Artikel

Gelar Adat untuk Kucing

Selasa lalu (9/5/2023) Teddy Minahasa divonis hukuman penjara seumur hidup oleh PN Jakarta Barat atas kasus narkoba yakni menukar barang bukti sabu dengan tawas. Ia pernah menjabat sebagai Kapolda Sumatra Barat dari 25 Agustus 2021 sampai 12 Oktober 2022. Semasa menjadi Kapolda Sumbar, tepatnya 16 Juni 2022, ia mendapat gelar adat kehormatan (sangsoko) Minangkabau “Tuanku Bandaro Alam Sati”. Kasus yang menimpanya saat ini membuat banyak pihak meminta pencopotan gelar sangsoko itu.

Saya mempunyai pendapat yang sama dengan Fauzi Bahar, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Gelar sangsoko yang sudah diberikan kepada Teddy Minahasa tak perlu dicopot. Fauzi Bahar beralasan bahwa, selama menjadi Kapolda Sumbar, Teddy banyak menumpas tindakan kriminal seperti judi, prostitusi, dan menghukum anggota polisi yang menjadi beking kejahatan. Terkait terjadinya peningkatan capaian vaksinasi di Sumbar, menurut Fauzi Bahar, juga tak terlepas dari peran Teddy sebagai Kapolda Sumbar.

Namun begitu, saya punya alasan yang berbeda dari Fauzi Bahar. Bagi beberapa pihak, pencopotan gelar sangsoko tersebut perlu dilaksanakan untuk menjaga marwah gelar sangsoko. Hal itu tentu boleh-boleh saja dilakukan kalau memang masih ada marwah gelar sangsoko dan keberadaannya dalam masyarakat Minangkabau masih mengandung kebajikan. Masalahnya, saat ini tak ada lagi martabat yang jelas dan kegunaan yang benar-benar nyata dari gelar sangsoko seperti itu. Oleh sebab itu, bagi saya, gelar yang sudah diberikan kepada Teddy tidak perlu ditarik kembali karena memang sejak awal tak ada apa-apa yang diberikan kepadanya selain halusinasi kaum tradisional dan takhayul kaum politik yang dibungkus gelar sangsoko.

Ada atau tidaknya gelar kehormatan itu, tidak akan berdampak apa-apa pada ketokohan Teddy Minahasa. Ada atau tidaknya Teddy Minahasa, gelar sangsoko itu akan tetap berpotensi dipenuhi omong kosong sebagaimana gelar kehormatan lainnya. Akan lebih mudah membayangkan hubungan saling merusak antara Teddy dan gelar sangsoko Minangkabau daripada hubungan yang saling membesarkan. Agaknya, ranting kayu yang hanyut di batang air lebih ada manfaatnya daripada sebuah gelar sangsoko.

Tapi, pemberian gelar untuk Teddy hanyalah salah satu dari ratusan seremonial yang pernah terjadi.

Sejak berpuluh tahun lalu, kritik atas pemberian gelar sangsoko secara obralan itu sudah jamak dilakukan oleh berbagai pihak. Saking banyak dan seringnya dikritik, tak ada lagi alasan yang kuat untuk mempertahankan pemberian gelar. Dan sampai sekarang, apa yang terjadi di Minangkabau cenderung sama seperti batu: kritik yang konstruktif sekalipun tak akan ada artinya, dan tindakan tak berguna akan tetap dirayakan sejadi-jadinya. Budaya Minangkabau memang cenderung mengakomodir praktik kritik atas kebudayaan sendiri, akan tetapi di saat bersamaan sikap masa bodoh atas kritik pun tumbuh kuat.

Sejak zaman ketumbar semua sudah jelas bahwa pemberian gelar sangsoko kepada seorang tokoh, baik bagi yang sedang bertugas di Sumatra Barat atau yang berkunjung saja, hanyalah persoalan tukar-tambah kepentingan. Yang memberi dan yang diberi sama-sama punya kehendak pragmatis. Kalau tak dapat jangka pendek, jangka menengah pun jadi. Kita tidak perlu pula melakukan tari piring empat puluh hari di puncak Marapi untuk memahami hal itu. Adapun pernyataan luhur yang dijadikan alasan pemberian gelar itu sangatlah gampang untuk dicari-carikan kaitannya. Apa sulitnya. Di dalam masyarakat yang fasih bermain kata, begitu gampang untuk melipat kain perca agar tampak seperti selendang.

