Membicarakan Pekanbaru, kita seakan diajak memulainya dari hilir, bukan dari hulu di mana sungai sejarah itu mengalir. Bayu Amde Winata dalam bukunya Pakan Baroe, Nadi Sumatera yang Terlupakan (2023) menyodorkan persfektif ini dalam melihat posisi strategis ibukota Provinsi Riau di masa lalu, kini dan masa datang.
Selat Malaka dapat dikatakan kawasan hilir. Meliputi titik penting: Malaka, Penang dan Tumasik (Singapura) sebagai sentra perdagangan. Lalu Johor, Bintan, Penyengat dan Lingga sebagai ibukota kerajaan. Maka kawasan ini merupakan pusat geliat ekonomi di satu sisi, dan pusaran politik regional di sisi lain. Berbagai situasi di hilir berpengaruh ke hulu.
Kawasan hulu merujuk daratan Riau dengan sejumlah sungai besar yang bermuara di Selat Malaka. Salah satunya sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia. Alurnya dapat dilalui kapal berbagai ukuran dengan jangkauan pelayaran yang jauh. Tentu melewati titik-titik penting seperti Sungai Pakning, Bengkalis, Bukit Batu, Senapelan, Buantan, Mempura hingga Petapahan. Titik tersebut sebagian merupakan pusat penghasil dan pengumpul komoditi, sebagian lain berstatus ibukota kerajaan.
Siak merupakan hinterland negeri-negeri selat. Berbagai komoditas dihasilkan dan dipasok ke pusat-pusat perdagangan di hilir tersebut. Mulai dari hasil hutan seperti kayu terbaik pembuat kapal, rotan, damar, jerenang, lilin lebah, kapur barus, gading gajah, hingga telur ikan terubuk (halaman 87). Hasil tambang meliputi emas, timah dan batubara. Hasil perkebunan tercatat gambir, karet dan tembakau.
Produk unggulan berganti-ganti sesuai permintaan dan harga pasar. Namun produk unggulan lain tetap stabil, seperti kayu bahan baku kapal. Kayu tak tergantung pasar global karena dibutuhkan terus-menerus sehubungan kian meningkatnya armada laut. Karena itu kayu jadi daya tarik sekaligus daya tawar Kesultanan Siak. Siak pernah memindahkan ekspor kayunya dari Malaka (Belanda) ke Penang (Inggris), semacam upaya diplomatis, membuat pihak yang butuh kelabakan.
Dari Johor ke Siak
Percaturan politik hilir juga sangat menentukan dinamika hulu, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kaca benggala paling jernih untuk melihat itu adalah peristiwa mangkatnya sultan Johor, Sultan Mahmud II (1699). Itu lantaran siasat Datuk Bandara Tun Abdul Jalil yang segera naik tahta bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Di luar pengetahuan Sultan Abdul Jalil, mendiang Sultan Mahmud punya anak dari selir Encik Apong, putri Datuk Laksmana, petinggi kerajaan. Laksmana diam-diam menitipkan cucunya yang bernama Raja Kecik itu kepada Kepala Suku Laut Tumasik.
Raja Kecik diadopsi Temenggung Muar. Tapi si kakek tetap kuatir. Selagi berada di hilir, besar kemungkinan Datuk Bandara mengetahui keberadaanya. Maka dititipkanlah ia kepada seorang pedagang dari Minangkabau, Nakhoda Malim. Sang Nakhoda membawa Raja Kecik jauh ke hulu: mula-mula ke Jambi, lalu ke Pagaruyung. Putri Jamilan, ibu suri kerajaan yang mengasuh Raja Kecik memanggilnya Tuan Bujang (hal. 15).
Tuan Bujang remaja—berganti nama jadi Raja Beralih—dilepas “merantau” dan diterima bekerja sebagai pembawa tepak sirih Raja Lemah Abang di Kesultanan Palembang. Ia menikah dengan putri Dipati Batu Kucing di Musi Rawas, punya seorang putra bernama Raja Alam (kelak menjadi Sultan Siak ke-4).
Raja Kecik kembali ke Pagaruyung minta dukungan merebut tahta Johor. Berbekal cap stempel Pagaruyung, ia kumpulkan orang Minangkabau dan Melayu di Bengkalis. Tokoh Bugis ikut menemuinya membuat komitmen politik. Juga Suku Laut Tumasik. Didorong kepentingan dagang, Gubernur Portugis di Malaka membantu dengan 200 orang bala tentara.
Bulan Februari-Maret 1718 Raja Kecik menyerbu Panchor, ibukota Kerajaaan Johor. Raja Kecik berhasil menjadi raja bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Ia menikahi Tengku Kamariah, putri Datuk Bendahara yang dulu penyebab ayahnya mangkat. Pernikahan rindu-dendam itu melahirkan Raja Mahmud, kelak juga naik tahta di Siak (halaman 19-22).
Raja Kecik hanya berkuasa tiga tahun (1718-1721). Ia diturunkan atas serangan Raja Sulaiman, adik iparnya, dibantu bangsawan Bugis. Raja Kecik melarikan diri ke Lingga, tapi terus digempur pasukan Johor. Ia lalu kembali ke hulu.
Setelah berkonsultasi dengan Pagaruyung, Raja Kecik mendirikan Kesultanan Siak Sri Indrapura di tepian sungai Siak, tepatnya di Buantan (1722). Ia pakai gelar yang sama waktu berkuasa di Johor: Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Tahun 1937 ia sempat menyerang lagi ke hilir. Misinya menjemput anak-istrinya yang tertinggal di istana Johor.
Setelah itu Raja Kecik memusatkan perhatian ke Kerajaan Siak. Ia melihat bahwa perdagangan komoditi dari hulu akan sangat penuh prospek di kawasan hilir. Visi ini memperkuat dan memperbesar Kerajaan Siak.
Dari Senapelan ke Pekanbaru
Bandar penting Kerajaan Siak adalah Senapelan. Saking panjangnya pembicaraan dari hilir, Senapelan baru disebut Bayu pada halaman 44. Disebutkan, tahun 1747 Raja Kecik mangkat, digantikan Raja Mahmud. Ia menunjuk Said Muhammad sebagai syahbandar Senapelan.
Saat itu Buantan sebagai ibukota kerajaan menurun pamornya karena Raja Mahmud konflik terus-menerus dengan Raja Alam, kakaknya lain ibu. Akibatnya omset perdagangan Buantan turun drastis, dan ekonomi lesu. Pusat kerajaan pun dipindahkan ke Mempura. Juli 1763, Raja Alam yang gantian jadi raja, sekalian memindahkan pusat kerajaan ke Senapelan.
Tujuan pemindahan supaya posisi ibukota berada di bagian tengah sungai Siak dan dekat ke sumber komoditas di Petapahan. Sekaligus menjauhkannya dari loji Belanda di Pulau Guntung. VOC di Malaka sempat memperdebatkan pemindahan ibukota ini (halaman 72, 79), namun tak dijelaskan alasannya. Apakah VOC menganggap itu strategi Siak yang membahayakan kedudukan VOC? Boleh jadi. Tapi Raja Alam menunjukkan daulat dengan mengatakan dia bebas melakukan apa pun di wilayahnya.
Senapelan sendiri bukan wilayah tak bertuan. Daerah ini dipimpin Batin Senapelan, dengan empat datuk: Datuk Merpusun, Sai, Kelantan dan Merbadak. Mereka bertanggung jawab atas nasib Suku Gasib, Senapelan, Mandau dan Betung. Mereka menjemput raja Yam Tuan Belang ke Pariangan, dan mendirikan Kerajaan Gasib di Merangai, Senapelan.
Kerajaan ini meluas ke Tapung (Kampar sekarang) hingga Bukit Suligi (Rokan kini). Sayang, Gasib runtuh diserang Aceh abad ke-17, tapi suku-suku Batin Senapelan tetap utuh. Kerajaan Siak merangkul mereka sebagai puak bermarwah sehingga bandar baru itu terjamin keamanannya. Ini membuat perdagangannya cepat maju (halaman 77-78).
Di sisi lain, dikuasainya Petapahan sebagai sumber komoditi utama Kerajaan Siak, membuat Senapelan kian berjaya. Sebab bandar itu dijadikan gudang pengumpulan berbagai komoditi, sekaligus titik tolak pemberangkatannya ke negeri-negeri selat (halaman 72).
Tahun 1765 Raja Alam wafat dan digantikan anaknya, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Ibukota dikembalikannya ke Mempura (1783). Tapi Raja Muhammad Ali yang sudah menjadi Raja Tua kembali ke Senapelan. Tanggal 23 Juni 1784 ia membuka sebuah pekan (pasar) baru di sana. Sejak itulah Senapelan dikenal sebagai Pekanbaru. Tanggal 23 Juni kini diperingati sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.
Raja Ali dibantu syahbandar Tengku Said Ali berhasil menghidupkan Pekanbaru sebagai titik hubung ekonomi pantai barat dan timur Sumatera. Bahkan lebih jauh menghilir ke Melaka, Penang dan Singapura, sentra perdagangan dunia.
Selain jalur sungai, mereka buka akses jalan darat dari Teratak Buluh ke Tangkerang. Ini berarti menghubungkan tepian Sungai Kampar dengan Sungai Siak. Pekanbaru memang terletak di titik terdekat aliran kedua sungai tersebut. Cukup dihubungkan jalan darat sepanjang 18 km, dua sungai penting seolah dipersatukan di Pekanbaru.
Jalan darat kian berperan ketika terbuka akses ke Sumatras Weskuts (Sumatera Barat) melalui Bangkinang ke 50 Kota via Kelok 9. Rel kereta api pun dirintis dan pada masa Jepang, dikerahkanlah romusha. Nippon keburu kalah saat rel belum sempat dioperasikan.
Namun toh Pekanbaru tetap muncul sebagai sentra perdagangan, ekonomi dan politik hingga berkembang seperti sekarang. Ironisnya, sungai sebagai jalur utama terlupakan.
Menuju Kota Madani
Meskipun mengambil Pekanbaru sebagai judul utama, buku ini tidak merenteng kronik kota secara lempang. Justru terasa dominan perseteruan terus-menerus Raja Alam dan Raja Mahmud. Termasuk kisah pengembangan wilayah Siak ke utara, penyerangan ke semenanjung dan tarik-ulur dengan penguasa Eropa.
Maka tak terhindarkan, kesan yang muncul adalah historisisme Kerajaan Siak. Lagi pula, kata “nadi” berasosiasi memanjang, urat nadi, yang identik dengan sungai. Sementara Pekanbaru adalah satu titik, sehingga lebih tepat disebut “pusat” atau “jantung”.
Tapi jika yang dimaksud Bayu adalah “titik nadi”, maka “yang terlupakan” hari ini sebenarnya bukan hanya Pekanbaru. Melainkan sungai secara keseluruhan yang merupakan “urat nadi Sumatera” di masa lalu. Meski tentu nadi juga bisa berdetak dalam konteks “titik nadi” yang merepresentasikan “titik-titik nadi” lain di sepanjang urat nadi sungai historis itu.
Apa pun, Bayu menempatkan Pekanbaru bukan hanya dalam konteks Sumatera Tengah. Namun juga dalam historisisme pantai barat dan timur Sumatera, bahkan kawasan Selat Malaka dan Semenanjung Malaya. Inilah urgensi persfektif sungsang Bayu saat membicarakan sejarah Pekanbaru dari hilir; merengkuh potensi laut/selat ke dalam arus sungai sehingga dinamika Selat Malaka sebagai jalur tersibuk di dunia, ikut mewarnai kehidupan hulu.
Tak kalah menarik adalah referensi yang digunakan Bayu. Bukan hanya buku-buku Eropa, koran dan majalah, ia juga mengulik kitab-kitab lama yang ditulis sendiri oleh ulama/pujangga Melayu, seperti Sulatus Salatin karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al Nafis karya Raja Ali Haji, atau Syair Perang Siak dan Hikayat Siak.
Ia bahkan mencuplik bagian karya-karya klasik itu untuk menggambarkan situasi masa lalu secara dekat. Karena sejumlah peristiwa disaksikan dan dicatat langsung oleh “pujangga istana”, maka bisa dipertanyakan objektifitasnya. Tapi menurut saya, cara Bayu membandingkan dengan rujukan lain, relatif mengimbanginya secara objektif.
Sebaliknya, Bayu detail mencatat jumlah komoditas ekspor, jumlah pajak, dan segala hal bersifat matematis. Dalam buku sejarah hal begini termasuk langka. Ia memadukan unsur sosial budaya dengan materi eksak, namun tidak sesak, tidak mengurangi kenikmatan kita membacanya. Hanya saja, dalam banyak paragraf kita sering menemukan kalimat yang tidak selesai atau terpotong; sesuatu yang seharusnya belum diakhiri tanda titik, Bayu keburu memberinya titik. Hal itu mungkin perlu dibenahi dalam edisi baru atau edisi revisi.
Demikianlah, lebih dari penghasil dan pengumpul komoditi, kawasan hulu Pekanbaru juga bisa sebagai faktor penentu, sebagaimana kayu Siak dimasa lalu, atau sawit dimasa kini. Bertemunya spirit sungai dengan spirit laut/selat di Pekanbaru, merupakan modal luar biasa menegakkan marwah masa depan. Sehingga gelar “Kota Madani” bukanlah a-historis, tapi membumi.
Selamat Ulang Tahun ke-239, Kota Pekanbaru!
Selamat juga buat Bayu Made Winata yang telah mempersembahkan karya bagus untuk kotanya. (*)
Judul : Pakan Baroe, Nadi Sumatra yang Terlupakan
Penulis : Bayu Amde Winata
Penerbit : Soega Publishing, Bojonegoro
Cetakan : Pertama, Februari 2023
Tebal : xl + 245
ISBN : 978-623-7555-37-7