Artikel

Sungai Pua: Negeri Para Pendekar

Sungai Pua bukan hanya perihal daratan tinggi pinggang Merapi tempat besi ditempa dan talempong dilebur. Atau ladang tempat berton-ton kol, wortel, daun bawang dan sayur-sayuran lainnya yang diangkut tiap minggunya ke Pasar Padang Luar Kabupaten Agam.

Di antara para peladang-peladang yang membawa hasil panen mereka ke pasar Padang Luar tersebut, ada para pesilat-pesilat yang berpengalaman dan telah teruji kemampuannya. Dari dataran tinggi pinggang gunung Merapi tersebut mereka berangkat menuju gelanggang pertandingan, dan menjadi jawara. Kemudian membaur di tempat baru. Membuka sasaran silat, berbagi ilmu, menjalin silaturrahmi dengan pesilat-pesilat lain, melapangkan jalan bagi yang hendak berjalan jauh, dan membukakan pintu selebar-lebarnya bagi tamu yang datang.

Setiap nagari di Sungai Pua (Batu Palano, Sariak, Sungai Pua dan lainnya), telah melahirkan pesilat-pesilat handal pada setiap masanya. Mulai dari era kolonialisme sampai era sekarang. Sebut saja 3 tokoh aliran Silek Tuo yang punya pengaruh besar pada masa kolonialisme di nagarinya masing-masing. Yaitu Haji Idris (Inyiak Dirih), Tuangku Abdul Karim, dan Inyiak Marauk. Mereka bertiga bekerja sama dalam mengembangkan aliran silek Tuo. Setelah generasi mereka, lahirlah tuo silek lain seperti Idi Sutan Rumah Panjang yang satu sasaran dengan Syeck Kumango dari Tanah Datar.

Tercatat di arsip pribadi salah satu perguruan, pada masa Orde Baru, seorang jendral pimpinan pasukan khusus militer Indonesia pernah belajar silat ke Sungai Pua. Sekarang perguruan silat tersebut sudah berusia 33 tahun dan telah berganti nama menjadi Persatuan Pencak Silat Satria Muda Indonesia (PPS SMI). Unitnya sudah ada di seluruh provinsi Indonesia dan di berbagai negara di belahan dunia. Nama guru jendral itu alm. Abu Zahar.

Beragam aliran silat tradisi yang berkembang di kecamatan Sungai Pua. Di antaranya silek Tuo, silek Kumango, silek Harimau, dan sungai Patai. Meskipun terkadang aliran silat yang mereka gunakan di sasaran sama dengan sasaran lain, gerakan dan spesifikasinya belum tentu sama. Tiap sasaran silat di kecamatan Sungai Pua punya ciri khas gerak masing-masing. Hal itu dapat dilihat dari bukak langkah, bukak kuncian, tangkapan kuncian, senjata yang dipakai dan teknik penggunaan senjatanya.

Dari ribuan pesilat yang hidup dan tersebar di Minangkabau, nama-nama pendekar Sungai Pua punya tempat tersendiri. Sebut saja maestro silat alm Indra Chatib, alm Saidi Bakar, Syafni Pandeka Rancak dari perguruan Baringin Marapi serta Rajo Mudo, Andi Sutan Sulaiman, dan Anwar Sutan Pangeran dari perguruan Marapi Singgalang.

Masing-masing dari mereka punya peranan yang penting dalam mengembangkan silat tradisi Minangkabau ke luar kecamatan Sungai Pua. Alm Indra Khatib bersama Edwar Lebe, Erizal Chaniago, Robiansyah Putra dan rekan-rekan yang lain mampu merangkul pesilat-pesilat dari Sunda, Banten, Betawi, Pandgelang. Salah satu puncaknya ialah peresmian perguruan silat Satria Muda Indonesia (SMI) di Ciloto, Jawa Barat pada tanggal 19 Juli tahun 1987. Berkat usaha ini, aliran silat di PPS SMI tidak hanya terbatas dari silat tradisi Minangkabau saja. Ada juga aliran Cimande, Beksi, Sahbandar dan Cikalong.

Kemudian Syafni Pandeka Rancak. Ia seorang tuo silek dari perguruan silat Baringin Marapi. Ia punya peranan penting hingga sekarang di dunia persilatan Minangkabau. Syafni merupakan dewan juri pada gelaran acara silat tradisi di Sumbar. Kemudian dia juga salah satu dari tiga tuo silek yang menerima penghargaan “maestro silat” tahun 2019 lalu.

Tidak kalah hebat dari pendahulunya, Rajo Mudo, Andi Sutan Sulaiman, dan Anwar Sutan Pangeran pada tahun 2010 mendirikan perguruan silat Marapi Singgalang di nagari Batu Palano, kecamatan Sungai Pua. Aliran silat tradisioanl perguruan Marapi Singgalang adalah silek Tuo. Saat para pesilat Minangkabau masih banyak membatasi diri dalam mengajarkan ilmu silat tradisi ke masyarakat luar, Marapi Singgalang membuka pintu sasaran selebar-lebarnya kepada khalayak umum. Sebagaimana ungkapan yang telah fasih terucap dan nyaring terdengar ‘lahir silat mencari kawan, batin silat mencari Tuhan.’ Di usianya yang baru satu dekade, berbagai prestasi dan perhargaan telah banyak diraih pesilat-pesilat Marapi Singgalang. Mulai dari festival silat tingkat kabupaten, hingga internasional.

Geliat Generasi Baru

Generasi penerus para pendekar-pendekar tersebut masih giat hingga sekarang mengembangkan silat di perguruannya masing-masing. Calon anak sasian datang dari berbagai daerah di Sumbar. Bahkan ada yang dari luar Sumbar. Perguruan silat di kecamatan Sungai Pua mayoritas sudah terbuka untuk msyarakat umum. Generasi baru penerus para maestro silat tersebut bukan hanya sekedar bisa bersilat dan memencak di atas gelanggang. Peranan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata di dunia persilatan Sumbar. Di antara mereka ada yang menjadi penggagas agenda silat, dewan juri pertandingan, dan pelatih yang mencetak atlet-atlet berprestasi.

Kemampuan atlet-atlet mereka telah teruji di berbagai kejuaran silat. Mulai dari tingkat kabupaten hingga internasional. Salah satunya pada ajang silat tradisi tertua di Minangkabau—Galanggang Siliah Baganti (GSB). Pesilat-pesilat dari Alang Marapi, Baringin Marapi, Marapi Singgalang, dan Alang Sambilan kerab jadi langganan untuk mengisi tim Kabupaten Agam dalam ajang GSB di tingkat Sumbar. Dan banyak dari mereka akan pulang dengan kalungan medali dan piagam penghargaan.
Salah satu pelatih muda berprestasi dari Sungai Pua bernama Beni. Ia merupakan keponakan dari Syafni Pandeka Rancak. Ayah Beni juga seorang pesilat. Pada tahun 20017 Beni menjadi salah satu official tim Kabupeten Agam pada ajang GSB Sumbar. Ia bersama timnya keluar sebagai pemenang pada ajang tersebut. Berbagai event silat tradisi di Sumbar telah dijajal anak asuh Beni. Seperti Sumarak, Festival Pencak Silat Internasioanal, O2SN dan POPDA.

Atlet asal Sungai Pua lainnya yang menjuarai ajang GSB Sumbar tahun 2017 adalah Ar-rahman (Rahman). Pemuda asal nagari Batu Palano ini sudah 10 tahun berproses di perguruan silat Marapi Singgalang. Selain di ajang GSB, Rahman juga pernah menjadi pemenang pada festival silat tradisi Suaro Mupakaik Anak Urang Kurai (Sumarak) di kota Bukittinggi. Sama dengan Beni, ayah pemuda semester 7 jurusan Hukum Universitas Andalas (Unand) ini juga seorang pesilat di nagari Batu Palano.

Antara Petarung dan Pendekar

Dari pencak silat banyak hal yang telah Rahman peroleh. Mulai dari pengalaman bertanding, teman dan ajaran hidup dari guru-gurunya di perguruan Marapi Singgalang. “Dari berlatih silat karakter saya terbentuk. Kemudian sopan santun dan adab dalam kehidupan sehari-hari kami juga diajarkan. Apalagi kalau kita belajar silat tradisi. Hal yang utama dari belajar silat tradisi bukanlah kehebatan dan ketangkasan gerak. Melainkan sopan dan santun kita yang diutamakan.” Ucap Rahman kepada saya.

Setelah sekian banyak pengalaman dan prestasi yang diraih para pesilat-pesilat di kecamatan Sungai Pua tersebut, mereka masih terbentur pada dana. Ketika hendak pergi bertanding, jika tidak ada donasi dari kecamatan dan nagari, para pesilat tersebut melakukan iuran untuk biaya transportasi berangkat ke tempat bertanding. Bahkan jika dana yang dikumpulkan telah menipis, tidak jarang para pendekar ini makan satu bungkus nasi berdua. “Walaupun masing-masing dari kami hanya mendapat sesuap nasi itu tidak jadi masalah. Dari sesuap nasi itu kami temukan rasa persaudaraan. Saciok bak ayam, sadanciang bak basi.”

Pada situasi tersebut hanya terdapat garis tipis yang membedakan petarung dengan pendekar. Yang satunya didorong oleh keadaan dan yang satunya oleh tujuan. Seorang petarung yang ada dalam pikirannya hanya dua hal. Pertama menang, dan yang kedua kekalahan. Sedangkan seorang pendekar harus bisa memilah di situasi yang sulit, dan bersiasat sambil berkelit dari maut yang menggantung di pelupuk mata mereka. Seorang pendekar juga harus paham dengan ranting yang akan menusuk, cekatan dalam menghindari dahan yang akan menimpa.

Bagi seorang pendekar, perihal gelanggang, medali, piagam dan sanjungan bukanlah sebuah tujuan dari bersilat. Tapi salah satu jalan untuk mencari kawan dan berkah Tuhan. Sebagaimana pernyataan Rahman “semakin banyak kita mengenal orang-orang baru di pencak silat dan menjalin pertemanan, mudah-mudahan banyak pula yang mendoaakan untuk kebaikan kita.”

Tidak tertutup kemungkinan beberapa tahun ke depan Beni dan Rahman yang akan menggantikan guru-guru mereka melanjutkan tradisi mencetak generasi pendekar baru di kecamatan Sungai Pua. Duduk di meja-meja kehormatan dewan juri pada acara festival silat, dan membuka gelanggang pertandingan setelah didarahi. (*)

 

Editor: Randi Reimena

Related posts
Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Artikel

Tiga Diskusi, Empat Eksebisi: Catatan Sinematografi Teater Tendi Karo Volkano

Artikel

Roehanna Koeddoes dan Proyek Kolonialisme Tercerahkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *