Secara filsafati, hakim adalah perihal kewenangan mengadili yang menjadikannya terlihat bagai wakil Tuhan yang bertugas menegakkan keadilan di bumi. Namun beberapa catatan harus diungkap untuk mendudukkan bagaimana kinerja wakil Tuhan itu. Di Mahkamah Agung (MA), misalnya, yang pernah menjadi tempat angker bagi koruptor. Setelah ditinggalkan Artidjo Alkostar, MA lebih terlihat seperti swalayan yang saban hari menyediakan diskon beragam produk, dan ke sanalah para koruptor beramai-ramai datang berbelanja pengurangan hukuman.
Termutakhir adalah putusan kasasi MA atas kasus korupsi eks-Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Menurut majelis hakim kasasi, Edhy dalam jabatannya memiliki kinerja yang baik karena mencabut Permen Kelautan dan Perikanan No. 56/PERMEN-KP/2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No. 12/PERMEN-KP/2020 yang mengharuskan eksportir membeli benih lobster langsung kepada nelayan. Karena itu, hukumannya dikurangi dari yang sebelumnnya 9 tahun penjara menjadi 5 tahun saja. (Cek kasusnya di sini, atau di sini.)
Akan tetapi, majelis hakim tidak menjelaskan atas dasar apa Permen Kelautan dan Perikanan No. 12/PERMEN-KP/2020 dapat dikatakan lebih baik dibandingkan Permen Kelautan dan Perikanan No. 56/PERMEN-KP/2016, sedangkan Permen tersebut jelas bermasalah karena memperdagangkan benih lobster yang sejatinya tindakan haram dalam industri kelautan nasional. Peraturan ini juga pernah dikritik Ombudsman karena bertentangan dengan prinsip persaingan usaha. Bahkan penilaian sumir itu juga tidak substansial untuk dapat menjadi pertimbangan meringankan hukuman; bahwa sidang kasasi digelar bukan untuk mengadili lebih baik mana Permen yang satu dengan Permen yang lainnya.
Yang juga sangat sulit dipahami ialah atas dasar hukum apa majelis hakim dapat menilai kinerja seorang (eks) menteri, yang parahnya justru menerima suap atas peraturan ekspor yang dibuatnya sendiri. Seharusnya hakim di tingkat kasasi hanya menentukan tiga aspek yang meliputi penerapan hukum, cara mengadili dan batas kewenangan pengadilan, bukan menegakkan benang basah tanpa pertimbangan hukum yang logis. Bahkan bilamana meminjam alur logika itu, perbuatan korupsi Edhy seharusnya dilihat sebagai barometer bahwa ia menjalan tugas secara ugal-ugalan.
Putusan simsalabim ini harus dilihat beriringan dengan momentum Komisi Yudisial (KY) yang tengah menyeleksi Calon Hakim Agung (CHA), di mana beberapa waktu lalu telah muncul nama-nama yang dinyatakan lolos seleksi kualitas. Putusan kasasi di atas, yang menunjukkan betapa miskinnya nalar dan logika hukum Hakim Agung, tidak bisa dilepaskan dari proses seleksi CHA. Dan dari beberapa nama yang lolos seleksi kualitas, salah satu di antaranya ditengarai memiliki nalar dan logika hukum serupa itu.
Rekam Jejak Salah Satu Calon Hakim Agung
KY resmi merilis 66 nama CHA yang dinyatakan lolos seleksi kualitas akhir Januari lalu. Jumlah itu terdiri dari 36 hakim yang memperebutkan 4 kursi di kamar pidana, 5 hakim di kamar perdata dan 6 hakim di kamar agama yang akan disaring untuk mengisi masing-masing 1 kursi, 8 hakim TUN (khusus pajak) yang nantinya akan dipilih 2 nama, dan 11 calon Hakim Ad hoc Tipikor yang kelak akan diduduki oleh 3 orang.
Dari jumlah kesuluruhan, salah satu CHA untuk kamar pidana dapat digolongkan sebagai sorotan utama di tengah rapor merah MA. CHA yang bersangkutan deras menuai kritik atas putusannya terkait kasus lingkungan hidup baru-baru ini. Pada pertengahan Januari lalu, CHA tersebut selaku ketua majelis hakim banding mengabulkan permohonan banding korporasi yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit berstatus penanaman modal asing.
Sebelumnya pengadilan tingkat pertama menyatakan korporasi tersebut terbukti bersalah karena sengaja membiarkan terjadinya kebakaran lahan seluas 580 hektare yang terjadi selama 21 hari di wilayah konsesi lahannya. Pengadilan tingkat pertama dalam putusannya menghukum korporasi tersebut dengan pidana denda senilai 8 miliar rupiah dan pidana tambahan lebih dari 208 miliar untuk pemulihan lingkungan yang dibayarkan kepada negara.
Namun majelis hakim pengadilan tingkat banding yang dipimpin CHA tersebut membatalkan putusan itu dan membebankan tanggung jawab pemulihan lingkungan kepada masyarakat. Putusan ini ditengarai didasari pertimbangan Hak Guna Usaha (HGU) yang secara bersamaan dikuasai masyarakat dengan kepemilikan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR), sedangkan korporasi gagal dalam upayanya menguasai lahan tersebut. Padahal dalam fakta persidangan tingkat pertama, korporasi tersebut mengakui lahan yang terbakar adalah bagian dari konsesinya namun hanya diketahui oleh direksi tanpa diberitahukan kepada penanggung jawab dan pekerja.
Dalih itulah yang semula dinyatakan tidak berdasar oleh pengadilan tingkat pertama karena lahan tersebut secara sah dimiliki oleh korporasi sejak tahun 2005 dan menjadi bagian dari izin perusahaan. Fakta ini seharusnya dipahami oleh CHA tersebut; bahwa korporasi tersebut tidak bertanggung jawab atas lahan yang dikuasainya, mengingat sejak tahun 2013 korporasi terus mengupayakan penguasaan lahan hingga menempuh jalur hukum dan tidak bersedia melepaskan hak konsesinya. CHA tersebut seharusnya jeli meneliti perkara untuk menemukan benang merah yang menjadi pangkal okupasi lahan oleh masyarakat hingga 3.000 hektare di wilayah HGU korporasi, dan menghubungkannya dengan fakta upaya penguasaan lahan oleh korporasi sejak 9 tahun lalu. Setidaknya putusan CHA tidak menihilkan tanggung jawab korporasi tersebut atas lahan yang secara hukum berada dalam penguasaannya.
Bukan hanya putusan yang simsalabim, secara personal CHA tersebut juga dikenal menjalani gaya hidup yang sangat mewah. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang ditelusuri pada laman elhkpn.kpk.go.id, terbaru per tahun 2020, ia memiliki harta kekayaan senilai lebih dari 7,3 miliar rupiah. Namun yang mengagetkan dari data yang dihimpun 7 tahun tidak berturut-turut itu, CHA mengalami pertumbuhan kekayaan signifikan dalam 20 bulan. Dari LHKPN per Januari 2015, CHA memiliki kekayaan senilai Rp. 2.539.845.623, jumlah ini bertambah sebesar Rp. 6.255.114.819 sehingga per September 2016 total kekayaan CHA menjadi Rp. 8.794.960.442.
Sementara berdasarkan riwayat kesehatan, CHA pernah mengalami stroke beberapa tahun lalu yang meninggalkan bekas fisik pada sebagian tubuhnya. Temuan ini perlu dicatat mengingat tahap yang dilalui CHA selanjutnya adalah tes kesehatan. Secara proporsional, kita tentu berharap hasil pemeriksaan kesehatan bagi CHA dilakukan secara detail dengan hasil yang imparsial. Namun perlu diingat bahwa Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY, Siti Nurdjanah, beberapa waktu lalu secara terbuka menekankan pentingnya kesehatan jasmani dan rohani bagi setiap CHA.
Sebagai catatan, stroke merupakan penyakit pada pembuluh darah otak di mana organisasi kesehatan dunia (WHO) menggarisbawahi terjadinya defisit neurologik. Hal itu mengakibatkan penderita stroke, meski telah dinyatakan sembuh, tetap mengalami gangguan akibat kerusakan saraf otak karena adanya gangguan suplai darah. Keadaan ini berimbas bukan hanya pada terganggunya sistem motorik, namun juga perilaku, ingatan dan emosional, yang tentunya mengganggu tugas berat Hakim Agung.
***
Di tengah kritik berbagai pihak atas kinerja MA dan para hakim di negeri ini, harapan baik memang senantiasa dilambungkan. Bukan tanpa sebab, karena hakimlah ujung tombak dan titik harap terakhir tercapainya keadilan substantif tanpa pandang bulu, khususnya MA yang memayungi peradilan umum dan muara bagi keadilan yang kerap disembunyikan para hakim di balik jubahnya. Berpuluh tahun yang lalu pemikir hukum Jerman, Gustav Radbruch, mengetengahkan gagasan bahwa dalam sistem hukum terburuk sekalipun, seorang hakim masih dapat menciptakan keadilan melalui putusannya. Maka ketika itulah putusan pengadilan benar-benar menjadi mahkota di kepala hakim, dan keagungan anak manusia yang didaulat sebagai wakil Tuhan akan kekal tercatat di tangan Yang Maha Kuasa.
Semoga harapan baik itu tidak dilambungkan di tengah udara hampa! (*)