Artikel

Dari Bra hingga BH: Dinamika Kependekan Nama Perguruan Tinggi

Memperhatikan dinamika singkatan dan akronim nama perguruan tinggi merupakan kegiatan menarik bagi saya. Mengamati abreviasi itu menyenangkan karena ternyata kependekan nama perguruan tinggi tidak hanya berperan untuk memudahkan orang mengingat nama tersebut, tetapi juga dapat menimbulkan masalah.

Pada Juni 2017 Rektor Universitas Bung Hatta, Azwar Ananda, digugat oleh alumni karena berencana mengganti singkatan UBH menjadi Unhatta. Setelah diprotes, ia batal meresmikan Unhatta sebagai akronim (“Diprotes Alumni, UBH Batal Pakai Akronim Unhatta”, Harianhaluan.com, 23 Juni 2017).

Sebelum diprotes, sang Rektor ingin mengubah singkatan UBH dengan alasan berkonotasi kurang baik. Ia lalu membandingkan penggantian akronim Universitas Brawijaya, dari Unbra menjadi Unibraw, yang konon diubah karena berkonotasi kurang baik. Akronim Unibraw kemudian menjadi populer. Demikian pula menurutnya kelak akronim Unhatta (“Singkatan Kampus UBH Diganti Menjadi Unhatta”, Harianhaluan.com, 21 Juni 2017).

Kependekan nama Universitas Brawijaya yang disebut Rektor UBH itu sudah berganti dua kali, yakni dari Unbra (1963 sampai 1975) menjadi Unibraw (1975 hingga 2008), lalu menjadi UB. Pengubahan akronim Unibraw menjadi UB dilakukan melalui rapat senat pada 17 Maret 2008, yang dipimpin Rektor Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito. Salah satu alasan penggantian, kata rektornya, ialah karena Unibraw sudah tidak banyak digunakan orang (“Keputusan Senat: Singkatan UB Gantikan Unibraw”, Prasetya.ub.ac.id, 24 Maret 2008). Sebelumnya, pada masa kepemimpinan Rektor Prof. Darji Darmodiharjo, SH., Universitas Brawijaya mengganti akronim Unbra menjadi Unibraw. Akun Facebook resmi Universitas Brawijaya pada 24 Juli 2018 menyebutkan bahwa Unbra bukan singkatan resmi. Pada rapat kerja 1 Maret 1975 mereka memutuskan untuk tidak memakai lagi akronim Unbra. Keputusan itu diperkuat dengan surat keputusan rektor.

Karena berubah-ubahnya kependekan nama Universitas Brawijaya, sedangkan akronim yang lama masih populer, dan singkatan yang baru belum terkenal, ada media massa yang menggunakan akronim lama. Berikut ini beberapa contohnya.

“… Yusuf tetap ingin kuliah di Universitas Brawijaya (Unbra) ….” dalam berita “Semangat Janda Penjual Risoles Rawat Dua Anak Lumpuh Sendirian” (Detik.com, 23 Mei 2018).

“… seribuan dokter yang belum memiliki STR terbagi dari sembilan alumni kampus kedokteran, yaitu Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), USU, UMI, UNAYA, UNBRA, UNSIYAH, UNAND dan UNMAL ….” dalam berita “Seratusan Dokter Kirim Surat Berstampel Darah ke SBY” (Okezone.com, 27 Juli 2013).

“Akademisi Unibraw: Gerakan Pemudik Pengaruhi Pola Penyebaran Corona” (Kompas.com, 1 April 2020).

“Antisipasi Virus Corona, Unibraw Tiadakan Wisuda dan Gelar Kuliah Online” (Beritasatu.com, 20 Maret 2020).

Konotasi Negatif

Tidak ada penjelasan dari Rektor Universitas Bung Hatta tentang konotasi kurang baik singkatan UBH. Saya mengira bahwa singkatan UBH itu dianggap berkonotasi negatif sebab di dalamnya ada BH (baca beha). BH, singkatan buste houder (bahasa Belanda), adalah sebutan lain dari kutang dalam masyarakat kita. Kalau benar itu alasan keinginan untuk mengganti singkatan UBH menjadi Unhatta, sungguh itu alasan yang konyol sekali. Siapa pula orang yang berpikiran kotor yang teringat kutang ketika mendengar atau mengucapkan singkatan UBH? Tidak ada orang yang menghubungkan singkatan UBH dengan alat penyangga payudara. Kalaupun ada, biarlah itu menjadi masalah bagi orang tersebut, bukan menjadi alasan untuk mengganti singkatan nama perguruan tinggi yang sudah terkenal. Begitu pula dengan akronim Unbra. Universitas Brawijaya memang tidak mengatakan bahwa Unbra diganti menjadi Unibraw karena ada bra, kata bahasa Inggris yang berarti ‘kutang’, dalam Unbra. Akan tetapi, seakan-akan sudah menjadi rahasia umum bahwa Universitas Brawijaya mengubah Unbra menjadi Unibraw karena akronim itu sering dipaksa berarti ‘tanpa bra’. Padahal, baik pada UBH maupun Unbra, tidak ada konteks yang membuat kedua kependekan tersebut berhubungan dengan kutang. Yang mampu menghubungkan hal itu ialah pikiran yang tidak beres.

Kependekan dalam Statuta

Bagi kebanyakan perguruan tinggi, singkatan ataupun akronim nama bukanlah hal sembarangan karena terdapat dalam statuta (anggaran dasar suatu organisasi). Penentuan kependekan tersebut berguna agar warga suatu perguruan tinggi dan masyarakat di luarnya memakai kependekan yang ditetapkan kampus. Dengan kata lain, ada harapan bahwa masyarakat tidak membuat kependekan sendiri, apalagi kependekan yang berkonotasi negatif.

Universitas Andalas merupakan salah satu contoh perguruan tinggi yang menetapkan akronim dalam statutanya. Dalam statutanya, Universitas Andalas diakronimkan menjadi Unand. Perguruan tinggi yang mengubah singkatan atau akronim nama kampus harus mengubah kependekan tersebut dalam statuta dan disetujui oleh menteri supaya tidak ada perguruan tinggi yang mempunyai singkatan nama yang sama (“Rektor Nyatakan Kependekan Universitas Andalas Adalah Unand”, Harianhaluan.com, 19 September 2018). Meskipun sudah memiliki akronim yang sangat terkenal dan tertulis dalam statuta, ada saja mahasiswa yang menyingkat Universitas Andalas menjadi UA. Entah apa tujuannya membuat singkatan itu. Mungkin dia meniru pola singkatan Universitas Indonesia, UI.

Sedikit mengenai Unand, akronim ini sebenarnya tidak sesuai dengan gugus konsonan bahasa Indonesia, yakni gugus konsonan /nd/ pada akhir akronim itu. Konsonan /d/ di sana tidak dibaca karena Unand hanya dibaca /unan/. Dalam bahasa Indonesia tidak ada gugus konsonan /nd/. Yang ada ialah, misalnya, /ns/ pada respons, /pr/ pada produktif, /br/ pada tabrak, /tr/ pada traktir, dan /kl/ pada klinik. Oleh sebab itu, seharusnya akronim Universitas Andalas ialah Unan. Akan tetapi, karena Unand sudah ditetapkan sebagai akronim resmi dalam statuta, ya sudahlah, mau tidak mau harus diterima.

Kependekan dalam KBBI

Kependekan nama Universitas Andalas yang dicatat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah Unand. Sementara itu, kependekan nama Universitas Bung Hatta yang direkam KBBI ialah Unhatta, bukan UBH. Akronim Unhatta di KBBI mulai dicatat pada KBBI IV (2008). Pengelola KBBI tentu tidak mau disalahkan atas hal tersebut seandainya ada alumni UBH yang marah ketika membaca Unhatta dalam KBBI. Konon akronim Unhatta terdapat dalam KBBI karena pihak kampus mengusulkannya ke Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai penyusun KBBI. Agar akronim Unhatta dihapus dari KBBI, kemudian diganti dengan singkatan UBH, Kampus Proklamator harus mengirimkan usulan singkatan UBH kepada Badan Bahasa untuk dimasukkan ke dalam kamus. Saya kira Universitas Bung Hatta sudah melakukan hal itu pada 2018 ketika alumninya memprotes rektor yang berencana meresmikan akronim Unhatta. Ternyata belum.

Di sisi lain KBBI memang harus dikritik karena mencantumkan dua kependekan sebuah perguruan tinggi, yakni Universitas Brawijaya. Dalam KBBI V daring ada singkatan UB dan Unibraw. Singkatan UB baru ada pada KBBI V daring, sedangkan akronim Unibraw ada sejak KBBI IV. Mungkin penyusun KBBI V daring lupa menghapus Unibraw, yang memang harus dihapus tersebut agar pembaca KBBI tidak ragu singkatan nama Universitas Brawijaya yang mana yang harus digunakan. Yang aneh ialah bahwa dalam KBBI V cetak tidak terdapat singkatan UB, tetapi ada akronim Unibraw. Yang seharusnya dicatat malah tidak dicatat, sedangkan yang seharusnya dihapus justru dicatat. KBBI daring dan cetak sepertinya tidak sinkron. Dalam KBBI cetak terdapat UNP, singkatan Universitas Negeri Padang, sementara dalam KBBI V daring tidak terdapat UNP sebagai singkatan nama perguruan tinggi, tetapi sebagai singkatan Ujian Nasional Perbaikan.

Selain itu, tidak semua singkatan dan perguruan tinggi terdapat dalam KBBI. Dengan ada dan tidak adanya singkatan maupun akronim nama perguruan tinggi dalam KBBI, semoga tidak timbulnya anggapan bahwa Badan Bahasa menganakemaskan perguruan tinggi tertentu dengan mencatat kependekan namanya, dan menganaktirikan perguruan tinggi lainnya karena tidak mencatat kependekan namanya. Tentu saja tidak ada tujuan seperti itu. Kalau syarat singkatan ataupun akronim nama perguruan tinggi masuk KBBI ialah harus diusulkan oleh perguruan tinggi tersebut, sementara perguruan tinggi belum mengusulkannya, Badan Bahasa bisa bertindak proaktif menyurati perguruan tinggi. Badan Bahasa juga bisa bekerja sama dengan Ditjen Dikti untuk memperoleh kependekan itu.

Kapitalisasi Kependekan

Semua singkatan ditulis kapital karena dieja satu per satu. Sementara itu, akronim hanya huruf pertamanya yang ditulis kapital sebab akronim dibaca sebagaimana kata dilafalkan. Aturan inilah yang dilabrak oleh Universitas Negeri Semarang dalam menulis akronim namanya. Bagian humas universitas tersebut mengumumkan bahwa akronim nama kampus itu wajib ditulis dengan huruf kapital, yakni UNNES. Mereka melakukan itu sebagai strategi promosi. Kepala UPT Humas Unnes, Hendi Pratama, mengatakan bahwa kalau hanya huruf U yang ditulis besar, sedangkan huruf lainnya ditulis kecil, nama Unnes sering kali tidak kelihatan di dalam teks. Pihaknya menerapkan aturan itu untuk internal kampusnya. Untuk kalangan di luar kampus, pihaknya tidak melarang untuk menulis Unnes, tetapi tetap berharap semua kalangan menulis UNNES (“KAMPUS DI SEMARANG: Wajibkan Akronim Dengan Huruf Kapital, Unnes Klaim Direstui Ahli Bahasa”, Solopos.com, 18 Oktober 2017).

Sebenarnya penulisan akronim boleh dikapitalkan semua dalam kondisi tertentu, yakni jika dalam judul buku atau tulisan yang semua hurufnya dikapitalkan. Akan tetapi, apabila judul buku atau judul tulisan ditulis dalam huruf besar dan kecil, penulisannya sebaiknya bersandar pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2015): Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata (termasuk unsur kata ulang sempurna) di dalam judul buku, karangan, artikel, dan makalah serta nama majalah dan surat kabar, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk, yang tidak terletak pada posisi awal. Yang tidak dicatat dalam pedoman tersebut ialah aturan kapitalisasi menulis nama diri yang tidak satu huruf pun memakai huruf kapital, misalnya favehotel. Nama diri seperti favehotel itu tidak boleh ditulis kapital huruf awalnya jika tidak berada dalam situasi yang mengharuskan semua hurufnya dikapitalkan. (*)

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *