Artikel

Mahkamah Kaleng-kaleng

Tidak banyak pilihan bagi MK, memukul balik kecurangan Pilpres atau membiarkan tungkai kekuasaan mengangkangi muruah peradilan yang dikonstruksikan sebagai penjaga konstitusi itu.

Akan tetapi, MK tampak lepas tangan terhadap bukti kecurangan di sana-sini yang sebenarnya terbukti dalam fakta persidangan–fakta yang diabaikan oleh mayoritas Hakim Konstitusi sehingga mengambang sebagai dissenting opinion 3 Hakim Konstitusi lainnyaBila diamati benar, kecenderungan itu sebenarnya sudah terlihat sejak MK berberes pasca Putusan 90.

Dan Putusan PHPU Pilpres telah menunjukkan di mana posisi peradilan konstitusional tersebut. MK takluk di bawah kuasa Jokowi, terseret dalam kecurangan Pilpres yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Posisi MK Pasca Putusan 90

Pasca Putusan 90, MK menjadi buah bibir dunia akademis internasional yang menilai peradilan konstitusional Indonesia itu telah terperosok begitu jauh dalam jebakan politik kekuasaan yang transaksional. Malangnya, penegakan etik melalui MKMK sebatas menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK. MKMK memang tidak dapat membatalkan Putusan 90, namun merujuk ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, terbuktinya pelanggaran etik berat Anwar seharusnya dapat menjadi dalil bagi MKMK untuk memerintahkan pemeriksaan ulang atas Putusan 90.

Sialnya, batas usia Capres/Cawapres yang kembali diuji pasca skandal etik Anwar tidak pula dibereskan oleh MK. Melalui Putusan 141/2023, MK justru memperkuat konstruksi pelebaran syarat Capres/Cawapres. Seharusnya, momentum pengujian kembali batas usia tersebut dapat dimanfaatkan untuk menambal ruang kosong Putusan MKMK yang tidak memerintahkan pemeriksaan ulang atas Putusan 90. Dengan kata lain, MK sebenarnya bisa saja mengembalikan batas usia itu pada pengaturan awalnya.

Dari sini MK tampak berada pada posisi setengah hati untuk melepaskan diri dari jebakan politik kekuasaan Jokowi yang bersungguh-sungguh mendirikan dinasti politiknya.

Tanpa Imajinasi

Melalui Putusan PHPU Pilpres, MK justru kian menenggelamkan posisinya. Berdasarkan fakta persidangan, seharusnya MK dapat mengendus adanya sebab-akibat di balik misi bansos Presiden yang sama sekali tidak melibatkan Mensos. Ditambah pula pemasangan Pj. Kepala Daerah dan setumpuk kasus ASN beserta Kepala Desa yang terang-terangan mengampanyekan Paslon 02.

Akan tetapi, bagi MK, pelanggaran itu bukanlah praktik TSM dan pelanggaran etik tersebut dianggap selesai melalui Komisi ASN. Cukup sampai di sana. MK bahkan seolah sengaja membatasi nalarnya untuk melihat adanya kejanggalan di balik gerakan kampanye oleh ASN yang terjadi di banyak daerah.

Fakta aktifnya Presiden Jokowi dan para Menteri menyuarakan Paslon 02 tidak pula dianggap sebagai sebuah kecurangan oleh MK meskipun para pejabat negara itu melakukan kampanye tanpa cuti di luar tanggungan negara. Bahkan MK berdalih bahwa privilese yang dimiliki Gibran sebagai Cawapres cum putra Presiden merupakan hak asasi yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, MK juga menilai adanya kekosongan hukum yang melarang Presiden turut berkampanye demi putranya dan menyerahkan pengaturan tersebut kepada pembentuk undang-undang. Bila ditarik lebih jauh, MK bahkan tidak mempersoalkan etiksebagai bagian dari konstitusi dalam praktik penyelenggaraan negara yang erat kaitannya dengan konstitusionalisme dan moralitas

MK bahkan tidak mampu berimajinasi untuk mampu menghubungkan setiap fakta guna mencapai probabilitas pembuktian. Bahwa Presiden yang ikut berkampanye demi buah hatinya, bagi-bagi bansos, pelanggaran etik Pj. Kepala Daerah dan ASN, memiliki hubungan kausalitas dengan melambungnya suara Prabowo-Gibran di beberapa provinsi.

Persoalan lain akibat MK yang tak mampu berimajinasi adalah dalih privilese Gibran yang dianggap bagian dari hak asasi. Masalahnya, MK tidak melakukan penafsiran yang lebih dalam terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur HAM untuk dapat mengelompokkan privilese sebagai bagian dari hak asasi. Bahkan bila MK secara utuh membaca UUD 1945, konstitusi justru memperbolehkan dilakukannya pembatasan HAM.

Bila MK mampu berimajinasi secara sistemik, tafsir serampangan itu sama saja melegalkan berdirinya politik dinasti yang dahulu pernah diharamkan sendiri oleh MK. Lebih jauh lagi, privilese yang diaminkan oleh MK sejatinya berkemungkinan besar menjadi preseden pada Pilkada mendatang.

Sementara pertimbangan MK atas kekosongan hukum larangan Presiden berkampanye demi putra, adalah dalih ringkih. Sebab MK memiliki segala daya untuk dapat melakukan penemuan hukum demi mengisi ruang kosong peraturan.

Pada akhirnya, MK tanpa sadar menampilkan wajah kecurangan Pilpres yang tidak sekadar terstruktur, sistematis dan masif, namun terlembaga dengan baik di mana MK turut bermain sebagai aktor penentu kemenangan putra Presiden. Legitimasi kekuasaan yang terpecah seharusnya menjadi peringatan dini, bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran yang diraih melalui sekelumit skandal akan berjalan dengan lebih banyak skandal. Winter is Coming! MK telah memberi akta kelahiran bagi dinasti Jokowi. (*)

About author

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Manajer Riset LBH Pers Padang.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *