Artikel

Merdeka Menjual Pendidikan

Merdeka Menjual Pendidikan

Setelah seratus hari mengabdi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim menelurkan beberapa wacana yang mencoba untuk mendobrak kebiasaan lama. Walaupun baru berupa wacana, namun terdapat beberapa hal yang menarik perhatian publik, yaitu kebijakan Merdeka Belajar dan kebijakan Kampus Merdeka.

Kebijakan Merdeka Belajar merupakan langkah pembenahan terhadap sistem pendidikan dasar hingga pendidikan menengah atas. Salah satu program yang akan coba diterapkan adalah penghapusan sistem Ujian Nasional (UN). Sebagai gantinya, akan dilakukan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter untuk evaluasi proses belajar mengajar.

Langkah untuk mengubah standarisasi pengujian kompetensi nasional melalui UN merupakan langkah yang berani. Hal tersebut karena penerapan UN kerap kali lepas dari tujuan evaluasi untuk meningkatkan kualitas hasil dari pelaksanaan pendidikan. Penilaian hanya dilakukan melalui standar nilai. Ini membuat siswa hanya beriorientasi pada angka yang diperoleh.

Pada periode pemerintahan sebelumnya, peningkatan sistem evaluasi pendidikan melalui UN hanya dilakukan dengan mempersulit soal maupun menambah paket soal ujian. Sementara itu esensi dari tujuan pendidikan yang seharusnya memerdekakan peserta didik, justru dilupakan.

Secara sederhana, asesmen kompetensi merupakan penilaian yang benar-benar minimum, sehingga dapat dilakukan pemetaah terhadap sekolah-sekolah dan daerah-daerah berdasarkan kompetensi yang paling bawah. Materi penilaian juga hanya akan terbagi menjadi dua, yaitu literasi dan numerasi.

Literasi dalam konsep pengujian ini tidak hanya tentang kemampuan membaca, namun juga kemampuan untuk mampu menganalisis dan memahami konsep, sehingga peserta didik harus dibekali dengan kemampuan untuk menggunakan logika dan rasionalitas dengan baik. Sedangkan numerasi adalah kemampuan untuk menganalisis menggunakan angka.

Langkah yang baik, namun tak diiringi dengan upaya peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Rencana untuk melakukan penghapusan terhadap UN yang akan dilaksanakan pada Tahun 2021 tidak didahului dengan persiapan yang matang, Sebelum melakukan perubahan secara ekstrem pada sistem evaluasi yang merupakan akhir dari proses belajar mengajar di sekolah, seharusnya pemerintah terlebih dahulu harus menyiapkan kompetensi guru serta kurikulum yang dapat mencapai tujuan dari sistem baru tersebut.

Peningkatan kompetensi sekolah serta tenaga pendidik sangat dibutuhkan, agar tujuan dari pelaksanaan evaluasi pendidikan yang menghapus angka dan nilai sebagai tujuan akhir dapat tercapai.

Pembenahan terhadap sistem pendidikan coba untuk dilakukan hingga jenjang pendidikan tinggi. Melalui kebijakan Kampus Merdeka, pemerintah akan memberikan berbagai keleluasaan kepada perguruan tinggi tanpa harus banyak melakukan koordinasi dengan instansi maupun kementerian lainnya. Terdapat empat kebijakan Kampus Merdeka yang “katanya” memberikan kemudahan kepada kampus.

Kebijakan pertama yaitu kebebasan untuk membuka program studi (prodi) baru dan membebaskan kemitraan kampus dengan pihak ketiga yang masuk kategori kelas dunia. Kedua, kemudahan proses reakreditasi kampus. Ketiga, mempermudah proses untuk menjadi PTN-BH. Terakhir, kebijakan keempat yaitu upaya pembebasan atau pengurangan beban SKS mahasiswa, dengan mengambil tiga dari delapan semester diambil di luar program studi.

Kebijakan tersebut agaknya langkah yang keliru. Merunut pada salah satu tujuan dari pendidikan tinggi yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah menghasilkan lulusan yang keilmuannya dapat bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta bermanfaat bagi masyarakat secara umum.

Seperti kebijakan tentang mempermudah pembukaan dan penutupan program studi. Hal tersebut akan membuat kampus hanya akan mempertimbangkan kebutuhan dan permintaan pasar. Membuat perguruan tinggi mengabaikan berbagai permasalahan dalam hal kemandirian serta kemampuan kampus dalam melakukan pengelolaan internal kampus.

Paradigma perguruan tinggi hanya akan terfokus untuk membuat prodi yang dibutuhkan oleh industri. Menciptakan sarjana-sarjana siap pakai untuk mengisi posisi-posisi di perusahaan. Mengisi ruang yang dibutuhkan oleh pasar.

Perguruan tinggi tak ubahnya seperti pabrik yang memproduksi pekerja. Menutup mata dalam melihat permasalahan-permasalahan konkret dalam masyarakat. Membiarkan intelektual sejenak menjadi penghuni menara gading, kemudian menendang mereka keluar untuk menjadi pekerja siap pakai di perusahaan.

Tujuan untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai pabrik pencetak pekerja juga dapat dilihat dari program poin keempat kebijakan Kampus Merdeka. Mahasiswa dibuat tidak hanya menerima perkuliahan dalam kelas, namun dapat memilih beberapa opsi tambahan untuk memperkaya “pengalam kerja”. Mereka dapat memilih untuk magang, pertukaran pelajar, ataupun wirausaha.

Sekretaris Jenderal Federal Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Dian Septi Trisnanti menganggap bahwa sistem magang tak ubahnya perbudakan. Karena pada akhirnya peserta magang hanya menjadi pekerja dengan upah yang murah. Seorang buruh magang biasanya diupah jauh lebih rendah dari buruh biasa. Meskipun beban kerjanya sama. (Tirto.id, 20/01/20)

Sistem kerja magang ini hanya akan dijadikan celah oleh beberapa perusahaan yang licik untuk memperoleh pekerja dengan upah murah. Sehingga dapat dilakukan penghematan ongkos produksi.

Permasalahan juga akan membentur rencana pengembangan program wirausaha maupun pertukaran pelajar. Perguruan tinggi mau tak mau harus mampu untuk menjadi fasilitator mahasiswa dengan menyediakan jalur-jalur untuk menemukan investor demi menjalankan program mahasiswa tersebut. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang setiap tahun diadakan untuk melahirkan wirausahawan baru dari kampus tidak akan dapat mengakomodir seluruh mahasiswa. Karena keterbatasan dana, membuat program ini hanya dinikmati oleh segelintir mahasiswa terpilih. Hal yang sama juga akan dialami oleh program pertukaran pelajar.

Apabila perguruan tinggi tetap memaksakan diri untuk memenuhi program-program tersebut, maka bersiaplah melihat berbagai perguruan tinggi saling berlomba untuk mencari dan menarik funding demi membiayai program tersebut. Ini akan membuat perguruan tinggi memperlakukan funding sebagai klien.Terbukanya keran investasi seperti ini, pada akhirnya menggadaikan independensi keilmuan perguruan tinggi.

Empat program yang ditawarkan dalam kebijakan Kampus Merdeka secara langsung menceburkan perguruan tinggi dalam persaingan pasar bebas. Merupakan kesalahan apabila orientasi pendidikan tinggi hanya sekedar membuka ruang yang lebih luas bagi komersialisasi pendidikan.

Seharusnya pada saat mengenyam pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk dapat berpikir independen, logis, dan mampu mengkritisi berbagai kebijakan bermasalah, hingga hal-hal yang bersifat koruptif. Baik di lingkungan kampus maupun dalam pemerintahan. Beberapa poin dalam kebijakan Kampus Merdeka harus dievaluasi!

Editor: Randi Reimena

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *