktu itu. Ayahnya, setelah menamatkan pendidikan dari Hogere Burger School (HBS), berjalan-jalan ke Eropa dan setelah itu bekerja pada kantor asuransi. Dari pasangan ini, lahir empat orang anak, tiga laki-laki dan seorang perempuan, masing-masing diasuh oleh pengasuhnya. Ong sendiri mengaku diasuh oleh seorang emban yang mengajarinya sedikit tentang budaya Jawa. Kata Ong, orang tuanya yang berkelimpahan uang, sepanjang hari lebih asyik main mahyong.

Orang tua Ong baru duduk berkumpul bersama anak-anak pada malam hari untuk makan malam. Soal makan malam ini, diingat Ong sebagai momen istimewa karena ruang makan yang mewah dan makanan yang melimpah. Keluarga Ong memang menjalani hidup yang kebelanda-belandaan. Cara berbicara, cara makanan, dan cara berpakaian, semua bergaya Belanda. Ong sendiri sewaktu kecil punya panggilan akrab Sinyo Hansje. Gaya hidup yang serba Belanda ini kurang begitu disenangi Ong karena keluarganya yang nampak kaya dan kebelanda-belandaan membuat mereka hanya hidup bergaul dalam lingkaran yang itu-itu saja. Oleh karena itu, Ong kecil tidak cukup supel.

Gaya hidup seperti ini termasuk soal pendidikan. Ong menjalani masa remajanya dengan bersekolah di Horgere Burger School (HBS) Surabaya. Akses bacaannya terbilang sangat barat dan kecintaannya pada sejarah, tumbuh di masa ini. Adalah kisah hidup ratu Prancis, Marie Antoniette yang menjadi salah satu bacaan favorit Ong di HBS. Namun saat itu akses pengetahuan Ong muda terhadap kehidupan sosial politik di sekitarnya masih sangat terbatas.

Masa pendudukan Jepang lalu membawa Ong pada sisi lain kehidupan yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Saat bersama keluarganya mengungsi dari Surabaya menuju Malang, Ong bertemu dengan banyak pengungsi yang berasal dari beragam latar belakang sosial. Pengalaman ini memberikan kesadaran baru bagi Ong muda baik secara intelektual maupun emosional. Kesadaran yang kemudian terus ia pupuk melalui berbagai penelitian dan tulisan tentang Indonesia dari berbagai sudut pandang. Hal ini kemudian membentuk Ong sebagai pribadi yang terbilang cair di semua kalangan. Bisa begitu erat berhubungan dengan kaum elit perkotaan tapi di saat yang sama juga tidak canggung mengakrabi orang kebanyakan yang ia temui sehari-hari.

Selepas menjalani studi Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia, Ong mengajar di almamaternya itu. Pada mahasiswanya yang tertarik mengkaji sejarah kolonial di Indonesia, ia tekankan pentingnya memahami terlebih dahulu sejarah dunia khususnya Eropa dan Asia. Ini menjadi penting agar analisis dan rekonstruksinya tepat dan tidak melenceng. Pendekatan global macam ini hanya bisa dilakukan dengan ketelitian dan rajin membaca. Soal membaca inilah yang membuat Ong dikenal sebagai dosen yang keras.

Pada 1960-an, Ong menjadi salah satu anggota aktif studiesclub yang digagas Maruli Silitonga di rumahnya. Aktif pula dalam studiesclub itu ada PK. Ojong, Frans Peransi, Zainal Zakse, Soe Hok Gie, dan Rosihan Anwar. Mereka membincangkan masalah modernisasi yang banyak dikaji kalangan akademisi Eropa dan Inggris saat itu. Adapun buku-buku yang mereka bedah bersama antara lain karangan Dacid Lerner, Walt Rostow, Barbara Ward, dan Albert Hirscman. Menurut kesaksian Rosihan Anwar yang dituturkannya dalam Sejarah Kecil Petite Historie Jilid 3, Ong cendrung lebih pendiam ketimbang lainnya dalam diskusi itu. Namun cukup sering pula memberi tanggapan-tanggapan brilian yang bisa semakin memantik jalannya diskusi.

Pada 1975 Ong menyelesaikan studi doktoralnya di Yale University, Amerika Serikat. Disertasinya tentang “The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century”, membuat Benjamin White terkagum-kagum. Guru besar Institut Studi Sosial, Belanda itu menyebut disertasi Ong setara dengan disertasi Sartono Kartodirjo, “The Peasant’s Revolt of Banten in 1888” yang termahsyur itu. Kedua disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi buku itu, disebut White menjadi bacaan wajib bagi siapapun yang hendak mempelajari sejarah petani di Indonesia, khususnya Jawa.

***

Hidup Ong memang tidak melulu bahagia. Meski rajin melakukan penelitian, menulis buku, dan tampil di berbagai forum ilmiah, ia tidak diangkat menjadi guru besar. Nomor induk pegawainya sebagai dosen di UI pernah hilang. Sehingga setelah mengajar selama 25 tahun, status kepegawaiannya tetap saja mandek di golongan III A. Maka, pada tahun 1989, ketika usianya 56 tahun, dia harus menjalani masa pensiun.

Masa pensiun Ong tidaklah sepi dan membosankan. Ia masih aktif menulis,  menghadiri forum-forum ilmiah dan tentu saja berpesta yang sudah kadung jadi hobinya. Soal kegemarannya yang satu ini, tidak ada undangan pesta dari orang-orang kaya di Jakarta yang Ong lewatkan begitu saja. Ong sendiri juga gemar mengundang beberapa temannya untuk makan malam. Dia sendiri yang pergi berbelanja dan memasak makanan yang akan dihidangkan untuk pesta. Dengan naik kendaraan umum karena tidak punya mobil pribadi, dia pergi belanja macam-macam. Ong tahu daging babi yang baik ada di Pasar Senen, daging sapi berkualitas di Blok M, dan ikan bandeng segar di Pasar Pagi. Dengan berpanas-panasan, tak segan dia menyeberang jalan dengan menenteng seabrek belanjaan. Pada malam harinya Ong berpakaian bersih, melayani tamu yang diundangnya. Masakan yang digemarinya adalah sambal gandaria, bandeng bakar, dan babi hong. Yang terakhir, tentu saja tidak dihidangkan bagi tamu-tamu yang muslim.

Kegemaran pesta ini lebih istimewa tatkala Ong berulang tahun pada 1 Mei. Undangannya selalu dimulai dengan sebutan ‘mayday’ yang bisa segera dipastikan  itu undangan dari Sinyo Hansje. Pesta ulang tahun Ong tak pernah sepi. Rumahnya penuh sesak oleh berbagai tamu yang datang, mulai orang-orang kedutaan, tokoh nasional, sampai artis-artis berjejalan ke pesta itu.

Pada 2001 Ong terserang stroke yang serta merta membatasi aktivitasnya. Ke mana pun ia pergi selalu ada yang mendampingi untuk mendorong kursi roda, membantu naik ke atas kendaraan yang ditumpangi, beserta keperluan lainnya. Bagi orang yang mandiri macam Ong, kondisi ini tentu tidak menyenangkan. Itulah sebabnya Ong putuskan untuk tetap melakukan hal-hal yang ia sukai tapi tentu saja yang memungkinkan di tengah kondisinya yang demikian sulit. Dan menulis dan membaca adalah pilihan itu.

Enam tahun pasca stroke yang menyerangnya, Ong tutup usia pada 30 Agustus 2007. Dia pergi bersama obsesi yang belum kesampaian: menerjemahkan karya-karya Ferdinand Braudel tentang peradaban dunia memasuki abad kapitalisme ke dalam bahasa Indonesia. (*)

*Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di blog pribadi Margareth Ratih Fernandez. Diterbitkan ulang oleh Garak.id atas ijin penulisnya untuk tujuan pendidikan dan bersifat non-komersial.

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *