Di tengah puncak musim penghujan Februari-Maret 2024 yang lalu, ketika seperti biasa berita banjir tahunan selalu tiba—kali ini dari Kerinci, Demak, Pelalawan, dan menyusul Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, kemudian—saya sedang bersentuhan dengan masyarakat adat Talang Mamak di Desa Talang Sungai Parit, Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Persentuhan emosional di tengah alam yang tak henti bergolak. Hukum sebab-akibat, dan ini bukan hukum karet—alam yang dirusak membalas dengan caranya sendiri—tak pernah jadi pelajaran, sebagaimana bencana banjir yang rutin terjadi. Ini menunjukkan bahwa sebab-akibat itu, terutama di daerah-daerah yang memiliki kawasan hutan, tak pernah sudah, tak lagi terlerai, pada masa-masa deforestasi yang tak usai.
Masyarakat Talang Mamak, sebagaimana masyarakat suku tuha lainnya (suku tua, sebutan ini saya rasa lebih netral ketimbang suku terasing dan sejenisnya) dikenal dekat dengan alam. Mereka hidup di tengah lanskap hutan tanah ulayat, memiliki sungai-sungai kecil dan besar di dataran rawa-rawa paya gambut, tempat-tempat keramat yang terawat, dan ritual-ritual yang bertumpu pada sakralitas alam. Namun dalam tiga dasawarsa terakhir, bentangan alam yang karib itu sudah jebol, berubah total jadi lanskap monokultur: kebun kelapa sawit.
Mesin-mesin eksevator telah membongkar dan mematahkan (bukan lagi menebang, dan ini dalam artian harfiah!) pohon-pohon di hutan, termasuk hutan ulayat milik masyarakat adat. Satu periode penebangan kayu untuk balok dan gelondongan oleh perusahaan besar bermodal surat sakti Hak Penguasaan Hutan (HPH) boleh jadi telah lewat. Kini masuk periode berikut di mana pohon tidak ditebang, tapi, meminjam ungkapan penyair Seamus Heany, dipatahkan dan dibongkar seakar-akar…
Ungkapan yang menjalari ngilu hingga ke tulang itu dilakukan oleh mesin-mesin pesanan perusahaan perkebunan sawit skala besar bermodal Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan pemerintah. Di luar itu, masyarakat umum juga menggunakan jasa mesin jenis yang sama—tentu dengan jumlah dan durasi waktu terbatas—untuk menggarap lahan yang tersisa. Atau mengganti kebun karet mereka menjadi kebun sawit partikelir. Mau tak mau mengikuti langgam perusahaan besar yang mempengaruhi jenis komoditas pedalaman. Ada pergeseran modal, model dan tata cara, tapi dampaknya tetap sama; alam rusak binasa dan segalanya berubah!
Pemusnahan hutan demi langgengnya perkebunan sawit telah lebih dulu melenyapkan batas-batas teritorial, menghapus kamus tebang-pilih, menisbikan kategori-kategori kawasan, apa yang dengan indah dibubuhkan di kertas putih ekologi dan lingkungan hidup. Nyatanya industri perkebunan besar dewasa ini menuntut tak boleh ada pohon lain bertumbuh, selain hanya palma raksasa. Dan itu mewujud, meminjam retorika politik mutakhir kita, secara “masif dan terstruktur”, di atas bekas hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.
Sejak bibit sawit disemai pertama kali di Bogor tahun 1848, lalu diujicobakan pemerintah kolonial di pantai timur Sumatera, kini tibalah masanya pohon berduri itu menguasai tidak saja Afrika sebagai habitat asalnya, namun juga Asia hingga daratan Amerika Latin. Dan tentu saja memenuhi agenda pasar komoditas Eropa. Hery Santoso, seorang “antropolog tenure”, dalam bukunya yang amat impresif, Akhir yang Tidak Selesai: Gelombang Kedatangan Tanaman dan Perubahan Wilayah Pedalaman (2023) menempatkan sawit dalam bab “Kejayaan”, melewati masa-masa “Pergeseran” untuk karet, “Pertaruhan” untuk kentang, “Perlawanan” untuk kopi (saya kira juga tembakau) dan “Kejatuhan” untuk kakao (dan dalam sebagian kasus saya kira juga untuk karet).
Sawit, tulis Hery, secara signifikan telah menjadi penopang ekonomi baru masyarakat pedalaman, menggantikan komoditas-komoditas konvensional seperti karet, kopi, kakao, kemiri, lada dan rotan. Namun seiring dengan ledakan produksi sawit dalam tiga dekade terakhir, lanskap wilayah pedalaman berubah drastis. Hutan hujan tropis yang tingkat keanekaragaman dan cadangan karbonnya amat tinggi, telah berganti menjadi hamparan kebun sawit yang rentan: hancurnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya emisi (ibid, 2023: 169-170). Tentu saja lokomotif kehancuran itu bukan sebatas kebun-kebun sawit rakyat yang ikut tergerek dalam masa “Kejayaan”, tapi korporasi perkebunan yang sejak awal melakukan deforestasi gila-gilaan.
Demi masa “Kejayaan”, puluhan jenis pohon telah runtuh, termasuk pohon-pohon bernilai tinggi seperti damar, menyan, kruing, banio, pulai dan kulim (ulin). Tak kalah mengenaskan, pohon keramat pujaan suku tuha ikut menghilang: sialang. Bagi orang Talang Mamak, sialang ibarat tempat bersilang segala isyarat dan keperluan. Tempat lebah bersarang dan madunya disadap dengan nyanyian, pucuknya yang tinggi tempat olang, burung elang bertuah, mengukur bayang terbangnya, sesekali hinggap berkuik, mengabarkan berita baik maupun berita buruk atas amatan mata tajamnya memantau kampung. Urat akar sialang menjaga mata air tetap mengalir, menjamin lahan gambut tidak panas kerontang di musim kemarau dan tidak meluap pada musim hujan.
Karena itu, menebang pohon sialang dikategorikan sebagai hukuman paling berat, sebagaimana dapat dilihat dalam buku Talang Mamak: Curaian Luak Talang Parit (2023) yang disusun oleh anak-anak muda Talang Mamak sendiri. Dalam buku ini, perkara menebang pohon sialang termaktub dalam Hukum Tujuh Tahil. Hukum Tahil berlaku dalam berbagai tingkatan. Mulai yang terendah, yakni Hukum Sirih Sekapur, Hukum Setahil Sepaha, dan meningkat ke hukum lebih berat: Hukum Dua Tahil, Hukum Tiga Tahil, Hukum Empat Tahil, dan terberat: Hukum Tujuh Tahil.
Ada tiga perkara yang bisa dijatuhi Hukum Tujuh Tahil, yaitu membunuh orang, menebang pohon kedondong (sialang) dan membakar rumah orang. Perbuatan itu disebut dalam bahasa sarkas, memapas di atas luka, membangun di atas bangkai. Maka hukuman Tujuh Tahil ditetapkan sebagai berikut: belacu (kain putih) 76 kabung (helai), pinggan (piring) 15 buah, mangkuk 3 buah, tawak-tawak sebagai pengganti suara, tapaian sebagai pengganti kepala, kedondong (sialang) diganti “tubuh”, lembing ganti tulang belakang, ringgit ganti mata, dan subang ganti telinga, jika yang terbunuh seorang perempuan (ibid, 2023: 115).
Tapi dalam masa “Kejayaan” ini, siapakah yang masih berpegang teguh kepada hukum adat? Pihak perusahaan menutup mata atas realitas dan eksistensi hukum adat, sehingga sialang tak ada beda dengan pohonan jenis lain, semua menempuh nasib serupa; dimusnahkan. Bahkan tempat-tempat keramat di hutan ulayat seperti Danau Tiga, Hutan Payakumbuh, dan Rimba Batu, habis tak bersisa. Begitu pula kawasan hutan gana (hutan primer) seperti Rimba Pabadaran Kacek, Rimba Pabadaran Gedang, Rimba Lancang, Rimba Bekal Beruang, Rimba Tampui Sandaran Hantan, Rimba Sialang Dua Batu, hingga Rimba Barangan, telah hilang tak berjejak.
Hukuman? Siapa yang akan melekatkan hukuman jika para batin, manti, dukun, kumantan atau balian, tak lagi punya akses ke hutan ulayat yang tinggal bekas? Lagi pula, jika syarat-syarat itu dituntut, secara harfiah mungkin mudah bagi pihak perusahaan memenuhinya. Padahal jelas itu bukan bermakna benda semata sebab secara simbolik ada nilai-nilai tak tepermanai yang dikandungnya. Dan itu tak akan pernah terbayar!
Celakanya bahkan untuk pengakuan pun pihak perusahaan tak pernah mau duduk bersama dengan masyarakat adat. “Kejayaan” paralel, jika bukan identik, dengan “Kekuasaan”, bukan? Siapa pun yang coba mengganggu sesuatu yang sedang jaya-mapan, akan berhadapan dengan pihak berkuasa. Begitulah kira-kira, sehingga suara orang Talang Mamak pun tak digubris kantor-kantor pemerintah dari atas (pusat) sampai bawah (daerah).
Tentu kita tahu bahwa rakyatlah pemilik kuasa yang sebenarnya. Rakyat ialah suara beraneka, tulis Hartojo Andangjaja dalam sajak fenomenalnya, “Rakyat”. Sajak yang ia tulis waktu menjadi guru di SMA Negeri Simpang Empat Pasaman itu, bertitimangsa Oktober 1961, masa ketika karet berjaya dan kelapa sawit masih tumbuh malu-malu. Rakyat ialah kita, lanjutnya, puisi kaya makna di wajah semesta/ Rakyat ialah kita/ darah di tubuh bangsa/debar sepanjang masa.
Tapi suara tinggal suara. Pemilik sejatinya terombang-ambing di bumi yang berantakan, di bawah langit kelabu. Jika sudah begini, alam menempuh hukumnya sendiri. Tak heran, alam di kawasan Talang Mamak, sebagaimana alam di tempat lain yang diperlakukan semena-mena, menanggung akibatnya sendiri. Sekalipun tangan yang merusak adalah sekelompok orang atau satu pihak, tapi yang merasakannya tiada lain seisi alam. Bahkan boleh jadi penghuni alam yang tak nampak, alam sunyata-tak kasat mata, di mana roh-roh nenek moyang menangis melihat segalanya telah rusak. Musim hujan banjir meluap, merendam perkampungan. Menghanyutkan harta-benda dan nyawa, menyebar bibit penyakit. Jalan putus tak dapat dilalui, dan roda ekonomi macet.
“Mananggung!” Itu ungkapan khas orang Talang Mamak akhir-akhir ini, untuk menyampaikan banyak hal bergalau dalam hati; sedih, kecewa, marah, sakit dan derita.
Perjalanan Kedua yang Mendebarkan
Desa Talang Sungai Parit, salah satu kampung Talang Mamak tujuan saya, terdapat di Kecamatan Rakit Kulim, satu dari lima kecamatan di Kabupaten Indragiri Hulu yang menjadi pemukiman utama masyarakat suku tuha Talang Mamak. Empat lainnya adalah Kecamatan Kelayang, Kecamatan Rengat Barat, Kecamatan Batang Gangsal dan Kecamatan Batang Cenaku. Satu desa lagi ada di Dusun Semerintihan, Kecamatan Suo-Suo, Muaratebo, Jambi.
Desa Talang Sungai Parit dapat dicapai dari Air Molek, Kecamatan Pasir Penyu. Jalur lain melalui Belilas dan Kelayang, tapi lebih jauh dan menempuh jalan tanah yang relatif sulit dilalui pada musim hujan. Dari Yogyakarta, saya ikut penerbangan langsung Citilink ke Pekanbaru. Saya istirahat semalam di kota Madani (atau Bertuah?) itu, di sebuah wisma sederhana di bilangan Tengkerang, Morpoyan, untuk keesokan hari memesan travel melanjutkan perjalanan.
Ini merupakan perjalanan kedua saya ke kawasan adat Talang Mamak. Dulu, untuk ke Air Molek, saya menempuh jalur Pekanbaru-Pelalawan. Tapi jalur ini kini terendam banjir sehingga memutus akses jalur Lintas Timur Sumatera. Meski dari informasi Jois, seorang kawan di Pekanbaru, jalur Pelalawan sudah bisa dilewati, hanya saja antriannya masih panjang. Maklum jalan buka tutup untuk memberi kesempatan kendaraan lewat bergantian. Ada pun jalur Pekanbaru-Teluk Kuantan, yang juga sempat tutup karena banjir di Gunung Sahilan, menurut kawan lain, Pinto Anugrah, sudah bisa sepenuhnya dilewati.
Nah, selain membayangkan ribetnya antri di kawasan Pelalawan, saya juga sudah lama ingin melewati jalur Teluk Kuantan yang, meminjam istilah Andiko Mancahyo, direktur AsM Law Office yang mengagendakan perjalanan saya ke kawasan Talang Mamak, itu adalah “jalur tradisional” para perantau Minangkabau. Jika ditarik lebih jauh pada khazanah kisah-kisah klasik masyarakat adat Talang Mamak, maka akan bersentuhan pula dengan perjalanan Patih Nang Sabatang atau Sultan Mulia dari Pagaruyung hingga beranak-cucu-berkemenakan di Benua Awan, kampung tua di tepi Sungai Indragiri atau Batang Kuantan, cikal-bakal Desa Talang Sungai Parit sekarang.
“Sanak perlu lewat situ,” kata Andiko di telepon. Rekomendasinya sejauh ini memuaskan, kali ini pun saya tak meragukannya.
Begitulah, saya akhirnya memutuskan berangkat melalui jalur Pekanbaru-Kampar-Kuansing (Kuantan Singingi). Di jalur ini ada banyak nama tempat yang hidup lama dalam kepala saya. Hal mana berkaitan dengan berbagai peristiwa, mulai zaman kolonialisme Belanda, zaman Jepang, masa perjuangan kemerdekaan, era Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), maupun yang jauh ke belakang lagi: masa Kerajaan Pagaruyung.
Teratak Buluh, Gunung Sahilan, Perhentian Raja, Lipat Kain, Gema, Kuntu, Logas, Muara Lembu, Teluk Kuantan hingga Lubuk Jambi, itu sederet nama yang membangkitkan ingatan “purbani” saya. Teratak Buluh dan Lipat Kain bersama Logas, misalnya, niscaya hidup dalam memori kolektif masyarakat Riau perihal kejamnya fasisme Jepang. Negara yang mendaku sebagai saudara tua itu, berhasrat membuka jalan kereta api dari Pekanbaru ke Sijunjung dan nyambung ke pusat batu bara di Sawahlunto. Harapannya, batu bara bisa dikapalkan langsung dari Sungai Siak ke Selat Malaka.
Untuk semua itu, Nippon memanfaatkan tenaga paksa, romusha. Bukan saja kalangan pribumi dari Jawa, juga kaum interniran Belanda. Begitu juga orang-orang Sumatera “diambil” dalam operasi kerja bakti, dibawa ke Payakumbuh, lalu dikirim ke Pekanbaru dan diserahkan ke proyek kereta api di Teratak Buluh, Lipat Kain atau Logas. Medan yang berat, melewati jurang curam Bukit Barisan dengan arus Batang Kuantan yang semakin ke hulu semakin liar, mengakibatkan korban jiwa berjatuhan. Jalur rintisan kereta api itu pun terhenti, sia-sia, di samping karena banyaknya korban jiwa, pemerintahan Jepang juga terlanjur jatuh di bom Sekutu.
Dari bibi saya di kampung, Mak Gaek Zaenab, saya pernah mendapat cerita bahwa nenek saya sebenarnya punya dua orang adik laki-laki. Namun pada masa Jepang, mereka direkrut menjadi romusha melalui pola kerja bakti dan dikirim ke Riau, lalu tak pulang-pulang lagi. Pastilah mereka bagian dari korban yang hilang atau tewas. Bagaimana pekatnya lembaran sejarah itu, salah satunya dapat kita baca dalam novel langka ber-setting zaman Jepang, Dan Perang pun Usai (1979) karya Ismail Marahimin.
Begitulah, nama-nama lain juga memiliki suara dan gemanya sendiri. Nagari Gema, kata kawan Andiko lebih lanjut, pada masa pemberontakan PRRI, merupakan pusat pembuatan peluru. Ia memang telaten mengumpulkan segala sesuatu perihal PRRI. Sementara Gunung Sahilan, Kuntu dan Perhentian Raja berhubungan dengan raja-raja zaman dahulu. Tercatat ada Kerajaan Kuntu yang terkenal dengan ulama besar Syekh Burhanuddin Kuntu, dan Kerajaan Gunung Sahilan Darussalam yang istananya masih tegak berdiri di Dusun Koto Dalam.
Sebut pula peristiwa penyerangan keluarga raja Pagaruyung oleh Tuanku Lintau dan pasukan Padri pada tahun 1815. Korban berjatuhan. Tapi Yang Dipertuan Muningsyah bersama cucunya, Puti Reno Sori, berhasil menyelamatkan diri ke Lubuk Jambi di Kuantan. Ketika Puti Reno Sori beranjak dewasa, ia kembali ke Pagaruyung membenahi Istano Lindung Bulan dan tahta Pagaruyung, sebagaimana pernah ditulis dalam sebuah puisi panjang oleh Puti Reno Raudha Thaib, penyair keturunan raja Pagaruyung. Karena itulah, bak kata orang Melayu, tak hilang Pagaruyung di bumi.
Selain itu ada nama tempat lain yang tak kalah inspiratif, jika bukan imajinatif, dalam tambo yakni, Teratak Air Hitam. Ternyata tempat itu terletak di Sentajo—kawasan 0 km Pulau Sumatera—tak jauh dari kota Teluk Kuantan. Teratak Air Hitam tercatat dalam tambo sebagai batas “alam Minangkabau” bersama tempat lain, sebagaimana disitir A.A. Navis dalam bukunya Alam Takambang Jadi Guru (1984): dari sikilang aie bangih sampai ke taratak aia itam, dari sipisok-pisok pisau hanyuik sampai ka sialang balantak besi, dari riak nan badabua sampai ka durian ditakuak rajo (1984: 53-54).
Batas Minangkabau dahulu, demikian Navis, di sebelah barat daya ialah Air Bangis, di sebelah tenggara Desa Taratak dekat Teluk Kuantan, di sebelah utara dekat Sipisok-pisok sampai ke Sialang dekat perbatasan Riau, di selatan dari Pesisir sampai desa Durian dekat perbatasan Jambi. Itulah yang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Barat sekarang (ibid, 1984: 54).
Perjalanan saya menuju Air Molek, melewati sebagian tempat yang disebutkan itu. Tak kalah molek. Tapi tak semua tempat terlewati, sebagian cukup puas saya lihat tercantum di plang petunjuk arah, di simpang atau perempatan jalan. Sebab tidak semua tempat terletak persis di jalur Pekanbaru-Teluk Kuantan, sebagian lagi “masuk ke dalam” antara 10-20-an km. Misalnya, Kuntu berjarak 14 km dari sebuah simpang di Muara Lembu, dan Gema 26 km dari situ. Namun aura dan gema namanya terasa dekat dan nyaring di telingaku.
Di sepanjang jalan yang rusak di banyak titik, kepalaku terasa teleng memanggul lintasan sejarah, peristiwa dan nama-nama. Termasuk situasi kekinian yang terlihat di depan mata: hamparan tanah gambut beralih menjadi kebun sawit. Tentu setelah sebelumnya pohon-pohonnya ditebangi dijadikan kayu balok dan gelondongan. Masa beralih, pemain mungkin berganti, tapi toh wajah kemakmuran belum sepenuhnya terpancar dari kampung-kampung yang saya lewati. Hanya yang pasti alam selalu menjadi “samsak” yang dirajam berulang-ulang. Tanpa ampun. Maka lihatlah kini, kampung-kampung tergenang di musim hujan, berselimut debu di musim kemarau, dan sengangar dihoyak lobang jalanan.
Di tengah situasi itu, bentangan banner dan papan iklan para caleg sebagai alat peraga kampanye, seolah menawarkan jalan lain menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi lebih banyak tak meyakinkan. Wajah-wajah mereka seperti banner terkulai ditiup angin. Sebagian robek-robek seperti janji-janji palsu mereka yang tak pernah bisa dipegang. Memang saya menyusuri jalur ini pada masa sekitar hari Pemilihan Umum 2024. Pemilu akan dilaksanakan beberapa hari lagi, dan kini sudah memasuki masa tenang. Sejumlah petugas Pemilu terlihat sibuk membongkar baliho dan banner di pinggir jalan, anehnya sebagian besar dilakukan oleh petugas perempuan.
“Mana petugas laki-lakinya ini, kok perempuan yang harus turun ke jalan,” kata Hakim, sopir travel muda usia yang saya tumpangi. Ia menahan tawa ironis.
Bersamaan dengan tawaran-tawaran dari para caleg itu, bersileweran pula di kepala saya proses Pemilu yang memunculkan kontroversi. Satu hal yang saya garisbawahi ialah naiknya harga kebutuhan pokok, terutama beras, dari yang biasa berkisar Rp 12.000-14.000/kg, menjadi Rp 16.000-18.000/kg. Subsidi pemerintah melalui Bansos, memang sudah dibagikan, namun menimbulkan kontroversi lain. Itu dianggap kampanye terselubung, apalagi yang membagikannya langsung presiden, bukan menteri sosial seperti biasanya. Ini seolah membuktikan pernyataan Jokowi bahwa ia berhak cawe-cawe, dan presiden boleh memihak dalam Pemilu. Terlalu!
Bayangkan, beras yang merupakan kebutuhan utama rakyat dijadikan komoditas politik! Ini hanya satu gambaran betapa urusan perut rakyat tak luput dari lahan permainan. Sebenarnya bukan hanya dalam masa menjelang Pemilu. Pada masa-masa lain nasib petani tetap dibiarkan pilu. Panen padi tak menguntungkan petani, kecuali pesta cukong atau tengkulak. Harga tinggi di pasaran mencekik rakyat sendiri karena nyaris tak terbeli. Kadang pemerintah secara sporadis membuka kran impor mengantisipasi kekurangan stok beras nasional, namun di sisi lain membuat petani merugi dan terpuruk. Dan apabila harga beras tetap membumbung, biasanya pihak terkait punya alibi yang rumusnya sudah jamak dihapal: musim, el-nino, banjir. Jika panen gagal, kemarau dan el-nino jadi tertuduh, jika dimusim hujan, tentu saja banjir jadi kambing hitam. Wes, hapal!
Begitulah politik beras menghantam rakyat. Sebagian pihak merasa perlu menghimbau agar masyarakat tak hanya bertumpu kepada beras. Perlu makanan alternatif, teriak mereka di mimbar, tanpa memberi kejelasan soal pangan alternatif itu. Jika mereka maksud jagung, sagu, talas atau umbi-umbian lain, yang pada zaman nenek moyang jadi andalan, dan di sejumlah daerah malahan menjadi makanan pokok, maka ke mana sekarang mencari itu semua? Keberadaannya justru lebih langka daripada beras! Lahan untuk bertanam sudah habis tergasak akibat politik pertanian yang tak berpihak kepada pangan rakyat, apatah lagi yang alternatif!
Saya menginap semalam di Teluk Kuantan, di sebuah wisma milik pemda yang disewakan untuk umum, Wisma Jalur. Nama wisma ini merujuk pada tradisi unik masyarakat Teluk Kuantan dan sekitarnya, yakni Pacu Jalur. Jalur merupakan sebutan untuk perahu kayu yang panjang, berkisar antara 20-30 m. Tak kalah unik, perahu jalur dibuat dari sebatang pohon besar, langsung dilobangi dan dibentuk menjadi sebuah perahu pacu. Itu merupakan kreasi warisan moyang ketika pohon-pohon besar masih merajai hutan rimba Indragiri dan Kuantan Singingi. Jika sekarang tradisi itu tetap bertahan, pastilah masyarakat dan pelestari Pacu Jalur mendapatkan bahan dari pohon-pohon terakhir yang tak mudah dicari.
Jalur akan dipacu dalam lomba massal secara amat sugestif, energik dan kompak, melibatkan puluhan pendayung dan diiringi tari-tarian dan sorak-sorai penambah semangat. Selain di kampung-kampung sepanjang sungai Batang Kuantan, even resmi Pacu Jalur adalah pada puncak HUT RI di Tepian Narosa, tepat di depan Wisma Jalur. Di sana dibuat pula Taman Jalur yang menjadi taman kota, di mana masyakarat menghabiskan waktu senggang. Malam hari ada pasar malam yang diisi aneka kuliner rakyat.
Malam itu, sehabis memesan seporsi sate kuah kacang, saya duduk di sebuah kafe kaki lima yang memanfaatkan pinggiran sungai sebagai etalasenya. Sambil berbincang dengan pedagang sekaligus peracik kopi—seorang anak muda asal Lubuk Jambi—saya melepas pandang ke seberang sungai. Lampu-lampu memanjang menjangkau kedalaman air. Di jauhan tampak sebuah jembatan penuh lampu, sekilas menyerupai kapal pesiar sedang bersandar. Tapi tak ada satu pun perahu lewat. Apalagi kapal sandar. Ini berbeda dengan sungai Martapura atau Mahakam di Kalimantan, selalu ada kapal atau perahu lewat atau sekedar menyeberang. Nyatalah jalan sungai di Sumatera sudah tamat, kecuali mungkin di Sungai Siak yang masih menyisakan kapal barang, serta sebagian Sungai Batanghari dan Sungai Musi dengan kapal penumpang.
Dalam situasi itu, Teluk Kuantan yang terletak “di pedalaman” sepenuhnya kini mengandalkan jalur darat. Dari Pekanbaru via Lipat Kain-Gunung Sahilan-Muara Lembu sebagaimana saya lalui kemarin. Bisa juga Pekanbaru via Pangkalan Kerinci-Ukui-Lirik-Japura di Jalan Lintas Timur Sumatera, dan bersimpang di Japura, Rengat Barat, lalu melewati Air Molek-Peranap-Batu Rijal. Jalur terakhir ini merupakan jalur tua, sebab jalan Japura-Pangkalan Kerinci baru dibuka oleh perusahaan kayu pada tahun 90-an. Bisa pula melalui jalan Lintas Tengah Sumatera via Kiliran Jao, Dharmasraya, Sumatera Barat.
Tapi di atas itu semua, sebagai kota yang terletak di tepian sungai, saya membayangkan Teluk Kuantan juga bisa dicapai melalui jalur air, baik dari kawasan hulu di Sumatera Barat maupun kawasan kuala di Kabupaten Indragiri Hulu atau Indragiri Hilir. Sayang jalur sungai sekarang tidak dimanfaatkan karena hilangnya sinergi dengan alam.
Singgah di Pangean dan Tertahan di Air Molek
Besoknya, sebelum melanjutkan perjalanan ke Air Molek, saya menyusuri lebih dulu kawasan Pangean. Nama Pangean cukup familiar saya dengar, terutama berkaitan dengan seni bela diri: silek pangean. Silat (silek) Pangean terkenal di jagad persilatan Nusantara sebagai salah satu seni bela diri yang banyak diminati dan jurus-jurusnya kaya filosofi. Menurut cerita yang pernah saya dengar, orang Talang Mamak belajar silat ke Pangean, karenanya di kalangan masyarakat suku tuha itu, silat Pangean berkembang dengan baik. Konon, ketika hutan ulayat mereka masih lebat terjaga, berbekal silat Pangean mereka berani bermuka-muka dengan harimau, sehingga mereka tak khawatir tinggal di huma atau ladang.
Beruntung, Andiko memperkenalkan saya dengan Duri Kalangi, staf kepala desa di Pangean yang sebelumnya aktif dalam sejumlah lembaga swadaya. Duri menikah dengan galuh Banjar, yang ia ajak bermukim di kampungnya. “Saya ketiban jodoh saat kerja di sebuah lembaga swadaya di Banjarmasin, Bang,” kata Duri ketika kami bersua, berkenalan dan segera menyusuri sejumlah destinasi.
Mula-mula kami singgah di kawasan cagar budaya Sentajo berisi rumah-rumah adat yang mengesankan. Di depan sebuah rumah adat saya menemukan sebuah lumbung padi berbentuk rangkiang (lumbung tradisional Minangkabau). Meski tak berisi, tapi sejenak membuat ingatan saya melambung pada keagungan tradisi leluhur. Mereka wariskan cara menjaga pangan supaya anak-cucu tidak kelaparan. Jika saja sistem itu masih berjalan, setidaknya masyarakat di kampung-kampung tak akan langsung terkena imbas kenaikan harga beras. Kami pun menyusuri hutan lindung milik masyarakat adat Sentajo di atas sebuah bukit. Hal yang juga membesarkan hati betapa berartinya sebidang hutan ulayat dalam menjaga keselamatan dan ketenteraman desa.
Tengah hari kami tiba di masjid Jamik Pangean, sebuah masjid paling tua di Indragiri, terletak di atas sebuah bukit kecil di Koto Tengah. Masjid Pangean didirikan oleh Datuk Keramat Syekh Lai pada abad ke-17. Saya bertemu dan berbincang dengan garin masjid yang dulu pernah menjadi pelatih silat, Pak Jamiun. Saya juga izin masuk dan menemukan delapan tiang kayu menopang kekokohan mesjid. Satu tiang utama berada di tengah. Masing-masing berukuran sepanggulan orang dewasa, kecuali tiang utama yang saat saya pagut, ujung kedua tangan saya tak ketemu saking besarnya. Tonggak tengah ini mengingatkan saya pada ciri surau-surau tarekat Satariyah di Minangkabau.
Sampai sekarang halaman masjid masih dijadikan sasaran atau tempat berlatih silat Pangean. Guru silatnya bernama H. Saidina, keponakan Pak Jamiun. Menurut Pak Jamiun syarat silat Pangean itu tak boleh menonjolkan diri. Barangsiapa menonjolkan diri, maka sama saja dengan mempercepat datangnya “kiamat”. Ini merujuk filosofi silat Pangean; lambat datang lambat jatuhnya, cepat datang cepat pula jatuhnya. Orang yang menonjolkan diri sama dengan buru-buru minta dikenal atau minta dihormati, dalam arti, cepat datangnya.
Setelah puas berkeliling Pangean, termasuk melihat proses pembuatan perahu jalur, melihat jalur di tempat-tempat penyimpanannya di pinggir sungai dan menyeberang ke kampung Pulau Tengah yang terletak di tengah Batang Kuantan, saya akhirnya melanjutkan perjalanan dengan naik mobil travel di depan Pasar Pangean. Perjalanan dari Pasar Pangean ke Air Molek meski hanya berjarak sekitar 60-an km, ternyata tak kalah berat. Kerusakan jalan di mana-mana membuat penumpang seolah berdisko. Salah satu penyebabnya adalah truk pengangkut batu bara yang ditambang di Peranap, menyusul truk-truk pengangkut sawit.
Ah, andai sungai bisa dijadikan jalur transportasi, kembali saya berangan-angan, tentu truk-truk penuh muatan tak sampai merusak jalan. Sayang sungai Indragiri mengalami pendangkalan karena penambangan pasir dan emas, dan diperparah oleh pembukaan lahan sawit. Selain itu, desain jembatan juga tidak memperhatikan kebutuhan, begitu rendah bahkan sejajar dengan badan jalan sehingga bagian bawahnya tak bisa dilewati kapal bermuatan.
Menjelang sore saya sampai di Air Molek. Imran, juga Dita—keduanya aktif di kelompok Taji Talang Parit—telah memberi tahu saya bahwa hari itu saya tak bisa dijemput. “Ada luapan banjir dari sungai Indragiri di sekitar Selebau, Pak,” kata Imran.
Saya harus menunggu air surut. Malam itu saya menginap di Wisma Olly. Air Molek sendiri merupakan nama yang sudah lama malang-melintang di kepala saya. Karena harus menunggu jemputan, maka saya punya waktu menikmati kota kecil ini sedikit lebih lama dibanding waktu saya pertama kali datang. Dulu, boleh dikata saya hanya numpang lewat karena langsung bertolak ke kawasan Talang Mamak di pedalaman.
Air Molek, ibukota Kecamatan Pasir Penyu, Indragiri Hulu, lebih dikenal dibanding nama kecamatannya. Dalam peta Provinsi Riau, tepatnya di jalur lintas utama nama Air Molek selalu tercantum, tak pernah luput, sebagaimana kota-kota kecil lainnya: Lirik, Ukui atau Belilas. Kota ini memanjang sekitar 5 km di jalur Jepura-Teluk Kuantan, dengan sebuah belokan dan jembatan. Sarana dan prasarananya lengkap. Swalayan dan pertokoan. Penginapan, rumah makan dan restoran. Balai pertemuan dan Kantor Lembaga Adat Melayu Riau yang besar. Bank dan ATM.
Saya menyusurinya malam hari dan mengulanginya pagi hari (sayang trotoarnya dibiarkan menganga tanpa tutup, tampaknya bagian dari proyek terbengkalai atau tak diawasi). Selain memasuki pasarnya yang hidup, saya juga mampir di sebuah kedai kopi legendaris, Nirwana.
Menarik pula melihat sejenak Air Molek (juga Belilas di timur) dalam kultur geografis masyarakat Talang Mamak. Kedua kota ini menjadi rujukan mereka dalam hal kekotaan, di mana keduanya sama-sama terletak di jalan lintas, dan keduanya dapat dicapai dari kedua sisi kawasan Talang Mamak, khususnya yang bermukim di Kecamatan Rakit Kulim. Jika dibuat leter U, maka kawasan Talang Mamak Rakit Kulim berada dalam lingkup garis lengkung itu, sedangkan Air Molek dan Belilas berada di bagian dua lekukan.
Sementara Sungai Indragiri mengalir di utara kawasan, tempat di mana dulu kampung-kampung orang Talang Mamak terletak. Namun seiring waktu, orang Talang Mamak menggeser terus pemukiman mereka ke arah hutan tiap kali muncul pemukim baru. Itulah sebabnya, banyak situs keramat Talang Mamak berada di tepian Sungai Indragiri. Salah satunya makam leluhur mereka, Patih Besi. Sampai akhirnya mereka terdesak ke pemukiman sekarang. Untuk menggeser lagi pemukiman tidak mungkin sebab akan bertumbuk dengan Belilas di Jalan Lintas Sumatera di timur, dan jalur Air Molek sealur sungai Indragiri.
Dan yang tak pernah terbayangkan: hutan mereka habis ditebangi dan berganti kebun kelapa sawit. Tak ada lagi hutan bersisa. Kecuali mungkin sedikit di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, tempat sebagian orang Talang Mamak bermukim dalam Kecamatan Batang Cenaku atau Batang Gangsal. Apa akal?
Sedang berpikir-pikir demikian, Imran datang. Ia bawa kabar bahwa jalan sebenarnya masih belum bisa dilewati. Hanya saja sekarang sudah ada bocay (kapal keruk penambang pasir) beroperasi membantu motor dan orang yang hendak menyebarangi banjir. Okelah kalau begitu; berangkat kita, Anak Muda!
Tapi tunggu dulu! Sebelum berangkat ke Talang Sungai Parit, saya minta Imran mampir ke kantor mereka. “Kantor mereka” dimaksud adalah kantor yang disediakan AsM Law Office untuk anak-anak Talang Mamak yang terhimpun dalam Taji Talang Parit. Ini merupakan kelompok pemuda Talang Sungai Parit dengan agenda-agenda pelestarian dan restorasi lingkungan.
Besar juga kantor mereka. Sebuah rumah tipe 36 di tengah kampung. Ruang utama dijadikan pusat kegiatan, seperti pelatihan, diskusi atau merencanakan agenda kerja. Kamar depan dijadikan ruang sekretariat, ber-AC dan dilengkapi dengan komputer. Kamar kedua dijadikan ruang istirahat atau ruang tidur, dilengkapi kasur. Di ruang belakang terdapat kamar mandi dan dapur yang lapang, lengkap dengan persediaan gula kopi serta kopi susu sachet. Dulu kantor mereka terletak di Belilas, Kecamatan Seberida, kemudian dipindahkan ke Air Molek. Di sinilah kelompok Taji Talang Parit beraktivitas. Meski tidak rutin secara harian, tapi jika ada pekerjaan mereka akan ngantor dan nginap bermalam-malam.
Saya terkesan dengan keseriusan AsM Law Office memberi ruang dan kepercayaan kepada anak-anak muda Talang Mamak. Mereka tak hanya diajak berkegiatan, tapi menjadi ujung tombak dan lokomotif penggerak. Sambil terus membayangkan keseriusan itu, tak terasa kami sampai di bagian jalan yang tak bisa dilalui. Arus sungai Indragiri melimpah ke jalan, membuat badan jalan tak kelihatan sama sekali. Jadi kami harus menaiki bocay. Kebetulan sekarang para pemilik kapal sudah bersiap dengan sekitar 3-4 kapal. Lumayan untuk pendapatan sampingan, di luar kerja menambang pasir yang tak mungkin dilakukan saat sungai meluap. Ongkos satu sepeda motor Rp 20.000, sudah termasuk pengendaranya.
Jalan terendam banjir merupakan pemandangan lazim di perkampungan sepanjang Batang Indragiri (di sini, sungai Batang Kuantan berubah nama menjadi sungai Indragiri). Setiap masuk musim penghujan, semua lokasi akan terendam, kadang air masuk ke dalam rumah, menggenangi halaman hingga kebun. Di Simandolak, dekat Pangean, saya lihat sawah menjelang panen dihantam banjir yang tentu saja merugikan petani. Di sepanjang jalan menuju Talang Sungai Parit, saya saksikan kebun sawit, tanaman pinang dan sisa kebun karet, terendam air berwarna kuning keruh. Di titik tertentu, air berpusar deras, tinggi dan dalam sehingga tak bisa dilewati kendaraan selama berhari-hari. Maka tak ada jalan lain kecuali naik bocay tadi. Tapi untuk kendaraan roda empat harus jalan memutar ke Batu Sawar atau sekalian lewat Kelayang atau Belilas yang berjarak puluhan kilometer. Sangsai!
Di Halaman Belakang Rumah Dita
Selama di Talang sungai Parit, saya tinggal di rumah Dita di Dusun Tiga. Jalannya sudah beraspal dan sudah ada listrik. Dita aktif di Kelompok Taji Talang Parit. Ayahnya Pak Dana, seorang petani dan ibunya merupakan adik kandung Pak Batin Irasan. Dita punya tiga orang adik. Dua laki-laki dan satu perempuan. Di antara ketiganya tinggal seorang yang masih sekolah, Dwin; kakaknya sudah tamat. Sedangkan si bungsu, perempuan, baru saja meninggalkan bangku SMP-nya, setelah sempat sakit karena jatuh dari motor. Bersama mereka ikut tinggal Paman Briting, adik kandung Pak Dana, yang dipanggil Dita adik-beradik dengan sapaan “Bongsu” yang artinya paman. Paman Briting sudah berpisah dengan istrinya asal Talang Sungai Limau; dua anaknya ikut sang istri.
Rumah Dita cukup besar, rumah kayu model lapang bertiang sekitar satu meter, khas arsitektur rumah masyarakat Talang Mamak. Berdinding papan beratap seng. Rumah jenis itu biasanya dikerjakan melalui gotong-royong. Berbekal sehelai tikar baru dan dua bantal, saya menempati bagian ruangan di antara dua jendela. Rumah tidak bersekat, kecuali dua kamar untuk orang tua dan anak perempuan. Anak lelaki dan Paman Briting tidur di tengah ruang beralas tikar. Adik lelaki Dita lebih sering tidur di sebuah rumah tembok yang belum sepenuhnya selesai di depan, sementara Paman Briting kadang tidur di rumah kawannya sesama bujangan atau diminta menunggui ladang orang atau alat berat yang sedang parkir.
Setiap pagi terasa menjadi hari lain buat saya. Langit masih mendung, dan hujan tetap turun. Tapi pikiran saya mulai mengembara ke mana-mana. Berkumpul dan bercerita dengan keluarga Dita hampir setiap malam, telah membangkitkan ingatan saya pada banyak soal di dalam keluarga orang Talang Mamak. Keluarga Dita bisa sebagai representasi masyarakat adat di tengah pusaran (industri) perkebunan kelapa sawit, pasca hutan ulayat beralih arti dan fungsi.
Pagi dan hujan bukan lagi simbol romantik yang mengikat saya di sebuah kampung pedalaman. Melainkan satu situasi yang membalik persepsi pada “harmonisasi” alam. Ada paradoks dan ironi sana-sini. Kerap saya dawamkan sebaris puisi Derek Walcott,”Di akhir kalimat ini hujan akan turun/ di balik hujan layar perahu.” Maknanya adalah bahwa apa yang sedang dan akan saya tulis tetap menyuarakan harapan, sekalipun segalanya telah berubah. Hujan adalah simbol harapan, dengan segala dampak dan resikonya—karena harapan memang bukan sesuatu yang mulus terberi, namun mesti diperjuangkan terus-menerus. Perahu membawa kita berlayar di tengah keniscayaan zaman yang kian sedikit menawarkan pilihan.
Tiap pagi saya buka semua jendela, bukan hanya dua jendela di dekat bentangan tikar saya. Keseluruhan ada lima. Saya akan melongokkan kepala berlama-lama ke luar salah satu jendela, melihat bunga kembang sepatu bergoyangan ditimpa air penutu. Sangkar burung tak berdinding milik Paman Briting tergantung dekat situ, menenggerkan seekor burung beo dengan bulu-bulu dan suara yang sama indah. Romantisisme? Belum tentu. Sebab lihatlah, deretan pohon kelapa sawit di halaman dan samping rumah yang basah oleh hujan dengan janggutnya yang kusam, serta-merta mengingatkan saya pada sajak W.S. Rendra, “Hutan Bogor”: Buruk dan basah/jenggot pohonan,/lumut-lumut di dahan, benalu dan paku-paku./ Aku berpikir/betulkah aku tidak menipumu?
Sejak kelapa sawit masuk ke kawasan Talang Mamak, semua lahan ditanami kelapa sawit, tak terkecuali halaman depan, samping dan belakang. Ini menjadi penanda betapa tak terpisahkannya hidup mereka kini dengan kelapa sawit. Rasanya baru kali ini suatu komoditi ditanam langsung di sekeliling rumah, selain di kebun. Komoditi yang sedang berjaya ini menjadi keniscayaan zaman yang mau tak mau mereka ikuti langgamnya. Tapi, meminjam ungkapan sajak Rendra di atas,”Betulkah [ini] tak menipumu?” Ungkapan penutup yang memupus apa yang semula mungkin kita anggap romantik!
Banyak pohon karet ditebang, dengan klaim tak produktif dan harga tak pernah naik. Lalu bersama lahan yang tersisa, bekas kebun karet itu ditanami sawit. Tak heran, kelapa sawit tumbuh merajalela di Desa Talang Sungai Parit, dan desa-desa puak Talang Mamak lainnya, dari Talang Gedabu sampai Talang Sungai Limau, dari Talang Sukamaju sampai ke Talang Durian Cacar, dan seterusnya. Benarkah semua itu memberi mereka jaminan penghidupan yang purna? Sukar menjawabnya jika melihat betapa hidup orang Talang Mamak tak berubah.
Saya hirup kopi saya, tepatnya kopi susu kemasan yang manisnya pool, buatan Ibu Dita. Saya yang biasa ngopi hitam pahit, bergumam,”Sesekali ndak apa, nikmati saja.”
Bila hujan telah reda, meski langit masih mendung, saya akan turun ke halaman. Saya menyukai halaman belakang tempat saya melihat rumah keluarga Talang Mamak bukan dari depan. Rasanya seperti melihat dan menemukan hal-hal tak terduga yang tak semuanya tampak dari muka. Dari belakang saya dapat melihat rupanya rumah Dita sangat luas dengan tambahan sayap di bagian dapur. Ada kandang ayam berbentuk kotak-kotak kayu berisi jago-jago yang tak henti berkokok dan melewakan taji.
Mula-mula saya duga itu ayam peliharaan untuk dijual, namun beberapa hari kemudian saya tahu bahwa Pak Dana, ternyata jago begawai. Itu ayam-ayam aduan kesayangannya apabila ada acara begawai di kampung. Begawai merupakan pesta pernikahan yang lazimnya diramaikan tradisi sabung ayam. Akibatnya begawai identik dengan sabung ayam dan kadang menggantikan sebutan untuk sabung ayam.
Awalnya tradisi itu dibatasi ritual, semacam tabuh rah di Bali, di mana darah ayam aduan yang menetes atau memercik di muka pura dianggap sebagai bentuk persembahan kepada dewa. Namun tabuh rah berubah atau dibelokkan menjadi judi sabung ayam yang lebih dikenal sebagai metajen. Dan sebagaimana di Bali, begawai di Talang Mamak juga bergeser ke arah taruhan. Bila terkabar ada acara begawai, para bobotoh akan datang tanpa membedakan suku dan asal-usul, mulai kalangan orang Talang Mamak sendiri, Melayu, Batak, Jawa, Minang, Cina, dan seterusnya. Mereka bawa jagoan masing-masing atau menjagokan salah satu di antara ayam aduan. Apalagi jika yang datang orang Cina dari Sungai Akar, pasti seru, begitu kabar yang kudengar. Mereka akan membawa ayam parkit yang harganya jutaan, dan taruhannya bisa mencapai Rp 15 juta sekali putaran. Konon, mereka sampai membawa kompor segala untuk memasak makanan atau sekadar bikin kopi karena tak mau merepotkan tuan rumah yang sedang berhelat.
Meski jago yang kalah akan diserahkan kepada tuan rumah untuk dipotong, dan dalam waktu singkat akan menjadi hidangan lezat pihak helat. Memberikan jago yang kalah ini dianggap sumbangan dan peran serta para bobotoh menyukseskan acara begawai. Tapi saya pikir, persoalannya lebih dari itu. Setidaknya, jadwal begawai yang diperpanjang secara sepihak, dari biasanya dua hari, diulur sampai lima hari atau seminggu. Dalam sehari bisa 30 kali ayam bertanding di arena. Kemudian woro-woro (pemberitahuan) kepada para bobotoh dari segala penjuru, juga jadi penyebab ramainya acara begawai yang menggeser acara keluarga itu menjadi acara semua orang. Jika begawai—dengan tradisi adu ayamnya—hendak diletakkan di atas makna ritual awal, maka dua hal itu harus segera ditata lebih dulu.
Adik lelaki Dita terlihat sibuk mengeluarkan ayam-ayam itu dari kandang, mengikat dan memberinya makanan di halaman. Menurutnya, beberapa kali ayam-ayam itu diincar ular, tapi berhasil diusir atau ditangkap. Berkali-kali pula yang paling jago di antara mereka ditawar bobotoh dengan harga tinggi, tapi tak pernah dilepas.
Halaman belakang rumah Dita masih berhutan. Sebagian ditanami pohon sawit, sampai ke bagian rawa yang berbatasan dengan hutan keramat tempat makam leluhurnya. Terlihat sawit memang menjadi tanaman pilihan yang ditanam bukan hanya di kebun atau di ladang, tapi sekeliling rumah tinggal. Kata Pak Dana suatu kali, jika saja monyet-monyet tak merangsek masuk, maka semua sisa rawa akan ia tanami sawit. Tapi karena banyak monyet, ia sudah malas melanjutkan menanaminya dengan sawit lagi. Untunglah masih tersisa jenis tanaman lain seperti manggis, petai, jengkol, enau, langsat dan rambutan.
Terdapat sebuah kolam persegi panjang, bersemen menyerupai kolah dekat sumur, tempat Paman Briting kadangkala melemparkan sebagian ikan yang ia pancing; ikan yang ia anggap masih segar dan hidup menggelapar. Ikan-ikan itu akan ditangguk kembali apabila tiada lauk untuk dimasak. Lauk utama orang Talang Mamak memang ikan air tawar dalam berbagai jenis. Sebut saja puyu, limbat, gabus, saribulan, baung, kapareh, pantau putih, batung hingga seluang. Ada pula ikan lais yang tipis-panjang tapi dagingnya sangat enak. Ada ikan sengarat menyerupai ikan lais tapi giginya lebih panjang. Ada ikan jelejer, tapi kalau sudah besar ia akan berubah menjadi ikan lemak menyerupai ikan barau, hanya saja ikan barau memiliki bintik merah di tubuhnya. Itu semua didapatkan dengan memancing langsung di sungai atau parit-parit kelapa sawit, sebagian lagi dengan memasang bubu dan menajur (memasang kail ukuran besar pada malam hari).
Berbeda dengan di Kalimantan, ikan air tawar dibelah dan dijemur dijadikan ikan kering persis ikan laut, di Talang Mamak ikan-ikan hasil tangkapan umumnya langsung dimasak sehingga terasa segar. Ini menunjukkan bahwa mencari ikan tidak untuk kepentingan ekonomis. Tampaknya tak ada yang menjadi nelayan air tawar sebagaimana di Kalimantan, kecuali sekedar mencari ikan untuk keperluan lauk makan. Jika pun ada yang menjual ikan air tawar, sebagaimana saya temukan di pasar atau di pinggir sungai tempat orang menyerok ikan, maka itu dalam jumlah yang sedikit.
Profesi nelayan air tawar jelas tidak populer di kalangan orang Talang Mamak khususnya, dan masyarakat Indragiri umumnya. Entah dulu. Seiring habisnya lahan gambut dan rawa-rawa buat perkebunan sawit, sungai-sungai kecil pada mati, menyusut, bahkan sungai Indragiri sendiri menampakkan perubahan ekstrem; meluap saat hujan dan menyusut saat kemarau. Perubahan alam yang cepat membuat potensi perikanan darat luput dari sasaran ekonomi mereka, dan pemerintah daerah pun abai. Sesekali ada ikan laut, termasuk ikan asin, dijual di pasar Pasir Bongkal, tapi ikan air tawar tetap jadi pilihan favorit. Usaha desa Talang Sungai Parit dengan beternak lele, sebagaimana saya lihat di tepi hutan keramat keluarga Dita, tentu saja terobosan bagus untuk dikelola secara lebih serius.
Gambaran ini setali dengan cerita mengenai hasil hutan. Amat jarang saya dengar ada disebut madu hutan Talang Parit atau Talang Mamak. Sesuatu yang sebenarnya lazim muncul dari masyarakat yang hidup dengan hutan, sehingga citraan itu terasa klasik dan menjanjikan. Akan tetapi saya segera sadar, dulu boleh jadi sangat mudah mendapatkan madu di pohon-pohon sialang. Belakangan tak ada terdengar karena jangankan hutan, pohon sialang pun bisa dihitung dengan jari. Penebangan tak lagi berdasarkan pantang larang. Maka madu, seolah menjadi kosa kata yang hilang di Talang Sungai Parit, justru di tengah generasi muda mereka yang membutuhkan stamina dari ancaman penyakit.
Selain madu, kini juga sulit dijumpai buah-buah “eksotik” yang sekaligus bernilai ekonomis, seperti durian dan duku. Padahal sebagai daerah pedalaman yang dekat dengan hutan, durian lazim sebagai buah unggulan. Dulu memang begitulah keadaannya, kata Pak Dana. Bahkan ada nama luak Talang Mamak bernama Talang Durian Cacar yang namanya berasal dari buah durian yang dihasilkan. Duku dan buah-buahan jenis lain juga sulit ditemukan, kecuali mungkin cempedak hutan yang itu pun bagai berebut dengan kera atau monyet, sebagaimana dialami Pak Dana di ladangnya. Ini memaksa Pak Dana memanen cempedak hutan miliknya lebih awal dan dijual dengan harga murah di tepi jalan.
Boleh dikatakan cempedak hutan inilah buah asli kawasan Talang Mamak yang masih tersisa dan dijual sampai ke luar desa. Di Air Molek, saya bertemu penjual cempedak hutan yang berjualan di atas mobil pick-up. Harganya cukup murah, Rp 10.000/buah. Menurut si pedagang, buah itu didatangkan dari kawasan Talang Mamak.
Dua ekor tupai berkejaran di dahan enau, menderaikan sisa air hujan yang melekat di daun, menetes ke wajah saya yang tengadah. Sepasang tupai itu lalu melompat gesit ke pohon manggis yang buah-buahnya telah banyak mereka lobangi, sebagian dijatuhkan kelelawar malam hari. Ada dua batang manggis di halaman belakang rumah Dita. Keduanya tak lepas dari intaian kera dan tupai-tupai, sehingga suatu hari Dita memutuskan memanjat sendiri pohon manggis itu dan memetik semua buah.
Tentu saja buah-buah itu tak akan bisa dijual. Selain jumlahnya sedikit, ia pun dipanen belum waktunya. Mungkin lain hal jika manggis, sebagaimana buah-buah lain, sengaja dibudidayakan. Bisa memanfaatkan halaman atau kebun, diikuti pemeliharaan, termasuk panen yang baik, pasti hasilnya bisa dijual dan memberi nilai tambah bagi pendapatan keluarga. Tapi tampaknya pohon buah-buahan belum menjadi pilihan yang sengaja ditanam, kecuali sebatang-dua, sisanya tumbuh secara liar di antara tanaman karet atau palawija, atau di halaman sekitar rumah.
Satu hal lagi terkait mata pencahrian (livelihood) adalah langkanya minat orang Talang Mamak memelihara hewan ternak. Dalam kunjungan terdahulu, ketika saya menginap di rumah Pak Dukun (masih di Dusun Tiga), saya melihat di belakang rumahnya ada kambing piaraan yang dikandangkan. Namun setelah kini saya berkunjung ke rumah-rumah lain, ternyata tidak ada orang melakukan hal serupa. Padahal berbagai jenis rumputan tersedia sebagai pakan ternak. Bukan saja cocok bagi kambing, saya bayangkan juga sangat potensial untuk sapi bahkan kerbau. Ternak-ternak itu bisa tetap dilepas dalam lahan sawit yang telah tinggi, sehingga tak akan merusak tanaman. Praktis piaraan mereka hanyalah ayam kampung yang dibiarkan lepas mencari makan, dalam arti bukan sebagai hewan yang diternakkan secara komersil, paling dikonsumsi sendiri atau sesekali dijual secara sporadis. Boleh jadi ini akibat ketiadaan modal atau belum jadi tradisi.
Di samping kolam tempat Paman Briting mencemplungkan ikan yang hidup sepulang memancing, terdapat sebuah lumbung padi, tapi sudah lama ditinggalkan. Ketika saya intip ke dalam, hanya terlihat barang-barang bekas berserakan. Lumbung itu kini menunggu roboh, sebagaimana kita mengingat cerpen A.A. Navis dengan kepala gerowang, “Robohnya Surau Kami”. Surau merepresentasikan goyahnya spritualitas dan relegiusitas sosial, sebagaimana “Robohnya Lumbung Kami” akan menjadi simbol ambruknya sistem pangan tradisional, utamanya padi. Perubahan zaman dan perubahan tata-ruang tak memberi lagi kesempatan masyarakat adat menjaga dan mengisi lumbung-lumbung kencana milik tradisi mereka yang hakiki. Padahal upaya menyimpan hasil panen bagian dari filosofi Talang Mamak, yakni makan basitinah (berhemat). Ini melengkapi filosofi lain, jika lalu basitabik (tabik, menyapa), berkata berkaca wali (janji ditepati).
Di pucuk hutan keramat, monyet-monyet bertahan sampai malam. Bila tak ada orang, mereka akan melompat ke atas pohon sawit memangsa buah-buah di tandan yang masih muda. Bahkan pernah seekor monyet terjun ke atap rumah. Bunyi menggelegar yang ditimbulkannya kami kira tabrakan kendaraan di jalan. Setelah diperiksa, ternyata seekor monyet besar bertengger di atap entah mengintai apa. Ketika saya tanya pada Dita kenapa hutan itu dibiarkan lebat dekat rumah, ia mengatakan bahwa di dalamnya ada makam kakek buyut mereka. Orang Talang Mamak biasa membiarkan makam berada dalam lindungan hutan. Tak jauh dari rumah Dita, juga terdapat sehampar hutan lain di seberang jalan, dan di dalamnya pandam pekuburan orang-orang Talang Sungai Parit. Pemakaman lain ada di Dusun Dua, di dalam hutan karet, sebab di sana sudah berbaur dengan makam orang Jawa dan Melayu atau Islam Langkah Baru.
Di dekat pohon manggis, terdapat WC berdinding papan, tapi sebagaimana kamar mandi juga tidak punya atap. Harap maklum, “kabin” toilet itu penuh dengan nyamuk kecil-kecil yang serentak bersipongang dan berdengung tiap kali kita masuk dan berjongkok. Sementara suara monyet dan kuik elang terdengar bersahutan. Jadi berjongkok di toilet terasa mewah juga, seolah berada di alam lepas dengan orkestra suara satwa.
Empat hari berturut-turut saya selalu ditemani makan oleh Pak Dana dengan cara menghidangkan nasi di ruang arah ke dapur. Dua kali sehari. Makan malam dan makan siang. Namun hari berikutnya, untuk makan siang saya dipersilahkan mengambil makanan sendiri ke dapur, ke dalam tudung saji yang sudah dipersiapkan. Hal ini sudah saya pikirkan juga. Memang lebih baik begitu. Kasihan Pak Dana harus pulang dari ladang hanya untuk menemani saya makan siang. Untuk hidangan kopi sachet sudah saya minta stop kepada ibu Dita. Saya memilih menggantinya dengan membuat kopi hitam sesekali saja.
Maka hari-hari berikutnya, demi keperluan makan sendiri, saya punya kesempatan memasuki dapur keluarga Dita, dan secara spesifik melihat dapur masyarakat Talang Mamak. Dapurnya luas dengan alat-alat memasak lengkap. Nasinya dimasak dengan rice cooker dan lauk-pauk dimasak menggunakan kompor gas. Meski kayu bakar masih tetap sedia di atas salang, bagian dapur paling bawah, untuk berjaga-jaga jika masak banyak atau kompor habis gas.
Ada juga sebuah mesin cuci terletak di geladak dapur sebagaimana dulu juga saya lihat di kamar mandi Pak Dukun. Dan untuk menimba air ada mesin sanyo. Pokoknya semua peralatan modern ada, meski saya tidak melihat kulkas. Di sudut ruangan saya lihat berjejer-jejer kotak plastik dan kotak kayu berisi piring, gelas dan teko. Semua tersusun rapi. Di dinding tergantung belasan kuali, periuk dan dandang dalam berbagai ukuran. Belum lagi dulang tembaga, berkaki tinggi, yang sudah terbilang klasik jika bukan langka.
Saya menanyakan kepada Dita, mengapa banyak sekali peralatan dapur di rumahnya. Ia menjelaskan bahwa itu semua adalah koleksi keluarga besar yang akan digunakan untuk upacara atau kenduri. Bukan hanya keluarga, kadang dipinjam oleh warga jika ada acara di kampung. Sebagai keluarga besar keturunan batin (kepala adat), keluarga Dita memiliki banyak perkakas rumah tangga, sebab keluarganya paling sering berkenduri. Lebih dari itu, komplitnya peralatan pecah-belah, mulai alat memasak di dapur, hingga alat-alat untuk menghidangkannya dalam sebuah pesta adat, menunjukkan bahwa orang Talang Mamak punya aneka hidangan yang tentu saja bersumber dari ketahanan pangan.
Pergi ke Pasar, Deru Eksevator dan Upacara Tepung Tawar
Pasar desa terdekat terletak di Pasir Bongkal sekitar delapan kilometer dari Talang Sungai Parit. Pasar ini diramaikan dua kali seminggu, yakni hari Kemis dan hari Minggu. Dua hari ramai tersebut, sama dengan lingkungan orang Minang, disebut hari balai atau hari pakan. Lainnya adalah Pasar Petonggan, di mana saya sempat mampir dalam perjalanan “jalur membenam”—ini saya pinjam dari judul cerpen Wildan Yatim tentang jalan buruk pada masa jayanya karet di Pasaman, mungkin sekitar tahun 60-an. Ketika itu, beberapa hari yang lalu, motor pinjaman saya terbenam hampir satu jam di jalan berlumpur.
Pada suatu hari Minggu saya kembali meminjam motor antik itu, milik Iffit, juga anggota Taji Talang Parit. Saya mengendarainya ke pasar. Pagi sekira pukul 10.00 pasar terlihat ramai. Semua los terisi dan sebagian pedagang membuat lapak-lapak tambahan di pinggiran los. Barang-barang tertentu umumnya dibawa oleh pedagang Minang dan Jawa dari Air Molek, Peranap atau Belilas. Mereka mengangkutnya dengan mobil pick up yang diparkir berderet-deret di depan pasar dengan tali-temali dan terpal masih dibiarkan bergelantungan. Sebab sore ketika pasar tutup, terpal itu akan kembali digunakan untuk menutup barang-barang dagangan menuju pulang atau pasar berikutnya.
Menurut seorang penjual sate tempat saya sejenak mengisi “sumatera tengah” (istilah orang Melayu untuk perut), suasana pasar kali ini sudah lumayan ramai. Minggu atau Kemis sebelumnya tak seramai sekarang karena banjir. Akses jalan dari Air Molek tak bisa dilalui, sementara akses dari Belilas juga sulit; jalan tanah berubah lumpur disiram hujan. Mobil pick-up pedagang keliling pasti menyerah menempuhnya, kecuali jenis mobil hulux gardan ganda yang sesekali saya jumpai di jalur Talang Gedabu-Petonggan tempo hari.
Selesai menyantap seporsi sate, saya berkeliling pasar melihat-lihat suasana. Pasar Pasir Bongkal tidak terlalu besar, setidaknya jika dibandingkan dengan Pasar Petonggan. Keramaiannya juga kalah jauh jika saya bandingkan misalnya dengan Pasar Surantih, di kampung saya. Tapi los-losnya sudah tertata dengan baik sesuai jenis dagangan. Saya mencari ikan sungai atau ikan rawa seperti puyu dan ikan lais kesukaan saya. Saya datangi bagian los ikan. Tapi ternyata ikan incaran saya sudah habis. Tinggal ikan gabus, patin, sepat, baung, lele dan nila, dua yang terakhir diambil dari kolam, bukan ditangkap langsung di sungai, rawa atau parit. Saya beli ikan gabus yang ukurannya kecil-kecil. Sengaja saya pilih yang kecil-kecil karena akan sangat enak digoreng balado. Harga Rp 30.000/kg.
Di Kalimantan, seperti Banjarmasin dan sekitarnya, harga ikan gabus atau dikenal dengan nama lokal aruan, bisa lebih mahal sebab ikan ini dijadikan lauk utama untuk sarapan nasi kuning dan ketupat kandangan yang terkenal itu. Beberapa jenis ikan, seperti puyu atau pepuyu orang Banjar menyebut, sebenarnya sudah mulai langka. Sistem pelestarian ikan rawa atau ikan air tawar di negeri kita mungkin jauh dari radar pihak terkait. Malahan begitu banyak persoalan yang terbiarkan, baik karena rusaknya ekologi maupun sikap sebagian masyarakat yang tidak lagi mengindahkan cara menangkap ikan dengan benar. Tak jarang masyarakat menebar racun potas di sungai dan parit sawit yang membuat semua jenis ikan berbagai ukuran terapung pingsan atau mati keracunan.
Memancing, memasang bubu atau menjala ikan, memang masih dilakukan orang Talang Mamak, sebagai tinggalan cara menangkap ikan tradisional, namun itu juga tidak bisa lagi dilakukan secara leluasa. Sungai dan rawa pada mengering dangkal, semenjak dibuat parit-parit sebagai sistem baku penanganan lahan basah untuk perkebunan sawit. Air terhisap dan mengering sehingga mustahil ikan dapat berkembang-biak. Sebaliknya, pada musim hujan, semua lokasi terendam banjir sehingga sangat sulit menangkap ikan. Sistem pembersihan lahan sawit dengan merondot (meracun rumput) juga mengancam kelestarian ikan, sebab sisa racun pemusnah tanaman liar itu akan terbawa air hujan ke parit sawit dan selokan.
Hari itu saya pulang dengan hasil belanjaan. Di luar ikan saya beli tahu, tempe dan sayuran, cabe, bawang dan selengkapnya.
Sore hari, saya dengar suara mesin meraung dari arah belakang rumah. Saya menguping dan pasti ada sesuatu. Akhirnya saya turun, melewati rumah Pak Sudiman, sang Kepala Desa, sampailah saya di sehampar tanah menyerupai kebun; ada pohon karet, sawit dan pohon-pohon besar lainnya masih tegak perkasa. Tapi sebentar rebah bak sekejap mata. Nah, itulah yang terjadi ketika alat berat bekerja menumbangkan pohon-pohon itu. Saya tanyakan kepada orang-orang yang menonton, ternyata di sana mau dibangun rumah. Jadi lahannya perlu dibersihkan dengan alat berat. Eksevator merk Sany atau Kalbiko itu merupakan milik operator perusahaan alat-alat berat yang memang disewakan secara bebas.
Dengan alat itulah penduduk membuka lahan sawit, atau menumbangkan pohon karet diganti dengan sawit. Biaya Rp 7.000.000/hektar. Harga segitu mungkin tak terlalu berat bagi mereka yang memiliki modal, mengingat hampir semua pekerjaan terkait pembukaan lahan atau disebut stalking, akan diambil-alih mesin. Mulai menebang pohon, memotong, dan mengonggoknya di satu sudut; membongkar akar dan menimbun lobangnya kembali sampai menggali lobang untuk saluran air. Pemilik lahan tinggal terima bersih. Bagi yang tidak punya modal, penyewaan alat berat tinggal impian, sehingga mereka terpaksa membuka lahan secara manual menggunakan kapak dan parang sebagaimana banyak dilakukan orang Talang Mamak. Dibutuhkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu, apalagi lahan kini sama sekali tak boleh dibakar.
Bunyi suara mesin itu sungguh mengerikan. Patahan pohon bagai patahan tulang-tulang rudakapsa. Bergemertak dan cepat sekali. Sebatang pohon durian setinggi 13 meter roboh dalam hitungan 3 detik! Pohonan lain malah lebih cepat. Setelah semua itu selesai, alat berat bergerak ke arah ladang Pak Dana. Lahan karet di samping ladang Pak Dana milik orang kampung setempat, ternyata mau ditebang habis sebab akan diganti dengan sawit. Luasnya sekitar dua hektar. Karena sudah sore, rencana pembukaan lahan karet itu baru akan dilaksanakan esok harinya. Alat berat diparkir dulu di lahan itu. Sopir alat berat meminta tolong Paman Briting menjaganya. Paman Briting menyanggupi. Bersama seorang ponakannya, adik laki-laki Dita, mereka bermalam di pondok ladang Pak Dana yang tak jauh dari tempat eksevator itu terparkir.
Sekitar pukul 22.00, Paman Briting pulang diantar seorang kawannya naik motor. Saya yang belum tidur menyapanya,”Kenapa pulang, Bongsu?”
“Mau ambil selimut,” Paman Briting tersenyum. Secepatnya ia bersiap pergi dengan sarung dililitkan di pinggang dan tangannya memegang obat nyamuk. “Merasai, nyamuknya besar-besar, meski sudah ada perapian, tak mempan,” katanya sebelum pergi dibawa sepeda motor yang menderu.
Malam berikutnya saya ikut Pak Dana menghadiri upacara Tepung Tawar di rumah keluarga Pak Siam di Dusun Satu. Ada dua orang mendiang yang akan diupacarai, yakni adik ipar Pak Siam dan adik Pak Tuwek, kerabat mereka. Keduanya meninggal sebulan dan satu setengah bulan yang lalu. Upacara keduanya digabung, menunjukkan ada fleksibilitas juga dalam penyelenggaraan ritual orang Talang Mamak. Sebaliknya, saya sendiri yang merasa sebagai manusia modern justru berhadapan dengan suatu ikatan yang terkesan kaku.
Alkisah, sedari kecil saya tak pernah bisa makan dan minum di rumah orang meninggal, apakah dalam tahlilan seratus atau seribu hari. Saya akan meriang atau demam. Termasuk memakan berkat yang dibawa pulang. Anehnya, dengan menu yang sama, tapi dalam hajatan orang menikah, sunatan dan acara apa pun yang tak berhubungan dengan orang mati, saya bisa menikmatinya. Problem ini sudah ada sejak dari kampung dan saya bawa merantau ke Jawa, sehingga dalam acara-acara tahlilan di tempat saya tinggal orang-orang sudah paham. Dan ternyata, di kampung tempat saya bermukim sekarang ada dua orang warga yang juga senasib dengan saya. Apa penyebab dan alasannya kami tidak pernah bercerita, karena saya sendiri sampai kini tak tahu penyebabnya.
Atas pertimbangan itu, sebelum berangkat saya sudah jelaskan kondisi saya ke Pak Dana. Ia mengerti, selain meminta saya membawa air botol, kami juga makan malam terlebih dulu. Sehabis makan kami berangkat naik motor menerobos gerimis. Jalan tanah ke Dusun Satu menjadi licin, membuat kami nyaris tergelincir. Syukurlah jalur tersebut tidak berlumpur karena merupakan bekas pengerasan. Gelap sekeliling. Tak ada penerang jalan. Kiri-kanan pohonan karet, menyuguhkan kelengangan dan juga rasa mistis.
“Di sana ada makam,” Pak Dana malah menunjuk kuburan.“Orang Talang Mamak penganut Islam Langkah Lama dan orang Talang pemeluk Islam Langkah Baru, juga Jawa dan Melayu, berada di satu kompleks. Karena itu makamnya cukup di tengah kebun karet, bukan di dalam hutan,” ia menjelaskan.
Ketika kami sampai, rumah Pak Siam sudah penuh tamu. Kami segera naik, melewati sekelompok laki-laki duduk di beranda, sementara pintu rumah ditutup. Saat pintu dibuka terlihatlah sebuah panggung kayu di tengah rumah. Tiang-tiangnya langsung diikatkan ke tonggak rumah. Di atas panggung itu diletakkan rumah-rumahan berarsitektur Riau dengan atap selembayung. Sekelilingnya berhiasan rumbai daun enau muda dan manik-manik dari buah jelai palis, karena itu acara tepung tawar disebut juga dengan palis tawar. Ada dua jenis jelai, jelai jarus lebih kecil dan jelai batu yang besar; yang digunakan jelai batu.
Palis tawar atau tepung tawar adalah upacara menyucikan yang kumal dan makruh. Roh di badan sudah tak ada lagi tapi belum benar-benar pergi, makanya harus disucikan dengan tepung tawar (beras giling yang belum dimantrai). Setelah setahun dikubur ada upacara manambak. Itulah yang saya dengar dari Pak Dana.
Kami duduk di antara tetamu yang berderet di ruang berbatas bintalak (kayu penampang yang dibuat muncul di antara lantai). Sebagian tamu duduk menyandar ke tiang atau dinding. Semua beralas tikar. Ada Pak Batin Irasan dan Pak Kumantan hadir. Sebagian ruang arah ke dapur menjadi ruang perempuan di mana mereka menyiapkan hidangan. Ruang tengah menjadi arena utama tempat upacara akan dilangsungkan. Saya melihat Pak Dukun duduk dekat balai-balai mengunyah sirih.
Setelah para tamu dianggap lengkap, makanan dihidangkan. Ada nasi dari beras ladang yang warnanya kemerahan, dan ada juga nasi dari beras biasa. Gulai ayam dan goreng ikan nila adalah beberapa lauk yang sempat saya lihat. Pak Dukun tak ikut makan sebab dia sudah makan tersendiri lebih awal. Untuk diketahui, dalam acara seperti ini, Pak Dukun tinggal di rumah orang yang berupacara, sejak orang menyiapkan upacara sampai upacara selesai. Saya dipersilahkan makan, tapi Pak Dana membisikkan sesuatu kepada orang yang mengajak makan itu. Dan ternyata itu ayah Imran, namanya Pak Larisan. Kami berkenalan.
“O, yang beberapa hari lalu dijemput anak saya, ya?” tanyanya.
“Ya, Pak, saya dijemput Imran ke Air Molek,” jawab saya.
Selesai makan, orang-orang merokok dan berbincang. Asap rokok bercampur asap menyan dan asap api damar pada obor bambu, membuat semacam halimun tipis di kaki bukit. Tak lama kemudian lampu listrik dipadamkan, sehingga tinggal tiga buah obor yang jadi penerang. Masing-masing obor dijaga seseorang yang harus mengalirkan lelehan damarnya ke alas daun di lantai supaya sumbu api tak tertimbun getah damar yang terbakar. Jika sumbu tertimbun getah, maka obor akan mati.
Suasana kini terasa mistis. Hening. Pak Dukun bangkit dari kasur tempatnya berbaring, lalu sambil merapal mantra ia maju ke tengah balai-balai. Tangannya memegang piring kanso berisi jamuan. Bau menyan makin santer. Ketika suara Pak Dukun kian cepat merapal mantra, para pemukul kendang mulai memainkan kendang di hadapannya; Pak Dana salah seorang di antaranya—saya sempat melihatnya berlatih di pondok ladang sebelum ini. Beberapa orang lain bangkit, bergabung dengan Pak Dukun di tengah ruangan. Melalui gerak rampak mereka mengelilingi balai-balai, sejenak mengingatkan saya pada upacara basamuk umang (upacara selamatan padi) di Loksado, Pegunungan Meratus. Puncaknya, Pak Dukun menghempaskan segenggam besar mayang pinang ke atas lantai.
“Huuuuuuu…waaahhhh!” ia merarau. Panjang.
Mayang itu berderai, bebijian dan putiknya menghambur membentuk semacam hamparan pasir yang amat sugestif di lantai. Itulah lambang pasir sungai di tepian, dari mana arwah dipercaya bertolak berlayar ke laut lepas sampai naik ke petala langit. Saya bagai menonton sebuah teater etnik yang menggetarkan.
Setelah rangkaian upacara inti selesai, listrik kembali dinyalakan. Obor digeser ke belakang. Para tamu tidak langsung bubar. Mereka dihidangkan kembali kopi, teh dan kue-kue. Berbincang. Pak Batin dan Pak Kumantan, entah bagaimana awalnya bercerita tentang harimau. Segera disambut Pak Tuwek yang mengaku pernah didatangi harimau di ladangnya.
Hujan yang deras di luar membuat cerita terus berlanjut, meski sebagian orang memutuskan pulang menembus hujan. Saya dan Pak Dana masih menunggu. Tapi setelah hampir satu jam menunggu hujan tak kunjung berhenti, sesaat ketika sedikit reda kami manfaatkan untuk pamit. Namun di tengah jalan hujan kembali lebat. Pak Dana menembusnya terus, kali ini ia mengambil jalan ke arah lain, melewati pemakaman umum di tengah pohon karet. Jalan itu tidak selicin jalan yang kami tempuh saat berangkat.
Besoknya, meski tubuh sedikit meriang, saya melanjutkan pelatihan menulis puisi yang memang saya agendakan untuk anak-anak Talang Mamak. Saya mengecek pekerjaan yang saya berikan kepada mereka. Puisi-puisi itu kami bahas bersama. Dita memberikan sejumlah puisi yang ia tulis. Jumlahnya lumayan banyak. Sayangnya, menjelang sore Dita dan Iffit harus ke “kantor mereka” di Air Molek. Persiapan pertemuan negosiasi dengan perusahaan INECDA mengharuskan mereka menyiapkan segala sesuatu di kantor. Dan itu ternyata memakan waktu dua hari, ditambah sehari tak bisa pulang sebab hujan lebat dan jalan kembali meluap, tak bisa dilalui. Sementara Neneng, seorang lagi peserta yang pendiam tapi berbakat, pergi menemani Ayu ke Pekanbaru. Mereka menunggui adik Ayu yang operasi usus buntu. Mula-mula operasi dilakukan di Rengat, tapi kambuh karena ternyata ususnya sudah parah. Dan Ayu tak kalah berbakat. Tinggallah Imran yang saya temani berpuisi dengan pola sparring partner.
Tiga hari kemudian saat Dita dan Iffit datang, kami pergi memancing bersama-sama ke Sungai Ekok. Sungai Ekok merujuk sebatang sungai yang membelah Desa Talang Sungai Parit, berhulu di selatan dan bermuara di Sungai Indragiri. Sungai selebar jalan tanah ini memberi tipografi pada alam Talang Sungai Parit. Selain menjadi pembatas dengan desa lain seperti Talang Gedabu, juga semacam drainase kampung pada musim hujan. Ia akan menampung aliran air dari parit-parit kecil di seputar kampung. Pada musim kemarau, penduduk menjadikan tepian Sungai Ekok tempat mandi dan mencuci. Dan paling penting, sumber ikan air tawar. Sungai Ekok menjadi rujukan bagi kawasan huma-perladangan orang Talang Mamak yang memang banyak membuka huma di bagian hulu sungai, sebagaimana di kawasan Danau Tiga.
Namun semua itu tampaknya sudah banyak berubah. Pada musim hujan, Sungai Ekok gampang meluap sebab alurnya kian sempit dan dangkal. Ini menyulitkan para peladang yang lahan mereka terendam banjir. Pada musim kemarau, air menyusut dan ikan-ikan air tawar seolah pamit pergi entah ke mana. Fungsi Sungai Ekok sebagai “drainase” kampung seakan hendak diambil-alih oleh parit-parit kebun kelapa sawit, tapi jelas tidak bisa dan perannya berbeda. Parit pada lahan sawit justru berfungsi mengeringkan lahan gambut, sekering-keringnya. Tapi parit hanya benar-benar sebuah galian, tak ada hulu tak ada muara. Akibatnya tak ada pelepasan sehingga air menggenang yang menyebabkan jentik nyamuk dan ikan-ikan mati kepanasan.
Memancing di Sungai Ekok menjadi semacam tamasya kecil bagi orang-orang kampung. Banyak sekali warga ngumpul membawa umpan, kepis dan pancing bertangkai panjang. Mereka datang membawa motor yang parkir berderet sepanjang tepi sungai sehingga ada yang berseloroh,”Besok saya mau buka parkiran di sini!”
Selain cacing, umpan termasyhur adalah telur semut rangrang, telur tabuhan, ulat sagu atau anak kodok, di samping ada juga yang beli umpan racikan. Sedangkan tangkai pancing atau disebut duasan terbuat dari batang ranggam yang batangnya berduri seperti salak, tapi amat kuat. Berbekal umpan dan pancing yang kuat, juga cemilan—saya membawa manggis pemberian Dita; ia panjat sendiri—kami memancing sampai malam, sampai bulan bertengger di atas sisa pohonan rawa. Tak jauh dari tempat saya mangkal, ternyata ada Pak Dukun yang segera terkekeh melihat saya berkali-kali ganti umpan.
Begitulah, pada musim hujan, tempat-tempat di mana air tergenang menjadi spot mancing warga kampung. Menjadi tamasya kecil yang asyik dan murah-meriah. Tapi jangan berharap melihat Paman Briting, yang jago mancing, dan kawan-kawannya ada di sana. Mereka kelompok mancing “kelas berat” yang spotnya ada di tempat-tempat tersuruk dan jauh.
Bermalam di Rumah Imran
Hari terakhir di Talang Sungai Parit saya minta ikut bermalam ke rumah Imran. Awalnya Imran merasa keberatan karena rumahnya terletak paling jauh di Dusun Satu, bukan saja dalam arti Dusun Satu merupakan dusun terjauh, namun rumahnya sendiri terletak jauh dari pusat dusun. Jalannya buruk dan tidak ada listrik, Pak, katanya, tapi saya bilang tidak apa.
Menjelang petang berangkatlah kami melewati jalan tanah yang ternyata memang teramat parah. Malahan tak bisa disebut sebagai jalan dusun karena merupakan jalur setapak ke kebun atau ladang penduduk, kecuali di ruas awal ada bagian yang sudah dibangun dengan alat berat menggunakan dana desa.
Entah sudah berapa lama kami ke luar dari pusat keramaian dusun. Bahkan rumah terakhir sudah lama pula terlewati, dan kini kami masuk ke kebun dan ladang-ladang penduduk—sebagian terbengkalai—melintasi sungai di atas jembatan-jembatan kayu kecil, hingga ketika kami sampai hari sudah gelap. Penerangan satu-satunya hanyalah lampu teplok. Dua ekor anjing piaraan menyambut saya dengan gonggongan tajam, seperti bersiap hendak menyerang. Cepat Imran menghalaunya, dan anjing itu pergi dengan ekor mulai digoyang-goyangkan pertanda mereka jinak juga.
Ayah Imran, Pak Larisan, sedang memperbaiki jala yang digantungnya ke dinding. Ibunya duduk menginang sambil menunggui seorang anaknya belajar di bawah siraman lampu teplok. Saya sudah berkenalan dengan Pak Larisan saat menghadiri acara tepung tawar di rumah Pak Siam kemarin malam. Imran pun sudah menceritakan saya kepada bapaknya.
Rumah Imran merupakan rumah khas Talang Mamak dari kayu seluas 8 x 9 meter. Di bagian geladak belakang penuh dengan kayu api yang tersusun rapi untuk memasak sehari-hari. Meski rumah itu sebaik rumah-rumah di pusat kampung, tapi melihat letaknya di tengah kebun sawit dan mencapainya harus melewati jalan kebun, maka secara “fungsi” rumah itu seolah dibuat untuk menunggui kebun sawit mereka seluas 5 hektar. Dari kebun seluas itu, mereka hanya bisa panen paling banyak 500 kg sekali tiga bulan. Jika harga sawit kita ambil di angka Rp 2.500/kg—dan ini sudah harga terbaik—maka penghasilan mereka setiap tiga bulan adalah Rp 1.250.000.
Itulah yang diceritakan Pak Larisan ketika kami selesai makan malam, dan Pak Larisan kini menunda pekerjaannya memperbaiki jala. Ia memilih menemani saya, bercakap-cakap, atau lebih tepat bercerita.
“Dulu masa panennya bisa sekali sebulan. Tapi kini waktu panen tak bisa cepat, karenanya saya harus kerja ambil upah ke kebun orang,” katanya sambil menggulung tembakau dan memasukkan pecahan halus kemenyan.
“Kebun orang sekitar sini juga, Pak?” tanya saya.
“Tidak. Harus ke luar menuju kawasan Sungai Ekok, atau Talang Gedabu, paling dekat ke Dusun Dua yang kebun penduduknya terawat.”
Saya tak habis pikir bagaimana lahan seluas 5 hektar hanya menghasilkan angka sedemikian itu, hal yang mengharuskannya harus tetap banting tulang ke kebun orang. Jika keputusan mereka tinggal jauh-jauh dari dusun—tanpa tetangga, tanpa listrik dan jalan memadai—dengan niat menunggui kebun, maka kenyataannya kebun itu tak menjanjikan penghidupan. Ia bahkan harus lebih jauh mencari nafkah hidup sehari-hari.
Diterangi lampu teplok yang cahayanya kian redup, Bapak Imran lalu bercerita tentang nasib kebun sawitnya. Katanya sudah lama tak dipupuk sehingga pertumbuhannya kurang baik. Maklumlah pupuk sawit tak cukup satu jenis. Kebutuhan setiap bagian sawit berbeda. Ada pupuk batang, daun, akar dan buah. Jadi petani harus membeli pupuk secara komplit jika ingin hasilnya baik. Mulai pupuk MPK, urea, organik dan poska.
Menurut info Pak Larisan, harga pupuk MPK mutiara untuk buah sekilonya seharga Rp 15.000, sama dengan harga urea. Sekarung isinya 50 kg, harga Rp 800.000, cukup untuk 200 batang pohon. Untuk akar bisa dipakai pupuk burat, harga 600.000/karung yang berisi 25 kg. Bentuknya halus serupa garam, dosisnya 3 sendok/pohon, dan pemakaiannya dengan cara ditimbun. Untuk batang digunakan pupuk poska dengan cara ditaburkan, sekitar 3 kg/batang. Pelepah membutuhkan pupuk MPK, juga ditaburkan, sekitar setengah meter dari batang.
Harga pupuk urea bersubsidi Rp 400.000, hanya saja berbeda dengan urea asli yang putih seperti kapur. Urea subsidi berwarna putih kemerahan. Bagusnya kedua jenis urea ini dicampur saja, katanya. Tapi tak mudah mendapatkan pupuk subsidi. Setidaknya harus beli ramai-ramai secara kelompok melampirkan kartu kelompok tani, dan nanti bisa diambil di toko-toko yang ditunjuk untuk itu. Persoalannya kebutuhan pupuk petani satu dengan yang lain tidak selalu sama, sehingga untuk mengumpulkan anggota yang dianggap memenuhi syarat pembelian bisa lama, bisa-bisa malah terlewat masa memupuk.
“Apakah tak ada pupuk buatan, Pak?” saya bertanya lebih untuk melepas uneg-uneg.
“Ada, Pak, tapi bukan kami yang buat,” jawabnya. Ia menceritakan sebenarnya ada pupuk alternatif relatif murah dan bagus. Yakni, jangkos, pupuk bekas gilingan buah sawit yang ada di pabrik, diberi obat, kemudian dibakar. Harga sekilo Rp 2.300.
“Itu bagus untuk menghilangkan daun kriting. Tapi, ya, mengambilnya jauh ke pabrik INECDA, Pak,” keluh Pak Larisan.
Malam itu kami tak hanya bercerita tentang kelapa sawit, juga kehidupan keluarga Pak Larisan. Ia menikahi janda dengan satu anak dari Desa Talang Perigi, dan mereka lama tinggal di daerah tempat kantor Kecamatan Rakit Kulim itu berada. Setelah punya beberapa anak lagi, termasuk Imran, Pak Larisan memboyong keluarganya pindah ke tempat yang sekarang. Jauh memang. Tapi tidak menyurutkan semangat sebab mereka sudah berniat sekalian menunggui lahan sawit yang mulai ditanam—tanpa pernah membayangkan bahwa bibit sawit yang mereka tanam bukan yang terbaik.
Rumah mereka dibangun melalui sistem gotong royong sampai selesai rangka. Rangkanya terbuat dari meranti, geranggang dan pulai hitam. Pulai rawang putih yang lebih lembut dipakai untuk rangka atap. Sisa pekerjaan dilanjutkan Pak Larisan dan anggota keluarga yang lain. Imran punya empat saudara kandung, dan seorang saudara sambung. Saudara sambungnya merupakan lelaki tertua lain ayah, jago memancing dan punya ayam jago peliharaan. Ia sampai menunjukkan ayam jagonya kepada saya dengan cara dipangku dan dibawanya ke atas tikar di mana kami duduk bercerita. Tiga orang adik Imran, dua orang di antaranya masih sekolah; satu di SMP satu lagi di SD—keduanya terletak jauh, amat jauh, dari rumah mereka. Apalagi musim hujan begini. Tugas Imran mengantar jemput keduanya.
“Selagi mereka masih semangat belajar, Pak,” kata Imran. Saya melihat mereka mengerjakan PR dengan menelungkup di atas tikar, diterangi sebuah lampu teplok minyak tanah yang terbuat dari bekas botol minuman.
Tapi yang menikah lebih dulu dari mereka adalah adik Imran, persis di bawahnya sehingga ada tombak dari istri (ipar) sebagai syarat parlaluan. Itu karena si adik dianggap “melangkahi” kakak.
“Kalau yang dilangkahi kakak perempuan, syaratnya harus keris panjang,” jelas Pak Larisan.
Sebagaimana Pak Dana dan Pak Batin Irasan mengenang hutan dan satwa yang masih pernah mereka jumpai, Pak Larisan juga mengenang jenis-jenis pohon yang tumbuh subur di hutan ulayat mereka. Mulai meranti, kayu balam, gerunggang, mahang, sendok-sendok, dan kedundung (kadang diucapkan kedondong) atau sialang yang disebut sebagai pohon anak nabi. Setidaknya ada tiga jenis pohon sialang, yakni sialang kawan, sialang mengkeluang dan sialang kedundung. Ia juga mengenang bagaimana indahnya bulu dan suara ayam hutan yang disebut ayam denak.
“Saking indahnya, ia seolah tak boleh disentuh tangan manusia. Bila sesekali kena jerat, lalu dipelihara, umurnya tak akan lama. Ia akan mati, boleh jadi dijemput makhluk bunian yang merindukan kukuknya,” kata Pak Larisan.
Ia pun mengenang burung elang putih yang disebut olang sakti.
“Badannya besar dan lengking suaranya setajam kuku-kukunya,” Pak Larisan berumpama. “Matanya tak kalah tajam, ia melihat apa yang tidak kita lihat, lalu melalui kuiknya ia akan menyampaikan isyarat ke seluruh kampung.”
Konon elang putih ini memiliki rantai di kakinya pertanda ia dimiliki orang halus. “Kadang kena bayang-bayangnya saja seorang anak bisa jatuh sakit.”
Dikenangnya pula burung bubut dan burung kuntul, koa-koa dan ungko.
Ia lantas terkenang bekas ladangnya di Danau Tiga, yang memang bernilai memorial bagi banyak orang Talang Mamak. Sebab di sanalah sumber mata air dengan ikan-ikannya yang jinak, dan pohonan sialang penuh madu lebah dibiarkan hidup meninggi. Di Danau Tiga, katanya, terdapat tiga lubuk besar (mungkin lubuk inilah yang disebut danau). Pertama Lubuk Layang-layang Mandi, airnya mengalir ke Sungai Sebayang dan Sungai Bayas. Kedua Lubuk Sarang Burung airnya mengalir ke perkebunan PTPN V dan lanjut ke Sungai Pabedaran Kecil. Ketiga Lubuk Pulai Berlayar airnya mengalir ke sungai Pabedaran Besar dan bermuara di Kuala Belilas.
“Kini semua telah tertimbun menjadi kebun milik perusahaan besar yang menebang habis hutan ulayat kami. Dan pabrik penggilingan sawit INECDA persis di atas Lubuk Pulai Berlayar,” suara Pak Larisan tercekat. “Dulu, kami behuma di sekitar situ hanya dengan luasan setampang benih, tidak lebih. Karena tanahnya subur, benih padi warisan sengaja kami tugal di kawasan Danau Tiga.”
Pak Larisan mengatakan ketika perusahaan kayu masuk ke kawasan Talang Mamak tahun 1970-an, Kepala Desa, Batin Rasian, dengan tegas melarang perusahaan kayu menyentuh Danau Tiga, dan berhasil. “Tapi siapa yang bisa melarang PT INECDA kini?” Pak Larisan menghembuskan asap rokoknya seperti menghempaskan rasa gerah.
“Orang kampung sini, di bawah pimpinan Pak Batin Irasan, sudah hampir dua puluh tahun berjuang untuk mendapatkan kembali pengakuan atas hak hutan ulayat kami. Bukan mengambilnya kembali, kecuali minta bagian-bagian keramat dan hutan larangan diletakkan kepada fungsinya yang awal. Sebab kami tak ingin kawalat.”
Dari Paman Briting sebelumnya saya pernah mendengar cerita bahwa saat menggali parit mengeringkan kawasan Danau Tiga, mesin-mesin eksevator perusahaan berkali-kali rusak, bahkan ada sebuah eksevator terbenam ke dalam salah satu lubuk dan tak ditemukan lagi bersama operatornya. Boleh jadi itu semacam larangan dari alam sunyata, tapi toh tak mempan juga. Tak digubris. Danau Tiga tetap diubek-ubek.
Saya mengonfirmasi cerita Paman Briting kepada Pak Larisan, dan ia menjawab dengan diplomatis,”Salah tak bisa ditimbang, dosa tak bisa dimaafkan, kawalat kata kami!”
Apa pun yang terjadi, Pak Larisan merasa bangga kepada leluhur dan pendahulunya. Ia menceritakan salah seorang di antaranya. Yakni, kumantan Sungai Langsat berumur 104 tahun. Itu dukun sakti yang pernah dimiliki orang Talang Mamak. Konon bila sang kumantan mengobati orang sakit cukup melalui kepiting atau burung yang dimantrai lalu dilepaskan. “Makamnya ada di km 4 sebelah kiri jalan ke Molek,” kata Pak Larisan.
Pak Larisan pandai berpetatah-petitih menyampaikan falsafah orang Talang Mamak.
“Bagi kami, ucapan pertama kosong. Murni. Ucapan kedua akan diadakan. Ucapan ketiga semua diadakan, seperti semut di hutan beriringan. Setelah kata, baru ada ucapan, baru ada sejarah. Pulai bapangkat menjulang naik, ada daun dan buku. Manusia berpangkat turun dan akan meninggalkan titis (warisan ke anak cucu), trambo, petatah-petitih dan jemba julai,” ia tak lagi berhenti sejak memulai.
“Karena itu, Pak, kami sadar batas; mana hak mana kewajiban. Keduanya harus ditunaikan. Bak kata leluhur, rumah besar babintalak, lahan besempadan, rumah baadat, pangkalan babasah, makan basitinah, berkata berkaca wali.”
Falsafah yang menjadi pedoman itu merupakan kaca benggala bagi harkat orang Talang Mamak. Menunjukkan mereka adalah orang beradat bermartabat, kelompok suku tuha yang jelas asal-usul dan eksistensinya.
Pak Larisan mencoba menguraikan falsafah itu, ia mulai dengan rumah babintalak. Ia memperlihatkan batas kayu yang dibuat timbul di lantai dengan cara menyingkapkan tikar dekat kami duduk.
”Ini yang disebut bintalak, Pak. Melambangkan bahwa di dalam rumah ada batas-batas. Ini berhubungan dengan pepatah rumah baadat (beradat) sehingga jelas di mana tetua duduk, di mana tamu menunggu, di mana anak kemenakan mendapat ajaran.”
Pangkalan babasah, artinya tepian dan pelabuhan ditandai oleh jalur air atau mata air. Itu dipunyai orang Talang Mamak dengan danau dan sungai-sungai yang mengalir dari tanah ulayat. Jika lalu basitabik, maksudnya ucapkanlah salam jika lewat di kawasan orang dan berkata berkaca wali, tepatilah janji jika sudah diucapkan.
“Sekarang apa Bapak melihat hal-hal serupa itu dilakukan perusahaan sawit yang datang ke mari?” tiba-tiba Pak Larisan menghentakku dengan pertanyaan menghunjam.
Saya tergeragap. Lama tercenung, dan menemukan realitas yang bertolak belakang dengan falsafah mereka. Perusahaan masuk begitu saja, tak peduli pangkalan babasah dan rumah-rumah Talang Mamak baadat sejak turun-temurun; tak ada salam atau tabik. Apalagi menepati janji kesejahteraan dan kemakmuran bagi pemilik tanah ulayat.
Pelan saya menggeleng.
“Nah, beginilah kehidupan kami sekarang…”
Ungkapan Pak Larisan bagai terbawa ke dalam tidur saya. Gelisah, seolah saya sendiri berada dalam arus pusaran zaman yang liar, di mana batas-batas hak dan kewajiban tinggal dongengan. Ya, bumi telah berantakan, kata Chinua Achebe yang menerakannya sebagai judul sebuah novel pascakolonial yang tetap aktual.
Pagi-pagi sekali kami kembali duduk di atas tikar semalam sambil ngopi dan bercerita sekelok lagi. Lampu teplok sengaja dinyalakan karena cahaya matahari belum masuk sempurna. Pak Larisan memperlihatkan tombak pemberian ipar Imran, dan tampak baginya sebagai barang yang sangat berharga.
Setelah itu saya turun melihat-lihat sekeliling kebun sawit Pak Larisan. Pohonnya memang tampak tak subur dan cenderung kerdil. Daunnya pendek-pendek dan kekuningan. Buahnya kecil-kecil. Inilah rata-rata protetipe kebun sawit orang Talang Mamak. Mereka ikut putaran trend komoditi sawit lebih banyak “berimprovisasi” karena tak ada pilihan lain.
Sebuah lesung tertelungkup di bawah sebatang sawit. Lama tak digunakan karena kesibukan mencari upah ke kebun orang membuat keluarga Imran tak sempat ikut menanam padi. Dua ekor anjing peliharaan mengikuti ke mana saya pergi, dan sesekali menyalak tapi perlahan mulai jinak bersahabat.
Bermalam di rumah Imran menjadi penutup kunjungan saya di Talang Sungai Parit. Menggenapkan pengalaman saya hidup beberapa hari dalam keluarga Dita, tempat di mana saya melihat potret nyata kehidupan sehari-hari orang Talang Mamak. Terutama persentuhan mereka dengan kebun kelapa sawit dengan segala sakit dan derita, problema bertanam padi ladang, punahnya ikan-ikan air tawar, dan terganggunya siklus alam beserta ritual-ritual yang terputus dan tempat-tempat keramat yang kian sayup dalam ingatan.
Tapi semua menolak tamat.
Keyakinan itu menguat, terutama ketika saya menyaksikan dua orang adik Imran dengan wajah tetap riang mengenakan seragam mereka, bersiap diantar ke sekolah. Di bawah langit mendung, di setapak jalanan kebun penuh lumpur, pagi itu mereka pun berangkat menghadapi pusaran dunia. (*)
Foto Raudal Tanjung Banua.