Artikel

Kumis, Suharto, dan Anak-anak

Pada saat-saat menjelang pecahnya pemberontakan Silungkang 1926/27, seorang tokoh Sarekat Rakyat Padang Panjang bernama Datuak Batuah ditangkap polisi kolonial. Dia dituduh menghina pemerintah serta berniat melakukan makar. Penangkapan ini menimbulkan reaksi keras di kalangan pengikutnya.

Fikrul Hanif Sufyan (2017; 89) mengungkapkan untuk merespon penangkapan itu, anggota Sarekat Rakyat di kota-kota Sumatera Barat mengadakan rapat umum di sebuah bioskop di Padang Panjang pada tanggal 2 dan 23 maret 1924. Polisi kolonial yang cemas oleh banyaknya massa yang berdatangan pada hari itu, tak punya dalih untuk menghentikan rapat umum karena undang-undang larangan berkumpul belum ada. Akhirnya polisi mengumumkan bahwa orang yang diperbolehkan masuk ke bioskop untuk mengikuti rapat umum adalah orang yang berumur di atas 18 tahun.

Lalu bagaimana menentukan umur orang? Polisi kemudian menentukan umur seseorang berdasarkan kumis! Siapa yang berkumis boleh mengikuti rapat umum. Siapa yang tidak berkumis berarti belum berurmur 18 tahun dan karena itu belum cukup umur untuk berpolitik. 400 peserta yang tidak memiliki kumis, terpaksa menunggu di luar bioskop. Massa Sarekat Rakyat tanpa kumis ini, pastilah berasal dari siswa sekolah-sekolah di Sumatera Barat, terutama siswa Thawalib.

Dengan mengindetifikasi umur seseorang melalui kumis, otoritas kolonial tidak hanya berhasil membatasi peserta rapat namun juga berhasil memisahkan mana massa yang dianggap radikal dan moderat. Saat itu kumis lebih identik dengan kaum modernis islam yang lebih moderat dan kurang radikal. Lebih dari itu, dengan membuat kategorisasi dewasa dan anak berdasarkan kumis, tercermin keinginan Kolonial Belanda untuk mengasingkan anak-anak (dan kalau dapat semua pribumi) dari politik—sebuah keinginan yang akhirnya diwujudkan Pemerintah Kolonial pada 1933 dengan dikeluarkannya aturan larangan berkumpul.

Dalam masa-masa yang sama, menurut Jeff Hadler (200; 245-247), keluarga di Minangkabau memang tengah terpolitisasi. Keluarga, tulis Hadler, “terperangkap dalam serangkaian metafora politik”. Defenisi ‘anak’, yang awalnya “terkurung dalam relasi kekerabatan” kini dimaknai sebagai “komitmen terhadap teritorialitas yang lebih luas—anak Indonesia, anak Hindia, anak Sumatera”. Anak, melalui surat-surat kabar yang memiliki hubungan dengan Sarekat Rakyat dan Datuak Batuah, diberi muatan anti-kolonial sebagai ‘anak Indonesia’. Anak-anak serta remaja tidak berkumis yang berkumpul untuk mengecam penangkapan Datuak Batuah itu adalah bagian dari anak Indonesia itu. Wajar otoritas kolonial cemas dibuatnya.

Anak-anak Spesimen Orde Baru

Tidak butuh kejelian luar biasa untuk menyadari bahwa Suharto tidak memelihara kumis. Dari semua arsip foto Suharto yang bisa dijumpai di internet, dia memang sedari dahulu tidak memelihara kumis. Boleh jadi hal tersebut ada hubungannya dengan pandangan pribadinya mengenai keterbitan dan keteraturan yang mengejawantah dalam berbagai bentuk kebijakan Orde Baru. Kajian mengenai kekuasaan dan anak muda di masa Orde Baru yang ditulis oleh Aria Wiratma Yudhistira (2010) memperlihatkan kalau imaji rezim tersebut tentang ketertiban berkaitan erat dengan penampilan fisik. Memelihara kumis, berjenggot, dan gondrong adalah penampilan umum para pemuda di masa revolusi, mulai dari yang betul-betul revolusioner maupun yang sekedar bandit oportunis. Penampilan demikian, kemudian  lekat dengan citra revolusioner dan pembangkangan. Dua sikap terakhir, kita tahu, sangat bertentangan dengan ketertiban, stablitas, dan kesopanan versi Orde Baru.

Dalam rezim pemuja sopan-santun semu itu, Suharto yang tidak berkumis itu mengangkat dirinya sendiri sebagai teladan bagi anak-anak Indonesia. Sebuah buku yang ditulis khusus untuk anak-anak, Riwayat Pak Harto, diterbitkan pada 1984. Buku yang sudah dua kali dicetak sampai 1985, ini adalah “Bacaan Untuk Anak-anak dan Remaja”.

Secara umum, buku ini mengisahkan kehidupan Suharto sampai menjadi Presiden Indonesia dan mendapat gelar Bapak Pembangungan. Dalam buku ini digambarkan bagaimana masa-masa kecil Suharto yang sederhana, lahir dari keluarga sederhana, bekerja tekun, hidup teratur, tidak mengeluh dan tidak suka membantah, dan terutama hormat serta patuh pada orang tua. Orang tua dalam buku ini tidak dapat dimaknai secara harfiah sebagai orang tua biologis, melainkan siapa-siapa yang berjasa dan harus dijadikan panutan. Di atas semua itu, dalam buku ini orang tua secara metaforik digambarkan sebagai orang yang punya kuasa.

Adalah Prawiroharjo, seorang priyayi yang menikahi adik dari ayah Suharto, yang menjadi sumber inspriasi serta berjasa banyak bagi Suharto. Dari mulai memberi Suharto fasilitas untuk bersekolah sampai mencarikan kerja untuknya setelah sekolahnya tamat. Singkatnya, dialah ideal sosok orang tua bagi Suharto. “Ia siap membantu kepada siapa pun yang datang memintanya […] Ia memperlihatkan sikap yang hormat, ramah tamah, dan rendah hati. Semuanya itu membekas dalam hati Suharto” (Riwayat Pak Harto, hal. 12). Kepada Prawiroharjolah, sang orang tua itu, Suharto meminta restu saat hendak mengikuti berbagai kegiatan. Kepada dia juga Suharto dalam masa-masa remajanya meminta restu serta petunjuk setiap kali akan mengambil keputusan penting dalam karirnya.

Setahun setelah cetakan kedua buku tersebut diberbitkan, Suharto mulai saling-surat dengan anak-anak se-Indonesia. Aktifitas saling-surat ini kemungkinan besar disponsori oleh sekolah masing-masing anak. Pada 1991, saat Suharto mulai kehilangan dukungan dari tentara dan berangsur-angsur menampilkan wajah yang lebih sipil dan demokratis, 143 dari ribuan surat sepanjang 1985-1989 tersebut dibukukan dengan judul Anak Indonesia dan Pak Harto—sebuah buku yang, seperti ditulis Suharto sendiri dalam kata pengantar, ditujukan bagi anak-anak Indonesia.

Namun, anak-anak Indonesia macam apa yang diinginkan Suharto?

Dalam buku Riwayat Pak Harto dituliskan bahwa: “Rasa cinta tanah air para remaja dibina dengan cara lebih memperkenalkan lingkungan alam sekitar, misalnya dengan berkemah di pegunungan, menjelajahi daerah pedesaan. Sedangkan untuk mempertebal kedisiplinan dan kepercayaan terhadap diri sendiri, mereka diberi keterampilan baris-berbaris” dengan kata lain, anak-anak dan remaja haruslah melakukan aktifitas yang sifatnya tidak politis. Dunia mereka adalah alam dan baris-berbaris. Anak-anak macam inilah yang diharapkan Suharto kelak “menjadi manusia Indonesia yang utuh”.

“Anak yang baik di mata saya” tutur Suharto pada masa tuanya, “harus selalu patuh dan hormat kepada orang tua, yaitu kepada bapak dan ibunya”. Tapi, Bapak, Ibu, dan anak, di sini adalah bahasa-politis. Keluarga harus dilihat sebagai entitas yang lebih luas dari keluarga batih.

Seperti terlihat dari dua judul buku untuk anak-anak di atas, kita bisa tahu kalau di depan anak-anak Suharto ingin tampil sebagai “Pak” ketimbang sebagai sosok jendral. Pak, adalah penyebutan bagi Bapak Suharto yang dalam kosmologi politik Orde Baru berperan sebagai, seperti dikatakan Saya Shiraishi (2001), supreme father. Dengan menampilkan diri sebagai “Pak” bagi anak-anak, dia tidak hanya ingin menjadi Bapak bagi sekalian aparatus birokrasi dan militer namun juga Bapak bagi anak-anak Indonesia. Lengkapnya, Bapak bagi keluarga besar bernama Indonesia.

Lewat buku-buku “untuk anak-anak” tersebut, Orde Baru tidak hanya mengondisikan munculnya satu spesimen anak-anak yang terpisah dari politik namun juga memperlihatkan apa yang disebut oleh Bourchier (2017) sebagai Indonesian family state. Dalam family state tersebut, Suharto mempertahankan pemusatan kekuasaan pada dirinya dengan dalih menjalankan prinsip-prinsip kekeluargaan sesuai jati diri Indonesia yang murni. Dan seperti Prawiroharjo, dia suka tampil sebagai orang tua baik hati namun punya kuasa luar biasa. Dia kemudian mengubah birokrasi menjadi jaringan patronase raksasa di mana yang loyal akan mendapat imbalan dan yang berpotensi menjadi ancaman akan ditoleransi selagi tidak menantang secara terang-terangan.

Dalam keluarga besar seperti itulah anak-anak dibina dan harus tunduk serta hormat pada orang tua. Saat orang-orang tua melakukan korupsi, seperti dikatakan Shiraishi, mereka harus dimaklumi sebagai seorang Bapak atau Paman yang berbuat khilaf.

Tak sampai di situ, Helene van Klinken (2014) menunjukkan bahwa salah satu usaha Orde Barunya Suharto untuk mengindonesiakan orang Timor Timur yang dianggap Orde Baru sebagai anak-anaknya, adalah dengan jalan ‘mengadopsi’ anak-anak Timor Timur agar menjadi bagian dari keluarga besar Indonesia.

Anak-anak Bertanya, Suharto Curiga

Bapak Suharto dengan senyum ramah dan tidak berkumis itu, sebetulnya tidak suka jika orang banyak bertanya tentang dirinya. Sebaimana ditunjukkan antropolog James T Siegel (2000; 14-41), pertanyaan-pertanyaan dinilainya dapat berkembang menjadi desas-desus liar. Desas-desus akhirnya akan memancing perbedaan pendapat yang dapat merugikan orang banyak. “Lebih dari itu” tulis Siegel “desas-desus akan memancing aksi bawah tanah dan negara bisa goncang”. Itu dapat terjadi, menurut Siegel, karena Suharto mencampuradukkan legitimasi pribadi dengan legitimasi negara. Dengan kata lain, Suharto melihat dirinya pribadi sebagai suatu yang manunggal dengan negara—ia adalah negara itu sendiri.

Namun kumpulan surat dalam buku Anak Indonesia dan Pak Harto penuh dengan pertanyaan, termasuk pertanyaan yang terbilang berani dan politis. Anak-anak yang menulis surat tersebut menyadari ketimpangan ekonomi kota dan desa, bahkan ada yang mempertanyakan diskriminasi terhadap tertuduh PKI. Meski mereka lugu saat melihat, namun keluguan tersebut tidak berarti bahwa mereka sepenuhnya terpisah dengan lingkungan sosialnya. Mereka tidak hanya melihat pedesaannya sebagai alam permai sebagaimana dibayangkan Suharto. Di desanya, anak-anak ini melihat tiang listrik yang belum jadi-jadi serta kesempatan kerja yang sempit. Ringkasnya, apa yang dikategorikan sebagai anak-anak oleh Orde Baru ternyata memiliki sensibilitas sosial.

Suharto, dalam otobiografinya mengatakan bahwa ia sebetulnya senang membaca surat-surat tersebut. Selain karena bahasanya yang lugu, Suharto menganggap hal tersebut sebagai hiburan. Dia bahkan membalas beberapa surat dengan petuah-petuah dan cerita sejarah yang kebanyakan dikarang-karang. Tetapi pada peringatan hari anak 1994, Suharto tampak sudah tidak tahan dengan pertanyaan dari anak-anak. Seorang anak bertanya kenapa presiden Indonesia cuma satu.

Pada momen tersebut, sangat tampak bahwa Suharto, sama seperti pemerintahan Kolonial Belanda, sejatinya menganggap anak-anak belum cukup umur untuk memikirkan hal-hal tersebut. Baginya pertanyaan seperti itu tidak mungkin datang begitu saja dari seorang anak, mereka hanyalah korban hasutan seorang yang jahat. Pasti ada yang mengajari anak-anak tersebut. Di belakang pertanyaan itu, Suharto mengendus adanya lawan yang siap mengacaukan keharmonisan keluarga besar benama Indonesia.

Anak-anak Indonesia, dalam pembayangan Suharto adalah anak-anak lugu dan sudah seharusnya begitu. Anak-anak pribumi Hindia Belanda, dan masyarakat umumnya, dalam taraf tertentu juga diaanggap sebagai anak-anak yang lugu oleh Kolonial Belanda. Pembakangan-pembakangan yang semakin marak di awal abad 20, dianggap Kolonial Belanda sebagai akibat propaganda kelompok islam garis keras atau propaganda komunis (Cribb, 2010; 76). Remaja dan anak-anak tidak berkumis yang muncul di bioskop Padang Panjang pada 1924 dalam aksi mengecam penangkapan Datuak Batuah, tentu saja dilihat Kolonial Belanda lewat kacamata tersebut. Mereka, sama seperti anak yang bertanya pada Suharto, hanyalah korban hasutan kekuatan jahat yang hendak merusak rust en orde di Tropical Holland. (*)

Rujukan:

Bourchier, David. Ileberal Democracy in Indonesia: The Idiology of Family State. Routlede: New York, 2015.

Cribb, Robert. The Historical Roots of Indonesia’s New Order: Beyond Colonial Comparison dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy, Suharto’s New Orde and its Legacy. ANU E Perss: Canbera, 2017

Dwipayana, G dan S. Sinansari. Anak Indonesia dan Pak Harto. Citra Lamtoro Gung Persada: Jakarta, cetakan ke enam 1994.

Hadler, Jeffrey. Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme, dan Kolonialisme di Minangkabau. Freedom Institut: Jakarta, 2010.

Klinken, Helene van. Anak-anak Tim-tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta, 2014.

Sularto, B dan M.P. Siagian. Riwayat Pak Harto. Penyebar Musik Indonesia: Yogyakarta, cetakan kedua 1985.

Siegel, T. James. Penjahat Gaya [Orde] Baru: Eksplorasi, Politik, dan Kriminalitas. LKIS: Yogyakarta, 2000.

Shiraishi, Saya Sasaki. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia Dalam Politik. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta, 2001.

Sufyan, Fikrul Hanif. Menuju Lentera Merah: Propagandis Komunis di Serambi Mekah. Ugm Perss: Yogyakarta, 2017.

Yudhistira, Aria Wiratma. Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Marjin Kiri: Jakarta, 2010.

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *