Artikel

Melati van Agam dan Siti Noerbaja: dari Roman menjadi Film

Melati van Agam dan Siti Noerbaja: dari Roman menjadi Film

Baru-baru ini kita melihat Bumi Manusia, karya sastrawan Pramodedya Ananta Toer, diadaptasi menjadi film dan mendapat sambutan yang luar biasa. Saat ini sebuah film berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, yang diangkat berdasar novel karya Eka Kurniawan, sedang digarap. Dua karya sastra ini tentu hanyalah dua diantara sekian karya yang diadaptasi menjadi film, di luar itu masih banyak film sejenis. Sebut saja Aruna dan Lidahnya, Laskar Pelangi,  dst. Tren ini memiliki kisahnya sendiri,  berakar jauh di masa kolonial.

Usmar Ismail pernah mengatakan bahwa film yang berjudul  Anak Perawan di Sarang Penyamun—adaptasi dari novel karangan Sutan Takdir Alisjahbana—yang ia sutradarai, adalah kerjasama pertama sastrawan dan sinemawan di Nusantara. Pernyataan ini sempat diragukan Rosihan Anwar dalam tulisannya di Madjalah Purnama 1:17. Rosihan Anwar menulis: “Secara tarikh (perhitungan waktu) tentulah tidak benar keterangan Usmar Ismail tadi. Kalau saja tak keliru, sebelum Perang Dunia ke-2 pernah difilmkan roman Siti Nurbaya, gubahan Marah Rusli.” Namun pernyataan Usmar dapat kita pahami karena sebelum 1949, film yang diadaptasi dari novel ke film cenderung tidak tampak sebab poster dan iklan pada masa itu tidak pernah menuliskan bahwa film yang diiklankan diadaptasi dari sebuah novel.

Pada tahun 1926, N.V Java Film Company memproduksi film Loetoeng Kasaroeng. Film ini diadaptasi dari cerita rakyat Sunda yang cukup populer. L. Heuveldorp, pendiri Java Film Coy, yang menjadi sutradaranya. Besar kemungkinan pembuatan film itu didasari oleh perhitungan sudut ekonomi karena pada masa itu rata-rata penonton bioskop berasal dari kalangan Tionghoa dan Pribumi yang sudah akrab dengan cerita Loetoeng Kasaroeng. Sudah tentu Java Film Coy beranggapan kalau film ini bakal laris.

Loetoeng Kasaroeng merupakan tonggak awal pembuatan film cerita Hindia Belanda. Karena memiliki pangsa pasar, film jenis ini cukup banyak diproduksi. Setelah Java Film Coy, beberapa pengusaha Tionghoa mulai membuat film adaptasi dengan pertimbangan keuntungan, salah satunya Boenga Roos dari Tjikembang, garapan The Teng Chun tahun 1931 yang diadaptasi dari novel Kwee Tek Hoay yang cetakan pertamanya terjual habis. Film ini dibuat karena kepopuleran novelnya  ditambah cerita itu dekat dengan penonton Tionghoa.

Menurut Woodrich dalam tesisnya Ekranisasi Awal: Adapting Films to the Silver Screen in the Dutch East Indies (2014) ada sebelas film yang diadaptasi dari novel antara tahun 1927-1941: Eulis Atjih, Setangan Berloemoer Darah, Si Tjonat, Njai Dasima, Karnadi Anemer Bangkong, Melati van Agam, Boenga Roos dari Tjikembang, Njai Dasima (berbeda sutradara), Melati van Java, Dasima, Siti Noerbaja. Sesuai dengan penelitian tersebut, pernyataan Rosihan Anwar mengenai roman Siti Noerbaja bisa kita benarkan. Lebih jauh, penelitian Woodrich membuka informasi lain: ternyata tidak hanya novel Siti Noerbaja yang diadaptasi menjadi film sebelum Perang Dunia II. Ada satu lagi novel yang berlatar Sumatra Barat yang juga diadaptasi menjadi film, yaitu Melati van Agam karya Parada Harahap.

Melati van Agam

Melati van Agam adalah roman yang ditulis oleh Swan Pen, nama penda dari Parada Harahap, seorang jurnalis dan pendiri Akademi Wartawan di Jakarta. Tidak ada yang tahu pasti kapan roman itu diterbitkan yang jelas diterbitkan secara independen di Weltevreden—bukan oleh Balai Pustaka yang jelas akan menganggap roman tersebut sebagai bacaan liar.

Roman setebal 143 halaman itu menceritakan kisah percintaan antara Norma, anak gadis seorang mantri pensiunan yang karena kecantikannya ia digelari Melati van Agam. Pada suatu acara pacuan kuda di Fort de Kock, Norma jatuh hati pada seorang pemuda bernama Idrus, siswa sekolah pertambangan di Sawahlunto. Seiring waktu, hubungan mereka pun semakin dekat.

Namun ayah Norma sudah lebih dulu menerima lamaran dari Nazzarudin, seorang guru kepala kaya raya yang sudah mempunyai empat anak. Karena takut akan kutukan ibunya, Norma akhirnya menikahi Nazzarudin lalu pindah ke Kota Raja (Banda Aceh). Kehidupan sebagai orang kaya membuat Norma menjadi perempuan modern dan bebas bergaul. Sedangkan Idrus akhirnya meninggal dalam keadaan patah hati. Kabar kematian Idrus sampai ke telinga Nazzarudin dan Norma. Norma pulang ke Fort de Kock ketika ia hamil. Nazzarudin tidak mengakui anak yang sedang dikandung Norma itu adalah anaknya, karena wajah bayi itu lebih mirip Idrus. Norma lalu bunuh diri. Ia dikuburkan bersebelahan dengan kuburan Idrus. Hal itu membuat geram Nazzarudin. Pada akhirnya, Nazzarudin melihat roh Norma dan Idrus bergandengan tangan terbang ke langit. Misbach Yusa Biran menulis roman itu terasa sepi dan penuh dengan surat-menyurat cinta antara Norma dan Idrus.

Tans Film, perusahaan film milik pengusaha Tionghoa yang menyasar kalangan pribumi kelas rendah sebagai pasarnya, tertarik untuk memfilmkan roman tersebut setelah melihat antusiasme masyarakat. Begitu terbit, roman itu segera diadaptasi menjadi naskah drama untuk Padangsche Opera oleh Andjar Asmara, seorang penulis drama, sutradara film, dan kritikus film, yang pada saat itu baru kembali dari Batavia ke Padang. Drama itu dipentaskan, dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat.

Hal itulah yang menjadi pertimbangan Lie Tek Swie memilih Melati van Agam untuk digarap. Dari wawancara Misbach dengan  Bachtiar Effendi dalam buku Sejarah Film 1900-1950, diketahui bahwa Lie Tek Swie adalah seorang sutradara yang pernah bekerja di kantor impor film Barat. Ia seorang memiliki jam terbang yang tinggi, sesekali ia melakukan editing film-film Hollywood.

Proses pembuatan film ini tak terlepas dari peran Andjar Asmara, yang mengadaptasi novel tersebut menjadi pementasan drama, yang  melakukan pendekatan sedemikian rupa pada Lie. Banyak aktor Melati van Agam diambil dari aktor Padangsche Opera: A. Rachman, Neng Titi, Oemar, Bachtiar Effendi.

Masih mengutip catatan Misbach dalam Sejarah Film 1900-1950, film Melati van Agam dijadikan dua bagian. Di bagian ke-1, terdapat kisah Norma jatuh hati kepada Idrus saat acara pacu kuda di Fort de Kock, lalu diakhiri Idrus yang pulang bersepeda disambut mesra oleh Norma. Gambar diambil di pacuan kuda Fort de Kock dan dari Sungai Bramas sampai Emahaven. Ini adalah pengambilan gambar pertama di Sumatra Barat untuk film komersil pada tahun 1929-1930. Bagian ke-2 dimulai saat Norma menikah dengan Nazzarudin dan dibawa ke Kota Raja sampai pada akhirnya berakhir di Fort de Kock ketika roh Norma dan roh Idrus terbang ke langit.

Bagian 1 dan 2 dirilis berbeda tahun. Bagian ke-1 dirilis 1 Agustus 1930. Sedangkan yang ke-2  tanggal 16 Januari 1931. Film itu banyak menuai pro-kontra. Salah satunya dari Kwee Tek Hoay yang menulis di majalah Panorama, ia menulis tentang adegan yang ganjil ketika orangtua Norma dalam memperebutkan bungkus mas kawin berisi f 3000. Padahal, mereka belum membuka isinya. “Ini lebih buruk dari cara pengaturan Opera Bangsawan yang brengsek. Orang desa yang bodoh pun bisa melihat cacat itu”. Sedangkan Andjar Asmara memuji sinematografi dalam Melati van Agam yang dikerjakan oleh Lupias.

Siti Noerbaja

Lalu seperti yang sangat kita tahu Siti Noerbaja atau Siti Nurbaya adalah roman karangan Marah Rusli. Diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922, roman ini kemudian juga di adaptasi oleh Andjar Asmara menjadi naskah drama untuk Padangsche Opera setahun setelah novel itu terbit. Sebagaimana Melati van Agam, cerita dari panggung sandiwaranya diterima baik oleh masyarakat.

Dan sebagaimana Melati van Agam, Lie Tek Swie jugs mengadaptasi roman Siti Noerbaja. Setelah keluar dari Tans Film karena cara kerja yang tidak sepaham dengan perusahaan (banyak menghabiskan anggaran produksi, salah satunya film Melati van Agam yang banyak mengeluarkan uang karena harus syuting di Sumatra, sehingga lebih besar pasak dari pada tiang) ia akhirnya mendirikan Standard Film bersama Touw Ting Iem yang bertindak sebagai produser. Di bawah rumah produksi baru inilah film Siti Noerbaja digarap, karya adaptasi ketiga Lie setelah Njai Dasima tahun 1929 dan Melati van Agam 1931.

Film Siti Noerbaja akhirnya rilis pada akhir tahun 1941. Amanah, Momo, dan Soerjono yang menjadi pemainnya. Ini adalah adaptasi pertama dari roman tersebut yang dikemudian hari diadaptasi menjadi Sinetron oleh Dedi Setiadi dan berlanjut pada Encep Masduki. Sayang sekali tidak banyak keterangan yang bisa didapat untuk menjelaskan lebih jauh tentang film Siti Noerbaja tersebut.

Jika saja film-film tersebut masih bisa diakses hari ini, tentu sangat menarik.  Kita misalnya bisa membahas estetika yang coba dihadirkan oleh Lie Tek Swie dalam menggarap dua film tersebut. Namun dua film itu hilang. Sepanjang pengetahuan dan pencarian, saya curiga kalau tidak ada yang menjaganya setelah Indonesia merdeka.

Begitulah seluloid, jika tidak dirawat dengan baik akan hancur tak bersisa dan adegan di dalamnya pun hilang bersama misterinya. (*)

 

*Naskah ini sebelumnya pernah terbit di Padang Ekspres, diedit ulang dengan perubahan yang cukup berarti. 

Ilustrasi: Amalia Putri (@_smlptrk)

Editor: Setia Subakti

About author

Alumnus Sastra Indonesia FIB Unand. Peneliti di RelAir. Warga Lab. Pauh 9.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *