Caruik tak kan tertampik. Sehebat-hebatnya keyakinan kita tentang bagaimana luhungnya cara kita–orang minang–bertutur, berkias, mangango sabalun mangecek, kato sapatah dipikiaan, atau sebaliknya menangkap ujuang kato–sehingga tampak jelas jantan betina ikan di dalam aia, hanya dari kibasan singkatnya saja–caruik tetaplah bagian dari bahasa lisan Minangkabau. Sebagian orang tentu ingin menyurukkan cara ini, yang mungkin mereka pikir “tidak bermoral”. Tapi caruik akan tetap hidup, menubuh, dan terutama akan lahir sejalan dengan ketimpangan relasi sosial. Pun persoalan immoral, tidak berdiri dengan sendirinya.
Caruik Pertama
Setahun yang lalu agaknya, sekelompok mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Padang Panjang–sebut saja Ahmid dkk–bercarut di video. Dekan menjatuhkan hukuman. Untuk beberapa saat, saya sempat menduga yang di-pacaruik-pungkang-an Ahmid ini adalah Pak Dekan sendiri. Jelaslah sang dekan naik pitam. Namun, untunglah beberapa saat setelah itu saya dikirimi video lengkap “karya” yang dipersoalkan. Video saya tonton. Ternyata–tentu saja–saya salah. Yang dipacaruikkan adalah sosok fiktif. Walaupun fiksi, mungkin bisa saja terinspirasi pengalaman nyata personal, itu lain soal.
Meskipun saya salah menduga soal Pak Dekan sebagai “objek caruik”, tetapi saya tidak sepenuhnya salah tentang caruik itu sendiri. Ahmid dkk ini telah “bacaruik dengan sebaik-baiknya cara”. Tapi harap dicatat, caruik ini hadir dalam–dan sebagai–karya.
Ada lirik, musik, ada performance di situ. Padu, pandu. Sebagai karya, mestinya terang ia tidak dihadirkan dalam moment ketergesaan emosional, yang sembarangan, reaktif, khas peristiwa. Dari liriknya, aktualisasi emosi biasanya tidak memperhatikan struktur lirik yang “baik”. Orang emosional tidak mementingkan konten yang apik. Tengok atau dengar saja pasangan muda tetangga kita bacaran satu sama lain, misalnya, atau caruik kedua yang akan saya jelas kan nanti. Pada puncak emosi, semua yang buruk dari yang buruk keluar saling berebutan dari mulut mereka. Itulah salah satu moment emosional tertinggi yang bisa dicerap agaknya. Tapi Ahmid dkk tidak dalam peristiwa emosional seperti itu. Mereka membangun karya, dalam kesadaran kognisi, alih-alih emosi. Mungkin sekali, mereka (Ahmid dkk) pada suatu hari yang hujan di Padang Panjang nan dingin, duduk melingkar menghirup tembakau, berbagi kopi dan cerita. Dari pembicaraan ini lirik hadir, dibongkar dan disusun ulang. Menghadirkan lantun, memasukkan irama. Dipilihlah instrument, diaturlah pertunjukan. Satu orang mengambil gambar. Dan tersebar, viral.
Mungkin bayangan proses kreatifnya kurang lebih begitu. Mungkin juga berlangsung lebih natural, dan tentu tidak harus diakronik. Tapi point-nya adalah mereka tidak berada dalam peristiwa emosional. Sehingga tidak tepat dikatakan kalau “mereka anak mudo matah, yang kurang tahan mengontrol emosi”.
Caruik Kedua
Agar dua caruik seiring, kita masuk pada persitiwa berikut. Dalam dua tiga hari yang lalu kita menyaksikan lagi caruik baserak-serak di jalanan. Tidak tanggung-tanggung, yang disemprot caruik kali ini adalah Walikota Padang, Mahyeldi Ansyarullah. Jika anda sempatkan melihat video yang merekam kejadian, simaklah! Sungguh, sebulat-bulatnya caruik yang keluar.
Pasalnya, di waktu terbaik bersepeda gembira berkeliling kota, Mahyeldi menegur warga yang berjualan di area terlarang Pedagang Kaki Lima (PKL) di satu sudut Pantai Padang. Dalam Bahasa yang berbeda Harianhaluan.com menggambarkannya sebagai “menindak tegas para PKL yang membandel dan tidak mau diperingati”. Laporan lebih lanjut menjelaskan, “Walikota memberikan peringatan dengan cara yang tidak sopan, sehingga membuat mereka emosi dan keadaan makin memanas”.
Media online mem-framing kejadian ini segera. “Walikota Padang kanai caruik pungkang oleh Induak-induak Taplau”, “Ibu-Ibu bacaruik-caruik di depan walikota padang”, “Walikota Padang dipacaruikan emak-emak”, “Wako padang dicaci PKL”. Meskipun Sebagian besar framing media terkesan sedikit mendeskreditkan para pedagang–yang tanpa kehati-hatian kita bisa saja dengan cepat terjerembab menghakimi PKL sebagai mulut bertahi–namun media seperti Harianhaluan.com di atas, mem-framing dengan cukup berimbang. Tajuk yang diambil adalah “Wako Mahyeldi Ribut dengan PKL”. Setidaknya tajuk itu membingkai “dua pihak yang sedang dalam sengketa”, alih-alih seperti perseteruan setan dan malaikat. Bagaimana di media sosial? Wah, lebih rame lagi.
Dari video yang beredar kita tidak mendapatkan rekaman se-tidak-sopan apa sang Walikota menegur PKL, hingga memancing murka sekelompok PKL itu. Meskipun kita tidak tau persis penyebab awalnya, yang pasti, acara bersepeda gembira-pun berakhir tidak menyenangkan bagi Mahyeldi. Sepeda warna hitam dikayuh lambat-lambat, dilepas teriakan sahut menyahut para PKL: kami tidak takut walikota!
Mengeluarkan Yang Sesak
Tidak sebagaimana Ahmid dkk, peristiwa Caruik Taplau bukanlah sebuah karya. Jika karya adalah manifes dari “menghidupkan kembali kehidupan”, Caruik Taplau adalah kehidupan itu sendiri. Sosok yang dipacaruikkan (sekaligus yang mempacaruikkan) adalah tokoh faktual, bukan fiksi. Jika karya Ahmid dkk kemungkinan terinspirasi dari pengalaman nyata sehari-hari, maka caruik taplau adalah kenyataan itu sendiri. Ahmid dkk mungkin menghidupkan kembali perasaan terpendam melalui caruik di lagu, ibu-ibu PKL menumpahkan serta merta perasaan itu, tanpa butuh karya-karya, segera, tanpa butuh “panggung”.
Meskipun emosi tidak hadir dalam proses penciptaan karya Ahmid, “emosi” jelas-jelas (di)hadir(kan) dalam karya mereka. Begitupun dalam peristiwa Caruik Taplau, “emosi” hadir sebagaimana mestinya, namun tanpa proses kreatif seperti karya Ahmid. Melalui kedua-dua “caruik” ini, emosi itu disalurkan. Diucapkan dengan padek yang empat itu. Padeknya ampek Ahmid, sebegitu nyatanya, begitu emosionalnya, sehingga siapa saja yang mendengarkan akan lupa, bahwa ia tengah mengapresiasi karya. Padeknya ampek ibu-ibu PKL Taplau sebegitu jujurnya, sehingga siapa saja yang mendengarnya tahu, bahwa ada persoalan serius dan mendalam tengah terjadi antara Warga dan Wali-nya. Bahwa bahasa adiluhung sepertinya sudah tidak lagi berguna dalam relasi warga dan negara. Ada apakah gerangan dengan Kota Padang?
Sebagaimana ditulis Esha Tegar Putra “caruik adalah juga respon ketidakberdayaan. Sehabis-habis akal, keluarlah caruik”. Ada makna yang dalam yang dititipkan pada caruik. Jujur saja, caruik merilis beban hati.
Selain bersoal tentang “cara Walikota menegur”, walau kabur, frasa-frasa lain sebenarnya juga banyak berhamburan dalam video, tentang kecemburuan, ketidakadilan, penggusuran, keterdesakkan ikat pinggang. Emosi memang tidak berdiri di atas kejelasan, namun bukan berarti yang tidak jelas tidak perlu diketengahkan. Ada konteks sosial ekonomi yang buruk membayangi, yang melandasi, yang tersimpan lama, hingga sepertinya menemukan momentumnya untuk keluar pas di tengah acara sepeda gembira–betapa ironis. Jika emosi adalah penting dalam karya Ahmid mengurai resah hatinya, potret kehidupan seperti apa yang mendorong kato caruik penuh emosi itu meluncur? Cadiak pandai sosial, perlu menafsirkan gejala ini.
Tiba-tiba–meskipun iya, tidak sepenuhnya relevan–saya teringat potongan syair Wiji Thukul yang mashyur itu. Saya sembahkan barang dua tiga potong:
Jika rakyat pergi ketika penguasa berpidato, kita harus hati-hati, barangkali mereka putus asa.
Jika rakyat bersembunyi, dan berbisik bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh, itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam.
Jika bahasa adiluhung tak lagi sanggup menjelaskan ketidakberdayaan, kata-kata caruik bangkit dari istirahatnya. (*)
Ilustrasi oleh: Talia Bara