Apalagi, orang-orang budaya yang jadi kacung politik akan lebih aktif mendayagunakan akal-pikirannya semaksimal mungkin bila dorongan utamanya adalah persoalan untung-rugi dan ini jelas bukan gejala baru di Minangkabau. Demi menjaga kelancaran urusan untung rugi itu, kecakapan bermain kata-kata akan digunakan sebaik mungkin, yang tak jarang diberdayakan untuk mencari pembenaran di setiap kepentingan yang dikejar habis-habisan. Tak heran bila seseorang lebih terlatih untuk merendahkan kritik daripada memahami kritik itu sendiri.

Sebentar lagi Pilpres 2024. Mulai saat ini dapat kita tebak dengan tepat bahwa obral gelar sangsoko akan semakin ramai sebagaimana saat berbagai kenduri politik sebelumnya. Semakin tinggi level kendurinya maka gelar sangsoko semakin banyak kortingnya, tak ubahnya seperti kacamata hitam yang dijual untuk dipakaikan ke monyet-monyet di taman wisata alam.

Saya tak habis pikir mengapa para tokoh publik merasa begitu penting untuk mendapatkan pemberian gelat adat Minangkabau. Saya pernah mendapat info bahwa ada tokoh publik yang ingin berkunjung ke Sumatra Barat dan semenjak dari Jakarta ia sudah berpesan agar nanti ia diberi gelar adat. Bagaimana cara memberitahu tokoh publik itu bahwa pemberian gelar sangsoko tak akan membuat orang Minangkabau tiba-tiba manut kepadanya?

Dalam Minangkabau sendiri, sekalipun masih ada umat manusia yang berebut mendapatkan gelar sangsoko, bahkan sampai merusak silaturahmi, tetapi tak kalah jamak dijumpai orang Minangkabau yang melihat gelar sangsoko tak lebih dari sekadar simbol inferioritas yang dibungkus dengan keangkuhan ataupun simbol muslihat yang dibungkus dengan keluhuran. Sayangnya, sedikit sekali para tokoh publik yang memahami bahwa mendapatkan gelar sangsoko hanya membuat mereka tampak seperti kerbau yang tersungkur di pematang sawah.

Tapi, yang bisa diberikan itu ‘kan sebatas gelar sangsoko (gelar kehormatan), mengapa harus dipikirkan benar seakan-akan itu adalah gelar sako (gelar warisan kaum)? Itu persoalannya. Keberadaan gelar sangsoko itu, karena ia bisa diberikan kepada orang banyak, justru paling potensial digunakan dalam tujuan-tujuan yang terselubung, apalagi untuk kebutuhan politik praktis. Pada saat sekarang ini, di tengah semakin artifisialnya praktik-praktik berbudaya kita, gelar sako (yang jelas-jelas hanya bisa diturunkan kepada orang Minangkabau tertentu saja)  sudah mulai kehilangan kehormatannya, salah satunya karena gampang dipolitisasi. Apalagi hanya gelar sangsoko yang lebih mudah untuk ditarik-ulur oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Bagaimana pun juga, apa yang sering diagung-agungkan sebagai keluhuran budaya Minangkabau itu tak akan sanggup ditopang hanya oleh upaya menjaga kemuliaan satu aspek saja sementara aspek-aspek lainnya hanya muslihat untuk mengelabui rakyat.

Apa akal kita lagi?

Dalam beberapa tahun belakangan, saya memberikan gelar adat secara cuma-cuma kepada kucing-kucing saya. Beberapa orang menyebut tindakan saya itu memain-mainkan adat Minangkabau. Justru saya ingin menaikkan kembali martabat gelar adat Minangkabau, dari barang cuci gudang yang bisa dipatok secara manasuka menjadi nama spesial yang tak tergantikan untuk kucing kesayangan.

Saya tutup dengan sebuah pantun. Sampiran baru isi lama:

Kabuik taba gunuang Marapi

Ka kida mahantak bukik

Ka suok masuak ka jurang

Baruak bereben mambaok oto

 

Kok disabuik Minangkabau kini

Makin diubek makin sakik

Tawa taserak biso nan datang

Urang maubek lah damam pulo. (*)

 

 

About author

Sastrawan dan Peneliti Budaya.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *