Kekalahan Jerman atas sekutu pada Perang Dunia kedua membuat wilayahnya secara geografis dikuasai dan dibagi-bagi oleh Uni Soviet, Inggris, Perancis, dan AS sebagai pemenang perang.
Kemudian pada Tahun 1961 Soviet membangun Tembok Berlin nun membentang dan membagi Jerman Timur dan Jerman Barat. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi Warga Jerman Timur dari pengaruh-pengaruh Fasisme yang masih kuat di Jerman Barat, serta mereduksi pengaruh Komunisme dari Jerman Timur. Tembok tersebut juga berfungsi untuk mencegah Warga Negara Jerman Timur kabur ke Wilayah Barat Berlin.
Seiring dengan bubarnya Uni Soviet pada Tahun 1989 karena konflik internal serta krisis yang terjadi setelah ledakan reaktor nuklir di Chernobyl, tembok yang memisahkan wilayah Jerman pun turut dirobohkan. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan Fall of Berlin Wall.
Runtuhnya Tembok Berlin disambut dengan haru bahagia dan dirayakan oleh warga negara dari masing-masing sisi. Pertemuan yang emosional setelah mereka dipisahkan selama bertahun-tahun sebab dari kekuatan politik dan perbedaan ideologi yang mendominasi wilayah mereka. Peristiwa yang tidak hanya menjadi babak baru dalam peradaban Jerman dan Eropa, namun juga menjadi harapan bagi peradaban manusia dan dunia yang lebih baik dengan nilai-nilai kemanusiaan untuk masa depan.
Dunia sering kali berubah dengan cepat. Tiga Puluh Tahun setelah Fall of Berlin Wall, Donald Trump –Presiden Amerika Serikat— dalam kampanye Pemilu AS Tahun 2016 menyuarakan pembentukan kebijakan Anti-Imigran. Hal tersebut diimplemantasikan dalam rencana untuk membangun tembok besar di sepanjang perbatasan Mexico guna mencegah masuknya imigran ke AS. Upaya serupa juga terjadi dibelahan dunia lainnya.
Hasil referendum yang memutuskan Inggris memisahkan diri dari keanggotaan mereka di Uni Eropa yang akrab disebut dengan Brexit ini disinyalir salah satu penyebabnya adalah karena semakin terdesaknya anglo-saxon (pribumi inggris) atas kedatangan imigran. Kedatangan mereka dianggap akan menggeser dominasi penduduk lokal Inggris atas sektor-sektor ekonomi mikro.
Pasca Brexit, tingkat rasisme terhadap imigran menjadi naik di Inggris. Tercatat bahwa terdapat kenaikan sebesar 57% atas kejahatan kebencian, empat hari setelah referendum. Kejahatan kebencian, seperti pertanyaan “Mengapa anda tetap di sini?” dan juga teriakan “Keluar dari negara saya!” kepada imigran. Hal tersebut dapat memicu gelombang serupa di negara-negara Eropa lainnya.
Keberhasilan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa tak lepas dari dukungan partai sayap kanan Inggris memantik kebangkitan kelompok-kelompok ultra nasionalisme atau neo-nazi. Juga menandai kembalinya kelompok white supremacy (supremasi kulit putih) yang menganggap bahwa ras kulit putih lebih superior atas ras kulit berwarna. Mengingatkan kita pada kelompok rasis terbesar di Amerika Serikat yang eksis Tahun 1865, Ku Klux Klan.
Kelompok white supremacy mulai kembali menunjukan taringnya. Seperti pada peristiwa penembakkan yang terjadi di Selandia Baru dan Amerika Serikat pada Tahun 2019. Fenomena-fenomena tersebut memperlihatkan bahwa dunia kembali mulai mengarah ke kanan.
Seiring dengan fenomena global itu, Sumatera Barat juga mulai berbelok ke arah yang sama—semakin ke-kanan. Saat ini banyak kalangan dalam masyarakat Minang mulai kembali mencari dan menggali jati diri ke-Minang-annya.
Kebanggaan atas kejayaan etnis Minangkabau di masa lalu yang mampu melahirkan tokoh-tokoh bangsa seperti Hatta, Sjahrir, serta Buya Hamka. Membuat masyarakat berlomba-lomba untuk menunjukan identitas ke-Minangannya.
Rasa bangga serta klaim atas tokoh-tokoh bangsa tersebut muncul karena kesamaan etnis, namun tanpa meneladani buah pikiran serta gagasan dari tokoh-tokoh tersebut. Rasa bangga tersebut juga membuat sebagian orang Minang merasa bahwa kalau kecerdasan para tokoh-tokoh tersebut dapat diturunkan atas dasar kesamaan etnis—semoga Hatta tidak menangis dalam pusaranya melihat fenomena ini.
Kampanye dan slogan-slogan yang “menjual” kebanggaan atas etnis Minang marak dilakukan oleh beberapa kalangan—seperti politisi dan tokoh publik. Praktik itu tidak lepas dari kepentingan pragmatis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Efektif untuk menjaring simpati masyarakat. Namun efek samping yang ditimbulkan adalah rasa bangga berlebihan atas identitas etnis Minangkabau.
Kebanggaan yang berlebihan terhadap mitos bahwa orang Minang telah pintar sejak dari lahir akan jadi bumerang yang membuat kita malas untuk terus belajar. Hal tersebut secara tidak langsung merugikan etnis Minangkabau sebagai tempat lahirnya banyak tokoh bangsa.
Agar lebih baik, di tengah zaman serba digital saat ini kita mempersiapkan diri dari tantangan-tantangan yang ada di masa depan yang jauh akan lebih berat ketimbang tenggelam dalam romantisme kejayaan masa lampau. Fenomena yang kemudian penulis anggap sebagai minang-pride, yaitu rasa bangga berlebihan akan identitas ke-Minang-an.
Memang tidak ada salahnya untuk menggali kembali jati Masyarakat Minangkabau. Tapi kebanggaan berlebih akan identitas etnis sendiri akan menjatuhkan kita pada jurang chauvinisme. Juga munculnya perasaan takut akan keberadaan etnis lain karena dianggap sebagai sebuah ancaman.
Akhirnya sikap kebanggaan berlebih atas identitas etnis sendiri dapat menjadi tembok pemisah dengan kelompok etnis lain yang ujungnya dapat merusak keharmonisan dalam berkehidupan.
***
Terdapat harap yang ditumpangkan setelah tiga puluh tahun dirobohkannya Tembok Berlin. Demi perbadaban manusia yang lebih baik pada masa yang akan datang. Tembok yang mulanya dibangun untuk memisahkan, hingga dapat menjadi simbol kebebasan. Akan tetapi pada saat sekarang manusia kembali mulai membangun tembok—tembok mereka untuk memisahkan mereka dengan manusia lainnya.
Di tengah bangkitnya chauvinisme global, ada baiknya kita kembali merawat nilai-nilai kebersamaan antar sesama agar keharmonisan dalam berkehidupan tetap terjaga. Tanpa memandang etnis, agama, suku-bangsa, ataupun warna kulit. Karena chauvinisme pada akhirnya hanya akan menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Editor: Hemi Lavour Febrinandez