Artikel

Gubernur Terbang ke Borneo Membawa Tanah dari Ophir

Para gubernur terbang ke timur Borneo untuk sebuah acara penting.

Masing-masing dari mereka membawa beberapa jumput tanah dan juga air dari daerah masing-masing dengan wadah tradisional masing-masing daerah. Gubernur kita, Gubernus Sumbar, membawa tanah dari dekat Ophir, karena dianggap tanah yang tersubur di sini. Sementara airnya didatangkan dari kaki gunung Talang. Dibawa dengan wadah dari betung, perian namanya kalau tidak salah.

Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa tidak mengerahkan para mahasiswa pecinta alam saja, ya, untuk mengambil tanah dari puncak gunung Marapi, sebagai asal titik pelita, muasal nenek moyang kita. Airnya bolehlah dari Talang, yang jelas bersih, sejuk lagi murni, asal jangan dari danau Maninjau atau Singkarak yang tercemar pakan ternak dan masam oleh belerang itu saja.

Para gubernur dari provinsi lain punya narasi yang unik-unik juga soal dari mana mereka mengambil tanah dan air yang dibawa ke ibukota baru. Misalnya Gubernur Banten yang membawa tanah dari Badui dan air dari Air Tirtayasa.

Tidak semua ada beritanya memang. Mungkin ada juga yang mengeruk tanah dari tempat-tempat keramat lagi suci. Mungkin juga ada yang menyauk air dari telaga dewa-dewi yang bersumber dari airmata puti. Yang unik juga: ada yang diambil dari bekas tanah penggusuran seperti tanah yang dibawa Gubernur Anies dari DKI.

Ah, terserah sajalah. Dari belakang rumah dinas boleh jugalah. Apa pentingnya sih itu.

Tanah dan air itu diserahkan langsung ke tangan Presiden. Presiden mengumpulkannya menjadi satu dalam satu gentong, kendi besar.

Ritual Kendi Nusantara, demikian acara itu disebut. Kata ‘ritual’ sendiri sudah lama mengandung unsur magis, khas ketimuran, yang transendental. Jadi, mendengar kata ‘ritual’, ada juga Buya-Buya tertentu yang menganggapnya syirik, tidak sesuai adat yang bersandi syarak.

Tetapi telah lama juga kata ‘ritual’ itu jadi sekadar sinonim untuk seremoni, perayaan yang bisa juga bersifat profan belaka. Lihatlah di kamus pengertiannya. Saya pikir, pada pengertian yang terakhir inilah ia kali ini dimaknai.

Seorang antropolog Kalimantan Timur, Nasrullah, mengatakan ritual itu tidak berdasar, mengada-ngada, lagi asing bagi Kalimantan. Entah dari budaya mana ia dicuplik? Kalaupun berasal dari ritual suku tertentu dari Indonesia ini, itu di luar dari kebudayaan suku-suku di Kalimantan tempat ritual itu dilaksanakan, katanya. Mestinya memang tradisi setempatlah yang ditonjolkan. Ada betulnya juga.

“Indonesia dibuat terus jadi model kerajaan Jawa,” kata J.J. Rizal. Lebih keras dan menyakitkan kata-kata sejarawan Betawi itu terasa. Indonesia ini, katanya lebih lanjut di media sosial miliknya, “tumbuh bukan jadi republik tulen, melainkan republik keraton yang penuh teater, eksistensinya ditentukan drama-drama, upacara-upacara, simbol-simbol spektakuler untuk menutupi kegagalan jadi negara modern.”

Mungkin benar juga Bang Rizal itu. Makin ke sini, republik ini makin jadi negara panggung, “the theater state,” kata Clifford Geertz. Ingat-ingat saja yang telah terjadi. Kirab pelantikan dengan kereta kencono. Iring-iringan Presiden, Panglima TNI, dan pejabat-pejabat tinggi lainnya dengan motor trail di tol trans-Papua. Aksi naik motor dalam pembukaan Asian Games dan belum lama ini menjajal sirkuit Mandalika mungkin masuk juga. Dan tentu saja yang terbaru, ritual di titik nol ibukota baru.

Ada-ada saja kerja kekuasaan. Main alek-alek mereka di tengah kekisruhan hidup orang banyak.

Ada banyak yang mesti diurusi, hal yang penting-penting dan substansial, yang kini justru lagi kisruh dan kalang kabut.

Macam kasus minyak goreng.

Macam kasus pupuk dan racun.

Macam kasus penyerobotan tanah rakyat untuk tambang.

Ah, macam-macamlah yang jika diurutkan bisa buat malas para pembaca karena kepanjangan.

Iklim kita lembut dan lunak pada kita. Makanan kita tersedia luas dan berlimpah, macam beras, ikan, buah-buahan, dan segala macan yang tak terhitung jumlahnya, keberadaannya lebih pasti dari sebagian besar dunia lainnya yang sulit sekali memperoleh bahan makanan alami macam begitu.

Sehingganya, kata sejarawan Anthony Reid, orang-orang Asia Tenggara ini beruntunglah karena punya keuntungan alamiah untuk bebas dari perjuangan terus-menerus untuk bertahan hidup.

Maka dari itu, kita ini punya lebih punya banyak waktu luang untuk acara-acara senggang macam begitu. Ya, macam ritual kendi itu.

Eh, tapi, jangan salah-salah.

Dalam logika kekuasaan, pertunjukan-pertunjukan semacam itu amatlah penting niilainya. Terutama secara politik:

Iringan-iringan karavan yang membawa diplomat-diplomat dari negeri-negeri vassal memasuki gerbang istana Kaisar, dalam sejarah Cina, tidak sekadar pawai biasa.

Iring-iringan gajah yang membawa para utusan dari daerah taklukan Aceh zaman Iskandar Muda menuju Masjid atau tanah lapang untuk sembahyang Ied bukan sekadar selebrasi hari raya.

Barisan duta-duta dari negara-negara bawahan dalam memasuki istana Siam bukan sekedar acara tahunan yang patut diabaikan.

Acara adu banteng dan harimau di alun-alun keraton Jawa, pawai-pawai dalam grebek syawal dan maulud ala Mataram, bukannya tanpa tujuan yang jelas atau sekadar menghibur rakyat.

“HIdup harus dipandang sebagai sandiwara, melakukan permainan-permainan tertentu, memberikan sajen korban, menyanyi dan menari, barulah seorang dapat mengambil hati para dewa, membela diri terhadap musuh-musuhnya, dan menang dalam perlombaan,” begitu kata Plato, mungkin melihat pada kasus Yunani di zamannya.

Hal-hal yang terlihat tidak substansial, remeh, seremonial semacam itu, punya nilai politik yang khusus dan bahkan bagus bagi kekuasaan tertentu.

Kalau kata Geertz, hal-hal semacam  itu merupakan pengukuhan statusnya sendiri secara nyata sebagai pusat kekuasaan. Kadang juga berfungsi sebagai unjuk kekuatan untuk mempertegas kesetiaan dari daerah-daerah bawahan.

Para gubernur menyerahkan tanah dan air dari negerinya masing-masing. Kalau zaman raja-raja dulu, apa arti dari menyerahkan secara simbolik tanah dan air selain tanda takluk dan setia? Kalau sekarang, tentu bisa artikan tanda persatuan, sebab tak ada yang takluk dan ditaklukkan dalam konsep Indonesia Raya kita ‘kan? Bahwa tanah dan air dari 34 provinsi disatukan dalam satu gentong yang tak akan terpisahkan, NKRI toh harga mati.

Tapi, ingat saja, sejarah membuktikan, keutuhan suatu kerajaan atau kekaisaran nyaris tak ada yang betul-betul karena rangkaian pertunjukan demi pertunjukan, panggung, dan selebrasi demi selebrasi. Sekeras apa pun Kaisar Ming terakhir mengadakan pawai-pawai di istana terlarang, kejatuhannya terjadi juga. Pemberontakan rakyat meletus juga di mana-mana. Proyek-proyek raksasa Ming dan perang-perangnya yang melelahkan telah membawanya sendiri pada kehancuran: sawah-sawah terbengkalai karena laki-laki dipaksa pergi berperang atau diarak mengerjakan kota-kota dan monumen-monumen raksasa, kelaparan di mana-mana, dan wabah penyakit memasuki bilik-bilik dengan leluasa. Keruntuhan Mataram tidak tertolong oleh seberapa banyak pun acara pertunjukan adu banteng dan harimau diadakan Sultan. Kegagalan Aceh mempertahankan vassal-vassalnya tidak akan tertolong oleh seberapa banyak pun Sultan mengadakan pawai-pawai gajah.

Panggung yang diciptakan negara mungkin menarik hati untuk sesaat, bisa jadi penawar dan hiburan. Tapi ia akan jadi tak berarti apa-apa setelah kesaradan tiba: hidup sedang tidak baik-baik saja.

Minyak mahal.

Pupuk dan racun mahal.

“Segalanya mahal!” begitu kata istri saya. (*)

 

 

About author

Deddy Arsya adalah dosen sejarah di IAIN Bukittinggi. Ia menulis puisi, cerpen, resensi film dan buku, serta esai tentang sejarah dan seni. Karya-karyanya telah dimuat di surat kabar, majalah, dan jurnal nasional. Kumpulan puisinya, Odong-odong Fort de Kock (2013) dan Khotbah Si Bisu (2019) terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik 2013 dan 2019 versi Majalah TEMPO.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *