Saat ini dunia sedang digemparkan oleh virus mematikan bernama Covid-19. Layaknya sebuah virus pada film-film zombie, dia dapat menyerang siapa saja dengan proses penularan yang sangat cepat. Virus ini nyata dan berhasil membunuh ribuan manusia, bahkan virus ini juga memicu krisis ekonomi global, singkatnya masyarakat manusia tengah guncang (shock). Tentu saja semua ini juga adalah masalah sosiologis.
Berdasarkan perspektif sosiologi, virus ini tidak hanya dipandang sebagai penyakit yang berdampak kepada kesehatan saja tetapi dapat menyerang kehidupan bermasyarakat. Hal itu dapat terjadi karena adanya guncangan (shock) dalam masyarakat yang tidak hanya ditimbulkan akibat pandemi itu sendiri namun juga oleh pemberitaan media serta langkah pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Guncangan tadi, yang tentu saja menimbulkan kecemasan, akan menimbulkan disorganisasi, yakni gejala bergesernya nilai-nilai sosial dan mulai pudarnya keterikatan tatanan sosial dari suatu lembaga sosial, sehingga nilai-nilai sosial luntur dan mengarah kepada kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Soejono Soekanto, disorganisasi adalah proses memudarnya atau menurunnya nilai-nilai dan norma-norma dalam tatanan struktur masyarakat karena adanya perubahan di dalam kehidupan.
Kecemasan dan ketakutan dalam masyarakat yang mengarah pada situasi sosial yang tidak menentu, telah memancing munculnya diskriminasi terhadap orang lain yang berhubungan dengan Covid-19. Baru-baru ini tersebar penolakan kepada pemakaman jenazah pasien positif covid-19, Orang Dalam Pengawasan (ODP) maupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP) untuk dimakamkan di daerah mereka. Alasannya karena mereka takut dengan adanya jenazah-jenazah tersebut akan menularkan virus. Selain pasien positif Covid-19 serta yang meninggal dunia, para petugas kesehatan juga menjadi korban di tengah guncangan ini. Dokter dan perawat yang berjuang di garda terdepan malah mendapat perlakuan tidak pantas dari masyarakat, mereka diusir dari kos tempat mereka tinggal. Tentu ini menjadi cerita pilu bagi kita semua, karena mereka yang berjuang di garis depan malah dicap buruk dan mengalami semacam pemencilan sosial. Covid-19 bukanlah aib, tapi adalah penyakit yang bisa kita hindari dan atasi selama mengikuti anjuran ahli kesehatan. Cemas boleh saja asal tetap memanusiakan manusia.
Selian itu semua, guncangan akibat pandemi Covid-19 ini juga membuat disfungsi sosial pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Disfungsi sosial tadi membuat seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan status sosialnya. Individu sebagai makhluk sosial mulai membatasi kontak sosialnya dengan orang lain dan tidak mau menolong orang lain, contohnya saat ada yang pingsan di tengah jalan namun dibiarkan karena dianggap terjangkit virus corona, padahal ternyata dia hanya kelelahan.
Sementara itu, ketika masyarakat tengah kocar-kacir menghadapi guncangan akibat pandemi tiu sendiri, pemerintah justru datang membawa guncangan lanjutan. Shock lanjutan itu terjadi ketika Presiden Joko Widodo mengatakan “perlu ada kebijakan darurat sipil” yang kemudian mendapat kritikan dari berbagai elemen masyarakat. Kebijakan darurat sipil memberikan kewenangan besar kepada “penguasa Darurat Sipil” seperti yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) 23/1959. Disebutkan dalam Pasal 17, mereka berhak “mengetahui semua percakapan, “melarang pengiriman berita-berita”, “melarang pemakaian alat telekomunikasi”, bahkan “menyita atau mengahancurkan perlengkapan tersebut”. Kewenangan besar bagi Penguasa Darurat Sipil juga terdapat pada Pasal 19 dan Pasal 20, yakni berhak “membatasi orang berada di luar rumah” dan “memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai”.
Kritikan dari masyarakat timbul karena kecemasan akan terjadinya pelanggaran HAM dan juga opsi darurat sipil yang akan membuat pemerintah terhindar dari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat selama adanya pandemi. Kita dipaksa untuk berdiam diri di rumah, namun kebutuhan dasar untuk bertahan hidup dirumah tidak tampak bagi masyarakat yang biasanya hidup dari penghasilan sehari-hari bekerja di luar rumah.
Memutus Rantai Diskriminasi
Pemerintah sebelumnya sudah mengeluarkan kebijakan belajar dari rumah bagi pelajar dan mahasiswa serta Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bisa bekerja di rumah dengan interaksi online. Tentu kebijakan tersebut harus kita perhatikan dengan baik, walaupun bekerja atau belajar di rumah bukan berarti bermaksud untuk liburan. Jangan sampai mahasiswa kuliah online di cafe, mal, atau pusat keramaian. Bagi orang tua yang berkerja sebagai ASN dapat memanfaatkan kebijakan tersebut untuk mengembalikan kembali fungsi keluarga. Mungkin inilah akibat tak terduga dari Covid-19.
Dalam sosiologi, keluarga didefinisikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Fungsi-fungsi keluarga seperti ruang produksi nilai-nilai tertentu yang tadinya pudar karena orang tua sibuk bekerja, anak bersekolah dari pagi sampai sore dan malamnya mengerjakan tugas dapat dipilih. Untuk kondisi saat ini fungsi edukasi diperlukan dalam keluarga. Fungsi edukasi ini dapat berupa penanaman nilai-nilai antar anggota keluarga. Bisa bermacam bentuk, contohnya nilai-nilai kemanusian.
Di tengah krisis ini, keluarga yang memiliki privilese untuk bekerja di rumah bisa menjadi salah satu unsur penting tidak hanya untuk melawan pandemi namun juga diskriminasi yang mengikutinya. Keluarga-keluarga seperti ini harus bisa berperan aktif mencegah stigma dan diskriminasi terhadap tenaga medis atau bahkan mereka yang terdampak virus ini dengan catatan tetap waspada dan menjaga kesehatan tentunya. Jika satu keluarga telah melakukannya dan menjalar kekeluarga lain, maka perpecahan dalam kelompok masyarakat tidak akan terjadi, malah sebaliknya akan tercipta harmoni. Perlu diingat diatas semua itu ada nilai-nilai kemanusian yang mesti dijunjung tinggi. (*)
Editor: Ariq Fadhel Herman
Ilusitrasi oleh: Talia Bara